KOMPAS, Rabu, 14 Maret 2007
Doni Koesoema, A
Gong kematian pendidikan nasional kita telah dibunyikan. Sekolah dan guru tidak lagi percaya dan dipercaya sebagai pendidik dan pengajar siswa. Tugas mereka telah digantikan oleh lembaga bimbingan belajar (bimbel). Guru dan sekolah tak ubahnya tukang kelontong dan toko grosiran yang lagi cuci gudang. Etika profesi pun telah mereka gadaikan demi setumpuk uang!
Silap akan uang, itulah yang membuat sebuah pemerintahan hancur. Intuisi Solon (630-560 SM) juga berlaku bagi dunia pendidikan kita. Jika mereka yang bertanggungjawab dalam mengurus pendidikan di negeri ini silap uang, mulai dari pejabat di tingkat pusat, sampai para guru di tingkat sekolah negeri, kesudahan dunia pendidikan kita sudah berada di depan mata.
Kehadiran lembaga bimbel yang di sekolah-sekolah negeri adalah tanda paling jelas tentang hancurnya moralitas dan matinya etika profesi. Menjadi guru adalah menghayati sebuah profesi. Apa yang membedakan sebuah profesi dengan pekerjaan lain adalah bahwa untuk sampai pada profesi tersebut seseorang berproses lewat belajar.
“Profesi merupakan pekerjaan, dapat juga berwujud sebagai jabatan di dalam suatu hierarki birokrasi, yang menuntut keahlian tertentu serta memiliki etika khusus untuk jabatan tersebut serta pelayanan baku terhadap masyarakat.” (H.A.R.Tilaar,2002,86)
Tanpa etika profesi, lembaga pendidikan hanya akan diisi oleh orang-orang yang bernafsu memuaskan kepentingan diri dan kelompoknya. Tanpa etika profesi, nilai kebebasan dan individu tidak dihargai. Untuk inilah, setiap lembaga pendidikan memerlukan sebuah keyakinan normatif bagi kinerja pendidikan yang sedang diampunya.
Etika profesi dan standard moral mesti dimiliki oleh setiap individu yang terlibat di dalam dunia pendidikan. Ini penting sebab corak relasional antar individu di dalam lembaga pendidikan itu tidak imun dari unsur kekuasaan yang memungkinkan ditindasnya individu yang satu oleh individu lain. Selain itu, etika profesi menjadi pedoman ketika muncul konflik kepentingan agar kepentingan masyarakat umum tetap terjamin melalui pelayanan profesional tersebut. Tanpa etika profesi, lembaga pendidikan berubah menjadi toko grosiran di mana keuntungan dan tumpukan uang menjadi tujuan.
Dalam kenyataan, setiap individu dalam dunia pendidikan terlibat dalam negosiasi dan perjumpaan dengan orang lain, seperti, para guru, karyawan, orang tua, siswa, masyarakat, pegawai pemerintahan, lembaga bimbingan belajar, dll. Peristiwa perjumpaan ini sangatlah rentan dengan konflik kepentingan. Jika konflik kepentingan ini muncul, manakah standard moral dan etika profesi yang dipakai sebagai sarana untuk memecahkan konflik?
Maksim moral Kant
Setiap profesi, apapun jenisnya, termasuk para guru, tidak dapat melepaskan diri dari prinsip moral dasar yang diajukan oleh Immanuel Kant. Maksim moral Immanuel Kant berbunyi demikian, “bertindaklah terhadap kemanusiaan itu sedemikian rupa sehingga engkau memperlakukan pribadi itu sendiri atau yang lain bukan sebagai alat, melainkan sebagai tujuan di dalam diri mereka sendiri.”
Dengan memperlakukan individu atau pribadi dalam kerangka tujuan keberadaan mereka, Kant secara implisit mengakui bahwa setiap individu memiliki nilai-nilai intrinsik. Individu itu bernilai di dalam diri mereka sendiri. Karena itu, setiap penguasaan atau perbuatan yang menundukkan mereka menjadi sarana bagi tujuan pribadi individu merupakan pelanggaran atas norma moral itu.
