Saturday, 15 September 2007

Pendidikan Karakter

Doni Koesoema A.

Pendidikan karakter pertama kali dicetuskan oleh pedagog Jerman F.W.Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi merupakan reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis deweyan. Selain itu pedagogi puerocentris lewat perayaan atas spontanitas anak-anak (Edouard Claparède, Ovide Decroly, Maria Montessori) yang mewarnai pedagogi di Eropa dan Amerika Serikat di awal abad 19 dirasakan semakin tidak mencukupi lagi bagi sebuah formasi intelektual dan kultural seorang pribadi.

Polemik anti-positivis dan anti-naturalis dalam konteks pendidikan yang berkembang di eropa pada awal abad 19 merupakan gerakan pembebasan dari determinisme natural menuju dimensi spiritual, bergerak dari formasi personal yang lebih didominasi pendekatan psikologis-sosial menuju sebuah cita-cita humanisme yang kental dengan dimensi kultural dan religius. Lahirnya pendidikan karakter bisa dikatakan sebagai sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme yang dipelopori oleh filsuf perancis Auguste Comte (1798-1857).

Tujuan pendidikan, menurut Foerster, adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial antara si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi, yang memberikan kesatuan dan kekuatan atas keputusan diambilnya. Karena itu, karakter menjadi semacam identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah kualitas seorang pribadi diukur.

Empat karakter

Kekuatan karakter seseorang dalam pandangan Foerster tampak dalam 4 ciri fondamental yang mesti dimiliki.

Pertama, keteraturan interior melalui mana setiap tindakan diukur berdasarkan hierarki nilai. Ini tidak berarti bahwa karakter yang terbentuk dengan baik tidak mengenal konflik, melainkan selalu merupakan sebuah kesediaan dan keterbukaan untuk mengubah dari ketidakteraturan menuju keteraturan nilai.

Kedua, koherensi yang memberikan keberanian melalui mana seseorang dapat mengakarkan diri teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut resiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.

Ketiga, otonomi. Yang dimaksud dengan otonomi di sini adalah kemampuan seseorang untuk menginternalisasikan aturan dari luar sehingga menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat melalui penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan dari pihak lain.

Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang untuk mengingini apa yang dipandang baik, sedangan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.

Kematangan keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas. “Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dengan aku rohani, independensi eksterior dengan interior.” Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya.

Bukan pendidikan agama

Di tengah kebangkrutan moral bangsa, maraknya tindak kekerasan, inkoherensi politisi atas retorika politik dan perilaku keseharian, pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-religius menjadi relevan untuk diterapkan. Namun pendidikan karakter bukanlah bayi tabung yang bisa dicangkokkan begitu saja dalam kultur kita. Retorika pendidikan karakter yang digembar-gemborkan di parlemen dalam UU Sisdiknas ternyata disempitkan sekedar pada persolan seputar pendidikan agama. Pendidikan karakter bukanlah semata-mata pendidikan agama.

Pendidikan karakter ala Foerster yang berkembang pada awal abad 19 merupakan perjalanan panjang pemikiran umat manusia untuk mendudukkan kembali idealisme kemanusiaan yang lama hilang ditelan arus positivisme yang kental dengan pendekatan naturalistis deterministis dalam pendidikan. Ini berarti pendidikan karakter mengandaikan sebuah pedagogi yang kental dengan rigorisme ilmiah, sarat muatan puerocentrisme, menghargai aktifitas manusia. Tanpanya tak akan terjadi pendidikan karakter.

Tradisi pendidikan di Indonesia tampaknya masih belum matang untuk memeluk pendidikan karakter sebagai kinerja budaya dan religius dalam kehidupan bermasyarakat. Pedagogi aktif deweyan baru muncul secara fragmentaris lewat pengalaman sekolah mangunan di tahun 90-an. Sumbangan positivisme tampaknya juga belum dirasakan dalam tradisi pendidikan kita. Kebiasaan berpikir kritis melalui pendasaran logika yang kuat dalam setiap argumentasi juga belum menjadi habitus. Guru hanya mengajarkan apa yang harus dihapalkan. Mereka membuat anak didik menjadi beo-beo yang dalam setiap ujian cuma mengulang apa yang dikatakan guru.

