Tuesday, 4 December 2018

Pendidikan Keagamaan


Oleh Doni Koesoema A.
 
Naskah Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan begitu tersiar ke publik langsung menuai pro dan kontra. RUU terkesan dipaksakan. Ada apa di balik RUU ini?

Urgensi sebuah UU bisa dilihat dari bagian pertimbangannya. Pertama, RUU ini dibuat untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia warga Negara melalui Pendidikan Keagamaan dan penyelenggaraan Pesantren.

Kedua, RUU ini berasumsi bahwa selama ini masih ada ketimpangan pada aspek pembiayaan, dukungan sarana dan prasarana, sumber daya manusia bermutu, dan kurangnya keberpihakan Negara terhadap pesantren dan pendidikan keagamaan.

Ketiga, pengelolaan pesantren dan pendidikan keagamaan belum mengakomodasi perkembangan, aspirasi dan kebutuhan masyarakat, serta pengaturan hukumnya belum komprehensif.

Intervensi Negara

Dari dasar pertimbangan ini jelas bahwa RUU ini memiliki visi sangat spiritual, yaitu membentuk keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia. Bahwa Negara mendorong warga negaranya untuk menjadi warga Negara yang memiliki kerohanian kuat, beriman, bertakwa dan memiliki akhlak mulia jelas sebuah keharusan. Namun, ketika Negara mulai mengatur bagaimana cara-cara warga Negara menjadi orang yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia, menentukan apa yang harus dipelajari agar individu menjadi pemimpin dan pemuka agama, di sini mulai muncul masalah. Sejauh mana kewenangan Negara dalam mencampuri urusan individual personal keimanan dan ketakwaan warga negaranya, dan kewenangan yang menjadi urusan lembaga agama?

Mengingat peranan pesantren dan pendidikan keagamaan sangat penting, dan diakui bahwa dalam sejarah pesantren telah berjasa bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia, maka pengaturan tentang pesantren sebaiknya mengatur tentang penyelenggaraannya sebagai organisasi atau lembaga, bukan masuk pada detail tentang berbagai mata pelajaran yang harus dipelajari para santri. Demikian juga berlaku bagi peserta didik dalam pendidikan keagamaan yang menjadi kewenangan lembaga agama.

Dalam konteks keindonesiaan terkini, di mana ancaman radikalisme begitu tinggi, dan dalam beberapa penelitian ancaman ini masuk melalui pesantren maupun pendidikan keagamaan, maka sebaiknya RUU ini mengikat para pelaku dan lembaga pendidikan pada keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mendasarkan diri pada Pancasila.

Sayangnya, dalam RUU ini, kata Pancasila hanya disebut sekali. Ini pun hanya terdapat pada bagian penjelasan, terutama pada penjelasan umum, ketika menjelaskan kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah dalam membina penyelenggaraan pendidikan keagamaan saja, tidak termasuk Pesantren.

Dalam asas-asas yang dipakai untuk menyelenggarakan Pesantren dan Pendidikan Keagamaan, salah satunya disebutkan tentang asas kebangsaan (pasal 2 butir b). Namun, dalam penjelasan tentang asas kebangsaan ini, tidak dijelaskan secara eksplisit maksudnya dalam konteks keindonesiaan. Dalam butir penjelasan pada pasal ini hanya dijelaskan bahwa “penyelenggaraan Pesantren dan Pendidikan Keagamaan dilaksanakan untuk memupuk jiwa cinta tanah air dan bela Negara”. Penjelasan pasal ini tidak secara eksplisit menyebutkan cinta tanah Indonesia, dan bela Negara Indonesia.

Pada pertimbangan kedua, persoalannya lebih jelas dipahami. Visi RUU ini sangat material, yaitu akan berakibat bahwa Negara wajib mengeluarkan anggaran untuk penyelenggaran Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. Keberpihakan Negara terhadap Pesantren dan Pendidikan Keagamaan dalam pembiayaan dirasakan kurang.

Konsekuensi Anggaran

Pertimbangan pada butir kedua memiliki konsekuensi anggaran pendidikan yang tidak sedikit. Menurut RUU ini, Negara wajib mengeluarkan anggaran untuk pembiayaan penyelenggaraan Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. Konsekuensi ini perlu dipertimbangkan secara lebih serius mengingat anggaran pendidikan kita terbatas. Jika RUU ini lolos, porsi 20 persen anggaran pendidikan dari APBN tetap, namun pos untuk pembagian anggaran pendidikan menjadi bertambah. Karena itu, pasti akan ada pengurangan pada postur anggaran pendidikan di tempat lain.

Pengakuan penyelenggaraan pendidikan pesantren dan pendidikan keagamaan yang sejajar dengan pendidikan formal lain akan berkonsekuensi bahwa para santri dan peserta didik pendidikan keagamaan yang ikut dalam pendidikan formal akan memperoleh Bantuan Operasional Sekolah (BOS), para guru dan tenaga pendidikan di pesantren bisa memperoleh tunjangan sertifikasi, dan perlunya pengeluaran anggaran pendidikan untuk tersedianya sarana dan prasarana pendidikan Pesantren dan Pendidikan Keagamaan.

Sebagai simulasi, bila untuk para santri saja kita asumsikan jumlahnya sekitar 4 juta, dan mereka mendapatkan dana BOS sebesar 1 Juta rupiah per tahun, maka harga RUU ini 4 Triliun rupiah untuk penyelenggaraan pesantren dan pendidikan keagamaan. Ini belum termasuk pembiayaan lain. Konseksuensi dari RUU ini dari sisi anggaran berat. Karena akan memengaruhi peningkatan kualitas pendidikan secara umum.

Tentu kita senang bahwa para santri secara khusus memperoleh dukungan pembiayaan dari Negara agar dapat berkembang. Demikian juga para santri, guru agama, katekis, yang selama ini hanya memperoleh honor dari lembaga keagamaan, yang seringkali ala kadarnya saja, sekarang bisa memiliki potensi memperoleh honor dan tunjangan sertifikasi dari Negara. Namun, konsekuensi dari sisi pengeluaran anggaran pendidikan perlu dipertimbangkan secara serius.

Dengan RUU ini, Negara mengeluarkan anggaran besar untuk mengelola Penyelenggaraan Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. Namun, pasal-pasal yang memberikan kewenangan pada Negara untuk membina dan mengembangkan Pesantren dan Pendidikan Keagamaan sangat kecil, bahkan tidak dibahas secara rinci.

Negara memiliki kepentingan bahwa penyelenggaraan Pesantren memiliki visi rahmatan lil alamin, dididik oleh para kiai dan guru agama yang kuat semangat nasionalisme, dan Pendidikan Keagamaan yang dikelola melahirkan peserta didik yang cinta Indonesia. Sayangnya, berbagai kewenangan untuk pembinaan Pesantren dan Pendidikan Keagaamaan ini tidak secara jelas dijabarkan dalam pasal-pasal RUU. Jadi, biaya besar tidak disertai kewenangan efektif Negara dalam memastikan penyelenggaraan Pesantren dan Pendidikan Keagamaan tidak bertentangan dengan ideologi bangsa.

Tidak Sinkron

Pada butir pertimbangan ketiga, terkait dengan sinkronisasi hukum yang mengatur penyelenggaraan Pesantren dan Pendidikan Keagamaan, terdapat potensi tumpang tindih dan tidak sinkron terkait konsep Pendidikan Keagamaan.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah secara khusus mengatur tentang Pendidikan Keagamaan. Dalam UU ini disebutkan bahwa Pesantren termasuk di dalam kelompok Pendidikan Keagamaan. Pada pasal 30 ayat 4 dinyatakan bahwa “pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.” Lebih lanjut, tentang pendidikan keagamaan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah. Tidak ada amanat membuat Undang-Undang terkait Pesantren.

Namun, dalam RUU ini, Pesantren dianggap bukan sebagai bentuk Pendidikan Keagamaan. Padahal, dari definisi yang diberikan tentang Pendidikan Keagamaan, Pesantren seharusnya masuk dalam definisi Pendidikan Keagamaan. Jika per definisi sebenarnya Pesantren adalah salah satu bentuk Pendidikan Keagamaan, mengapa nama RUU ini adalah tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan, bukankah akan lebih baik disebut RUU Pendidikan Keagamaan di mana tentang Pesantren juga diatur di dalamnya?

