Saturday, 15 September 2007

Pendidikan dalam Perjumpaan

Oleh. Doni Koesoema A.

“Tidak, ia tidak akan pernah kembali lagi,” ujar seorang baby-sitter pada si buyung dalam gendongannya. Setiap kali si buyung mengenang ibunya kalimat yang keluar dari bibir baby-sitter itu seperti terdengar kembali. Itulah memori yang membekas kuat dalam benak Martin Buber (1878-1965) ketika sebagai bocah berusia 3 tahun ditinggal pergi oleh ibunya. Berlalu lebih dari sepuluh tahun ia baru memahami arti pengalamannya itu. Buber memahami sebuah realitas yang disebutnya sebagai ‘kegagalan perjumpaan nyata antarpribadi’ (Vergegnung). Dalam terang pengalamannya inilah Buber lantas mendefinisikan pendidikan sebagai “sebuah keputusan dari seorang pribadi untuk bertindak dalam relasinya dengan pribadi yang lain di dunia”(Friedman, M.1976:3). Pedagoginya sering disebut dengan pendidikan dalam perjumpaan.

Tiga relasi

Perjumpaan nyata antarpribadi adalah ciri hakiki sebuah pendidikan. Definisi Buber tentang pendidikan membawa kita menyadari tiga unsur penting yang inheren dalam proses pendidikan, yaitu, aku, kamu (baca, orang lain) dan dunia. Pendidikan memiliki misi mengarahkan keputusan setiap pribadi dalam kerangka kehadiran orang lain dalam sebuah ruang dan waktu tertentu. Karena itu, pendidikan sesungguhnya merupakan sebuah relasi personal yang mendalam antarpribadi, bukan sekedar relasi fungsional pendidik (educator) dan murid (educando). Relasi ini terjadi dalam sebuah ruang publik seperti sekolah, masyarakat, bangsa, negara atau dunia. Ruang publik ini menjadi tempat berjumpa dalam rangka belajar bersama (locus educationis) dalam setiap tindakan pendidikan.

Kualitas sebuah pendidikan bisa dilihat bagaimana berbagai macam relasi dapat terbentuk dalam ruang-ruang yang menjadi locus educationis tersebut. Jika relasi pembelajaran hanya berfungsi secara teknis, maka guru hanya memandang murid sebagai semacam gelas kosong yang mesti diisi dengan berbagai macam ilmu. Jika relasi itu melibatkan unsur kekuasaan, entah kekuasaan yang dimiliki karena sebuah jabatan, misalnya, sebagai guru, kepala sekolah atau penilik sekolah, maka relasi yang terjadi akan makin koruptif-manipulatif. Guru menjual nilai, kepala sekolah dan staff sekolah memanipulasi anggaran sekolah berupa angka-angka fiktif manipulatif, penilik sekolah memanfaatkan kekuasaannya untuk memeras sekolah-sekolah elit berduit, dll. Siswapun tak kalah pintar. Jika mereka punya uang, guru dan nilai bisa dibeli sekaligus. Ebtanas tak jadi masalah sebab bisa beli bocoran soal.

Selain itu dampak sosial sebuah pendidikan yang gagal memaknai peranan penting perjumpaan antarpribadi bisa terlihat dalam meningkatnya berbagai macam tindak kekerasan yang cenderung melecehkan martabat satu sama lain. Tawuran pelajar, perkelahian mahasiswa, bahkan tawuran antar kampung merupakan manifestasi kegagalan sebuah perjumpaan yang dialami dalam hidup seseorang. Jika pendidikan tidak mempersiapkan setiap pribadi yang terlibat di dalamnya untuk dapat menghargai pribadi lain maka berbagai macam konflik antar pribadi dan golongan bisa makin subur.

Dalam sebuah masyarakat multi-kultural, multi-religius, multi-etnis, seperti Indonesia pendidikan yang mengarahkan setiap pribadi agar dapat memaknai setiap perjumpaan mereka dengan orang lain merupakan kemendesakan yang tak dapat ditawar. Kegagalan memahami kehadiran orang lain sebagai pribadi yang berharga bagi diri setiap orang akan berdampak mengerikan. Jika sampai pada taraf massif bisa terjadi tindakan kekerasan dalam level horisontal fatal, seperti, genocide (karena tak bisa menghargai perbedaan etnis atau suku), bisa juga terwujud dalam tindakan diskriminatif rasial (hilangnya perlindungan atas hak-hak kaum minoritas karena tekanan mayoritas), atau bisa terwujud dalam pembasmian religius yang bermotifkan fundamentalisme agama.

Dunia berubah

Bagaimana seseorang berelasi satu dengan yang lain tidaklah sama dari waktu ke waktu. Tempora mutantur, et nos mutamur in illis. Waktu berubah dan kitapun ikut berubah karenanya. Pepatah ini ingin mengatakan bahwa tata cara kita memandang ruang di mana kita hidup berubah. Waktu tentu akan tetap sama. Satu hari akan selalu terdiri dari 24 jam. Namun, lebih dari masa lalu perubahan mendasar yang kita alami adalah cara pandang kita terhadap ruang.

Kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi memperpendek bahkan menghilangkan batas-batas fisik-spasial. Hadirnya komputer, maraknya sistem komunikasi multi-media lewat internet (chating, email, dll) semakin memperpendek jarak spasial yang ada. Perubahan cara pandang terhadap ruang melalui bahasa teknologi ini mempengaruhi salah satu proses dalam pendidikan yaitu transfer ilmu. Perubahan radikal pada proses transfer ilmu ini memiliki signifikasi tidak kecil bagi sebuah pedagogi pendidikan yang memberi penekanan pada unsur perjumpaan.

Menurut Jean-François Lyotard dalam The postmodern Candition: A report on Knowledge, dalam masyarakat yang terkomputerisasi, ilmu pengetahuan akan semakin valid dan terdiseminasi dengan subur jika bisa terkodifikasi dalam bahasa komputer yang bisa diakses oleh siapa saja. Monopoli ilmu adalah ilusi masa lalu. Bank data merupakan ensiklopedi masa depan. Mereka mengatasi kapasitas setiap pengguna (user). Bank data merupakan sebuah ‘kodrat’ bagi manusia pos-modern. Dengan kata lain, yang terkena sasaran langsung adalah peranan pendidik sebagai medium dalam proses pembelajaran. Sejauh proses pembelajaran dapat diterjemahkan dalam bahasa komputer, peranan tradisional guru bisa tergantikan oleh memori bank data. Proses didaktis bisa tergantikan oleh mesin yang menjembatani memori bank tradisional (perpustakaan) dengan memori bank modern (komputer) sesuai dengan kebutuhan siswa.

Proses alihfungsi parsial peran guru pada mesin sepertinya merupakan pelecehan terhadap kemanusiaan. Namun seperti disinyalir oleh Lyotard, proses didaktis tidaklah sekedar transformasi informasi, atau sekedar kepemilikan kompetensi (memiliki memori yang baik atau kemudahan akses pada komputer). Yang paling penting dalam proses didaktis modern adalah “kemampuan untuk mengaktualisasikan data-data yang relevan untuk memecahkan persoalan ‘saat ini-di sini’ dan kapasitas mengorganisasikan data-data ke dalam sebuah langkah strategis yang efisien.” (J.F.Lyotard,op.cit,51). Dalam kerangka ini guru bisa menemukan pintu masuk dalam berdialog dengan dunia.

Dalam masyarakat pos-modern ilmu telah terpublikasi secara penuh sehingga tak ada lagi monopoli ilmu. Data-data secara prinsip dapat diakses oleh siapa saja. tidak ada ada rahasia sains. Lyotard menyebut situasi ini sebagai sebuah permainan informasi sempurna (a game of perfect information). Dalam konteks ini salah satu keunggulan setiap proses belajar adalah kapasitas dalam menggabungkan berbagai macam data yang sepertinya terpisah itu ke dalam suatu wajah pengetahuan yang memiliki fungsi praktis dalam memecahkan persoalan konkret. Metode pembelajaran lintas ilmu (inter disciplinary studies) merupakan konsekuensi logis situasi ini. Siswa tidak bisa belajar secara sendiri. Ia membutuhkah partner jika ingin menjadi makin matang dan dewasa dalam proses pendidikan. Maka kehadiran orang lain dalam proses belajar menjadi penting.

Apa yang direfleksikan oleh Martin Buber tentang pentingnya perjumpaan antar pribadi menjadi sangat penting dan relevan. Masyarakat pos-modern menekankan pentingnya sebuah dialog terbuka satu dengan yang lain. Kehadiran pribadi lain menjadi bermakna ketika diletakkan dalam kerangka proses transformasi masyarakat sebab pendidikan pada hakekatnya merupakan cara berelasi antar pribadi satu sama lain dalam kerangka memecahkan masalah-masalah konkret yang mereka hadapi.

Menjadi guru di dalam masyarakat pos-modern akhirnya merupakan kinerja seni. Ia seperti seorang pelukis yang mengajak muridnya membuat sebuah lukisan secara bersama-sama. Dalam kerangka ini, pedagogi pendidikan dalam perjumpaan seperti direfleksikan oleh Martin Buber merupakan perwujudan emansipasi kemanusiaan kerangka transformasi masyarakat untuk mencari jalan-jalan alternatif terbaik bagi berlangsungnya kehidupan.

Kepada para pendidik tradisional yang masih merasa diri sebagai pemilik ilmu, kepada para pendidik yang masih yakin bahwa dirinya adalah satu-satunya protagonista dalam proses pendidikan, juga kepada para murid yang merasa bisa melangkah sendiri dalam mencari ilmu, yang mengabaikan kehadiran guru dan temannya sendiri, mungkin baik juga mengenang ingatan Martin Buber akan ibunya dan mengatakan kepada mereka, “tidak, ia tidak akan pernah kembali lagi.” Orang-orang seperti itu memang tidak pernah boleh kembali lagi dalam proses pendidikan kita yang ingin memaknai setiap perjumpaan dan pertemuan dengan yang lain dalam membangun tatanan dunia baru yang lebih manusiawi dan layak huni.

Doni Koesoema A. mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma.

Artikel dimuat di KOMPAS, 16 Januari 2004

Pendidikan Keagamaan