Loncatan sejarah

Apakah mungkin sebuah loncatan sejarah dapat terjadi dalam tradisi pendidikan kita? Apakah mungkin pendidikan karakter bisa diterapkan di Indonesia tanpa melewati tahap-tahap positivisme dan naturalisme terlebih dahulu?

Mencangkokan begitu saja pendidikan karakter dalam sistem pendidikan tanpa mempertimbangkan struktur institusional dunia pendidikan bisa membuat kita jatuh dalam kelatahan yang malah mendangkalkan, seperti misalnya menyempitkan pendidikan karakter pada pendidikan agama, atau Pendidikan Moral Pancasila pada era Soeharto.

Pendidikan karakter yang digagas oleh Foerster tidak menghapuskan pentingnya dimensi kekuatan ilmiah lewat pendekatan metodologi eksperimental yang disumbangkan oleh positivisme maupun relevansi pedagogi naturalis yang merayakan spontanitas dalam pendidikan anak-anak.Yang ingin ditebas oleh arus ‘idealisme’ pedagogi dalam pendidikan adalah determinisme dan naturalisme yang mendasari paham mereka tentang kebebasan.

Jika pedagogi puerocentrisme memahami kebebasan sebagai sekedar ekspresi perkembangan natural pribadi sesuai bakat dan potensi alamiahnya, pedagogi karakter ingin meletakkan kebebasan itu dalam tujuan yang sifatnya mengatasi kepentingan pribadi (metaindividu). Kebebasan dipandang sebagai sharing nilai-nilai kehidupan. Jika hukum alam meletakkan manusia pada sebuah keadaan yang tak dapat tidak harus dihayati begitu, hukum moral dalam pendidikan karakter menjadi fondasi rasional tentang keberadaan-bermakna setiap manusia yang tidak sekedar puas ‘berada’ (to be).

Bertentangan dengan determinisme hukum alam melalui pendidikan karakter manusia mempercayakan dirinya dalam dunia nilai (bildung). Sebab nilai merupakan kekuatan penggerak perubahan sejarah. Kemampuan membentuk diri dan mengaktualisasikan nilai-nilai etis merupakan ciri hakiki manusia. Karena itu mereka mampu menjadi agen perubahan sejarah.

Mengutip kata-kata Dilthey, “alam mengasingkan kita. Ia bagi kita merupakan hal ekstern, bukan intern. Masyarakat itulah dunia kita.” Jadi melalui pergulatan dalam mengaktualisasikan nilai-nilai etis-religius dalam sejarahlah manusia merangkai makna kehidupannya.

Jika nilai merupakan motor penggerak sejarah, aktualisasi atasnya akan merupakan sebuah pergulatan dinamis terus menerus. Manusia apapun kultur yang melingkupinya akan menjadi agen bagi perjalanan sejarahnya sendiri dan masyarakatnya. Karena itu, loncatan sejarah masih bisa terjadi di negeri kita. Pendidikan karakter masih memiliki tempat bagi optimisme idealis pendidikan di negeri kita, terlebih karena bangsa kita kaya akan tradisi religius dan budaya.

Manusia yang memiliki religiusitas kuat akan semakin termotivasi untuk menjadi agen perubahan dalam masyarakat, bertanggungjawab atas penghargaan hidup orang lain, dan mampu berbagi nilai-nilai kerohanian bersama yang mengatasi keterbatasan eksistensi natural manusia yang mudah tercabik oleh berbagai macam konflik yang tak jarang malah mengatasnamakan religiusitas itu sendiri.

Doni Koesoema, A. Penulis adalah mahasiswa jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma.

NB: Artikel yang sama dalam versi pendek diterbitkan di KOMPAS, Jum’at 3 februari 2006. Artikel ini adalah versi yang lebih panjang.

Pendidikan Keagamaan