Oleh Doni Koesoema A
Berita tentang 100.000 murid dan 7000 guru yang menggelar aksi mogok mengajar di Bangkinang, Riau, yang diberitakan harian ini (14/12) hampir selama seminggu berturut-turut ternyata tidak segera membangkitkan minat para pejabat terkait untuk segera mengatasinya. Apakah memang tuntutan mereka tidak layak untuk didengarkan? Apakah kasus ini layak dibiarkan begitu saja diterpa badai berita lebih akbar tentang Akbar?
Guru itu telah kembali ke jalan. Mereka telah meninggalkan kelas, meninggalkan siswa, meninggalkan tugas-tugas utamanya untuk memperjuangkan kemartabatan dan harga dirinya yang telah diinjak-injak oleh kekuasaan. Sepertinya ambang batas kesabaran para pendidik ini telah habis ketika hal terakhir yang dimilikinya, yaitu, harga dirinya sebagai guru dilecehkan. Mungkin mereka masih bisa tahan berdiri sebagai guru di tengah situasi krisis ekonomi bangsa. Namun, siapa dapat tetap tahan jika kemartabatan (dignity) mereka diinjak-injak? Kemartabatan bagi kita adalah adalah sadumuk bathuk sanyari bumi (setiap jengkal, bahkan jika hanya sekening dahipun) akan kita pertahankan mati-matian. Tampaknya rundung malang para guru di Kampar yang dikampar kemartabatan mereka telah sampai pada taraf ini.
Guru yang berjuang di jalanan memberikan dampak material yang tak bisa disepelekan begitu saja, yaitu, macetnya proses pendidikan di 560 sekolah, mulai dari SD sampai SLTA. Meski mogok ini dikatakan tidak ada unsur manipulasi politis, namun dampak-dampak politisnya sesungguhnya begitu besar. Mogok para guru mau tidak mau mesti bersifat politis. Tuntutan mencopot jabatan seorang Bupati adalah tuntutan politis.
Namun dari pengalaman kita menyaksikan bahwa demonstrasi para guru yang terjadi dalam skala yang begitu besar (misalnya, demonstrasi pada saat proses perancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan demonstrasi di Kampar) pada akhirnya jatuh sekedar pada simbolisme dan tidak memiliki dampak nyata sebab pemahaman strategis konseptual yang mereka usung lemah.
Kelemahan strategis konseptual ini terjadi karena kekurangcermatan membuat analisis persoalan. Ambillah contoh dalam kasus Kampar. Permasalahan muncul ketika seorang guru teladan tingkat nasional diusir dari ruang pertemuan oleh seorang bupati karena ia mempertanyakan proporsi anggaran APBD bagi pendidikan. Persoalan yang muaranya adalah politis, sebab berkaitan dengan transparansi penggunaan anggaran publik dari pihak pemerintah, semestinya ditindaklanjuti dalam kerangka politik, yaitu, menciptakan sistem kontrol publik yang ketat atas penggunaan dana-dana masyarakat dalam APBD bagi pendidikan. Namun apa yang diperjuangkan para guru adalah dicopotnya bupati dari jabatan publik yang dimilikinya, seolah dengan dicopotnya oknum pejabat tersebut persoalan akan selesai. Inilah kelemahan strategis-konseptual demonstrasi guru di Riau.
Dunia sekunder
Guru tidak akan turun ke jalan seandainya mereka tidak mengalami perasaan senasib seperti guru yang diusir oleh Bupati. Solidaritas ini berdasarkan pada pengalaman nyata yang dihidupi para guru di sekolah. Para guru turun ke jalan karena apa yang mereka alami, apa yang dialami rekan kerja mereka adalah benar-benar menyentuh pengalaman mereka sebagai guru. Karena itu mereka ingin mengubah dan memperjuangkan agar pengalaman pahit itu tidak terjadi lagi. Namun apakah pengalaman yang menjadi basis perjuangan itu sekedar urusan pribadi satu dengan pribadi lain saja, sehingga persoalan cukup diselesaikan dengan dicopotnya jabatan Bupati? Diagnosis permasalahan yang kurang cermat membuat cara pengobatan tidak efektif. Karena itu, perlulah klarifikasi permasalahan agar tuntutan para guru efektif.
