Tuesday, 8 November 2011

Kebudayaan

Doni Koesoema A

Kata kebudayaan akan menjadi catatan pendidikan pertama saya. Kebudayaan menjadi kata penting karena Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengembalikan dimensi kebudayaan dalam rumah pendidikan nasional, sehingga kementerian pendidikan nasional dulu bernama Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) juga berubah nama menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Untuk itu, diperlukan dua wakil menteri secara langsung, yaitu wamen yang mengurusi pendidikan dan satunya kebudayaan.

Kebudayaan dan Pembentukan Karakter

Dalam alasan penggabungan, Presiden SBY menyatakan bahwa pendidikan terkait dengan kebudayaan. Sebab melalui kebudayaan akan terbentuk karakter anak-anak bangsa. Jadi, kementerian pendidikan dan kebudayaan mengemban amanat penting pembentukan karakter anak-anak bangsa. Siapapun setuju bahwa kebudayaan memiliki kaitan erat dalam pembentukan karakter anak-anak bangsa. Namun masalahnya adalah dunia pendidikan dipenuhi dengan berbagai macam asumsi, paradigma, pemahaman dan konsep yang akan melatari kelahiran sebuah kebijakan praktis di lapangan.

Sebagai contoh, kalau pendidikan agama dianggap sebagai prioritas bagi pembentukan karakter anak bangsa, maka hal-hal yang terkait dengan unsur keagamaan akan menjadi prioritas dalam pengembangan pendidikan, seperti misalnya, mulai dari cara berpakaian, berpikir, belajar. Aka nada acara bacaan Alquran, baca Kitab Suci, rekoleksi, retret, pendalaman rohani, latihan ibadat dalam ritual keagamaan, bahkan nantinya pelajaran Agama akan dimasukkan dalam Ujian Nasional.

Prioritas pada unsur keagamaan terjadi karena keyakinan bahwa lemahnya moral bangsa ini adalah karena lemahnya iman dan keyakinan agama. Maka, unsur agama akan diberi tekanan. Namun masalahnya, apakah pembentukan karakter bisa secara sederhana diredusir pada praksis keagamaan seseorang? Lihat saja, dalam Idul Kurban kemarin, begitu banyak pejabat dan anggota DPR menyumbangkan hewan kurban. Bukankah mereka semua orang yang beriman? Tapi mengapa justru dari mereka muncul berbagai macam kasus korupsi yang merugikan bangsa dan rakyat Indonesia?

Jawabannya adalah pemahaman keagamaan yang diredusir pada persoalan ritual, namun dilepaskan dari konteks kehidupan sosial. Jadi, pemahaman agama hanya diredusir pada urusan pribadi, yang tidak terkait dengan kehidupan sosial. Maka, unsur ketidakadilan jarang menjadi bagian penting dalam penghayatan agama karena unsur ritual tata cara keagamaan lebih dipentingkan ketimbang praksis agama yang berkeadilan sosial, serta membela orang-orang miskin dan tersingkirkan.

Mutatis mutandis dengan kebudayaan. Tentu, ada banyak teori tentang kebudayaan. Konsep, paradigma, dan pandangan tentang apa itu kebudayaan tentu saja akan memengaruhi bagaimana kebijakan pemerintah dalam dunia pendidikan terkait dengan kebudayaan. Persis di sinilah yang membuat saya khawatir, karena saya melihat bahwa wakil menteri pendidikan yang mengurusi bidang kebudayaan tampaknya memahami kebudayaan hanya sebagai sebuah produk. Produk yang sudah jadi, dan dianggap baik serta adiluhung ini perlu dijaga, dikenalkan, dipraktekkan dalam lembaga pendidikan. Menjaga tradisi baik, tentu tidak ada salahnya. Yang saya khawatirkan, kita akan luput dalam menjawab tantangan zaman karena cara kita bertindak yang konservatif tidak akan berdaya menghadapi tantangan ke depan yang dinamis dan penuh perubahan.

Tradisional Konservatif

Lihat apa konsep Wamen yang mengurusi tentang kebudayaan seperti dilaporkan oleh para wartawan. Di sini saya mengutip beberapa saja.

"Minimnya akses muatan kebudayaan dalam kegiatan pendidikan tampak dari tidak adanya pilihan dalam pelajaran untuk mengambil mata pelajaran bahasa Batak dan Jawa. Begitu pula dalam ekstrakurikuler untuk menari juga belum disediakan di semua sekolah" (Antara News, 26/10).

"Kemungkinan yang bisa direalisasikan lebih dulu dan bisa terintegrasikan adalah siswa wajib mengunjungi museum," katanya.

Dalam ungkapan ini, kebudayaan sekedar dipahami sebagai proses pembelajaran bahasa, seperti bahasa Batak dan Jawa. Selain itu, kebudayaan juga dipahami sekedar sebagai kegiatan tradisional, seperti menari.

Menurut Wamendikbud Wiendu Nuryanti, pada tahap awal akan dilakukan pengkajian apakah kebudayaan akan masuk dalam pelajaran pilihan atau wajib melalui kegiatan lintas budaya. Selain itu, juga akan dikaji adanya kemungkinan pertukaran dari satu etnik ke etnik lain, dan adanya rancangan bagi siswa wajib mengunjungi museum.

Apa yang bisa ditarik dari pernyataan di atas? Selain pendekatan kebudayaan yang sifatnya konservatif tradisional, diskusi kebudayaan juga mengalami penyempitan pada sekedar pembelajaran dalam sebuah mata pelajaran, apakah itu berupa mata pelajaran wajib atau pilihan. Kebudayaan juga dipahami sekedar sebagai pertukaran antar etnik di Indonesia. Dan yang terakhir, pendekatan kebudayaan yang sifatnya tradisional konservatif tampak dalam keinginan wamenbud untuk mewajibkan siswa mengunjungi museum.

Kreatif dan inovatif

Beberapa indikasi dan pernyataan wamenbud ini memprihatinkan karena kebudayaan dipahami sekedar sebagai sebuah produk dan penghargaan atas tradisi semata. Pendekatan kebudayaan ini sangat kental dengan semangat tradisionalisme dan konservatisme.

Pendekatan kebudayaan yang tradisional dan konservatif tidak akan mampu mempersiapkan generasi muda Indonesia mengarungi ganasnya tantangan zaman ke depan yang cepat berubah dan membutuhkan sikap kreatif dan inovatif terhadap kebudayaan. Kita mesti mempersiapkan generasi muda untuk membangun kebudayaan baru, bukan sekedar menjaga tradisi dan produk lama kebudayaan bangsa.

Sikap kreatif dan inovatif terbentuk dari keinginan untuk mencipta secara baru demi tantangan baru. Sikap ini anti status quo. Sikap inilah yang mestinya dikembangkan dalam rangka pengembangan kebudayaan di Indonesia. Sekali lagi, kebudayaan tetap menjadi kata kunci pembentukan karakter anak bangsa. Namun, kebudayaan mesti dipahami secara lebih aktif, aktual, mencipta, membangun tatanan dan sikap-sikap baru. Sikap konservatif dan tradisionalis tidak akan mampu mengatasi tantangan ke depan yang dinamis dan cepat berubah.

Jakarta, 8 November 2011

lihat juga Rubrik Catatan Pendidikan Doni Koesoema A di www.pendidikankarakter.org

Pendidikan Keagamaan