Showing posts with label Kebijakan Pendidikan. Show all posts
Showing posts with label Kebijakan Pendidikan. Show all posts

Tuesday 29 July 2008

Miopi Kebijakan Pendidikan

KOMPAS, Selasa, 29 July 2008

Oleh Doni Koesoema A


Mengusulkan kebijakan pendidikan tanpa mendasarkan diri pada kenyataan di lapangan hanya akan menghasilkan reformasi tambal sulam. Miopi kebijakan pendidikan, itulah virus yang sedang menyerang dunia pendidikan kita.

Miopi kebijakan pendidikan merupakan sebuah keadaan di mana perubahan dalam pendidikan (educational change) dilakukan hanya demi kepentingan sesaat, memenuhi keinginan jangka pendek, mengejar hasil yang langsung dilihat, namun mengorbankan kinerja dunia pendidikan dalam jangka panjang. Kekacauan proses sertifikasi, terkatung-katungnya nasib guru yang lolos portofolio, gelojoh pemerintah membalikkan rasio perbandingan antara SMA dan SMK menjadi 30:70, dan yang terakhir buku elektronik semakin menunjukkan bahwa pembuat kebijakan pendidikan ini benar-benar sudah tidak mampu melihat realitas pendidikan di lapangan.

Tiga miopi

Miopi pertama adalah sertifikasi guru. Tertunda-tundanya pembayaran uang pendapatan guru yang telah lolos sertifikasi menunjukkan mental kebijakan otoritarian dalam meningkatkan kinerja dan martabat guru. Otoritarianisme pendidikan terjadi ketika pemerintah mempersyaratkan kesediaan guru untuk melengkapi sertifikasi secara cepat, sesuai syarat, namun ketika guru menagih hak-hak mereka pemerintah tidak sigap. Sebelum membayar hutangnya kepada guru, pemerintah tidak memiliki klaim telah melaksanakan peningkatan kualitas pendidikan.

Miopi kedua adalah kepentingan sesaat untuk membalik rasio SMA dan SMK. ”Kebijakan pendidikan menengah diarahkan pada meningkatnya proporsi SMK dibandingkan SMA,” kata Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo dalam acara pembukaan Lomba Keterampilan Siswa SMK Tingkat Nasional XVI di Makassar, Selasa (24/6). Miopi kedua ini memiliki empat kesalahan berpikir secara fatal.

Pertama, sebuah keyakinan keliru bahwa Indonesia akan dapat bersaing di dunia global jika dapat mengubah SMA menjadi SMK. Mengubah proporsi sekolah menengah menjadi sekolah kejuruan hanya akan memosisikan daya-daya manusiawi (human resources) Indonesia pada hirarki paling bawah dalam dunia industri global. Padahal, agar dapat bersaing, yang dibutuhkan adalah akses setiap siswa pada pendidikan tinggi dan akademi teknik/politeknik yang murah dan terjangkau.

Kedua, mengubah rasio SMK menjadi lebih besar dibandingkan SMA semakin menegaskan self-fulfilling prophecy bagi anak-anak orang miskin bahwa mobilitas sosial itu tidak akan dapat mereka miliki. Kebijakan ini hanya akan menunjukkan bahwa anak-anak orang miskin dilarang mengenyam pendidikan lebih tinggi, cukup sekolah saja sampai SMK, setelah itu bekerja. Pendekatan seperti ini melanggar keadilan sosial sebab membiarkan orang miskin agar tetap miskin dan tidak pernah dapat mengubah nasib mereka.

Ketiga, hubungan antara ketrampilan yang diperoleh melalui sekolah kejuruan dan terpenuhinya kebutuhan kerja yang diandaikan begitu saja merupakan sebuah pandangan naif yang tidak mendasarkan diri pada realitas di lapangan. Terserapnya tenaga kerja itu tergantung dari ketersediaan kesempatan kerja. Yang dibutuhkan pemerintah adalah menciptakan lapangan kerja, bukan mengubah SMA menjadi SMK.

Keempat, UN SMK yang sebagian besar disamakan dengan SMA menunjukkan bahwa pengambil kebijakan pendidikan ini tidak bisa membedakan lagi mana SMA dan SMK dan apa yang menjadi kekhususan di antara keduanya.

Miopi ketiga adalah buku elektronik. Buku elektronik itu ada di internet ketika pembuat kebijakan itu memasangnya di sana. Tentu, fakta ini benar. Namun miopi terjadi ketika mereka berpikir bahwa apa yang mereka lihat itu juga dilihat oleh para guru, siswa, dan orang tua. Ide bahwa buku elektronik dengan mudah diunduh pun juga perlu dipertanyakan. Apalagi argumentasi bahwa harga buku menjadi lebih murah jika pemerintah membeli hak cipta dan menentukan harga eceran tertinggi. Semua itu retorika kosong yang tidak ada faktanya di lapangan. Buku tetap akan mahal, hanya sekolah bermutu dengan fasilitas lengkap dapat mengakses buku elektronik. Ironisnya, sekolah yang bisa mengakses buku elektronik justru mereka tidak memakai buku itu sebagai buku teks. Semakin lengkaplah absurditas kebijakan buku elektronik ini.