UU Sisdiknas mengamanatkan bahwa Pendidikan Keagamaan, termasuk di dalamnya Pesantren, diatur dalam Peraturan Pemerintah, bukan diatur dalam Undang-Undang. Karena itu, RUU ini menjadi tumpang tindih dengan konsep Pendidikan Keagamaan sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas.

Konsep Pendidikan Keagamaan yang diacu pada RUU ini juga memiliki perbedaan dengan konsep Pendidikan Keagamaan dalam UU Sisdiknas. Bila dalam UU Sisdiknas, konsep Pendidikan Keagamaan adalah pendidikan umum plus berciri keagamaan, seperti Madrasah, dan sekolah lain sejenis, dalam RUU ini Pendidikan Keagamaan dipahami sebagai pendidikan keagamaan plus beberapa mata pelajaran nasional (kurikulum nasional sekedar sebagai tambahan saja). Namun, secara legal, ijasah yang diperoleh peserta didik dalam lembaga pendidikan yang dikelola Pesantren dan Pendidikan Keagamaan dianggap setara dengan pendidikan umum, meskipun isi kurikulumnya sangat berbeda. Dua konsep ini sangat berbeda, kualifikasi dan kompetensinya pun sangat berbeda sehingga tidak bisa disamakan.

Persoalan tentang keterkaitan RUU ini dengan Pancasila, konsekuensi anggaran, intervensi Negara pada urusan lembaga pendidikan, dan rancunya konsep Pendidikan Keagamaan dalam konstelasi Undang-Undang yang sudah ada, kiranya perlu mendapatkan perhatian serius dari anggota dewan dan masyarakat Indonesia.

Membentuk karakter warga Negara yang beriman, bertakwa, bermoral, memang penting. Namun Negara perlu memahami keterbatasannya saat mengurusi hak-hak individu warga Negara dalam mengembangkan iman dan ketakwaannya, dan terutama Negara perlu menghargai peranan lembaga keagaamaan yang memiliki kewenangan mengelola Pendidikan Keagamaan.

Doni Koesoema A. Pemerhati Pendidikan dan Pengajar di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong.

Opini dimuat di KOMPAS, 15 November 2018

Thursday, 26 May 2016

Polemik Mahalnya Uang Kuliah Perguruan Tinggi



Oleh: Suadi

Akses mengenyam pendidikan tinggi se­tingkat universi­tas, institut, sekolah ting­gi dan sejenisnya masih terhambat ma­hal­nya biaya kuliah. Terlebih kebijakan biaya ku­liah di per­guruan tinggi negeri (PTN) yang disebut uang kuliah tung­­gal (UKT) yang memungkinkan ha­nya mahasiswa be­rasal dari golongan kaya membayar le­bih mahal. Akibatnya adalah akses pen­didikan tinggi terbuka le­bar bagi si kaya, namun meng­ham­bat bagi si miskin. Ter­lebih wacana penghapu­san pe­ne­tapan batas atas biaya kuliah di PTN yang di­anggap men­do­rong PTN mem­be­rat­kan ma­hasiswa dengan menetap­kan UKT mahal.

Berdasarkan data UKT tahun 2013 dan 20­14, sebanyak 50 persen mahasiswa di PTN berbadan hukum membayar uang ku­liah di atas Rp 4 juta - Rp 10 juta per semes­ter. Bahkan ada yang membayar Rp 47,5 juta per semester (koran Kompas, 4 Fe­bruari 2016). Keberpihakan kepada orang kaya semakin kentara dengan adanya ke­bijakan jalur mandiri di PTN di mana meng­alami peningkatan kuota 10 persen dalam pene­ri­ma­an mahasiswa baru yang membuka ak­ses luas bagi orang berduit yang tidak lolos SNMPTN dan SBMPTN untuk menikmati pendi­dikan perguruan tinggi negeri.

Selama ini PTN membuka tiga jalur penerimaan mahasiswa ba­ru: jalur unda­ngan atau disebut Seleksi Nasional Masuk Per­­guruan Tinggi (SNMPTN) yang mem­per­gunakan nilai rapor dan kriteria nilai seko­lah lain yang menjadi bahan pertim­ba­ngan. Kuota penerimaan mahasiswa jalur ini men­ca­pai 40 persen. Kemudian jalur tes tertulis atau SBMPTN dengan kuota 30 persen. Terakhir jalur mandiri dengan kuota 30 persen, di mana seb­elum­nya 20 persen.

