Doni Koesoema A
Penyakit gampang menghunus pedang, melempar batu, membakar harta benda orang lain, dan menghabisi nyawa pelaku kejahatan merupakan tindakan tercela dalam masyarakat beradab yang demokratis.
Apalagi penganiayaan dan pembunuhan karena perbedaan keyakinan (agama, politik, moral), ini benar-benar pelecehan terhadap martabat manusia yang dari sono-nya dibekali oleh Sang Pencipta kemampuan untuk berkeyakinan. Dunia pendidikan seharusnya tertantang untuk menumbuhkan keutamaan warga negara yang beradab dan demokratis. Inilah salah satu tantangan besar pendidikan karakter.
Netralitas negara
John Rawls, penganjur liberalisme politik, mengatakan bahwa negara yang demokratis mestinya hanya bertindak melalui prinsip-prinsip yang dapat dijustifikasi dan diterima oleh seluruh warga negara, mengacu pada apa yang disebut sebagai overlapping consensus berkaitan dengan norma-norma dan prioritas bagi kebijakan lembaga politik, sosial, dan ekonomi. Terhadap persoalan moral kontroversial, apalagi berkaitan dengan keyakinan iman di mana overlapping consensus tidak terdapat, negara mesti bersikap netral.
Liberalisme politis Rawls menyatakan bahwa sekolah umum, baik yang dikelola negara maupun masyarakat, mesti meng- arahkan peranan mereka dalam pengembangan pendidikan karakter pada penumbuhan keutamaan warga negara agar dapat menopang lembaga dan kultur demokratis. Hal ini penting karena anggota masyarakat itu terdiri atas berbagai latar belakang agama, paradigma moral, ideologi politik, dan tradisi kebudayaan yang berbeda-beda, dan sering kali mereka memiliki ketidaksepakatan pemahaman konseptual tentang kebaikan (good).
Untuk itu, masyarakat demokratis mesti mencari titik temu dan bekerja sama mencari kese- pakatan yang dapat diterima oleh semua tanpa mengesampingkan keyakinan pribadi mereka.
Sama tapi berbeda
Demokrasi Rawls secara filosofis bisa dimengerti karena mengukuhkan pandangan egalitarian bahwa manusia diciptakan sama. Karena itu, kerja sama dalam masyarakat demokratis mesti mengabaikan perbedaan latar belakang keyakinan, baik agama, politik, moral, maupun tradisi kebudayaan yang mereka miliki. Di sini, manusia melangkah pada ranah komunikasi yang dapat disepakati oleh semua orang melalui apa yang ia sebut sebagai penalaran publik. Dalam masyarakat demokratis, penalaran publik hadir dalam sebuah lembaga semacam Mahkamah Konstitusi.
Dari segi ini, baik presiden, komunitas religius mayoritas, maupun mayoritas masyarakat tidak dapat menentukan kesepakatan sendiri tanpa ditengahi oleh lembaga penalaran publik ketika menentukan hak asasi warga negara, terutama terkait hak-hak konstitusional esensial dan keadilan dasar.
Demokrasi Rawls secara konseptual memperkukuh tesis bahwa manusia diciptakan tanpa perbedaan. Manusia diciptakan sama, yaitu sama-sama diciptakan telanjang, memiliki kebebasan dan kemerdekaan untuk menentukan dirinya sendiri, baik kepercayaan, keyakinan iman, tradisi budaya, maupun religi.
Namun, meski manusia dilahirkan sama, preferensi dan keinginan individu berbeda karena sejarah dan pengalaman individu berbeda. Itu semua terbentuk melalui sosialisasi, akuisisi, kompromi, negosiasi, dan edukasi yang dialami sejak kecil. Jadi, perbedaan adalah kodrat dalam kehidupan itu sendiri.
Kegagalan negara
Kegemaran masyarakat menghunus pedang untuk menganiaya kelompok minoritas mesti dipahami sebagai kegagalan negara dan lembaga pendidikan dalam mendidik anggotanya. Pendidikan mestinya membentuk individu sebagai pribadi berkarakter, yang mampu mengembangkan potensi intelektual secara adekuat, kritis, bertanggung jawab.
Bahwa kelompok mayoritas—baik yang menguasai aparat ideologis-teologis (agamawan), ideologis-politis (politisi), maupun para penunggang liar kepentingan teologis, politis, dan ekonomis—menguasai berbagai macam sumber (kekuasaan, agama, politik, dan fisik), tidak berarti mereka punya hak dan dibenarkan secara moral mengganyang kalangan minoritas.
Menumbuhkan keutamaan kewarganegaraan hanya bisa tumbuh jika lembaga pendidikan benar-benar menanamkan arti perbedaan dalam akal, hati, dan jiwa setiap individu. Mengajarkan dan menyadarkan bahwa individu adalah pribadi yang unik dan berbeda merupakan sebuah keharusan. Kodrat manusia sebagai makhluk yang luhur dan bebas itu sama.
Pendidikan karakter mesti menumbuhkan rasa hormat atas perbedaan dan rasa keadilan dengan cara melindungi dan membela mereka yang lemah, kecil, minoritas, tertindas, dan terpinggirkan. Bukan karena mereka miskin atau kecil, melainkan karena mereka adalah sama-sama makhluk yang bermartabat.
Doni Koesoema A Konsultan Pendidikan
Dimuat di KOMPAS, 22 Februari 2011