Friday, 24 October 2014

Strategi Pendidikan Antikekerasan

Oleh Doni Koesoema A. 

Konflik fisik dan kebijakan menjadi ciri pendidikan kita. Terjadinya perundungan di sekolah, maraknya tawuran pelajar antar satu sekolah dengan sekolah lain yang tak jarang merenggut korban jiwa, dan konflik kebijakan, seperti dikeluarkannya 13 siswa SMAN 70 Jakarta akibat perilaku bullying, mengajak kita untuk bercermin menemukan strategi terbaik untuk mengatasi perilaku kekerasan dalam pendidikan.

Masih segar dalam benak kita kematian Pandian Prawirodirya Arfiand, siswa SMAN 3 Jakarta setelah mengikuti kegiatan ekstrakurikuler pecinta alam. Tak lama sesudah itu, Arfiand Caesar Al Irhami menyusul akibat mengikuti kegiatan yang sama. Oka Wira Satya juga meninggal sia-sia karena tawuran. Kekerasan demi kekerasan terjadi dalam lembaga pendidikan kita. Yang terbaru adalah kasus bullying di SMAN 70. 

Prioritas utama 

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus segera bertindak dan menjadikan ini sebagai prioritas, bila kita tidak ingin lembaga pendidikan berubah menjadi tempat-tempat penyiksaan dan pembunuhan. Lembaga pendidikan tidak pernah boleh menjadi lembaga yang menguatkan perilaku kekerasan dalam diri siswa, baik di dalam lingkungan maupun di luar sekolah.

Persoalan kekerasan dalam pendidikan tidak bisa diatasi secara parsial dengan melihatnya kasus per kasus. Darurat kekerasan ini sudah menjadi masalah sistemik yang melahirkan kultur kekerasan dalam lingkungan pendidikan. Pelaku penganiayaan Arfiand, misalnya, sudah pernah diperingatkan atas perbuatan kekerasan yang pernah dibuatnya. Namun sayangnya, sistem komunikasi dan cara pengelolaan kegiatan pendidikan di sekolah tidak didesain untuk segera mendeteksi adanya perilaku kekerasan dan prosedur penanganannya.

Kasus Oka menunjukkan akar persoalan lain yang tidak kalah serius. Tawuran terpicu hanya karena pelaku mengidentifikasi musuh dari pakaian seragamnya. Rupanya, pakaian seragam bisa menjadi sumber terpicunya tawuran. Tentu, pemaknaan bahwa seseorang berseragam tertentu yang kemudian diidentifikasi sebagai musuh dan menjadi pemicu tawuran tidak berdiri sendiri. Ia ada dalam konteks konstelasi pengetahuan umum pelaku, bahwa seragam itulah yang membedakan diri mereka dengan yang lain. Seragam telah mengotak-ngotakkan dan membedakan, menentukan batas identitas yang jelas antara kami dan mereka.

Kasus di SMAN 70, yang membuat pihak sekolah mengeluarkan kebijakan mengembalikan siswa pelaku perundungan ke orang tua memiliki akar kekerasan berbeda. Di sekolah ini, kultur senioritas yang terjadi. Tindakan kekerasan pun tidak lagi dilakukan di lingkungan sekolah, tapi di luar sekolah. Kuatnya perilaku kekerasan ini bahkan bisa membungkam korban untuk tidak melaporkan kepada pihak sekolah. Ada ketidakpercayaan pada pihak sekolah untuk melaporkan perilaku kekerasan karena akan berakibat fatal bagi korban dalam proses pendidikan selanjutnya.

Kekerasan sudah menjadi laten dan kurikulum tersembunyi. Hal seperti ini seringkali tidak dapat terdeteksi. Kekerasan dalam pendidikan sudah menjadi kultur yang tak mampu diatasi, bahkan oleh pemimpin sekolah sekalipun. Bila kekerasan sudah menjadi cara bertindak, untuk tidak mengatakan budaya, solusi punitif bagi penanggungjawab dan pelaku sesungguhnya tidak akan menyelesaikan persoalan.

Kecenderungan pemerintah untuk mengambil kebijakan reaktif mencopot jabatan kepala sekolah, memecat guru, mengeluarkan siswa, dan menyerahkan mereka kepada aparat penegak hukum bisa menjadi sebuah sebuah kebijakan tanpa makna. Berbagai cara ini tetap tidak dapat menjawab pertanyaan, mengapa kekejaman antarteman dan sesama siswa bisa terjadi di luar kontrol dan kendali guru atau orang dewasa yang mestinya bertanggungjawab pada keamanan dan keselamatan siswa. Kultur pendidikan apa yang sedang kita bangun di sekolah-sekolah kita?

Perundungan dalam lembaga pendidikan selalu melibatkan banyak pihak dan faktor, seperti lingkungan sekolah, corak relasional antara individu dalam lingkungan pendidikan, ketidakadilan, penyalahgunaan kekuasaan, lemahnya komunikasi dengan orang tua, rapuhnya sistem pendidikan dan aturan untuk menjaga dan melindungi keamanan siswa. Karena perilaku perundungan begitu kompleks, kiranya penyelesaian persoalan kekerasan dalam pendidikan juga harus komprehensif, menyeluruh dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. 

Lima Strategi 

Borba (2012) melihat bahwa cara-cara yang paling baik untuk mengatasi kekerasan dalam pendidikan adalah membereskan akar persoalan utama yaitu menumbuhkan rasa penghargaan satu sama lain dalam lingkungan pendidikan. Hanya dengan berfokus pada prinsip penghargaan bahwa individu itu berharga, bermartabat, dan tidak pernah boleh dirusak dan diperalat apapun alasannya, kita dapat mengembangkan kultur pendidikan yang ramah dan bersahabat. Untuk itu, menurut Borba, ada beberapa hal yang harus dilakukan.