Membuka mata dan hati

Yang dibutuhkan pendidikan kita bukanlah program pendidikan bombastis yang menawarkan harapan semu seperti, sertifikasi, peningkatan rasio SMK-SMA, atau buku elektronik. Pemerintah perlu membuka mata atas realitas sekolah-sekolah di lapangan di mana siswa dan orang tua seringkali masih menjadi langganan pemerasan pihak-pihak sekolah dengan dalih yang macam-macam.

Pemerintah semestinya melindung dan membantu orang-orang miskin yang anak-anaknya kesulitan sekolah agar tidak semakin hari terpinggirkan dari pendidikan karena biaya pendidikan yang tak terjangkau oleh pendapatan mereka yang pas-pasan. Menyediakan buku pelajaran gratis bagi sekolah yang membutuhkan lebih akan efektif dibandingkan dengan pemborosan uang negara dengan membeli hak cipta yang malahan tidak berguna.

Lebih dari itu, pemerintah perlu membuka hati yang bervisikan keadilan sosial, di mana kebijakan pendidikan itu semestinya melindungi hak-hak mereka yang kurang beruntung di dalam masyarakat, bukannya membuat kebijakan yang menguntungkan kelompok mapan, yang justru tidak mempergunakan layanan pendidikan. Membuat kebijakan pendidikan yang bervisikan keadilan sosial merupakan salah satu cara untuk menyembuhkan miopi yang menjangkiti pendidikan nasional kita.

Doni Koesoema A, Penulis adalah mahasiswa pasca sarjana Boston College Lynch School of Education, Boston.

Friday 15 February 2008

Pengangguran Intelektual

Doni Koesoema A


Pengangguran intelektual akan tetap menjadi sebuah keniscayaan jika kebijakan politik pendidikan tuli terhadap kritikan dan buta terhadap realitas kehidupan. Mengangkat kembali wacana entrepeneurship dan menggemakan lagi wacana link and match, hanya akan merupakan kebijakan tambal sulam jika pemerintah tidak segera menyadari bahwa kebijakan pendidikan di tingkat dasar dan menengah, yang menjadi fondasi bagi kualitas pendidikan tinggi, lebih banyak mematikan kreatifitas dan memandulkan daya cipta guru maupun siswa.

“Kita hidup dalam sebuah ekonomi pengetahuan (knowledge economy) dan sebuah masyarakat berpengetahuan (knowledge society). Ekonomi pengetahuan bertumbuh karena adanya kreativitas dan kemampuan mencipta yang memungkinkan pemecahan masalah secara cerdas (ingenuity). Sekolah dalam masyarakat berpengetahuan harus menciptakan kualitas ini; kalau tidak, masyarakat dan bangsa akan ditinggalkan.” (Andy Hargreaves, 2003).

Hargreaves tepat membidik dua hal yang seringkali dilupakan dalam pembaharuan pendidikan. Pertama, ekonomi pengetahuan pertama-tama melayani kebaikan individu (private good). Kedua, masyarakat berpengetahuan mengarahkan dirinya demi kebaikan umum (public good). Sekolah semestinya mempersiapkan anak didik untuk keduanya.

Namun sebagaimana perilaku di balik logika kapitalis, ekonomi pengetahuan juga memelihara daya-daya kreatif yang merusak. Ia merangsang pertumbuhan dan kemakmuran, namun serentak gelojoh dalam memburu keuntungan dan kepentingan pribadi, serta menghancurakan keteraturan sosial. Karena itu, sekolah sebagai lembaga publik mestinya mampu menumbuhkan rasa solidaritas dan empati pada komunitas yang mampu meredam perilaku tamak kapitalisme.

Sayangnya, alih-alih mengembangkan kreatifitas dan menumbuhkan daya cipta, sistem pendidikan kita tanpa disadari lebih suka memaksakan kurikulum manajemen mikro secara seragam. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang mestinya membuka ruang dan kebebasan bagi terciptanya kreatifitas, menumbuhkan kemampuan kemampuan memecahkan persoalan dan menanggapi persoalan baru secara cerdas tetap terpasung dalam rubrik Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dan Standar Isi (SI) yang sifatnya sentralistis.

Alih-alih mengembangkan misi solidaritas dan empati terhadap komunitas, kebijakan pendidikan kita memosisikan guru dan siswa sekedar terampil menjawab soal pilihan ganda. Usaha meraih mutu tinggi bagi pendidikan berubah menjadi obsesi kompulsif akan standardisasi.

Kebanggaan semu

Apa yang dibanggakan pemerintah sebagai meningkatnya motivasi belajar siswa karena UN sesungguhnya sebuah ironi akademis yang memosisikan guru dan siswa sebagai sekedar anjing pavlov. Mereka giat mengajar dan belajar karena ada stimulus dari luar. Padahal dalam lingkup pedagogi, pandangan behavioris paling kuno ini telah lama ditinggalkan. Jika pendidikan merupakan pemanusiaan, logika anjing pavlov harus dijauhkan dari kinerja pendidikan kita!

Situasi ini diperparah dengan banyaknya sekolah publik yang masih megap-megap, sekedar untuk mencukupi biaya operasional, diisi oleh para guru yang dibayar rendah, sekedar mengikuti SKL dan SI yang sifatnya sangat sentralistis, dan hanya mengajar siswa agar dapat lolos UN. Hampir tidak ada ruang bagi kebebasan dan pertumbuhan. Juga tidak akan pernah lahir motivasi internal mengajar dan belajar yang dibutuhkan bagi berkembangnya kreatifitas dan innovasi.

Pembelajaran autentik

Kita bisa mengembangkan investasi tinggi dalam pendidikan dengan cara menciptakan sebuah sistem pendidikan yang memiliki visi jauh ke depan dan peka akan dinamika masyarakat. Guru semestinya diberi ruang kebebasan agar dapat meningkatkan keterampilan yang mendukung proses pembelajaran autentik yang menumbuhkan kreatifitas dan daya cipta.

Mengusung kembali wacana entrepreunership dan matching dunia pendidikan dengan dunia kerja, tanpa disertai perubahan radikal dalam kebijakan pendidikan hanya akan memiskinkan kemanusiaan. Dua wacana ini semakin mengukuhkan bahwa siswa hanyalah satu sekrup dari roda besar mesin uang kapitalisme. Pendidikan tidak dipahami sebagai sarana pemanusiaan dan pembudayaan melainkan sistem prosedur untuk menyortir orang berdasarkan keahlian.

Jika selama menjalani masa pendidikan siswa tidak pernah mengalami apa artinya menjadi kreatif, mengalami semangat belajar tinggi karena tumbuhnya motivasi internal belajar, jangan pernah kita berharap bahwa semangat kewirausahaan itu pun akan tumbuh. Jangan pernah berharap bahwa kreatifitas dan inovasi itu akan hadir dalam diri generasi muda intelektual kita.

Cermin bagi pemerintah

Pengangguran intelektual semestinya menjadi cermin bagi pemerintah untuk berkaca dan berani memperbaiki kebijakan pendidikan yang secara sistemik mematikan kreatifitas dan inovasi.

Pendidikan akan mampu menciptakan lulusan yang kreatif, penuh daya cipta, bukan hanya mampu memecahkan persoalan, melainkan kompeten dalam menjawab tantangan jaman dengan lebih kreatif dan adaptif jika mereka dibekali pengalaman untuk itu. Pengalaman seperti ini sulit tercapai jika kurikulum tetap diikat dari pusat, dan siswa tidak pernah mengalami pembelajaran kontekstual sejak dini. Asumsi dasar dibalik UN adalah dekontekstualisasi pengetahuan.

Kreatifitas dan inovasi hanya dapat tumbuh dari jiwa merdeka yang memiliki motivasi internal dalam belajar. Kreatifitas dan inovasi tidak pernah terjadi dalam ruang hampa udara, sebagaimana soal-soal UN. Kemampuan ini bertumbuh seiring dengan dialog dan perjumpaan individu dalam membumikan pengetahuan yang diajarkan. Pengetahuan kontekstual akan menjadi modal pertumbuhan kemanusiaan.

Pengangguran intelektual akan tetap menjadi sebuah keniscayaan jika kebijakan politik pendidikan tuli terhadap kritikan dan buta terhadap realitas masyarakat. Kebijakan UN yang berlaku sejak tingkat Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Menangah Atas hanya akan mempersiapkan para mahasiswa yang mampu menjawab soal-soal, tapi tidak mampu memecahkan persoalan dalam kehidupan. Tidak mengherankan jika banyak dari mereka yang menjadi pengangguran.

Doni Koesoema A. Penulis adalah mahasiswa pasca sarjana Boston College Lynch School of Education, Boston.
Artikel dimuat di Harian KOMPAS, 15 Februari 2008

ARTIKEL PENTING: WASPADAI PARA PENELIKUNG KONSTITUSI

Saturday 15 September 2007

Nurlaila, siapa pembelamu kini?

Oleh Doni Koesoema, A

NURLAILA apa salahmu? Kamu curahkan cinta dan hidupmu untuk mencerdaskan bangsa. Namun, apa balasan yang kamu terima? Kamu dituduh melakukan tindak pidana dengan melakukan pendirian satuan pendidikan tanpa izin dan pemalsuan. Munir yang membelamu saat itu berkata keras, "Tuduhan melakukan pemalsuan dan penyerobotan merupakan cara-cara lama." Kini Munir telah pergi ke dunia abadi. Kini kamu sendiri. Sekolahmu pun tiada lagi. Para penjaga negeri telah membuatnya sepi penghuni. Nurlaila, siapa pembelamu kini?

Mempertanyakan pembela Nurlaila tak lain mempertanyakan masa depan pendidikan. Jika arogansi kekuasaan yang berselingkuh dengan uang tidak mendapat kontrol rakyat, lembaga pendidikan kita akan kian sekarat. SMPN 56 Melawai, Jakarta Selatan, telah sepi. Dua sosok pencinta negeri menyeruak memori. Nurlaila dan Munir, dua sosok yang tak bisa dilepaskan saat kasus tukar guling antara Departemen Pendidikan Nasional dan PT Tata Disantara, menuai protes rakyat.

Sebagai tersangka

Nurlaila, guru sederhana SMPN 56 Melawai yang bersikukuh mengajar para siswa saat belum ada keputusan resmi pengadilan atas kasus sekolahnya, ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya dengan tuduhan pemalsuan dokumen SMPN 56 Melawai. Pertengahan Juli 2004 ia diperiksa Satuan Korupsi Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya. Kegiatannya mengajar siswa yang dilakukan di luar kelas menjadikannya seperti seorang kriminal tertangkap basah melakukan kejahatan.

Dalam surat panggilan pemeriksaan, Nurlaila dituduh melakukan tindak pidana pendirian satuan pendidikan tanpa izin dan pemalsuan. Pelanggaran yang dikenakan didasarkan Pasal 62 Ayat (1) dan Pasal 71 UU No 20 Tahun 2003 tentang pendidikan nasional dan Pasal 263 KUHP tentang memasuki tempat (SMPN 56 Melawai), tanpa izin.

Almarhum Munir yang saat itu menjadi Direktur Eksekutif Imparsial mengatakan, pertentangan antarpraktik dan konsep pendidikan seperti ini bukan tindak kriminal. Konsep pendidikan modern yang diusulkan guru-guru SMPN 56 Melawai saat itu adalah sekolah sebagai lingkungan belajar yang memiliki kedekatan dengan masyarakat sehingga siswa tidak tercabut dari lingkungan sosialnya. Sementara pemerintah melihatnya hanya sebagai urusan tata ruang dan bisnis. "Tuduhan melakukan pemalsuan dan penyerobotan merupakan cara-cara lama."

Kepergian Munir, kesendirian Nurlaila, dan pengosongan sekolah secara paksa bukan hanya tragedi, tetapi sebuah pertanda. Kosongnya sekolah adalah kosongnya nurani bangsa. Kesendirian Nurlaila adalah sepinya jutaan guru yang turut berduka, tak hanya atas kepergian Munir yang berjanji mau membela kasus Nurlaila, tetapi juga tanda makin sepinya harapan negeri ini sedang menuju padang di mana matahari kebijaksanaan dan pengetahuan bersinar cemerlang.

Di tengah drama kekerasan menyedihkan ini, kita kian pilu melihat kenyataan bahwa pengosongan sekolah ini dibiayai uang rakyat! Pemerintah Provinsi DKI sudah menganggarkan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk penertiban sekolah itu seperti operasi penertiban lainnya (Kompas, 20/11). Apa jadinya bangsa ini jika pemerintah menganggap kehadiran lembaga pendidikan setara dengan pedagang kaki lima yang layak digusur begitu saja?

Pengosongan sekolah secara paksa oleh sekitar 300 petugas Dinas Ketenteraman dan Ketertiban DKI Jakarta kian menunjukkan bahwa para pegawai, yang seharusnya menjadi pelayan bagi kesejahteraan rakyat, melindungi, dan menciptakan rasa aman dalam masyarakat, lebih gemar menggunakan cara-cara kekerasan.

Gagalnya pendidikan demokrasi

Pindahnya gedung sekolah yang lebih baik dan jaminan Pemprov DKI akan kelanjutan pendidikan para siswa sampai lulus tidak akan pernah dapat mengganti pengalaman traumatis yang dialami para siswa. Pengalaman traumatis kekerasan dan penggusuran akan selalu dikenang dan diingat seumur hidup.

Pemerintah sebagai aparat negara yang mengemban amanat pendiri negeri untuk memberikan pendidikan yang layak bagi tiap warga telah lupa, yang mereka gusur dan rusak bukan hanya bangunan fisik. Bagi anak-anak SMP usia 13-15 tahun itu, sekolah sebagai tempat, sebagai sebuah komunitas kecil dalam berinteraksi merupakan tempat berseminya nilai-nilai solidaritas dan rasa aman. Sekolah merupakan sebuah tempat di mana anak- anak berkumpul di bawah disiplin untuk belajar mengenali apa yang oleh komunitas dianggap penting.