J.B. Metz dalam Faith in History and Society(1980) memberikan dua ciri penting analisis situasi yang membantu kita menemukan langkah-langkah strategis agar sebuah perjuangan pembaharuan itu efektif. Pertama, analisis situasi mesti dilihat dalam kerangka sebuah jaringan yang lebih luas (world-wide scale). “Sekarang ini hubungan sosial-politik-ekonomi menjadi takterpisahkan satu sama lain, karena itu tak satu situasi pun dapat ditentukan secara nyata tanpa mempertimbangkan dimensi globalnya.” (1980:4) Karena itu, lanjut Metz, setiap usaha yang menginginkan hasil-hasil praktis, nyata, namun mengabaikan dimensi global permasalahan yang dihadapinya hanya akan menjadi perjuangan abstrak.
Kedua, apa yang sering kita acu dengan pengalaman dalam kenyataannya adalah sebuah dunia sekunder (meta-world), dengan kata lain, sebuah dunia yang dalam kenyataan intinya merupakan impresi dari berbagai macam sistem dan teori, dan karena itu hanya dapat dialami dan mungkin diubah melalui sistem dan teori itu sendiri. Jika kenyataan ini dilupakan, yang terjadi adalah praksis diterima tanpa sikap kritis. Sebuah praksis yang gagal mempertimbangkan kompleksitas struktur dunia yang kita alami sebagai dunia sekunder hanya akan muncul secara sporadis dan tidak efektif. Lebih dari itu, gerakan itu hanya akan menjadi gerakan simbolis atas realitas baru yang diperjuangkan, namun tidak dapat dari dalam dirinya sendiri menghasilkan perubahan nyata, bahkan gerakan itu berpotensi terserap oleh kekuatan sistem itu sendiri yang pada gilirannya menjadi kontra produktif bagi perjuangan yang telah dimulainya.
Langkah strategis
Kegiatan ekstra-aktifitas yang dilakukan para guru untuk turun ke jalan mesti disertai dengan langkah-langkah strategis agar perjuangannya tidak kembali jatuh pada gerakan simbolis semata yang malahan akan makin mempertahankan status quo. Ada beberapa langkah strategis yang bisa dibuat:
Pertama, para guru sudah saatnya membentuk sebuah lembaga independen yang bertujuan memperjuangkan hak-haknya sesuai dengan kapasitas profesional yang dimilikinya. Kasus di Kampar sebenarnya menunjukkan bahwa kekuatan politis guru tak bisa disepelekan begitu saja.
Kedua, tingkat perjuangan yang dilakukannya tak bisa hanya sekedar tindakan simbolis, dengan demo-demo di jalanan, melainkan perubahan struktur dan sistem. Dalam kasus di kabupaten Kampar, Riau, misalnya yang utama mesti diperjuangkan adalah kontrol publik atas penggunaan anggaran APBD bagi pendidikan, dll. Otonomi daerah bisa menjadi kesempatan untuk menjadikan lembaga pemerintahan berfungsi efektif dalam kerangka pemberdayaan potensi rakyat. Daya juang yang digalakkannya di satu sisi bersifat global, namun di lain pihak lokal, sehingga kinerja dan hasil bisa direfleksikan dan dicermati secara terus menerus.
Ketiga, lembaga ini dalam memperjuangkan hak-hak dan tujuannya bekerja sama dengan lembaga-lembaga lain dalam masyarakat yang memiliki komitmen sama, sehingga menumbuhkan kekuatan-kekuatan demokratis di kalangan kelompok profesional.
Menyaksikan perjuangan para guru yang mesti keluar dari kelas dan memperjuangkan nasibnya di jalanan membuat hati kita terluka, sebab dari merekalah kita mengenyam kemajuan dan pendidikan kita saat ini. Janganlah kita menjadi bangsa yang tidak mengenal terimakasih. Dikamparnya martabat guru mesti selalu kita ingat sebagai catatan sejarah buruk dalam sejarah pendidikan kita. Karena itu kasus ini tidak layak dibiarkan begitu saja menguap ditelan hiruk pikuk berita yang lebih akbar.
