Doni Koesoema A
“Gereja, lembaga karismatis per eccellenza, mengadopsi metode yang lebih demokratis untuk memilih pemimpinnya.” Demikian salah satu komentar yang dikutip dari harian Avenire (17/4) untuk memaparkan salah satu fakta paling menonjol dalam konklaf pertama di millenium ketiga.
Masuknya ide-ide demokratis yang ditetapkan secara transparan melalui Konstitusi Apostolis Universi Dominici Gregis (UDG) (22 februari 1996) ini tak lepas dari sentuhan tangan almarhum Paus Yohanes Paulus II yang telah memperbaharui proses dan prosedur pemilihan penggantinya secara jelas.
Pada artikel no.62, almarhum Yohanes Paulus II menghapus cara pemilihan secara aklamasi atau berdasarkan inspirasi (per acclamationem seu inspirationem) atau proses pemilihan berdasarkan kompromi (per compromissum). Ia menegaskan bahwa “Proses pemilihan Paus sekarang ini dan kemudian hari akan ditentukan secara unik melalui pemungutan suara (per scrutinium)” di mana keabsahan pemilihan Paus akan ditentukan melalui terpenuhinya dua pertiga suara berdasarkan jumlah (kardinal) pemilih yang hadir.
Memperoleh 2/3 suara dari 115 kardinal tanpa melalui saat-saat kampanye tentu pekerjaan yang tidak mudah. Terlebih dengan adanya kebijakan isolasi total para kardinal selama konklaf sehingga mereka tidak memiliki satu kontakpun dengan dunia luar, baik melalui koran, televisi, radio, dan alat komunikasi lainnya sampai mereka memilih penerus tahta Santo Petrus yang ke 265.
Di tengah terabasan simoni (politik uang), di tengah hamburan janji palsu yang kerap keluar dari mulut para kandidat politik menjelang pemilihan, Gereja Katolik, menawarkan kepada dunia suatu alternatif demokrasi melalui struktur dan sistem kelembagaan yang dimilikinya selama hampir 20 abad yang terbukti bisa proaktif dan sigap dalam menyesuaikan derap dan arus jaman.
Pemilihan pemimpin yang demokratis tidak lagi ditentukan bukan melalui aklamasi sehingga siapa yang bersuara keras mampu menggiring suara mayoritas. Juga tidak melalui intuisi di mana model ‘kira-kira’ atau ‘senang tidak senang’ menjadi bahan pertimbangan. Bukan pula berdasarkan kompromi atau bagi-bagi kue kekuasaan. Demokrasi model inilah yang ingin disingkirkan Almarhum Paus Yohanes Paulus II dalam proses pemilihan penggantinya.
Demokrasi yang ada dalam benak Yohanes Paulus II merupakan penggabungan antara pilihan rasional real seluruh pemilih dan pilihan spiritual personal berdasarkan intuisi hati serta kesadaran nurani bening. Hanya dengan cara seperti inilah proses demokrasi selama konklaf mampu memilih pemimpin yang berjiwa melayani, tanggap akan situasi jaman, kokoh di tengah badai persoalan di setiap jaman.
Strategi vatikan
Untuk menghasilkan output pemimpin ideal Vatikan memiliki strategi demokrasi yang agak khas. Strategi ini merupakan proses-proses dan tata cara yang menghantar setiap kandidat berada dalam situasi fisik, batin dan rohani yang dewasa dalam melakukan pemilihan.
Strategi itu antara lain. Pertama, kegiatan selama masa berkabung. Pada masa ini para kandidat memiliki kesempatan untuk secara bersama-sama mendiskusikan situasi aktual Gereja serta tantangannya pada masa kini, tanpa satupun mengacu pada nama-nama. Ini sekaligus untuk memperkuat sensibilitas kegembalaan universal yang mesti disandang dengan wafatnya Paus sebelumnya.
Kedua, kerahasiaan dalam seluruh proses. Setiap pihak yang terlibat dalam proses konklaf, entah secara langsung maupun tidak langsung dituntut untuk mengucapkan janji dan sumpah untuk tidak membocorkan berbagai macam informasi yang diterima sebelum maupun selama proses konklaf berlangsung.
Ketiga, setiap tindakan pembocoran atas rahasia, penyadapan, usaha suap, dikenakan hukuman ekskomunikasi secara otomatis (latae sententiae) di mana hukuman atau pelepasan atasnya hanya dapat diberikan oleh Paus yang akan terpilih.
Keempat, iklim spiritual yang mendukung berupa perayaan ritus peribadatan selama konklaf. Iklim spiritual sudah dimulai pada hari pertama masa berkabung yang diawali dengan perayaan ekaristi pemakaman Paus. Selam konklaf juga disediakan Imam yang menerima pengakuan dari para kardinal yang akan memilih Paus.
Kelima, kebijakan extra omnes. Pada hari pertama kardinal memasuki Kapel Sistina untuk memulai proses pemilihan, diserukan agar semua hal lain yang tidak ada kepentingan dengan proses konklaf ditinggalkan, termasuk pamrih, kepentingan, dan agenda pribadi. Extra omnes ini ditandai dengan isolasi total komunikasi antara cardinal pemilih dengan dunia luar.
Karena itu, selama proses pemilihan para kardinal tidak diperkenankan berhubungan dengan dunia luar, selain berkanjang dalam doa untuk memilih Paus yang dikehendaki Allah bagi penggembalaan Gereja Universal. Tidak ada kontak telpon, koran, radio, televisi, dan bahkan tempat sekitar kapel Sistina telah diblokir sehingga telpon genggam tidak berfungsi.
Strategi inilah yang membuat proses demokratisasi pemilihan Paus menjadi begitu istimewa. Karena itu, model pemilihan pemimpin seperti ini bisa dijadikan alternatif model pemilihan secara demokrasi. Sebuah proses demokrasi yang tidak sekedar mempersyaratkan kejernihan moral para calon pemimpin, lebih dari itu, keyakinan iman bahwa panggilan menjadi pemimpin tak lain adalah sebuah pelayanan bagi kemanusiaan yang dipercayakan Tuhan kepadanya.
Fenomena dan praksis demokrasi seperti ini bukan sekedar menjadi bukti bahwa Gereja merupakan sebuah lembaga kharismatis per eccellenza yang tidak sekedar latah dalam memaknai praksis demokrasi, melainkan sebuah komunitas yang para petingginya peka dalam membaca tanda-tanda jaman, yang di lubuk hati dan jiwanya selalu bergema seruan bahwa kekuasaan itu bukan untuk kesewenangan, melainkan demi kemaslahatan kemanusiaan.
Doni Koesoema, A penulis adalah mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma.