Oleh Doni Koesoema, A
Terorisme di Indonesia pada kenyataannya bukan merupakan karakter bangsa Indonesia melainkan lebih merupakan konflik politik dan ekonomi yang mempergunakan agama dan memanfaatkan orang-orang beriman. Analisis K.H. Hasyim Muzadi dalam seminar Islam in a pluralistic Society, yang diadakan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Tahta Suci Vatikan (KBRI-TSV) di auditorium Yohanes Paulus II, Universitas Kepausan Urbaniana, Roma,(30/9), mengingatkan kita betapa kecerobohan dalam menggeneralisir akar permasalahan terorisme bisa berakibat fatal dalam kerangka membangun dialog persaudaraan antar umat beriman, terlebih lagi dalam menakar kesejatian pengalaman iman.
K.H.Hasyim Muzadi juga menegaskan bahwa persentase kelompok teroris dibandingkan dengan umat beriman yang memiliki kehendak baik untuk membangun persaudaraan sejati sangatlah kecil. Demikian juga Rm. Thomas Michel sebagai anggota dewan penasehat kepausan untuk urusan dialog antar agama, misalnya, memaparkan bahwa sejak reformasi 1998 telah hadir sekitar 465 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), baik lokal maupun internasional yang bekerja dalam membangun perdamaian di daerah konflik (peacebuilding Ngo’s) yang memiliki ciri lintas agama.
Karena itu, konflik yang menciptakan teror yang bermula dari sikap salah interpretasi, baik atas ajaran agama maupun simbol agama, merupakan bagian yang kecil saja yang kadang tidak selalu menghadirkan teror. Namun yang signifikan, ujar K.H. Hasyim Muzadi, adalah ketika salah tafsir dan penyalahgunaan agama dan simbol agama ini berbenturan dengan kepentingan politik, ketidakadilan, rendahnya mutu pendidikan, kemiskinan dan ketidakadilan ekonomi.
Selama para politisi masih berkelahi untuk mempertahankan kekuasaannya, alih-alih mempergunakan kewenangan untuk melayani rakyat, selama keadilan tak dapat ditemukan di pengadilan, selama dunia pendidikan ditelantarkan, negeri kita akan menjadi sekam membara yang mudah disulut kelompok teroris untuk menghanguskan keberadaban negeri ini.
Bom bunuh diri jilid II di Bali mengingatkan kita betapa ternyata pedagogi rohani yang keliru dalam memaknai kemartiran bisa berakibat fatal bagi keberlangsungan hidup manusia. Dalam sebuah negara yang sistem keamanannya masih kedodoran seperti di negeri kita, di mana di setiap tempat para teroris bisa berpesta pora dan melakukan aksinya tanpa perlu melukai diri sendiri, di mana kaum teroris dengan mudah melancarkan aksinya tanpa halangan ketatnya penjagaan petugas keamanan, bom bunuh diri di Bali hanya menyiratkan satu pesan : keyakinan iman akan kemartiran itu telah ada pada level personal yang tak bisa dibendung oleh satu instansi manapun! Membunuh semakin banyak orang seolah sebuah keyakinan integral akan keselamatan. Seolah ingin mengatakan bahwa baik pengebom maupun korban adalah jiwa-jiwa yang mati syahid, sehingga layak langsung menerima mahkota surgawi. Betapa ironisnya pedagogi kerohanian seperti ini.
Pedagogi rohani
Pedagogi macam apa yang bisa diwariskan dan ditanamkan pada anak didik kita dalam situasi seperti ini?
Dalam masyarakat yang mengakui keesaan Tuhan sebagai sang sumber hidup, anak didik semestinya belajar memahami bahwa kemartiran sesungguhnya merupakan ekpresi terdalam sebuah keyakinan iman yang fondasi utamanya adalah penghargaan atas hidup itu sendiri. Kemartiran sejati bukanlah bom bunuh diri yang mengajak orang lain mati suci, seolah diri adalah Tuhan, sang penentu hidup mati orang lain. Kemartiran sejati adalah kesediaan untuk memberikan diri secara total bagi berlangsungnya kehidupan orang lain secara pribadi maupun sebagai sebuah masyarakat.
Kemartiran Riyanto, pemuda NU yang menyelamatkan umat kristen yang sedang beribadah, kemartiran Romo Dewanto yang melindungi jemaat di Gereja Suai, Timor-Timur, kemartiran Munir sang pembela orang-orang hilang, dll, merupakan contoh kemartiran lokal yang sesungguhnya menjadi saksi bahwa kemartiran otentik seperti ini dapat terwujud di negeri kita dan bukanlah impian semata. Teladan kemartiran seperti ini bukanlah sebuah ide di atas awang-awang yang tidak memiliki relevansi dan dampak berhadapan dengan berbagai macam krisis multi dimensi yang dihadapi oleh bangsa kita.
Bagi sebuah masyarakat yang semakin beradap, memupuk sebuah keyakinan dalam diri setiap anak didik bahwa nilai-nilai luhur religiusitas, seperti pengorbanan diri, jerih payah dan pelayanan total demi kepentingan orang banyak, kejujuran, belaskasih, pengampunan, merupakan bagian dari keluhuran nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya masih ada, masih relevan, dan masih dapat diraih dalam menciptakan sebuah masyarakat yang semakin menghargai kemartabatan setiap orang sebagai sesama ciptaan Tuhan.
Pembela kehidupan
Tepatlah, jika K.H. Hasyim Muzadi mengatakan bahwa terorisme bukanlah karakter bangsa kita. Jika terorisme akhir-akhir ini mencoreng muka kita sehingga kita menjadi bangsa yang tidak memiliki kepribadian, atau malahan dicap sebagai bangsa yang menyemai teroris, mungkin baik jika kita kembali bercermin pada para pahlawan kemanusiaan, para martir kita seperti Riyanto, Romo Dewanto, Munir, dan masih banyak lagi yang menjalani kemartiran tersembunyi yang tak perlu secara gegap gempita dirayakan sebab hidup manusia itu sendiri akan menjadi saksi paling jujur atas kesahihan kemartiran seseorang.
Teladan para pembela hidup dan kemartabatan manusia ini semestinya menjadi pedagogi rohani bagi setiap orang dalam memurnikan keaslian pengalaman imannya dalam masyarakat yang mengakui keesaan Tuhan, di mana keadilan dan keberadaban manusia merupakan jaminan nyata dan bukti dihargainya keluhuran hidup manusia itu sendiri di hadapan Tuhan dan sesama. Semoga!
Doni Koesoema, A. Penulis adalah mahasiswa jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma.