Oleh Doni Koesoema A.
Baru pertamakalinya di dalam
sejarah, kedua tim sukses dari masing-masing kubu, yaitu Prabowo-Hatta dan
Jokowidodo-Jusuf Kalla, berdialog dengan para penyandang disabilitas untuk
membahas masa depan mereka. Tema tentang hak-hak penyandang disabilitas bisa
dikatakan sangat marjinal, jarang bahkan tidak dibahas dalam debat visi dan
misi calon presiden, serta luput dari gelora kampanye.
Dalam dialog yang diadakan di
aula Pegadaian, Kramat Raya, beberapa waktu lalu, perwakilan dari kedua tim
sukses, Edy Prabowo (kubu Prabowo-Hatt), Rieke Dyah Pitaloka (kubu Jokowi-JK)
berjanji untuk tetap memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas siapapun
Presidennya. Kedua juru bicara adalah wakil rakyat yang lolos ke senayan dalam
pileg lalu. Janji ini tentu menggembirakan. Namun, persoalan penyandang
disabilitas bukanlah masalah janji-janji manis, melainkan aksi nyata yang
membuat keberadaan mereka lebih bermartabat.
Kasus persyaratan SNMPTN yang
diskriminatif bagi penyandang disabilitas, diskriminasi masuk SMA/SMK hanyalah
gunung es dari persoalan fundamental pendidikan yang tidak memandang penyandang
disabilitas sebagai manusia. Mereka dianggap sebagai objek penghalang dan
beban, bahkan kalau toh dianggap sebagai manusia, mereka dianggap sebagai orang
yang harus dikasihani. Paradigma ini sesat dan harus dikoreksi.
Penyandang disabilitas adalah
manusia yang bermartabat dan memiliki hak. Perjuangan mereka adalah perjuangan
demi penegakan kemanusiaan itu sendiri. Hak memperoleh pendidikan yang layak
bagi penyandang disabilitas dilindungi oleh Konstitusi kita. Mereka bukan hanya
memiliki hak untuk memperoleh pendidikan, melainkan juga sama seperti individu
non-disabel, mereka memiliki keseluruhan hak untuk berpartisipasi secara aktif
dalam kehidupan bernegara, di bidang politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan.
Publik mulai menyadari persoalan
penyandang disabilitas ketika penyandang disabilitas sendiri mulai menyadari
pentingnya menyuarakan hak-hak mereka. Bahkan, para penyandang disabilitas
sudah sangat maju dengan secara resmi mengajukan Rancangan Undang-Undang
Penyandang Disabilitas (RUU Penyandang Disabilitas), sebagai pengganti
Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.
Perubahan Radikal
RUU Penyandang disabilitas sudah
masuk dalam salah satu prioritas Prolegnas 2014. RUU ini akan mengubah secara
radikal paradigma kita terhadap penyandang disabilitas, dan tentu saja,
perubahan paradigma ini akan memiliki pengaruh besar pada praksis pendidikan
kita.
Perubahan radikal pertama adalah
perubahan filosofis dari paradigma karitatif menjadi hak asasi manusia. UU No.
4 tahun 1997 masih memandang penyandang disabilitas sebagai individu yang patut
dikasihani, namun tidak memiliki hak. Karena itu, perlakuan terhadap mereka
sekedar karitatif, berdasarkan rasa belas kasihan semata. Paradigma ini berubah
menjadi pendekatan hak. Sebagai hak asasi, hak para penyandang disabilitas
bersifat universal, langgeng, tidak dapat dikurangi, dibatasi, dicabut, atau
dihilangkan oleh siapapun termasuk Negara.
Konvensi Hak-Hak Penyandang
Disabilitas yang telah ditandatangani Pemerintah Indonesia pada 2007 dan
dikuatkan dengan UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Hak-Hak Penyandang Disabilitas mewajibkan bahwa keseluruhan peraturan
perundang-undangan yang ada melindungi hak-hak asasi penyandang disabilitas.
Kedua, persoalan penyandang
disabilitas bukanlah persoalan individual, yaitu masalah ada pada penyandang
disabilitas, melainkan pada unsur sosial, yaitu pemahaman masyarakat, negara,
dan aparatur negara terhadap keberadaan penyandang disabilitas sebagai warga
negara. Mereka selama ini dianggap sebagai aib, objek penghalang. Masyarakatlah
yang harus mengubah cara pandang mereka terhadap penyandang disabilitas. Mereka
juga manusia yang memiliki hak dan martabat yang luhur, yang tidak pernah boleh
dilecehkan oleh siapapun.
Ketiga, secara hukum yuridis,
konsep tentang penyandang disabilitas berubah. Bila dalam UU No. 4/1997 masih
memakai istilah penyandang cacat, istilah ini sudah tidak tepat lagi dan harus
dihilangkan, sebab cacat fisik dan mental bukanlah sebuah kecelakaan yang
membedakan manusia satu dengan yang lainnya. Istilah yang lebih manusiawi dan
dipakai sekarang adalah penyandang disabilitas. Pembedaannya bukan antara yang
cacat dengan normal, melainkan pada disabel dan non-disabel. Mereka semua
adalah sama-sama manusia yang memiliki hak dan martabat yang tak dapat diganggu
gugat oleh siapapun.