PTN menjadi pilihan favorit bagi ma­sya­rakat. Selain biaya ku­liah dianggap lebih terjangkau, fasilitas lengkap, plus jaminan tenaga pendidik dosen dan pro­fesor yang berkualitas. Sebuah prestise ter­sendiri bisa kuliah dan lulus di PTN. Na­mun sayang, di Indonesia hanya ada 78 PTN. Selebihnya, yaitu 4.000 lebih adalah per­guruan tinggi swasta (PTS). Se­men­tara biaya kuliah perguruan tinggi swasta rata-rata lebih mahal dan tidak semua orang bisa ke sana, terutama maha­siswa dari kalangan menengah ke bawah.

Akses Adil Pendidikan Tinggi

Menurut Doni Koesoema A. (kompas, 6 Februari 2016), se­lek­si masuk PTN harus adil. Ia menjabarkan keadilan akses pen­didikan dengan mengutamakan kalangan miskin dengan catatan punya kapasitas dan jaminan kemampuan kecerdasan yang baik. Ia menambahkan, sebaiknya kuota jalur undangan cukup 5 persen sebagai cerminan kandidat mahasiswa terbaik, berbakat dan istimewa. Kemudian jalur mandiri 10 persen, dan sisanya sebagai bagian terbesar yaitu 85 persen sebagai wa­­ha­na bersaing secara adil bagi masya­ra­kat luas dari berba­gai kalangan, terutama me­nengah ke bawah sebagai repre­sentasi po­pulasi terbesar di negeri ini.

Sulit mengatakan pendidikan harus mu­rah jika diukur de­ngan parameter dari ber­bagai sisi, terutama aspek kebutuhan peningkatan kualitas tenaga pendidik do­sen, fasilitas, infras­truk­tur bangunan dan peningkatan program perguruan tinggi ter­kait. Di PTS, tentu dibebani menggaji do­sen dengan mahal per SKS (satuan kredit se­mester). Jika tidak digaji mahal, dosen ber­sangkutan lebih memilih PTS lain de­ngan tawaran gaji menggiurkan, itu sudah fenomena umum. Sementara, PTS ti­dak akan berkembang bila meng­an­dal­kan dosen-dosen de­ngan kuafilikasi rendah, apa­lagi cuma tamatan S1.
Maka, mau tidak mau harus menggaji dosen dengan mahal de­ngan konsekuensi menarik biaya kuliah mahal dari maha­siswa. Itu belum lagi biaya membangun bangunan, fasilitas pen­dukung dan staf pegawai administrasi untuk menunjang kelancaran aktivitas perkuliahan. Di PTS, semua komponen pem­biayaan dilalukan secara mandiri, tanpa intervensi peme­rin­tah. Semuanya serba dikelola sendiri.

Kecenderungan di PTS adalah: sema­kin maju, terkenal dan bo­nafit, maka biaya kuliah semakin mahal. Kepercayaan ma­sya­­rakat terhadap PTS terbayar manakala lu­lusan-lulusannya mudah diterima di bur­sa kerja, mudah mencari kerja, diper­ca­ya ber­bagai institusi dan memiliki kualitas ter­jamin. 

Tentu itu tidak murah, butuh mo­dal mahal, terutama unsur dosen-dosen pendidik berkualitas dengan gaji tinggi. Karena sudah hukum alam bahwa kesejah­te­raan ikut memperkuat pro­fesional dan lo­yalitas. Makin mapan dan sejahtera, maka dosen makin serius dan menetap me­ngajar di PTS tersebut.
Demikian pula, makin tidak jelas gaji dan karir masa depan, ma­ka dosen-dosen pun mencari PTS lain yang lebih men­jan­ji­­kan. Karena dosen juga manusia yang pu­nya keluarga, anak, istri yang butuh naf­kah ditanggungnya.
Oleh karena itu, PTS merupakan pi­lihan alternatif terakhir. Me­mang banyak orang-orang kuliah di PTS dari keluarga tidak mam­pu dengan mensiasati kuliah sambil kerja. Kuliah kelas pagi atau kelas siang, kemudian disambung bekerja mulai siang hingga malam. Atau sebaliknya. Tapi tidak semua jenis pe­kerjaan bisa di­barengi nyambi kuliah. Dan tidak semua ma­hasiswa pintar membagi waktu antara ker­ja dan kuliah dan bisa-bisa nilai kuliah je­blok dan menjadi mahasiswa abadi alias tidak kunjung tamat.

