Thursday, 24 September 2009

Otonomi (Pungutan) Pendidikan

Doni Koesoema, A

Kesewenang-wenangan sekolah dalam menarik dana pendidikan dari masyarakat sudah berada pada taraf yang mengkhawatirkan. Banyak orang tua mengeluhkan, misalnya, besarnya biaya yang harus dibayar untuk Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI).

Otonomi pendidikan oleh insan pendidikan tampaknya baru dipahami sekedar sebagai sebuah otonomi untuk memungut dana dari orang tua. Tapi apa daya orang tua? Mereka tidak bisa marah sebab anak mesti sekolah. Mereka pasrah meski telah dijadikan sapi perah! Siswa dari keluarga miskin akhirnya hengkang dari sekolah. Mereka tak dapat membayar uang sekolah.

Menarik dana pendidikan dari masyarakat memang merupakan sesuatu yang wajar, terlebih bagi sekolah-sekolah swasta yang hidup matinya banyak tergantung dari dana yang diperolehnya dari masyarakat. Namun proses ini menjadi tidak wajar ketika lembaga pendidikan memanfaatkan posisi lemah kekuatan tawar menawar orang tua terhadap kebijakan sekolah. Ada ketidakberesan dalam komunikasi pendidikan dan cara memahami otonomi sekolah. Alih-alih memosisikan orang tua sebagai partner malah menjadikannya ‘sapi perah’!

Orang tua dalam kerangka pendidikan masih dipahami sekedar sebagai institusi legal yang hanya bertanggungjawab bagi proses pendidikan anak-anak mereka secara ekonomis. Di luar itu, peran serta orang tua nol.

Otonomi pendidikan yang berubah wajah menjadi otonomi pungutan pendidikan melahirkan ketimpangan, menyuburkan ketidakadilan dan mengerdilkan solidaritas. Elitisme sekolah menyingkirkan keluarga miskin dari sekolah. Yang kaya semakin berjaya. Yang miskin semakin tak berdaya.

Ketidakadilan dalam memperoleh akses pendidikan bagi kalangan miskin menjadi semakin besar ketika jumlah kursi sekolah yang ada ternyata lebih kecil dibandingkan para lulusan yang semestinya melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Akibatnya, sekolah (negri dan swasta) semakin berlomba menarik dana dari orang tua dengan memanfaatkan rasa khawatir atas terbatasnya jumlah sekolah yang ada.

Situasi pendidikan seperti ini sangat kontraproduktif dengan usaha-usaha untuk konsolidasi demokrasi. Tanpa adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga untuk mengenyam pendidikan, di mana negara semestinya menjamin hak-hak dasar ini, sekolah kita menjadi semakin elitis dan antidemokrasi. Sebab bukannya persamaan yang kita perjuangkan, melainkan diseminasi perbedaan dan ketimpangan.

Usaha untuk konsolidasi demokrasi hanya bisa mungkin dimulai dengan menciptakan sebuah sekolah yang sungguh memiliki otonomi.

Dua sasaran

Sekolah yang memiliki visi otonomi dalam masyarakat demokratis semestinya mengarahkan diri pada dua sasaran yang semestinya berjalan secara seimbang.

Pertama, otonomi pendidikan semestinya memusatkan kinerja dan perhatiannya terutama pada dan bagi anak didik. Instansi yang terlibat dalam kerangka pendidikan, seperti, sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat, merupakan sebuah jaringan demi tujuan formasi anak didik. Karena itu, program pendidikan yang diusulkan, sistem kurikulum yang ditawarkan, penganggaran pendapatan dan belanja sekolah semestinya diarahkan pada satu tujuan bersama yaitu proses pembentukan (formasi) anak didik.