Anak-anak tak hanya belajar apa yang mereka peroleh dari komunitas sekolah, tetapi juga dari dunia di sekitarnya. Anak-anak lebih banyak belajar dari yang mereka lihat, dengar, dan rasakan. Mereka melihat apa yang kita lakukan, mereka belajar dari cara kita menyelesaikan konflik. Bagi mereka, setiap "tempat" memiliki batasnya sendiri di mana pemahaman akan dunia secara perlahan menemukan bentuknya. Dunia merupakan pertentangan terus-menerus yang berguna bagi mereka dalam merangkai dan membingkai relasinya di masa depan. Mereka belajar bagaimana memiliki perbedaan pandangan dan menyelesaikan persoalan dengan penuh hormat. Komunitas sekolah merupakan lingkungan praktis yang membantu mempertajam intuisi hidup sama pentingnya dengan pengetahuan abstrak.

Lingkungan pendidikan seperti inilah yang tak pernah dipikirkan aparat pemerintah. Pamer kekerasan dengan mengerahkan ratusan petugas ketertiban hanya mengajarkan satu hal, yaitu tiap persoalan hanya akan berakhir jika diselesaikan dengan cara-cara kasar, menggunakan kekuasaan. Kasus Melawai mengajarkan pada anak-anak bahwa dunia pendidikan tidak penting dan dialog bukan sebuah nilai yang diterima di masyarakat. Tak hanya anak-anak yang tak berdaya menghadapi kekerasan, tetapi juga orang dewasa, seperti Nurlaila.

Siapa pembelamu kini?

Munir yang berjanji akan membela kasusmu telah pergi. Para pendiri bangsa yang mencita-citakan tiap warga negara Indonesia berhak mendapat pendidikan layak, raganya telah menyatu dengan tanah negeri ini. Orang-orang hebat itu tiada lagi. Namun, semangat mereka tak akan pernah mati. Kami yakin, tiap nurani yang cinta pada tanah pertiwi tidak akan pernah tuli pada cita-cita pendiri negeri. Ibu guru Nurlaila, jutaan orang di belakangmu. Ibu tidak sendiri. Kasus Melawai harus berhenti.

Doni Koesoema A Mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma.

Artikel dimuat di KOMPAS, Selasa, 23 November 2004.