Kerjasama antara lembaga sekolah dengan lembaga bimbingan belajar menyiratkan adanya konflik kepentingan ini. Demi kepentingan siapa lembaga bimbel itu ada? Siswa, guru dan sekolah, orang tua, atau lembaga bimbel? Mungkin ada yang berpendapat, bahwa yang diuntungkan adalah semua, yaitu, siswa, guru/sekolah, orang tua dan lembaga bimbingan belajar. Siswa dapat semakin percaya diri dalam menghadapi Ujian Nasional (UN). Orang tua merasa nyaman dan aman bahwa anaknya akan siap menghadapi UN dan tes Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri, sekolah untung karena prestasi jadi tinggi, guru untung sebab dapat tambahan uang saku, dan lembaga bimbingan belajar untung karena dapat fulus dari proyek ini. Namun tidak semua berpendapat demikian, sebab tidak semua siswa, guru, dan orang tua diuntungkan!
Kehadiran lembaga bimbel di sekolah merupakan indikasi nyata konflik kepentingan yang mengorbankan kemartabatan guru, memperalat siswa, mengelabui orangtua, dan menipu masyarakat. Maksim moral Kant, mempersyaratkan bahwa dalam setiap hal kita mesti menghormati pribadi atau yang lain sebagai bernilai di dalam dirinya sendiri dan tidak pernah memanfaatkan mereka sebagai alat demi tujuan tertentu (bahkan yang tampaknya baik dan menguntungkan!)
Tugas mendidik dan mengajar siswa merupakan hak istimewa yang menjadi monopoli guru. Ketika tugas ini diserahkan pada lembaga lain yang tidak memiliki monopoli profesi satu pertanyaan muncul. Apa yang telah dilakukan para guru selama ini atas tugasnya dalam mendidik dan mengajar siswa? Keinginan menghadirkan lembaga bimbel di sekolah menjadi tanda bahwa para guru tidak melaksanakan profesinya secara profesional dan total.
Fenomena bimbel di sekolah menunjukkan kenyataan bahwa kepentingan siswa telah diperalat demi kepentingan lain, terutama, demi kepentingan bisnis. Lembaga bimbingan belajar yang datang ke sekolah tidaklah lelahanan (gratis). Mereka dibayar untuk itu, dan demi kepentingan ini, siswa dan orang tua harus membayar mahal. Aturan moral yang berlaku untuk kasus ini adalah jika bimbingan belajar itu diperlukan oleh sekolah demi perbaikan prestasi siswa, sekolah tidak berhak menarik bayaran atas kegiatan tambahan ini. Les tambahan merupakan tanggungjawab sekolah demi kepentingan siswa. Namun, yang gratisan seperti ini tidak ada! Maka sekolah dan guru telah memanipulasi siswa menjadi alat demi kepentingannya sendiri. Guru menarik keuntungan dengan melacurkan martabat profesinya sendiri!
Apa yang harus dilakukan?
Berhadapan dengan situasi ini, apa yang dapat kita lakukan? Pertama, pemerintah dan guru semestinya segera bertindak untuk memulihkan martabat profesional mereka. Praksis kerjasama sekolah dengan lembaga bimbel harus segera dihentikan, kalau perlu sekolah yang melakukan diberi teguran keras, sebab mereka telah melecehkan etika profesi guru yang membuat fungsi mereka tidak dipercaya lagi dalam masyarakat.
Kedua, untuk itu perlu segera dibentuk Dewan Kehormatan Guru agar profesi guru itu tetap terjaga kemartabatannya dan kepentingan masyarakat luas tetap terjamin.
Guru sesungguhnya hanya bisa menjaga kemartabatannya melalui perilaku dan keteladanan hidup mereka. Jika para guru dan pendidik telah menggadaikan etika profesi mereka, tidak ada lagi yang akan dapat mempertahankan kemartabatan dan keluhuran profesi mereka. Sebab, etika profesi itu harta paling berharga yang mereka miliki. Tanpa penghargaan atas etika profesi, guru tak ubahnya pedagang kelontongan dan sekolah berubah jadi toko grosiran. Mereka akan terus menjual kepentingan siswa demi menggelembungkan pundi-pundi pribadi.
Doni Koesoema, A. Penulis adalah mahasiswa jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma.