Otonomi pendidikan baru akan memiliki arti ketika anak didik mampu bertumbuh, berkembang dan menyempurnakan diri melalui akuisisi pengetahuan, pembiasaan perilaku baik, pemahaman nilai, pembentukan karakter, yang disertai dengan rasa solidaritas dan kebebasan yang bertanggungjawab, bagi perkembangan diri sendiri maupun bagi kebaikan orang lain. Hanya melalui visi ini, otonomi pendidikan mampu menciptakan suasana demokratis yang membantu melahirkan warga negara yang terbuka dan mampu bekerja sama demi kebaikan bersama.

Kedua, otonomi sekolah merupakan sebuah sintesis antara kebijakan makro (visi dan kebijakan Menteri Pendidikan tentang Tujuan pendidikan nasional dan perangkat praktis ke arah sana), dan kebijakan mikro (sistem organisasi sekolah, pengayaan kurikulum, tanggungjawab sekolah atas program formasi, dll). Dalam level mikro inilah orang tua sungguh-sungguh dilibatkan dalam proses formasi anak didik dengan memberikan masukan, usulan dalam program kurikuler yang dipilih dan ditawarkan oleh sekolah. Orang tua semestinya menjadi partner dalam proses formasi anak didik. Di sini komunikasi pendidikan dan transparansi dijiwai dengan semangat demokratis, keterbukaan, disertai dengan kepekaan akan kebutuhan masyarakat lokal.

Komunikasi pendidikan yang memperhatikan berbagai dimensi relasional antara pihak-pihak yang terkait dengan proses formasi (orang tua, pendidik, sekolah, masyarakat, dll) merupakan jalinan relasional kompleks yang saling menghargai otonomi serta peran serta masing-masing dalam kerangka pendidikan.

Karena itu, otonomi pendidikan tidak sekedar dipahami dari kacamata ekonomis yang menjadikan orang tua, dalam relasinya dengan lembaga pendidikan sekedar sebagi obyek penarikan dana, melainkan juga melibatkan dimensi partisipatif (kesinambungan pendampingan orang tua pada anak didik pasca-sekolah), komunikatif (sistem kontrol dan propositif atas transparansi keuangan dan perencanaan program formatif sekolah), konsiliatif (keterbukaan untuk menerima masukan dari masyarakat berkaitan dengan program pendidikan yang ditawarkan).

Sekolah yang memiliki otonomi, jika dipahami lewat kaca mata seperti ini akan menjadi pembaharu dalam arti yang sesungguhnya, dan menghilangkan tiga jenis penyakit pendidikan yang muncul dalam konteks pendidikan terpusat (sentralistis), seperti, inefisiensi (buang banyak uang dan tidak produktif), kemandulan produksi (dalam arti menjadi mesin yang memproduksi kekosongan, menghasilkan pemahaman pengetahuan yang tidak mendalam, pemborosan otak anak didik), serta anti demokrasi (tidak adanya kesempatan menerima pendidikan yang sama, drop out karena miskin, konsep tentang anak didik yang abstrak dan jauh dari lingkungan).

Otonomi pendidikan jika dipahami secara sempit sekedar sebagai sebuah otonomi (=kesewenangan) dalam menarik dana dari masyarakat pada gilirannya akan menjadi bumerang bagi dunia pendidikan itu sendiri.

Mengingat nilai-nilai demokrasi yang dipertaruhkan, dalam sistem pendidikan yang elitis dan sektarian seperti ini, pemerintah perlu mengusahakan dijaminnya hak-hak kaum miskin untuk tetap dapat mengenyam pendidikan yang dalam sistem pendidikan sekarang ini semakin tersingkirkan dari dunia pendidikan.

Mengharapkan anak didik untuk menjadi ‘aktor’ dalam lingkup budaya yang dihidupinya, memimpikan otonomi pendidikan yang memiliki jiwa demokratis kiranya sebuah usaha yang tak pernah boleh berhenti kita usahakan.

Doni Koesoema, A Penulis adalah mahasiswa jurusan ilmu pendidikan dan pengembangan profesional Universitas Salesian, Roma.

Pendidikan Keagamaan