Doni Koesoema, A. Penulis adalah mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma.
Guru itu telah kembali ke jalan. Mereka telah meninggalkan kelas, meninggalkan siswa, meninggalkan tugas-tugas utamanya untuk memperjuangkan kemartabatan dan harga dirinya yang telah diinjak-injak oleh kekuasaan. Sepertinya ambang batas kesabaran para pendidik ini telah habis ketika hal terakhir yang dimilikinya, yaitu, harga dirinya sebagai guru dilecehkan. Mungkin mereka masih bisa tahan berdiri sebagai guru di tengah situasi krisis ekonomi bangsa. Namun, siapa dapat tetap tahan jika kemartabatan (dignity) mereka diinjak-injak? Kemartabatan bagi kita adalah adalah sadumuk bathuk sanyari bumi (setiap jengkal, bahkan jika hanya sekening dahipun) akan kita pertahankan mati-matian. Tampaknya rundung malang para guru di Kampar yang dikampar kemartabatan mereka telah sampai pada taraf ini.
Guru yang berjuang di jalanan memberikan dampak material yang tak bisa disepelekan begitu saja, yaitu, macetnya proses pendidikan di 560 sekolah, mulai dari SD sampai SLTA. Meski mogok ini dikatakan tidak ada unsur manipulasi politis, namun dampak-dampak politisnya sesungguhnya begitu besar. Mogok para guru mau tidak mau mesti bersifat politis. Tuntutan mencopot jabatan seorang Bupati adalah tuntutan politis.
Namun dari pengalaman kita menyaksikan bahwa demonstrasi para guru yang terjadi dalam skala yang begitu besar (misalnya, demonstrasi pada saat proses perancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan demonstrasi di Kampar) pada akhirnya jatuh sekedar pada simbolisme dan tidak memiliki dampak nyata sebab pemahaman strategis konseptual yang mereka usung lemah.
Kelemahan strategis konseptual ini terjadi karena kekurangcermatan membuat analisis persoalan. Ambillah contoh dalam kasus Kampar. Permasalahan muncul ketika seorang guru teladan tingkat nasional diusir dari ruang pertemuan oleh seorang bupati karena ia mempertanyakan proporsi anggaran APBD bagi pendidikan. Persoalan yang muaranya adalah politis, sebab berkaitan dengan transparansi penggunaan anggaran publik dari pihak pemerintah, semestinya ditindaklanjuti dalam kerangka politik, yaitu, menciptakan sistem kontrol publik yang ketat atas penggunaan dana-dana masyarakat dalam APBD bagi pendidikan. Namun apa yang diperjuangkan para guru adalah dicopotnya bupati dari jabatan publik yang dimilikinya, seolah dengan dicopotnya oknum pejabat tersebut persoalan akan selesai. Inilah kelemahan strategis-konseptual demonstrasi guru di Riau.
Dunia sekunder
Guru tidak akan turun ke jalan seandainya mereka tidak mengalami perasaan senasib seperti guru yang diusir oleh Bupati. Solidaritas ini berdasarkan pada pengalaman nyata yang dihidupi para guru di sekolah. Para guru turun ke jalan karena apa yang mereka alami, apa yang dialami rekan kerja mereka adalah benar-benar menyentuh pengalaman mereka sebagai guru. Karena itu mereka ingin mengubah dan memperjuangkan agar pengalaman pahit itu tidak terjadi lagi. Namun apakah pengalaman yang menjadi basis perjuangan itu sekedar urusan pribadi satu dengan pribadi lain saja, sehingga persoalan cukup diselesaikan dengan dicopotnya jabatan Bupati? Diagnosis permasalahan yang kurang cermat membuat cara pengobatan tidak efektif. Karena itu, perlulah klarifikasi permasalahan agar tuntutan para guru efektif.