Doni Koesoema, A
Gong kematian pendidikan nasional kita telah dibunyikan. Sekolah dan guru tidak lagi percaya dan dipercaya sebagai pendidik dan pengajar siswa. Tugas mereka telah digantikan oleh lembaga bimbingan belajar (bimbel). Guru dan sekolah tak ubahnya tukang kelontong dan toko grosiran yang lagi cuci gudang. Etika profesi pun telah mereka gadaikan demi setumpuk uang!
Silap akan uang, itulah yang membuat sebuah pemerintahan hancur. Intuisi Solon (630-560 SM) juga berlaku bagi dunia pendidikan kita. Jika mereka yang bertanggungjawab dalam mengurus pendidikan di negeri ini silap uang, mulai dari pejabat di tingkat pusat, sampai para guru di tingkat sekolah negeri, kesudahan dunia pendidikan kita sudah berada di depan mata.
Kehadiran lembaga bimbel yang di sekolah-sekolah negeri adalah tanda paling jelas tentang hancurnya moralitas dan matinya etika profesi. Menjadi guru adalah menghayati sebuah profesi. Apa yang membedakan sebuah profesi dengan pekerjaan lain adalah bahwa untuk sampai pada profesi tersebut seseorang berproses lewat belajar.
“Profesi merupakan pekerjaan, dapat juga berwujud sebagai jabatan di dalam suatu hierarki birokrasi, yang menuntut keahlian tertentu serta memiliki etika khusus untuk jabatan tersebut serta pelayanan baku terhadap masyarakat.” (H.A.R.Tilaar,2002,86)
Tanpa etika profesi, lembaga pendidikan hanya akan diisi oleh orang-orang yang bernafsu memuaskan kepentingan diri dan kelompoknya. Tanpa etika profesi, nilai kebebasan dan individu tidak dihargai. Untuk inilah, setiap lembaga pendidikan memerlukan sebuah keyakinan normatif bagi kinerja pendidikan yang sedang diampunya.
Etika profesi dan standard moral mesti dimiliki oleh setiap individu yang terlibat di dalam dunia pendidikan. Ini penting sebab corak relasional antar individu di dalam lembaga pendidikan itu tidak imun dari unsur kekuasaan yang memungkinkan ditindasnya individu yang satu oleh individu lain. Selain itu, etika profesi menjadi pedoman ketika muncul konflik kepentingan agar kepentingan masyarakat umum tetap terjamin melalui pelayanan profesional tersebut. Tanpa etika profesi, lembaga pendidikan berubah menjadi toko grosiran di mana keuntungan dan tumpukan uang menjadi tujuan.
Dalam kenyataan, setiap individu dalam dunia pendidikan terlibat dalam negosiasi dan perjumpaan dengan orang lain, seperti, para guru, karyawan, orang tua, siswa, masyarakat, pegawai pemerintahan, lembaga bimbingan belajar, dll. Peristiwa perjumpaan ini sangatlah rentan dengan konflik kepentingan. Jika konflik kepentingan ini muncul, manakah standard moral dan etika profesi yang dipakai sebagai sarana untuk memecahkan konflik?
Maksim moral Kant
Setiap profesi, apapun jenisnya, termasuk para guru, tidak dapat melepaskan diri dari prinsip moral dasar yang diajukan oleh Immanuel Kant. Maksim moral Immanuel Kant berbunyi demikian, “bertindaklah terhadap kemanusiaan itu sedemikian rupa sehingga engkau memperlakukan pribadi itu sendiri atau yang lain bukan sebagai alat, melainkan sebagai tujuan di dalam diri mereka sendiri.”
Dengan memperlakukan individu atau pribadi dalam kerangka tujuan keberadaan mereka, Kant secara implisit mengakui bahwa setiap individu memiliki nilai-nilai intrinsik. Individu itu bernilai di dalam diri mereka sendiri. Karena itu, setiap penguasaan atau perbuatan yang menundukkan mereka menjadi sarana bagi tujuan pribadi individu merupakan pelanggaran atas norma moral itu.