Pendidikan Darurat Pasca Bencana

Oleh Doni Koesoema A
KONFLIK politik dan bencana alam memperparah situasi krisis dan penderitaan berkepanjangan di Aceh. Kita masih ingat, sebelum bencana, pembakaran sejumlah sekolah di Aceh akibat konflik politik. Kini gelombang tsunami menyapu dan meluluhlantakkan sejumlah sekolah dan menghancurkan sistem pendidikan.
Anak-anak selalu menjadi korban utama dalam konflik politik maupun bencana alam. Dunia pendidikan kita, yang dalam keadaan normal masih carut marut jika dilihat dari sudut manajerial, kini kian kacau dan tidak tahu lagi harus berbuat apa saat menghadapi krisis dan darurat akibat bencana.
Situasi darurat akibat krisis politik dan bencana alam bisa terjadi di mana saja. Maka, dalam pertemuan di Dakar, Senegal, April 2000, Unesco memikirkan dan mempelajari sebuah kerangka kerja bersama bagi kelangsungan pendidikan pada masyarakat yang ditimpa krisis politik maupun bencana. Pembahasan kelangsungan pendidikan dalam situasi darurat dan krisis merupakan pengejawantahan keprihatinan atas Deklarasi Hak- hak Asasi Manusia Universal, tertuang dalam Pasal 26 Ayat (1), "Setiap orang berhak atas pendidikan. Pendidikan gratis semestinya diberikan pada tingkat dasar atau tingkat paling fundamental. Pendidikan dasar merupakan hal amat esensial dan dilindungi oleh hukum".
Apa yang menjadi keprihatinan di balik pemikiran untuk mengantisipasi situasi pendidikan darurat dan krisis, entah akibat konflik politik maupun bencana, adalah tetap dijaga dan dihormatinya hak- hak dasar manusia atas pendidikan. Artikel 26 Ayat (1) menegaskan, pendidikan dasar yang tersedia dan dijamin hukum merupakan salah satu langkah nyata atas realisasi hak-hak dasar ini.
Dua sasaran utama menciptakan kelangsungan pendidikan dalam situasi darurat adalah terjaminnya pendidikan bagi semua (education for all) dan promosi pendidikan yang selaras dengan deklarasi hak-hak asasi manusia universal.
Memahami pendidikan sebagai hak fundamental inilah yang biasanya luput dari perhatian banyak orang, staf organisasi kemanusiaan, pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) saat bencana hebat seperti terjadi di Aceh dan penduduk sepanjang pantai tersapu gelombang. Konsentrasi pada evakuasi korban, pemenuhan kebutuhan fundamental, seperti bahan makanan, obat- obatan, dan lain-lain membuat lembaga-lembaga kemanusiaan dan pemerintah tidak melihat kepentingan mendesak untuk segera merestorasi akses pendidikan bagi anak-anak yang tertimpa bencana. Mereka lupa, anak-anak bukanlah selimut atau tenda yang bisa disimpan lama sembari menunggu situasi normal untuk memulai kembali kelangsungan pendidikan yang mereka terima. Menunggu sampai situasi normal, baru kemudian memikirkan kelangsungan pendidikan, hanya akan memosisikan mereka sebagai "generasi yang hilang" dalam struktur dan tatanan masyarakat.
Penderitaan ganda
Situasi pendidikan di Aceh mengalami penderitaan ganda. Pertama, sistem pendidikan lumpuh karena konflik politik dan kekerasan bersenjata mengorbankan warga sipil dan anak-anak. Kedua, krisis karena bencana alam yang menghancurkan sarana pendidikan menciptakan situasi traumatis-psikologis akibat kematian orang-orang tercinta.
Penderitaan ganda ini mewajibkan berbagai pihak untuk menilai kembali posisi konfliktual yang mereka hadapi dalam kerangka mencari langkah-langkah penyelesaian konflik yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Merupakan sebuah tanggung jawab moral bagi setiap pihak untuk pertama-tama menghentikan perang. Konflik bersenjata antara TNI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sudah semestinya dihentikan mengingat beberapa bantuan kemanusiaan tidak sampai sasaran karena transportasi masih terputus, maupun ancaman konflik bersenjata yang bisa berlangsung kapan saja. Melanjutkan operasi militer bagi kedua pihak yang berkonflik dalam situasi darurat seperti sekarang hanya menunjukkan tidak adanya kepekaan atas kesediaan untuk menghargai martabat kemanusiaan.
Kedua, berhadapan dengan luluh lantaknya sistem pendidikan di Aceh dan daerah lain yang diterjang tsunami, pemerintah bekerja sama dengan LSM- LSM, baik internasional maupun nasional, mesti segera memikirkan kelangsungan pendidikan, terutama bagi anak- anak dengan memerhatikan dimensi psikologis yang mereka alami. Dalam hal ini, menyiapkan para guru yang dibekali pengetahuan psikologis untuk mengenali situasi kejiwaan anak-anak yang menjadi korban merupakan sebuah kemendesakan.
Membangun kembali prasarana dan sarana pendidikan pascabencana di satu sisi memberi semacam keuntungan berupa kesempatan membangun kembali sistem pendidikan yang menghindari kelemahan dan kesalahan di masa lalu, menciptakan sistem pendidikan yang menghargai harkat kemanusiaan, menciptakan solidaritas dan harmoni yang memecah akar- akar konflik politik. Demikian juga merupakan sebuah kesempatan untuk merekonseptualisasi kurikulum dan metode dalam kerangka jangka panjang berdasar kebutuhan nyata siswa, termasuk memperkuat sistem formasi pengajar dengan memberi berbagai macam pelatihan yang dibutuhkan.
Memberi beasiswa bagi pelajar korban atau memindahkan mereka ke sekolah lain merupakan usaha yang patut dihargai, tetapi tetap bukan perwujudan adanya rasa krisis (sense of crisis) dan penghargaan bagi siswa yang menjadi korban bencana, mengingat situasi psikologis yang mereka alami begitu traumatis di mana program pendidikan nasional yang diterapkan dalam situasi normal amat jauh dari apa yang mereka butuhkan. Program pendidikan nasional tidak dapat diterapkan dalam situasi pendidikan darurat seperti terjadi di Aceh dan daerah bencana lain. Inilah yang harus diingat dan diperhatikan sebelum mengambil langkah-langkah penyelamatan atas kelangsungan pendidikan anak-anak korban bencana.
Tanggapan terhadap situasi pendidikan darurat sering fragmentaris karena adanya berbagai macam kesulitan di lapangan maupun dalam kerangka pemberian kewenangan. Untuk kasus Aceh, sudah semestinya pemerintah membuka akses sebesar-sebesarnya bagi lembaga internasional, seperti Unesco, agar mereka mampu bekerja sama dengan LSM-LSM lokal maupun nasional dalam membangun kembali dunia pendidikan di Aceh.
Sementara itu, sudah merupakan conditio sine qua non untuk mengatasi kendala yang bersifat politis, terlebih dalam menghentikan konflik bersenjata, membangun jalur dialog antara pihak pemerintah dan kelompok bersenjata di Aceh untuk menghentikan perang, dan turun tangan secara bersama-sama dalam menciptakan masa depan yang lebih baik yang menghormati kemartabatan sesama manusia.
Menciptakan kesadaran baru
Menyadari kemendesakan untuk segera membangun kembali situasi pendidikan di Aceh merupakan langkah awal yang baik guna memulai sebuah masyarakat baru yang menghargai hak-hak dasar manusia, seperti tercantum dalam deklarasi hak-hak asasi manusia universal dan UUD 1945 dalam kerangka pendidikan, terutama hak tiap orang untuk mengenyam pendidikan yang layak, apa pun situasi yang sedang mereka hadapi. Untuk ini, kepentingan politik, semestinya mengatasi kepentingan mendesak para korban yang kemanusiaannya diinjak-injak entah karena situasi politik sebelum maupun sesudah bencana.
Semoga kesadaran baru seperti ini merupakan langkah awal yang baik untuk menata kembali puing-puing reruntuhan sistem pendidikan di daerah-daerah yang terkena bencana, terutama di Aceh, yang hari-hari ini menjadi semakin istimewa. Sebab, bencana Aceh tak hanya mengabarkan duka di setiap keluarga umat manusia, tetapi sebuah momen kelahiran bagi sebuah solidaritas umat manusia universal yang mengatasi sekat-sekat agama, terlebih sekat-sekat politik yang selama ini membuat masyarakat Aceh terpuruk dalam lembah duka lara tiada tara.

