Oleh Doni Koesoema, A
Pendidikan nasional tidak akan pernah bangkit dari keterpurukannya jika program profesionalisasi formasi guru tidak digarap secara serius, integral, melalui pendekatan konseptual yang relevan dan responsif atas tantangan jaman.
Undang-Undang tentang Guru dan Dosen (UUGD) mencantumkan persyaratan kepemilikan sertifikat pendidik sebagai salah satu kriteria profesionalitas guru. Namun keseriusan pemerintah dalam menghargai peran dan martabat guru bisa terancam melalui klausul pasal 11 ayat 4 tentang proses sertifikasi yang akan diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP). PP ini jika tidak digarap serius dan transparan akan menjadi bencana baru bagi pendidikan nasional. Sertifikasi berpotensi menjadi politisasi peranan guru, penjarahan uang rakyat, dan lahan empuk korupsi yang malah kontraproduktif bagi usaha perbaikan pendidikan nasional.
Dua pendekatan
Tampaknya telah terjadi kekeliruan konseptual di kalangan para pembuat UUGD ketika memasukkan pasal-pasal tentang sertifikasi guru sebagai salah satu cara meningkatkan kualitas pendidik. Akar permasalahan utamanya adalah kekeliruan dalam membaca realitas dan kesalahan dalam menerapkan strategi dalam menyikapi persoalan seputar kualitas pendidik.
Debat pokok tentang formasi pendidik biasanya terpolarisasi pada dua bidang isi yang bertentangan satu sama lain (Cochran-Smith & Fries, 2001). Pertama, mereka yang berusaha menderegulasi pengajaran. Kedua, mereka yang berusaha untuk membuatnya semakin profesional.
Mereka yang mau menderegulasi pengajaran berpendapat bahwa satu-satunya cara untuk menilai proses pembelajaran siswa dan kualitas guru adalah dengan menerapkan sebuah ujian standard. Mencetak guru lewat proses pendidikan yang lama dan panjang dianggap sebagai pemborosan tenaga, waktu dan uang. Jadi, para pembela deregulasi berusaha untuk memperpendek proses pendidikan guru dan menggantikannya dengan sekumpulan program alternatif berupa sertifikasi.
Asumsi dasar program sertifikasi guru adalah bahwa para guru dapat belajar sedikit yang mereka butuhkan tentang proses pengajaran sementara mereka akan belajar banyak ketika terjun langsung di lapangan.
Sebaliknya, mereka yang berpendapat bahwa formasi guru semestinya semakin profesional mengatakan bahwa jalan pintas proses formasi guru lewat sertifikasi tidak akan menghasilkan para pendidik yang berkualitas. Mereka yang membela profesionalisme guru yakin bahwa proses pengajaran berkaitan erat dengan dimensi keadilan sosial dan pemberdayaan guru sebagai bagian dari proses pengembangan terus menerus atas kemampuan akademis yang dimilikinya, sehingga program sertifikasi sebagai jalan pintas peningkatan kualitas guru dianggap sebagai antitesis bagi hakekat profesionalisme guru.
Sertifikasi pendidik yang diterapkan secara pukul rata, termasuk bagi para guru yang telah lulus S-1 dari universitas yang terakreditasi oleh pemerintah akan menjadi lahan baru untuk memeras uang rakyat. Sertifikasi pendidik lebih kental muatan ekonomis dan politisnya ketimbang keseriusan dalam meningkatkan mutu guru.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa di kalangan guru telah ada mereka yang memiliki kualifikasi akademis setaraf sarjana strata-1 atau D-4 alumni dari universitas yang telah terakreditasi oleh pemerintah. Mereka ini telah secara profesional dipersiapkan untuk menjadi guru.
Jika nanti keluar PP tentang sertifikasi pendidik dan peraturan itu ternyata masih mewajibkan sertifikasi pendidik bagi para guru lulusan perguruan tinggi yang telah terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah, PP tersebut jelas bertentangan dengan pasal 11 ayat 2. Ngotot menerapkan sertifikasi untuk kasus seperti ini bisa dicap sebagai politisasi peran guru demi kepentingan ekonomis para penguasa.