Meski begitu, PTN masih menjadi favorit. Meskipun sistem UKT mahal, namun bila diterapkan kuota SBMPTN de­ngan subsidi silang, maka mahasiswa dari kalangan menengah ke bawah bisa menikmati pendidikan tinggi.

Pemerintah juga banyak membuka ke­sempatan dengan prog­ram beasiswa se­perti Bidikmisi, beasiswa Unggulan, Dik­ti, dan lain-lain. Bahkan beasiswa tersebut juga berlaku bagi mahasiswa yang kuliah di PTS seperti beasiswa dikti. Jadi, masih banyak peluang bagi masyarakat mene­ngah ke bawah untuk mendapatkan pendi­di­kan tinggi. Tinggal kerja keras dan me­raih kesempatan tersebut dengan serius dan banyak bertanya.

Pentingnya Pendidikan

Pendidikan sangat penting membuka pros­pek cerah bagi masa depan seseorang. Mes­kipun pendidikan tinggi tidak men­ja­min sukses dan kaya, namun pendidikan men­jamin kapasitas intelektual dan ber­guna bagi masyarakat. Bahkan hasil pene­litian Bank Dunia pada 1996 menge­mu­ka­kan adanya korelasi jumlah penduduk ber­gelar sarjana dengan tingkat kese­jah­teraan masyarakat suatu negara.
Kita bisa melihat jumlah sarjana Indone­sia yang hanya sekitar 7-8 juta dari se­luruh tenaga kerja produktif yang men­ca­­pai 122 juta orang. Artinya, persentase jum­lah sarjana Indo­ne­sia masih sangat ren­dah dibandingkan jumlah tamatan SD, SMP dan SMA.

Kita berharap skema penerimaan ma­hasiswa baru di PTN lebih adil dengan kuota berpihak kepada masyarakat luas dan PTS menemukan cara solutif agar da­pat menampung dan mengakomodasi ma­hasiswa dengan tidak membebani uang ku­liah mahal tetapi juga tanpa mengor­ban­kan kualitas. ***

Penulis alumnus UMSU, Mahasiswa S2 Universitas Negeri Semarang

Sumber: Analisa Daily

Pemerintah Diminta Cegah Sekolah Manipulasi Nilai

PEMERINTAH diminta mencegah upaya manipulasi nilai yang dilakukan sekolah pada proses penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri (PTN). Upaya manipulasi nilai mungkin terjadi pada seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN) dengan kuota 40% dan seleksi mandiri dengan kuota 30%. "Jalur undangan tanpa tes (SNMPTN) dan mandiri yang keduanya sebesar 70% malah membuka peluang manipulasi nilai. Pemerintah harus memastikan kedua seleksi itu bisa menyaring anak berprestasi tanpa curang," ujar pengamat pendidikan Doni Koesoema A, di Jakarta, kemarin.

Di sisi lain, dengan komposisi seleksi mandiri sebesar 30%, artinya pemerintah pro pada orang kaya karena jalur mandiri ialah jalur khusus dengan biaya sangat mahal. Ia mengusulkan komposisi seleksi mahasiswa PTN terdiri dari 10% untuk jalur SNMPTN dan 10% untuk seleksi mandiri. Sisanya, kuota 80% untuk jalur seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri (SBMPTN) atau dikenal ujian tulis. 

"Itu sesuai jumlah anak berbakat yang berkisar 10% dan jumlah orang kaya dalam grafik normal juga 10%." Tahun ini Kemenristek Dikti menentukan kuota SNMPTN dan seleksi mandiri sebesar 40% dan 30%. Sisanya, jalur SBMPTN sebesar 30%. Ketua Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Herry Suhardiyanto menyatakan, meski total komposisi SNMPTN dan mandiri 70%, semua siswa dari latar belakang SMA, SMK, dan MA tetap berpeluang sama masuk PTN.