Bukan Inklusi
Pemenuhan hak-hak para penyandang
disabilitas dalam praksis pendidikan kita selama ini hanyalah tempelan dan
tambahan. Ini terbukti dengan adanya lembaga pendidikan yang inklusif. Padahal,
semestinya tidak ada sekolah yang inklusi, sebab pendidikan itu pada hakikatnya
adalah inklusi. Bila pendidikan adalah inklusi, yaitu membantu setiap warga
negara, siapapun mereka untuk dapat terlibat dan berbaur dalam pengembangan
kehidupan bernegara dan bermasyarakat, pembatasan-pembatasan apapun atas dasar
alasan disabilitas merupakan sikap tidak adil dan diskriminatif. Setiap
penyandang disabilitas memiliki hak untuk masuk dan mengenyam pendidikan dari
jenjang, jalur, dan jenis pendidikan apapun mulai dari pendidikan dasar sampai
pendidikan tinggi.
Konsep kita tentang pendidikan umum
dengan program inklusi harus dihapus. Pemahaman yang distortif terhadap
pendidikan inklusi telah berakibat bahwa praksis pendidikan inklusi sekedar formalitas.
Pemerintah secara formal menyediakan keberadaan pendidikan inklusi, namun hal-hal
fundamental, seperti ketersediaan sarana belajar, guru, akomodasi wajar proses
belajar siswa, sistem evaluasi dan kurikulum, tidak berubah. Ini sama saja
memberikan kesempatan berenang pada penyandang disabilitas, namun tidak
disediakan pelampung, atau penjaga kolam renang, sehingga penyandang
disabilitas akhirnya tenggelam dalam pendekatan sekolah inklusi sebab tak
memperoleh akomodasi satu pun.
Ketiadaan sarana-prasarana dan
tenaga di Perguruan Tinggi tidak bisa menjadi alasan untuk menyingkirkan para
penyandang disabilitas dari akses mereka terhadapa pendidikan di setiap jenjang
pendidikan, mulai dari pendidikan dasar, sampai tinggi. Negara bertanggungjawab
untuk menyediakan akses ini mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan
tinggi
Bukan Semalam
Membalik keadaan, di mana sistem
pendidikan kita memiliki jiwa adil dan menerapkan prinsip non-diskriminasi
terhadap penyandang disabilitas bukanlah pekerjaan semalam. Namun, pekerjaan
ini tidak dapat dilakukan bila paradigma dan visi kita tentang kehadiran para
penyandang disabilitas tidak berubah. Dalam konteks pendidikan, perubahan
radikal ini harus disertai desain jangka panjang dan eksplisitasi penghargaan
terhadap penyandang disabilitas dalam aturan hukum dan perundang-undangan kita.
Untuk itu, ada tiga prioritas yang mesti segera dikerjakan.
Pertama, pemerintah harus secara
eksplisit dan tegas menyatakan dan mengukuhkan dalam produk hukum dan praksis bahwa
penyandang disabilitas tidak didiskriminasi dalam mengenyam pendidikan dalam
jenjang manapun, mulai dari pendidikan dasar sampai tinggi. Pemerintah tidak
boleh sekedar lipservice dengan menghapus persyaratan diskiminatif dalam
SNMPTN, namun tetap mempraktikkan perilaku diskriminatif secara diam-diam.
Kedua, pemerintah harus mendesain
secara jelas kebijakan afirmatif apa yang akan mereka lakukan untuk
mengakomodasi kehadiran para penyandang disabilitas agar memiliki keterbukaan
akses pada setiap jalur pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai tinggi.
Pemerintah harus secara jelas menyatakan bahwa pendidikan dari tingkat dasar
sampai tinggi adalah inklusif, dan pemerintah memiliki program dan agenda yang
jelas untuk menyediakan berbagai macam perangkat dan sistem agar kebijakan ini
diterapkan dengan semakin baik dan masa depan.
Ketiga, harus ada proses
penilaian dan asesmen yang utuh ketika pemerintah menentukan seseorang harus
masuk sekolah khusus, melalui kriteria dan proses yang secara objektif dapat
dipertanggungjawabkan. Sekolah khusus hanya diperuntukkan bagi mereka yang
sungguh-sungguh secara khusus tidak dapat berintegrasi dengan sekolah umum baik
dari segi kurikulum, metode, sarana, guru dan tujuan.
Masyarakat dan para pengambil
kebijakan harus terbuka dan berani mengoreksi konsep dan paradigma mereka
tentang kehadiran para penyandang disabilitas. Sebuah masyarakat yang beradab
dan manusiawi hanya bisa dilihat dari bagaimana sistem, struktur, dan perilaku
masyarakat itu menghargai kehadiran para penyandang disabilitas, terutama dalam
kehidupan publik.
Penyandang disabilitas adalah manusia.
Mereka adalah saudara-saudara kita, yang patut kita perlakukan dengan penuh
cinta, dan dilindungi dalam sebuah produk hukum, undang-undang, peraturan, dan
praksis kehidupan bermasyarakat yang menghargai harkat dan martabat mereka
sebagai ciptaan Tuhan.
Doni Koesoema A. – Pemerhati
Pendidikan