Thursday, 16 April 2015

Penerapan Indeks Integritas Sekolah dianggap Mengada-ada

JAKARTA - Penerapan Indeks Integritas Sekolah di seluruh sekolah oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada tahun ini diharapkan mampu membuat sekolah bisa jujur dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Sayangnya, Indeks Integritas Sekolah tersebut tidak ada parameter dalam mengukur nilai-nilai kejujuran sekolah. 

"Sosialisasi juga di penghujung UN. Selain itu, Indeks Integritas Sekolah tidak terlihat memaparkan nilai kejujuran sebuah sekolah," kata Anggota Dewan Pertimbangan Serikat Federasi Guru Indonesia (SFGI), Doni Koesoema dalam jumpa pers kebocoran soal UN 2015, di gedung Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLHK), Jakarta, Rabu (15/4).

Ia mengatakan, sampai saat ini Indeks Integritas Sekolah dalam dunia psikometrik masih diperdebatkan. Sebab, metode, situasi, dan cara-cara siswa mencontek berbeda-beda. Hal ini menimbulkan hasil pada indeks integritasnya berbeda-beda, ketika dilakukan kalkulasi hasil. "Sedangkan yang dijelaskan oleh Kemendikbud itu tidak ada logiknya dan tidak bisa ditarik kesimpulannya," ujarnya.

Secara umum, kata Doni, pengukuran bisa dilakukan dengan menghitung jumlah jawaban yang salah. "Tetapi, bila terdapat 20 soal, tidak bisa," ucapnya. Pasalnya, membutuhkan konsep lain atau strategi pengumpulan data statistik untuk menentukan sejauh mana siswa satu mencontek siswa lainnya.

"Jadi, ide Indeks Integritas Sekolah ini absurd dan membebankan kepada masyarakat dan sistem pelaporan juga tidak transparan," katanya. Selain itu, gabungan dari hasil tes diruang-ruang kelas sekolah, tidak bisa dikonversi dan ditumpuk menjadi kejujuran sebuah sekolah. Apalagi, menjadi kejujuran sebuah daerah atau provinsi.

Donie menyarankan kepada Kemendukbud, jika ingin meningkatkan kejujuran di sekolah, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, pemerintah harus mengubah aturan-aturan atau peraturan yang membuat budaya tidak jujur itu muncul, misalnya kebijakan tentang Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), ada mata pelajaran tertentu yang diharuskan mendapatkan 7 di KKM.

Kedua adalah sistem katrol nilai yang banyak terjadi di sekolah-sekolah, dengan memberikan nilai oleh oknum guru kepada siswa. "Hal ini terjadi karena otentisitas pembelajaran tidak dihargai. Meskipun ada sekolah tertentu ketika nilainya rendah dia tegas, bila mendapat nol ya nol dan lima ya lima," tegasnya.

Ia melanjutkan, sebelum adanya Indeks Integritas ini, ada berapa sekolah yang menindak tegas para muridnya yaitu ketika ada yang ketahuan menyontek, akan segera dikeluarkan dari sekolah dan ada pula yang memberi teguran. "Jadi ada banyak kebijakan budaya sekolah yang sudah menerapkan nilai-nilai kejujuran. Saya rasa Indeks Integritas itu terlalu mengada-mengada, sebagai penilai kejujuran," pungkasnya.

Menanggapi itu, Mendikbud Anies Baswedan mengatakan, Indek Integritas Sekolah ini mengukur tingkat kejujuran saat menjalankan ujian di sebuah sekolah. Bila sekolah mendapatkan angka 90, Artinya 90 persen siswanya menjalankan ujian dengan jujur dan ada 10 persen menunjukan pola kerja sama atau kecurangan. "Itu bahasa sederhananya, karenanya nanti indeks rangenya antara 0 - 100. Makin tinggi indeksnya, makin jujur pelaksanaan ujian di sekolah tersebut," kata dia.

Untuk rumusannya, jelas Mantan Rektor Universitas Paramadina Jakarta ini, akan diungkapkan setelah UN 2015 selesai. Sementara, saat ini pihaknya memiliki data sekolah Indeks Integritasnya diatas nilai 90 ada 52 Kabupaten atau 10 persen dari semua daerah Indonesia diantaranya DKI Jakarta dan DI Yogyakarta.

Oleh karena itu, Anies mengimbau kepada masyarakat untuk jujur dalam melihat kecurangan UN. Karena nantinya ada reward dan punisment dari pemerintah. "Bahwa laporan tersebut mengenai jujuran dan bukan semata-mata keberhasilan nilai akademis, tapi nilai kejujuranya," pungkasnya.

Sumber: Radarpena

Pendidikan Keagamaan