Thursday, 27 March 2008

Di Balik Pemetaan Pendidikan

KOMPAS Kamis, 27 Maret 2008 00:31 WIB
Doni Koesoema A

Polemik seputar tujuan ujian nasional, seperti penentuan siapa yang berwenang meluluskan siswa, tidak muncul dalam diskusi tentang ujian akhir sekolah berstandar nasional atau UASBN SD/MI/SLB.

Mengapa? Karena semua telah ditebus dalam 11 ayat 1 Permen No 37/2007 yang mengatakan, ”kriteria kelulusan UASBN Tahun Pelajaran 2007/2008 ditetapkan oleh tiap sekolah/madrasah yang peserta didiknya mengikuti UASBN.”

Jika kriteria penentuan kelulusan siswa ditentukan sekolah melalui rapat dewan guru dengan mempertimbangkan nilai minimum mata pelajaran yang diujikan dan nilai rata-rata ketiga mata pelajaran yang diujikan (POS UASBN 2007/2008, poin VI), mengapa tak memberikan kebebasan kepada sekolah untuk mengadakan ujian akhir sekolah sendiri? Jawaban yang paling masuk akal adalah karena pemerintah masih membutuhkan hasil ujian akhir sebagai alat untuk memetakan satuan pendidikan (Permen No 37/2007 Pasal 3a).

Sensus atau sampel?

Sensus pendidikan sebagaimana terjadi pada UASBN sebenarnya tidak perlu sebab merupakan pemborosan anggaran, tenaga, dan waktu. Para ahli lingkungan hidup pun untuk memetakan mutu sebuah lingkungan tidak mengadakan penelitian di tiap tempat, cukup mengambil sampel, lalu menarik kesimpulan. Memetakan mutu pendidikan juga bisa dilakukan dengan mengambil sampel secara rutin.

Namun, kuatnya keinginan pemerintah melakukan UASBN dilandasi dua hal. Pertama, lebih bersifat akademis. Di sini ada dua kabar, buruk dan baik. Kabar buruknya adalah pejabat di Depdiknas mungkin tidak tahu bahwa untuk memetakan situasi pendidikan nasional ada cara yang lebih efektif dan hemat, yaitu dengan mengambil sampel daripada memakai metodologi sensus. Kabar baiknya, mereka masih perlu kursus statistik tingkat dasar.

Kedua, lebih bersifat politis, juga ada dua kabar, buruk dan baik. Kabar buruknya adalah anggaran UASBN tidak kecil, karena itu memungkinkan terjadinya bancakan anggaran di berbagai tingkat terkait. Tidak bisa dibayangkan, bagaimana mungkin pemerintah yang semula menganggarkan UASBN Rp 500 miliar dipangkas oleh Komisi X DPR hanya menjadi Rp 96 miliar. Kabar baiknya, pemerintah memiliki semangat besar. Meski dana dipangkas, pemerintah masih berani melaksanakan UASBN!

Fenomena ini bisa dibaca secara positif sebagai indikasi bahwa pejabat pemerintah masih membutuhkan kursus dasar membuat anggaran sebagai bagian peningkatan kinerja profesional. Sebaliknya, secara kritis, diduga terjadi penggelembungan anggaran.
Setelah UN

Pengalaman ujian nasional (UN) sebenarnya mulai menunjukkan pengaruhnya di kalangan siswa dan pendidik. Para guru mulai lebih antusias mengajar, mencari info untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dengan cara membangun komunikasi antarpendidik, entah melalui diskusi, tanya jawab, membuat proyek kerja dengan rekan guru, maupun berselancar melalui dunia maya. Para siswa juga mulai lebih tekun belajar karena tidak ingin mengalami nasib serupa dengan temannya yang tinggal kelas karena tidak lulus UN.

Gejala ini oleh Hargreaves disebut dengan hyperactive professionalism, yaitu sebuah hiruk-pikuk, riuh rendah penuh semangat yang dilakukan guru untuk melaksanakan tujuan jangka pendek kebijakan pendidikan pemerintah daripada mewujudkan visi pribadi tentang pendidikan jangka panjang. Hiruk-pikuk UN dan UASBN akhirnya malah mengeringkan visi dan inspirasi pribadi pendidik tentang tujuan pendidikan.

Hargreaves juga melihat, penyakit ritual kompulsif akan standardisasi akhirnya menyeret dunia pendidikan pada hukum regulasi diri yang berlebihan (autokrasi). Karena standar tidak tercapai, satu-satunya cara untuk mencapainya adalah dengan membuatnya lebih ketat, yaitu, meletakkan beban di pundak pendidik dan siswa dua kali lipat. Hasilnya adalah penambahan mata pelajaran yang diujikan. Penyakit ritual kompulsif UN menjadi kian membabi buta dan tidak tersembuhkan.

Pengalaman pasca-UN juga menjerumuskan dunia pendidikan pada jebakan teknokrasi, yaitu meredusir ketidakadilan sosial dan perbedaan kesempatan dalam mengenyam pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab bersama menjadi sekadar kalkulasi teknis dan hitung-hitungan nilai UN di mana satu-satunya tanggung jawab ditimpakan pada dunia pendidikan. Menimpakan kebobrokan pendidikan dengan menuduh para guru tidak becus adalah cara termudah dan murah! Maka, kebodohan itu terjadi bukan karena kemiskinan atau buruknya pelayanan gizi dan kesehatan, tetapi karena kesalahan guru di sekolah. Negara lepas tangan adalah jalan paling ringan.

Rasionalitas inspiratif

Usaha pembaruan pendidikan akan melemparkan kita pada sebuah perjalanan padang gurun jika inspirasi, visi, dan rasionalitas ditinggalkan. Usaha mencari jalan pintas untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan cara lari cepat jarak pendek hanya membuat dunia pendidikan kita kian terengah-engah, kehabisan daya, bahkan bisa mati kehausan di tengah jalan sebelum mencapai garis akhir dalam ”mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Suatu saat Mahatma Gandhi berkata, ”Speed is irrelevant if you are going in the wrong direction.” Kita salah jalan jika masih percaya, satu-satunya cara memetakan mutu satuan pendidikan adalah dengan mengadakan UASBN ataupun UN.

Logika mengatakan, ada cara lain yang lebih sistematis, praktis, dan ekonomis serta tidak mengorbankan tujuan pendidikan jangka panjang. Bukan melalui sensus, tetapi percontohan. Lebih dari itu, pembaruan dunia pendidikan akan lestari jika jalan-jalan perbaikan dipandu rasionalitas dan inspirasi tiada henti, bukan sekadar memenuhi kebutuhan hari ini.

Doni Koesoema A Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston

Artikel ini dikutip di:
1. Pemetaan Pendidikan Melalui UN (Padang Express)

ARTIKEL PENTING: WASPADAI PARA PENELIKUNG KONSTITUSI

Pendidikan Keagamaan