Kualitas akademis yang dituntut oleh pemerintah bagi para guru, berupa kualitas akademis setingkat sarjana strata-1 atau diploma 4, yang diterapkan secara pukul rata, termasuk terhadap para guru senior yang telah bekerja dan memiliki pengalaman pengajaran bertahun-tahun, hanya akan menjadi beban bagi kinerja guru yang telah penuh dedikasi memberikan seluruh waktu dan tenaganya bagi perbaikan pendidikan di negeri ini.
Sertifikasi akan menjadi kontraproduktif bagi para guru senior, karena mereka sendiri telah teruji dalam mendidik dan mengajar anak didik. Sertifikasi pendidik bagi mereka sesungguhnya tidak diperlukan lagi sebab pengalaman telah menguji mereka menjadi guru yang handal. Sertifikasi bagi mereka hanya akan memperkuat kesan bahwa pemerintah ingin mengeruk uang rakyat yang telah berjasa besar bagi pendidikan di negeri ini.
Sertifikasi mungkin lebih tepat sasaran jika diterapkan bagi para guru bantu, sebab kehadiran mereka di sekolah-sekolah biasanya tidak disertai dengan persiapan yang memadai, dicomot begitu saja karena langkanya guru, tanpa membekali mereka dengan kecakapan dan kemampuan dasar sebagai pendidik. Guru bantu biasanya dihadirkan karena langkanya tenaga pendidik di suatu daerah. Karena itu, program sertifikasi pendidik bagi mereka semestinya dilakukan melalui test standard disertai dengan pelatihan hal-hal pokok yang dibutuhkan bagi proses pembelajaran. Biaya untuk proses sertifikasi ini semestinya ditanggung oleh negara seperti diamanatkan dalam UUGD.
Sertifikasi pendidik yang diterapkan bagi semua secara pukul rata menunjukkan bahwa pemerintah kurang dapat melihat realitas pendidikan di negeri ini secara jernih. Karena itu, pemerintah bisa keliru dalam merencanakan strategi bagi peningkatan kualitas guru melalui berupa sertifikasi pendidik.
Isu politik dan ekonomi
Sebenarnya, persoalan pokok perbaikan kualitas guru bukan terletak pada pertentangan antara formasi tradisional dan alternatif berupa sertifikasi, melainkan lebih pada kepentingan politik dan ekonomi suatu pemerintahan. Membangun dan meningkatkan kualitas guru, baik pada masa sebelum maupun sesudah mereka memasuki dunia pengajaran mau tidak mau akan mempengaruhi jumlah gaji yang mesti mereka terima. Kenyataan inilah yang lantas menekan para pengambil keputusan pemerintahan di bidang pendidikan untuk memikirkan kembali bagaimana sekolah-sekolah mesti dibiayai.
Pada titik ini, dibutuhkan political will pemerintah untuk sungguh-sungguh merealisasikan dukungannya bagi hadirnya para pendidik yang berkualitas. Besarnya akolasi anggaran negara bagi pendidikan menunjukkan besarnya political will sebuah pemerintahan untuk serius memperbaiki kehancuran dunia pendidikan kita.
Merekrut dan mempertahanan para guru yang memiliki kualifikasi akademis, kompetensi pada bidangnya, serta mengenal komunitas di mana ia mengajar membuat model kurikulum wajib yang sifatnya top-down, sistem pembelajaran text book, dan kebijakan ujian yang sifatnya nasional tidak relevan lagi bagi proses reformasi pendidikan. Pembaharuan pendidikan mempersyaratkan reformasi total bagi para pengambil keputusan yang membuat mereka sungguh-sungguh serius dan konsisten ingin memperbaiki dunia pendidikan. Keluarnya kurikulum tingkat satuan pendidikan disertai dengan sikap keras kepala untuk tetap mengadakan Ujian Nasional merupakan salah satu bukti inkonsistensi dan ketidakseriusan pemerintah dalam menangani persoalan pendidikan!
Kita menantikan PP tentang sertifikasi pendidik yang sungguh berpihak pada keadilan dan demi perbaikan kualitas pendidik, bukan sekedar proyek menjarah uang rakyat di tengah kebangkrutan dunia pendidikan di negara kita. Dikotomi antara persiapan tradisional dan alternatif semestinya ditinggalkan dengan mengedepankan hadirnya kebijakan pendidikan yang integratif, adil, tepat sasaran, dan relevan dengan tantangan jaman.
Doni Koesoema, A Mahasiswa jurusan pedagogi sekolah dan pengembangan profesional pada fakultas ilmu pendidikan Universitas Salesian, Roma.