Namun, ia menekankan semua pihak bekerja sama agar mencegah manipulasi nilai oleh pihak yang berkepentingan atas kedua jalur itu. 

Sosialisasi 

Di Padang, Sumbar, panitia SNMPTN wilayah Sumbar akan menyosialisasikan cara pemilihan program studi (prodi) pada siswa kelas tiga SMA dan sederajat di provinsi itu. Anggota panitia SNMPTN Universitas Andalas Syafwardi menjelaskan, pada sosialisasi, pihaknya menyertakan informasi angka rasio keketatan atau perbandingan satu dosen dan jumlah mahasiswa pada prodi tersebut. 

Dengan begitu, siswa memiliki gambaran tentang prodi yang akan dipilih. "Sebagai contoh, siswa SMA diperlihatkan peluang SMA-nya bisa masuk PTN dengan perbandingan SMA favorit lainnya. Bila SMA-nya jauh di peringkat bawah dan prodi idamannya favorit, dengan kemampuan pas-pasan ia bisa beralih ke prodi lain." 

SNMPTN ialah jalur masuk tanpa tes yang berdasarkan nilai rapor dan indeks integritas sekolah. Penilaian indeks dilakukan dari hasil pengamatan dan data kejujuran UN di tiap sekolah. Proses SNMPTN dimulai dari pengisian pangkalan data sekolah dan siswa (PDSS) pada 18 Januari hingga 20 Februari 2016. Kemudian, pendaftaran pada 29 Februari hingga 12 Maret 2016. Selanjutnya seleksi pada 22 Maret-21 April dan pengumuman SNMPTN pada 10 Mei 2016. (Ant/H-2)

Sumber: Media Indonesia 

SNMPTN dan Distorsi Pendidikan




Sabtu, 19 Maret 2016 00:24
Oleh: Moh Yamin Dosen di Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, penulis buku-buku pendidikan

Pendaftaran Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2016 resmi ditutup (12/03/16). Dari 1.363.051 siswa yang ditargetkan, baru 641.296 siswa yang mendaftar. Dari jumlah itu, baru 624.931 siswa yang melakukan finalisasi. Dalam konteks ini, SNMPTN merupakan salah satu cara menjaring siswa untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi negeri (PTN).

SNMPTN merupakan seleksi yang dilakukan PTN masing-masing di bawah koordinasi panitia nasional dengan seleksi berdasarkan hasil penelusuran prestasi akademik calon mahasiswa. Pihak sekolah mendaftarkan siswa mereka yang memenuhi syarat ikut SNMPTN ini. Syaratnya antara lain berdasarkan nilai rapor, nilai ujian nasional, dan prestasi akademis lainnya selama di SMA.

Selanjutnya, penulis dalam konteks ini tidak berbicara tentang kuantitas peserta namun substansi SNMPTN dengan basis nilai rapor, nilai ujian nasional, dan prestasi akademis lainnya sebagai rujukan. Dalam pandangan filsafat pendidikan skolastik (Doni Koesoema A, 2007: 72), menjadikan nilai rapor, nilai ujian nasional, dan prestasi akademis lainnya yang merupakan tujuan pendidikan dasar, tentu berbeda dengan tujuan penyelenggaraan pendidikan tinggi.

Lebih tepatnya, ketika UN harus dipaksa menjadi alat ukur dalam proses seleksi penerimaan mahasiswa baru, hal tersebut telah merancukan tujuan pendidikan tinggi. Sebab UN sejatinya hanya bertujuan mengukur prestasi yang dimiliki oleh anak didik secara pribadi yang disebut tes sumatif. Sebagai akibatnya, apakah ia telah menguasai materi pelajaran atau tidak. Bila berhasil, ia lulus namun apabila gagal dalam menjawab soal-soal yang di-UN-kan, maka ia dinyatakan tidak lulus.

Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) No. 20 Tahun 2003, UN sebagai bagian dari proses evaluasi akhir sebuah hasil pendidikan hanya diselenggarakan untuk pendidikan sekolah, bukan perguruan tinggi. UN merupakan salah satu satu penentu yang menjustifikasi keberhasilan pendidikan anak didik kendatipun dalam pelaksanaannya belum dilakukan secara serius (baca: UN).