J.B. Metz dalam Faith in History and Society(1980) memberikan dua ciri penting analisis situasi yang membantu kita menemukan langkah-langkah strategis agar sebuah perjuangan pembaharuan itu efektif. Pertama, analisis situasi mesti dilihat dalam kerangka sebuah jaringan yang lebih luas (world-wide scale). “Sekarang ini hubungan sosial-politik-ekonomi menjadi takterpisahkan satu sama lain, karena itu tak satu situasi pun dapat ditentukan secara nyata tanpa mempertimbangkan dimensi globalnya.” (1980:4) Karena itu, lanjut Metz, setiap usaha yang menginginkan hasil-hasil praktis, nyata, namun mengabaikan dimensi global permasalahan yang dihadapinya hanya akan menjadi perjuangan abstrak.
Kedua, apa yang sering kita acu dengan pengalaman dalam kenyataannya adalah sebuah dunia sekunder (meta-world), dengan kata lain, sebuah dunia yang dalam kenyataan intinya merupakan impresi dari berbagai macam sistem dan teori, dan karena itu hanya dapat dialami dan mungkin diubah melalui sistem dan teori itu sendiri. Jika kenyataan ini dilupakan, yang terjadi adalah praksis diterima tanpa sikap kritis. Sebuah praksis yang gagal mempertimbangkan kompleksitas struktur dunia yang kita alami sebagai dunia sekunder hanya akan muncul secara sporadis dan tidak efektif. Lebih dari itu, gerakan itu hanya akan menjadi gerakan simbolis atas realitas baru yang diperjuangkan, namun tidak dapat dari dalam dirinya sendiri menghasilkan perubahan nyata, bahkan gerakan itu berpotensi terserap oleh kekuatan sistem itu sendiri yang pada gilirannya menjadi kontra produktif bagi perjuangan yang telah dimulainya.
Langkah strategis
Kegiatan ekstra-aktifitas yang dilakukan para guru untuk turun ke jalan mesti disertai dengan langkah-langkah strategis agar perjuangannya tidak kembali jatuh pada gerakan simbolis semata yang malahan akan makin mempertahankan status quo. Ada beberapa langkah strategis yang bisa dibuat:
Pertama, para guru sudah saatnya membentuk sebuah lembaga independen yang bertujuan memperjuangkan hak-haknya sesuai dengan kapasitas profesional yang dimilikinya. Kasus di Kampar sebenarnya menunjukkan bahwa kekuatan politis guru tak bisa disepelekan begitu saja.
Kedua, tingkat perjuangan yang dilakukannya tak bisa hanya sekedar tindakan simbolis, dengan demo-demo di jalanan, melainkan perubahan struktur dan sistem. Dalam kasus di kabupaten Kampar, Riau, misalnya yang utama mesti diperjuangkan adalah kontrol publik atas penggunaan anggaran APBD bagi pendidikan, dll. Otonomi daerah bisa menjadi kesempatan untuk menjadikan lembaga pemerintahan berfungsi efektif dalam kerangka pemberdayaan potensi rakyat. Daya juang yang digalakkannya di satu sisi bersifat global, namun di lain pihak lokal, sehingga kinerja dan hasil bisa direfleksikan dan dicermati secara terus menerus.
Ketiga, lembaga ini dalam memperjuangkan hak-hak dan tujuannya bekerja sama dengan lembaga-lembaga lain dalam masyarakat yang memiliki komitmen sama, sehingga menumbuhkan kekuatan-kekuatan demokratis di kalangan kelompok profesional.
Menyaksikan perjuangan para guru yang mesti keluar dari kelas dan memperjuangkan nasibnya di jalanan membuat hati kita terluka, sebab dari merekalah kita mengenyam kemajuan dan pendidikan kita saat ini. Janganlah kita menjadi bangsa yang tidak mengenal terimakasih. Dikamparnya martabat guru mesti selalu kita ingat sebagai catatan sejarah buruk dalam sejarah pendidikan kita. Karena itu kasus ini tidak layak dibiarkan begitu saja menguap ditelan hiruk pikuk berita yang lebih akbar.
Doni Koesoema, A. Penulis adalah mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma.
No comments:
Post a Comment