Doni Koesoema A Mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma


Artikel dimuat di harian KOMPAS, Jumat, 07 Januari 2005

Anak-Anak Tanpa Identitas

Oleh Doni Koesoema, A

Kelabu, itulah kenangan yang masih diingat tentang masa kecilnya. Ibunya pergi menghadap Sang Khalik ketika ia berumur beberapa bulan. Bapaknya adalah seorang gembala di sebuah dusun kecil, seorang pekerja keras yang tak sempat memikirkan pendidikan primer yang dibutuhkannya ketika ia tumbuh sebagai seorang bocah. Ia menerima didikan dari seorang asing yang menjadi ibu angkatnya. Namun setelah ibu asuh itu memiliki anak dari darah dagingnya sendiri, berakhirlah pendidikan yang ia terima. Si kecil malang bermasalalu kelabu itu adalah Friedrich Wilhelm August Fröbel (1782-1852). Dialah penggagas sistem sekolah bagi anak-anak usia dini yang kita kenal dengan Taman kanak-kanak (kindergarten system).

Di negeri kita, ada 23.5 juta anak bermasa lalu kelabu seperti Froebel. Namun Froebel masih lebih untung. Meski ia memiliki masa lalu kelabu, ia tetap memiliki akses pada pendidikan. Akses pada pendidikan membuka cakrawala hidup dan pandangannya sehingga terlahir sistem pendidikan bagi bagi anak-anak.

Anak indonesia lebih malang nasibnya. Situasi kemiskinan membuat mereka tak dapat menikmati sekolah. Menurut Fasli Jalal, Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda(PLSP) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) ada sekitar 16 juta anak Indonesia yang buta huruf (Kompas,24/7).

Buntunya akses pada dunia pendidikan juga dapat dilihat secara implisit dalam laporan Unicef seperti dikutip AsiaNews (21/7) yang menyatakan bahwa 26% dari 90,2 juta anak di Indonesia tidak memiliki kartu identitas, baik berupa akta kelahiran maupun Kartu Tanda Penduduk (KTP). Anak-anak tanpa nama, tanpa negara, tanpa masa lalu ini ada sekitar 23.5 juta. Keberadaan mereka sebagai warga negara tidak diakui, masa lalu mereka terhapus dari catatan sejarah. Tanpa akta kelahiran dan KTP hak-hak asasi mereka dapat diperkosa seenaknya. Mereka bisa dijebloskan sebagai pekerja dibawah umur, diperas tenaganya tanpa dapat membela diri, diperdagangkan di pasar gelap, dan diadopsi secara tidak sah. Mereka juga tidak mendapatkan pelayanan kesehatan, tak dapat mengklaim hak-haknya secara legal. Mereka tidak dapat memiliki akses pada pendidikan yang pada akhirnya akan menyingkirkan dan meminggirkan mereka dalam kehidupan sosial. Indonesia, l’infanzia ‘cancellata’ itulah judul besar yang ditulis oleh harian Avenire yang terbit di Italia (1/8) untuk menggambarkan terhapusnya catatan sejarah anak Indonesia yang tak memiliki identitas.

Kita tak bisa membiarkan situasi ini berlarut-larut. Kita tidak bisa membiarkan 23.5 juta anak Indonesia tidak beridentitas. Menurut laporan AsiaNews, anak-anak kita tidak memiliki identitas karena alasan ekonomis. Keluarga miskin tak dapat mencatatkan anaknya sebab mereka mesti merogoh kantong antara 5 ribu sampai 15 ribu rupiah untuk mendapatkan akta kelahiran atau KTP. Sementara jutaan anak tak dapat memiliki akses pada dunia pendidikan karena alasan kemiskinan, kita semakin pilu menyaksikan maraknya Taman Kanak-Kanak berbintang bintang lima yang tersebar di Jakarta yang untuk uang pangkal saja orang tua mesti merogoh uang saku antara 20 juta sampai 40 juta!