Pertama, sekolah perlu membuat kebijakan anti-perundungan dan kekerasan. Setiap individu (pemimpin sekolah, staf guru, karyawan, orang tua, siswa dan anggota komunitas sekolah, mestinya memahami dengan jelas apa saja yang mereka harapkan dari kebijakan anti-perundungan dan apa konsekuensi-konsekuensi mereka pikul terhadap persoalan ini. Komunitas sekolah harus mampu mengidentifikasi di mana titik lemah perilaku perundungan yang terjadi dalam lingkungan pendidikan. Kebijakan yang mengelompokkan, memisahkan dan membedakan individu berdasarkan ikatan primordial, seperti agama, suku, ras, kemampuan akademis, merupakan benih-benih awal tumbuhnya perilaku kekerasan.

Kedua, mendidik seluruh pemangku kepentingan (guru, staf, siswa dan orang tua) agar dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan. Mereka perlu dilatih untuk mengenali perilaku kekerasan dan tanda-tanda seseorang menjadi korban perundungan. Mereka harus mengerti jenis-jenis perilaku perundungan, seperti kekerasan fisik, verbal, relasional, seksual, dan digital/saiber. Orang tua perlu diajar tentang tanda-tanda perundungan, pencegahan, dan cara mengatasinya. Kegiatan ini hanya mungkin bila seluruh pelaku di unit sekolah menyadari pentingnya program-program ini dan berani mendesain sebuah pendekatan yang cocok untuk situasi unik kekerasan di sekolah mereka.

Ketiga, menciptakan prosedur untuk melaporkan perilaku perundungan dan kekerasan. Sekolah perlu membuat kebijakan tentang bagaimana sistem untuk menerima laporan akan tindakan kekerasan dan sistem untuk melindungi para pelapor. Studi menunjukkan bahwa ketika perilaku kekerasan itu diawasi, dan staf secara konsisten menindaklanjuti setiap laporan tentang kekerasan, perilaku ini akan berkurang. Para saksi perilaku kekerasan akan merasa nyaman melaporkan bila ada prosedur yang jelas dan mereka memiliki rasa percaya kepada para pendidik di sekolah. Sayangnya, di sekolah kita masih ada banyak siswa tidak mau melaporkan perilaku kekerasan karena merasa tidak nyaman, tidak aman, sebab pendidik kurang memiliki kredibilitas yang mampu melindungi pelapor.

Keempat, guru dan siswa harus belajar bagaimana menyikapi perilaku kekerasan untuk mengantisipasinya. Keterampilan menghadapi kasus kekerasan pendidikan dibutuhkan. Sebab, guru seringkali tahu ada perilaku kekerasan, namun tidak tahu harus berbuat apa. Kematian Ringgo, anak Sekolah Dasar, misalnya menunjukkan bahwa guru tidak tanggap terhadap laporan siswa lain ketika terjadi perilaku kekerasan. Kematian Arfiand menunjukkan bahwa saksi yang melihat korban perundungan di depan matanya pun tak mampu berbuat banyak selain membiarkan saja. Oka menjadi korban tawuran akibat seragam yang dikenakannya. Dan korban bullying di SMAN 70 tidak berani melapor karena takut hidupnya di sekolah semakin terancam bila ia melapor.

Kelima, salurkan kecenderungan agresif dalam diri individu dalam keterampilan yang dapat diterima. Perundungan dan kekerasan adalah sebuah perilaku yang dipelajari sejak kecil. Beberapa riset menunjukkan bahwa perilaku kekerasan ini semakin meningkat ketika anak memasuki usia delapan tahun. Mengubah perilaku kekerasan yang terwariskan sejak kecil tidaklah mudah. Namun, dengan berbagai latihan, pendampingan, individu dapat diajak untuk menyadari kecenderungan perilaku kekerasan dalam dirinya dengan kegiatan yang positif, mengajarkan dan memberikan pengalaman agar mereka dapat berempati dengan orang lain, mampu menguasai diri, dan mengajarkan cara-cara penyelesaian persoalan secara damai dan dialogis.

Mencegah perilaku kekerasan secara utuh, menyeluruh dan komprehensif memang sulit. Namun inilah satu-satunya cara yang harus dilakukan agar tidak jatuh lagi korban jiwa-jiwa muda yang sia-sia. Hanya dengan memasang spanduk, poster, seminar, dan memberi himbauan saja tidak akan menyelesaikan persoalan kekerasan dalam pendidikan. Apalagi memecat guru, kepala sekolah atau mengeluarkan siswa. Ini semua tidak akan menyelesaikan akar persoalan pendidikan di sekolah kita.

Kekerasan dalam pendidikan lebih terkait dengan bagaimana pendidik mampu mengubah perilaku tidak hormat menjadi sikap positif, saling menghargai keberadaan individu yang unik dan berbeda. Ini hanya mungkin bila seluruh pemangku kepentingan, seperti guru dan orang tua memiliki keterampilan membaca tanda-tanda kekerasan dalam lingkungan mereka. Pengetahuan, disertai keterampilan yang memadai, akan membantu para pendidik untuk mengantisipasi maraknya budaya kekerasan dalam pendidikan.

Kultur ini hanya bisa dibentuk bila seluruh individu yang terlibat dalam lembaga pendidikan menyadari pentingnya penghargaan terhadap masing-masing individu apapun keadaan dan perbedaannya. 

Doni Koesoema A. Pemerhati Pendidikan 

Artikel dimuat di Media Indonesia, 29 September 2014


Pendidikan Keagamaan