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana seharusnya ujian masuk perguruan tinggi perlu dipahami supaya tidak merancukan tujuan inti proses pendidikan tinggi? Dalam proses seleksi yang selama ini digunakan di pendidikan tinggi, ujian masuk ditujukan untuk mengukur kompetensi dan potensi akademik yang dimiliki seorang calon mahasiswa baru yang disebut tes formatif. Lebih tepatnya, ia bermaksud untuk melakukan diskriminasi minat dan bakat yang dimiliki oleh setiap calon mahasiswa baru. Sehingga tidak menutup kemungkinan, seorang siswa yang mendapat nilai terbaik dalam UN dan rapor sekolah tidak menjamin akan diterima masuk sebuah perguruan tinggi tertentu. Kondisi berbeda akan terjadi pada seorang calon mahasiswa baru yang dalam UN-nya hanya mendapat skor biasa. Namun karena memeroleh nilai tinggi atau sesuai dengan kriteria lembaga pendidikan tinggi terkait dalam proses seleksi masuk perguruan tinggi, maka ia pun akan bisa diterima.

Oleh karenanya, tes masuk perguruan tinggi dalam konteks demikian menggunakan pandangan normatif-sentris yang tidak mendasarkan diri terhadap penguasaan materi pelajaran an sich, namun skor penilaian berjenjang, diambil nilai paling tinggi dan jumlah kursi dalam lembaga pendidikan tinggi pun menjadi sebuah pertimbangan. Lebih dari itu, setiap item soal yang diujikan pun dibuat lebih sulit, yang bertujuan menjauhkan calon mahasiswa baru menjawab item-item soal tersebut dengan rumus menjawab UN. Akhirnya, mereka pun mendapat ruang yang sama dan adil untuk menikmati bangku pendidikan tinggi.

Meluruskan Pemahaman UN

Mencermati hal sedemikian, mencari titik-titik kelemahan yang akan berimbas pada pelaksanaan UN sebagai ukuran diterimanya seorang calon mahasiswa di perguruan tinggi pun harus menjadi bahan pertimbangan sangat utama. Jangan sampai gegabah mengambil sebuah keputusan karena ongkosnya sangat mahal. Tidak hanya menelan dana sangat besar yang harus dikeluarkan dari kantong uang negara yang disebut anggaran pendapatan belanja negara (APBN), namun juga akan menciderai landasan filosofis sebuah penyelenggaraan pendidikan tinggi. Ini belum lagi berbicara dampak buruk lain yang juga merusak tujuan dari UN dalam pendidikan secara menyeluruh. Sehingga alih-alih pendidikan bertujuan untuk melahirkan hasil pendidikan yang sangat berkualitas, itu pun menjadi isapan jempol belaka sebab konsep awal dan akhir penilaian keberhasilan pendidikan dipahami secara keliru dan sesat.

Oleh karenanya, konteks ketidakjelasan pemahaman UN perlu mendapat penyegaran pemahaman kembali sebab ini menyangkut nasib pendidikan ke depan. Hal tersebut juga berkelindan erat terhadap bagaimana pendidikan kemudian perlu diletakkan secara proporsional, tidak salah tempat dan pelaksanaan. Ibaratnya, bila tujuan baik itu dimulai dengan cara yang tidak tepat, hal tersebut bukan menambah kebaikan namun akan membawa keburukan di masa depan. Begitu pula dalam dunia pendidikan.

Supaya tujuan pendidikan tinggi bisa dijalankan secara tepat sasaran dengan landasan filosofis yang benar, ujian masuk perguruan tinggi yang bersifat normatif-sentris pun harus tetap dipertahankan dengan sedemikian rupa. Namun apabila UN tetap diharuskan menjadi bagian dari ujian masuk perguruan tinggi, sebagaimana yang dilaksanakan selama ini, maka merombak kembali orientasi tujuan UN untuk sekolah supaya memiliki korelasi dengan tujuan pendidikan tinggi pun merupakan sebuah keniscayaan.