Kerjasama antara lembaga sekolah dengan lembaga bimbingan belajar menyiratkan adanya konflik kepentingan ini. Demi kepentingan siapa lembaga bimbel itu ada? Siswa, guru dan sekolah, orang tua, atau lembaga bimbel? Mungkin ada yang berpendapat, bahwa yang diuntungkan adalah semua, yaitu, siswa, guru/sekolah, orang tua dan lembaga bimbingan belajar. Siswa dapat semakin percaya diri dalam menghadapi Ujian Nasional (UN). Orang tua merasa nyaman dan aman bahwa anaknya akan siap menghadapi UN dan tes Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri, sekolah untung karena prestasi jadi tinggi, guru untung sebab dapat tambahan uang saku, dan lembaga bimbingan belajar untung karena dapat fulus dari proyek ini. Namun tidak semua berpendapat demikian, sebab tidak semua siswa, guru, dan orang tua diuntungkan!
Kehadiran lembaga bimbel di sekolah merupakan indikasi nyata konflik kepentingan yang mengorbankan kemartabatan guru, memperalat siswa, mengelabui orangtua, dan menipu masyarakat. Maksim moral Kant, mempersyaratkan bahwa dalam setiap hal kita mesti menghormati pribadi atau yang lain sebagai bernilai di dalam dirinya sendiri dan tidak pernah memanfaatkan mereka sebagai alat demi tujuan tertentu (bahkan yang tampaknya baik dan menguntungkan!)
Tugas mendidik dan mengajar siswa merupakan hak istimewa yang menjadi monopoli guru. Ketika tugas ini diserahkan pada lembaga lain yang tidak memiliki monopoli profesi satu pertanyaan muncul. Apa yang telah dilakukan para guru selama ini atas tugasnya dalam mendidik dan mengajar siswa? Keinginan menghadirkan lembaga bimbel di sekolah menjadi tanda bahwa para guru tidak melaksanakan profesinya secara profesional dan total.
Fenomena bimbel di sekolah menunjukkan kenyataan bahwa kepentingan siswa telah diperalat demi kepentingan lain, terutama, demi kepentingan bisnis. Lembaga bimbingan belajar yang datang ke sekolah tidaklah lelahanan (gratis). Mereka dibayar untuk itu, dan demi kepentingan ini, siswa dan orang tua harus membayar mahal. Aturan moral yang berlaku untuk kasus ini adalah jika bimbingan belajar itu diperlukan oleh sekolah demi perbaikan prestasi siswa, sekolah tidak berhak menarik bayaran atas kegiatan tambahan ini. Les tambahan merupakan tanggungjawab sekolah demi kepentingan siswa. Namun, yang gratisan seperti ini tidak ada! Maka sekolah dan guru telah memanipulasi siswa menjadi alat demi kepentingannya sendiri. Guru menarik keuntungan dengan melacurkan martabat profesinya sendiri!
Apa yang harus dilakukan?
Berhadapan dengan situasi ini, apa yang dapat kita lakukan? Pertama, pemerintah dan guru semestinya segera bertindak untuk memulihkan martabat profesional mereka. Praksis kerjasama sekolah dengan lembaga bimbel harus segera dihentikan, kalau perlu sekolah yang melakukan diberi teguran keras, sebab mereka telah melecehkan etika profesi guru yang membuat fungsi mereka tidak dipercaya lagi dalam masyarakat.
Kedua, untuk itu perlu segera dibentuk Dewan Kehormatan Guru agar profesi guru itu tetap terjaga kemartabatannya dan kepentingan masyarakat luas tetap terjamin.
Guru sesungguhnya hanya bisa menjaga kemartabatannya melalui perilaku dan keteladanan hidup mereka. Jika para guru dan pendidik telah menggadaikan etika profesi mereka, tidak ada lagi yang akan dapat mempertahankan kemartabatan dan keluhuran profesi mereka. Sebab, etika profesi itu harta paling berharga yang mereka miliki. Tanpa penghargaan atas etika profesi, guru tak ubahnya pedagang kelontongan dan sekolah berubah jadi toko grosiran. Mereka akan terus menjual kepentingan siswa demi menggelembungkan pundi-pundi pribadi.
Doni Koesoema, A. Penulis adalah mahasiswa jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma.