Oleh. Doni Koesoema, A
Niccolò Macchiavelli (1469-1527) mengkritik kacau balaunya situasi politik di Florence dengan merujuk pada gejala amnesia historis atas sistem pendidikan Romana Antica. “Kita cenderung mengagumi masa lalu daripada mencontohnya,” tulisnya dalam Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio (Milano,1984). Kebencian dan ambisi politik di banyak provinsi dan kota-kota kristiani bukanlah alasan mengapa situasi politik di Florence begitu kacau. Kekacauan terjadi karena kurangnya “pengenalan sejati akan sejarah dan mencecap nilai intrinsik yang ada.” Singkatnya, belajar dari sejarah adalah awal dari reformasi politik. Belajar pada pendidikan Romana Antica berarti memberi prioritas pendidikan keluarga.
Pedagogi pendidikan romawi kuno bergerak dari ranah privat (keluarga) menuju ranah publik (kesejahteraan rakyat). Visi pendidikan ini kental dengan ideal moral ciceronis, “Salus publica suprema lex”(Cicero, la Leggi.III,8). Kemaslahatan umum adalah norma, nilai, dan keutamaan (virtù) dalam setiap proses pendidikan.
Macchiavelli lebih dikenal sebagai seorang pemikir politik ketimbang seorang pendidik. Namun tak dapat diragukan karya-karya ‘sekretaris negara Florence’ memiliki dimensi edukatif genial, khususnya refleksinya atas ketakterpisahan (dialektika) antara dimensi privat dan publik proses pendidikan. Kacaunya dunia politik bisa dilacak dalam carut-marutnya dunia pendidikan, sebab “contoh yang baik lahir dari pendidikan yang baik, dan pendidikan yang baik terlahir dari tatanan hukum yang baik (buone legge)...”(Discorsi,I,4).
Dalam seluruh opera Macchiavelli, kata-kata “pendidikan” (educazione) hanya dapat ditemukan 11 kali; 9 kali dalam Discorsi sulla prima Deca di Tito Livio, 1 kali dalam Dell’arte della Guerra, 1 kali dalam karya sastra Dell’Ambizione. Dalam karya-karyanya yang paling penting dan paling terkenal, seperti, Sang Pangeran (Il Principe), Sejarah Kota Florence (Storie Fiorentine) dan dalam Surat-Surat-nya (Lettere) tak ditemukan satupun kata-kata educazione.
“Pendidikan yang direfleksikan dan ditelaah oleh Macchiavelli adalah pendidikan politik dalam rangka merespons kebutuhan politis mendesak. Seandainya pendidikan tidak menciptakan situasi politik nyata, mempersiapkan setiap orang agar dapat hidup bersama sesuai dengan aturan, bagaimana mungkin mencapai tujuan pendidikan?”(Manuel Anselmi,2000).
Visi naturalisme
Dalam Discorsi (G.Sasso,1984), Macchiavelli menekankan dimensi natural pendidikan. Ia memakai kata-kata korporeal seperti tubuh dalam analoginya tentang kehidupan politik dengan mengkontraskannya antara jasmani yang sehat dan sakit. “(sebab)…tujuan republik adalah mematikan syaraf-syarafnya dan melemahkan dirinya sendiri untuk membuat seluruh tubuh bertumbuh dengan lebih sehat“ (G.Sasso.op.cit,302). Antara institusi politik (corpo politico) dan tubuh natural (pribadi, anggota dalam masyarakat) tidak ada perbedaan kualitatif. Dalam diri manusia ada yang mati demikian juga dalam sebuah sistem juga selalu ada unsur yang mati, agar manusia dan sistem itu menemukan keseimbangan alami bagi kesehatannya dan pertumbuhannya sendiri.
Macchiavelli sangat menjunjung tinggi gaya pendidikan Romana Antica yang secara intensif membentuk pribadi-pribadi yang siap terjun dalam kancah politik.
Ia mencoba mencari jawab fakta adanya perbedaan karakter dalam setiap keluarga bangsawan di Roma. Ia bertanya mengapa keluarga bangsawan Manlii misalnya memiliki karakter keras dan kasar, sedangkan keluarga Publicoli menghasilkan orang-orang yang bersahaja dan disukai rakyat, sementara keluarga Appii begitu ambisius dan menjadi musuh kalangan jelata? Perbedaan karakter ini tak mungkin karena garis keturunan. “Jika karena darah, karakter keluarga itu akan berubah melalu proses perkawinan satu sama lain. Karakter dalam keluarga mereka muncul karena perbedaan pendidikan antara keluarga yang satu dengan yang lain.“
Pendidikan dalam keluarga
Pendidikan Romawi kuno menempatkan keluarga sebagai locus educationis utama. Keluarga dianggap sebagai patron bagi Republik Roma. Ide paterfamilias menjadi semacam jembatan antara pendidikan privat dan publik. Ayah adalah penanggungjawab keluarga yang mengantar anak untuk memasuki dunia publik pemerintahan. Selain itu, pendidikan romawi kuno menempatkan ibu sebagai tokoh utama dan pendidik pertama bagi anak-anak. Ibu yang berkualitas akan memberikan pendidikan bagi anak-anaknya agar anak mereka kelak dapat siap terjun dalam kancah politik. Tokoh perempuan seperti Cornelia (ibu Gracchi), Aurelia (ibu Caesar), Attia (ibu Augusto) merupakan protagonista utama bagi pendidikan politik anak-anak mereka.
Cukup beralasan jika Macchiavelli meneropong kekacauan politis di Florence dengan membidik tajam pada bidang pendidikan. Ia begitu prihatin dengan proses pendidikan yang berlaku di Florence pada masanya sebab sistem pendidikan pada masa itu rupanya lebih suka, “mengagumi” masa lalu daripada “mencontohnya.” Mereka tak belajar dari sejarah kejayaan pendidikan Romana Antica.
“..jika proses pendidikan di italia tidak menghasilkan orang-orang yang kuat dan tegas, dan mereka lebih mempersalahkan unsur alamiah, tentu, jujur saya katakan, hal ini tak dapat dimaafkan dan justru inilah kelemahan kita. Sebab pendidikan dapat melengkapi apa yang kurang dari kapasitas alami yang kita miliki. Italia telah berkembang dan mampu menguasai dunia sejauh ia memiliki proses pendidikan yang ulet dan kuat ” (Macchiavelli, dell’Ambizione).
Niccolò Macchiavelli (1469-1527) mengkritik kacau balaunya situasi politik di Florence dengan merujuk pada gejala amnesia historis atas sistem pendidikan Romana Antica. “Kita cenderung mengagumi masa lalu daripada mencontohnya,” tulisnya dalam Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio (Milano,1984). Kebencian dan ambisi politik di banyak provinsi dan kota-kota kristiani bukanlah alasan mengapa situasi politik di Florence begitu kacau. Kekacauan terjadi karena kurangnya “pengenalan sejati akan sejarah dan mencecap nilai intrinsik yang ada.” Singkatnya, belajar dari sejarah adalah awal dari reformasi politik. Belajar pada pendidikan Romana Antica berarti memberi prioritas pendidikan keluarga.
Pedagogi pendidikan romawi kuno bergerak dari ranah privat (keluarga) menuju ranah publik (kesejahteraan rakyat). Visi pendidikan ini kental dengan ideal moral ciceronis, “Salus publica suprema lex”(Cicero, la Leggi.III,8). Kemaslahatan umum adalah norma, nilai, dan keutamaan (virtù) dalam setiap proses pendidikan.
Macchiavelli lebih dikenal sebagai seorang pemikir politik ketimbang seorang pendidik. Namun tak dapat diragukan karya-karya ‘sekretaris negara Florence’ memiliki dimensi edukatif genial, khususnya refleksinya atas ketakterpisahan (dialektika) antara dimensi privat dan publik proses pendidikan. Kacaunya dunia politik bisa dilacak dalam carut-marutnya dunia pendidikan, sebab “contoh yang baik lahir dari pendidikan yang baik, dan pendidikan yang baik terlahir dari tatanan hukum yang baik (buone legge)...”(Discorsi,I,4).
Dalam seluruh opera Macchiavelli, kata-kata “pendidikan” (educazione) hanya dapat ditemukan 11 kali; 9 kali dalam Discorsi sulla prima Deca di Tito Livio, 1 kali dalam Dell’arte della Guerra, 1 kali dalam karya sastra Dell’Ambizione. Dalam karya-karyanya yang paling penting dan paling terkenal, seperti, Sang Pangeran (Il Principe), Sejarah Kota Florence (Storie Fiorentine) dan dalam Surat-Surat-nya (Lettere) tak ditemukan satupun kata-kata educazione.
“Pendidikan yang direfleksikan dan ditelaah oleh Macchiavelli adalah pendidikan politik dalam rangka merespons kebutuhan politis mendesak. Seandainya pendidikan tidak menciptakan situasi politik nyata, mempersiapkan setiap orang agar dapat hidup bersama sesuai dengan aturan, bagaimana mungkin mencapai tujuan pendidikan?”(Manuel Anselmi,2000).
Visi naturalisme
Dalam Discorsi (G.Sasso,1984), Macchiavelli menekankan dimensi natural pendidikan. Ia memakai kata-kata korporeal seperti tubuh dalam analoginya tentang kehidupan politik dengan mengkontraskannya antara jasmani yang sehat dan sakit. “(sebab)…tujuan republik adalah mematikan syaraf-syarafnya dan melemahkan dirinya sendiri untuk membuat seluruh tubuh bertumbuh dengan lebih sehat“ (G.Sasso.op.cit,302). Antara institusi politik (corpo politico) dan tubuh natural (pribadi, anggota dalam masyarakat) tidak ada perbedaan kualitatif. Dalam diri manusia ada yang mati demikian juga dalam sebuah sistem juga selalu ada unsur yang mati, agar manusia dan sistem itu menemukan keseimbangan alami bagi kesehatannya dan pertumbuhannya sendiri.
Macchiavelli sangat menjunjung tinggi gaya pendidikan Romana Antica yang secara intensif membentuk pribadi-pribadi yang siap terjun dalam kancah politik.
Ia mencoba mencari jawab fakta adanya perbedaan karakter dalam setiap keluarga bangsawan di Roma. Ia bertanya mengapa keluarga bangsawan Manlii misalnya memiliki karakter keras dan kasar, sedangkan keluarga Publicoli menghasilkan orang-orang yang bersahaja dan disukai rakyat, sementara keluarga Appii begitu ambisius dan menjadi musuh kalangan jelata? Perbedaan karakter ini tak mungkin karena garis keturunan. “Jika karena darah, karakter keluarga itu akan berubah melalu proses perkawinan satu sama lain. Karakter dalam keluarga mereka muncul karena perbedaan pendidikan antara keluarga yang satu dengan yang lain.“
Pendidikan dalam keluarga
Pendidikan Romawi kuno menempatkan keluarga sebagai locus educationis utama. Keluarga dianggap sebagai patron bagi Republik Roma. Ide paterfamilias menjadi semacam jembatan antara pendidikan privat dan publik. Ayah adalah penanggungjawab keluarga yang mengantar anak untuk memasuki dunia publik pemerintahan. Selain itu, pendidikan romawi kuno menempatkan ibu sebagai tokoh utama dan pendidik pertama bagi anak-anak. Ibu yang berkualitas akan memberikan pendidikan bagi anak-anaknya agar anak mereka kelak dapat siap terjun dalam kancah politik. Tokoh perempuan seperti Cornelia (ibu Gracchi), Aurelia (ibu Caesar), Attia (ibu Augusto) merupakan protagonista utama bagi pendidikan politik anak-anak mereka.
Cukup beralasan jika Macchiavelli meneropong kekacauan politis di Florence dengan membidik tajam pada bidang pendidikan. Ia begitu prihatin dengan proses pendidikan yang berlaku di Florence pada masanya sebab sistem pendidikan pada masa itu rupanya lebih suka, “mengagumi” masa lalu daripada “mencontohnya.” Mereka tak belajar dari sejarah kejayaan pendidikan Romana Antica.
“..jika proses pendidikan di italia tidak menghasilkan orang-orang yang kuat dan tegas, dan mereka lebih mempersalahkan unsur alamiah, tentu, jujur saya katakan, hal ini tak dapat dimaafkan dan justru inilah kelemahan kita. Sebab pendidikan dapat melengkapi apa yang kurang dari kapasitas alami yang kita miliki. Italia telah berkembang dan mampu menguasai dunia sejauh ia memiliki proses pendidikan yang ulet dan kuat ” (Macchiavelli, dell’Ambizione).
Pendidikan kita
Jika analisis Macchiavelli benar, carut-marut dunia politik kita, merajalelanya korupsi, ketidakpastian hukum, macetnya pelayanan publik negara terhadap warga negaranya, bisa dilacak juga dari kacaunya sistem pendidikan yang kita miliki, sebab “contoh yang baik lahir dari pendidikan yang baik, dan pendidikan yang baik terlahir dari tatanan hukum yang baik.” Selain itu, luputnya perhatian kita pada pendidikan dalam keluarga bisa menjadi bumerang bagi kehidupan sosial berbangsa di masa depan.
Ada kesan bahwa proses pendidikan kita makin mengarahkan anak didik yang dari sononya adalah manusia politis (baca, manusia publik), menjadi manusia rohani (manusia privat). Rusaknya moralitas bangsa sering dikambinghitamkan pada lemahnya iman. Karena itu, pendidikan agama mesti diterapkan pada seluruh jenjang pendidikan. Baik kita ingat, pemerintah Fasis Mussolini justru mewajibkan pendidikan agama katolik di setiap sekolah pada Reformasi Gentile (1922-1923).
Pendidikan mestinya mengarahkan anak didik untuk bergerak dari ranah privat menuju publik. Bukan sebaliknya. Pendidikan dalam keluarga dengan demikian tak terlepaskan dari proses kehidupan sosial politik dalam masyarakat.
Menjadi orang tua yang bertanggunjawab dan dapat memberikan bekal pendidikan bagi anaknya memang tidak mudah. Tidak ada sekolah untuk menjadi bapak atau ibu. Setiap orang bisa menjadi bapak atau ibu karena kapasitas alami biologis reproduktif dalam melanggengkan keturunan.
Mengharapkan output pendidikan yang bervisi salus publica suprema lex menjadi sekedar impian jika sampai sekarang masih banyak kita temui orang tua yang pasrah bongkokan menyerahkan anaknya untuk dididik di sekolah, tanpa mau terlibat dalam proses pendidikan anak-anak mereka sendiri, entah karena alasan kerja, sibuk, tak ada waktu, atau alasan ekonomi, “saya sudah bayar mahal ke sekolah untuk pendidikan anak saya.” Mental jual beli inilah sebenarnya yang menghambat kualitas pendidikan kita. Pendidikan yang baik mengandaikan kontinuitas dan kerjasama antara pihak orang tua dan sekolah.
Kalau yang punya anak sendiri saja tidak punya komitmen mendidik anaknya sendiri, jangan harapkan orang lain juga punya komitmen terhadap anak-anak kita. Siapakah anak-anak kita bagi mereka?
***
Doni Koesoema, A, penulis adalah mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma.
Dimuat di KOMPAS, 22 Desember 2003
Jika analisis Macchiavelli benar, carut-marut dunia politik kita, merajalelanya korupsi, ketidakpastian hukum, macetnya pelayanan publik negara terhadap warga negaranya, bisa dilacak juga dari kacaunya sistem pendidikan yang kita miliki, sebab “contoh yang baik lahir dari pendidikan yang baik, dan pendidikan yang baik terlahir dari tatanan hukum yang baik.” Selain itu, luputnya perhatian kita pada pendidikan dalam keluarga bisa menjadi bumerang bagi kehidupan sosial berbangsa di masa depan.
Ada kesan bahwa proses pendidikan kita makin mengarahkan anak didik yang dari sononya adalah manusia politis (baca, manusia publik), menjadi manusia rohani (manusia privat). Rusaknya moralitas bangsa sering dikambinghitamkan pada lemahnya iman. Karena itu, pendidikan agama mesti diterapkan pada seluruh jenjang pendidikan. Baik kita ingat, pemerintah Fasis Mussolini justru mewajibkan pendidikan agama katolik di setiap sekolah pada Reformasi Gentile (1922-1923).
Pendidikan mestinya mengarahkan anak didik untuk bergerak dari ranah privat menuju publik. Bukan sebaliknya. Pendidikan dalam keluarga dengan demikian tak terlepaskan dari proses kehidupan sosial politik dalam masyarakat.
Menjadi orang tua yang bertanggunjawab dan dapat memberikan bekal pendidikan bagi anaknya memang tidak mudah. Tidak ada sekolah untuk menjadi bapak atau ibu. Setiap orang bisa menjadi bapak atau ibu karena kapasitas alami biologis reproduktif dalam melanggengkan keturunan.
Mengharapkan output pendidikan yang bervisi salus publica suprema lex menjadi sekedar impian jika sampai sekarang masih banyak kita temui orang tua yang pasrah bongkokan menyerahkan anaknya untuk dididik di sekolah, tanpa mau terlibat dalam proses pendidikan anak-anak mereka sendiri, entah karena alasan kerja, sibuk, tak ada waktu, atau alasan ekonomi, “saya sudah bayar mahal ke sekolah untuk pendidikan anak saya.” Mental jual beli inilah sebenarnya yang menghambat kualitas pendidikan kita. Pendidikan yang baik mengandaikan kontinuitas dan kerjasama antara pihak orang tua dan sekolah.
Kalau yang punya anak sendiri saja tidak punya komitmen mendidik anaknya sendiri, jangan harapkan orang lain juga punya komitmen terhadap anak-anak kita. Siapakah anak-anak kita bagi mereka?
***
Doni Koesoema, A, penulis adalah mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma.
Dimuat di KOMPAS, 22 Desember 2003