Karena itu sangat tepat jika Presiden Megawati dalam kesempatan Hari Anak Nasional mengkampanyekan pendidikan bagi semua dibarengi dengan pembuatan akta kelahiran. Inisiatif mulia ini patut didukung oleh semua rakyat Indonesia, namun terlebih para politisi dan pemerintah yang memiliki infrastruktur untuk proses administratif ini. Dibutuhkan kemauan politik yang kuat disertai tindakan nyata. Jika tidak, jangan heran jika kemudian orang mencibir, “Ah itu semua cuma omong kosong. Sama saja dengan para politisi yang lain yang hanya bisa omong dan tidak pernah dapat menepati janji.” Jika untuk membebaskan biaya pembuatan akta kelahiran dan KTP gratis saja pemerintah begitu lamban, apalagi untuk mewujudnyatakan program pendidikan bagi semua. Kita tidak ingin bahwa kampanye pendidikan untuk semua hanya menjadi pamflet politik.

Politik dan pendidikan

Pendidikan memang selalu menjadi bahan dagangan bagi para politisi di mana saja. Justru karena kepentingannya yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, bidang ini menjadi rebutan banyak pihak, mulai dari para politisi, penerbit, sampai penjual buku. Dalam sejarah pendidikan di Italia misalnya, kita temukan sosok Il Duce Mussolini, yang berhasil mengkooptasi bidang pendidikan demi berseminya ideologi fasis bagi kepentingan politiknya. Partai Komunis Pembaharuan di Italia (Partito Comunista Rifondazione) beberapa waktu yang lalu juga melancarkan pendidikan untuk semua dan menentang berbagai macam Program pendidikan Morati yang dinilai lambat mengantisipasi keadaan. Di Indonesia, kita masih ingat bagaimana selama 30 tahun proses ideologisasi ini juga masuk di sekolah-sekolah kita dengan program penataran P4. Antara pendidikan dan kebijakan politik memiliki kaitan yang begitu erat. Tugas untuk memberikan kesempatan pendidikan bagi semua bukanlah hasil kerja orang perorangan melainkan tanggungjawab yang mesti dilakukan oleh negara. Hanya negaralah yang memiliki kemampuan berupa sarana dan prasarana untuk menciptakan situasi pendidikan yang memadai.

Program pembaharuan dalam bidang pendidikan, apapun bentuknya, hanya akan dapat terjadi jika para politisi memiliki kemauan politik dan langkah strategis efektif yang jelas. Kemauan politik dan langkah strategis yang efektif akan memiliki fondasi yang kokoh ketika mereka memiliki kesungguhan hati untuk pertama-tama menghargai hak-hak dasar warga negara, dan kemudian memberikan fasilitas dan sarana yang memadai bagi proses pendidikan bagi setiap warga negara. Sebab merupakan amanat suci pendiri bangsa bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Fenomena anak-anak tanpa identitas adalah sebuah cela bagi para politisi apapun affiliasi partai yang dimilikinya. Jutaan anak Indonesia tanpa identitas adalah sebuah tanda bahwa penghargaan kita pada anak-anak, yang oleh Presiden megawati dikatakan sebagai ‘pemilik hari esok bangsa’, masih berada pada level pemanis bibir semata.

Di dunia ini kita tidak sendirian memerangi keberadaan anak-anak tanpa identitas. Ada 19 negara lain yang oleh AsiaNews dilaporkan memiliki permasalahan serupa. Karena itu kerja sama internasional dalam hal ini juga mendesak untuk dikembangkan. Jual beli tenaga murah anak-anak di pasar gelap bukan hanya persoalan nasional, melainkan melibatkan jaringan perdagangan orang di tingkat mondial. Perbudakan terselubung, pencabutan hak untuk hidup layak, hak untuk memiliki sejarah hidup, dll, merupakan sebuah pelecehan bagi kemanusiaan secara keseluruhan.

Banyak anak memiliki masa lalu kelabu seperti dialami oleh Frobel. Namun jutaan anak mengalami masa lalu kelabu melebihi apa yang dialami oleh Frobel. Lingkaran setan yang pecah dalam memutus masa lalu kelabu Frobel adalah akses pada pendidikan. Akses pada dunia pendidikan membangkitkan empati dan keprihatinan untuk membaharui pendidikan bagi anak-anak yang tersistem dalam program negara.

Keterbukaan bagi semua warga untuk mengenyam pendidikan hanya dapat terjadi jika kemartabatan setiap orang dihargai dan masa lalu mereka diakui. Untuk ini, adalah sangat mendesak pemerintah segera bertindak untuk memberikan pelayanan gratis bagi setiap warga negara yang ingin memperoleh identitas bagi kemartabatan mereka. Program pendidikan bagi semua dan pencatatan akta kelahiran yang dicanangkan oleh Presiden Megawati adalah program yang mulia, sebab kehadiran anak-anak Indonesia tanpa identitas adalah sebuah cela bagi sejarah bangsa.

Doni Koesoema,A Penulis adalah mahasiswa universitas Gregoriana, Roma.
Artikel dimuat di KOMPAS, 05 Agustus 2004

Pendidikan Keagamaan