Akan tetapi tantangan dan tugas ke depan adalah apakah bangsa ini mampu dan siap menanggung beban besar perombakan totalitas tersebut mulai dari sistem pendidikan dasar, menengah, atas dan tinggi yang juga harus diubah? Ini belum lagi berbicara tentang rumah pendidikan dasar dan menengah berada di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), sedangkan pendidikan tinggi berada di bawah Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristek Dikti).

Yang jelas, semua anak bangsa di negeri ini mulai dari Sabang sampai Merauke sangat mengharap, pendidikan dalam konteks apa pun jangan selalu menjadi kelinci percobaan demi kepentingan segelintir orang semata. Dengan kata lain, Kemdikbud dan Kemristek Dikti di bawah ketiak sebuah rezim tertentu, janganlah melahirkan kebijakan baru dalam dunia pendidikan yang terkesan memunculkan stigma buruk di tengah publik bahwa pendidikan selalu menjadi kepentingan kekuasaan tertentu. Siapa yang memiliki wewenang terhadap dunia pendidikan, maka bisa diubah sesuai dengan keinginan dan kepentingan masing-masing. (*)

SNMPTN Diprioritaskan Untuk Sekolah Akreditasi A

Selasa, 10 Februari 2015 13:17 wIB

JAKARTA - Tahun ini, Panitia Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) akan memprioritaskan sekolah yang beraktreditasi A untuk masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Sementara, Ujian Nasional (UN) hanya sebagai salah satu syarat pintu masuk siswa mendaftar di PTN.

Ketua Panitia Penerimaan SNMPTN, Rochman Wahah mengatakan, penerimaan jalur SNMPTN setiap PTN mempunyai ketentuan yang berbeda-beda dalam menerima calon mahasiswa / i dan kebijakan tersebut tergantung dari pengalaman perguruan tinggi tersebut. Misalnya, dari nilai evaluasi prestasi dari minat (interest), bakat (aptitude), kemampuan (competency), dan pengalaman (experince) siswa bidang yang diminatinya.

"Nilai sekolah disetiap daerah / kota bisa berbeda-beda, meskipun nilainya sama dalam mata pelajaran tertentu dengan nilai 8 atau 9 bisa berbeda bobotnya. Hal tersebut dapat dilihat dari aktreditasi sekolah, dan banyak alumsi sekolah tersebut diterima di Program SNMPTN. Nantinya, kita akan melihat nilanya, ketika dari sekolah yang maju dipriortaskan masuk," ungkap dia dalam jumpa pers Pendaftaran SNPTN 2015, di gedung Kementerian Riset Teknologi dan dan Dikti (Kemenristek), Jakarta, Senin (9/2).

Maka, dalam program SNMPTN tersebut sekolah-sekolah harus mendaftarkan Pangkalan Data Sekolah dan Siswa (PDSS) di www.pdss.snmptn.ac.id. Sebab komponen PDSS menentukan siswa sekolah diterima dengan melihat prestasi dan portofolio akademik, agar panitia SNMPTN dapat melakukan penelusuran dengan mudah. Ada pun pengisian data PDSS telah dibuka sejak 22 Januari 2015 dan ditutup sampai 12 Maret 2015.

"Belakangan ini UN sudah tidak terkait dengan standar kelulusan. Kita sebagai penyelenggara Universitas memberikan pertimbangan. Disamping, nilai, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memberi kategori sekolah baik (A), hitam (C) dan abu-abu (B) untuk setiap sekolah," ungkap Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

Ia menambahkan, siswa lulusan SMA dapat dengan mudah mendaftar SNMPTN lewat jalur online www.snmptn.ac.id dan pendaftaran SNMPTN dibuka pada 13 Februari 2015 - 15 Maret 2015. Sedangkan, untuk pengumumanya dilaksanakan pada 9 Mei 2015. "Tahun ini, daya tampung untuk menerima SNMPTN sebanyak 137.781 dengan ketentuan siswa bisa memilih 2 perguruan tinggi, tapi harus berbeda letak provinsinya. Sementara, untuk peserta SNMPTN maksimal dapat memilih 3 program study, dengan aturan 2 program study di PTN yang sama dan 1 di program study di PTN yang berbeda," tandasnya.

Nah, untuk total PTN yang menyelenggaran SNMPTN sebanyak 63 PTN dan 14 PTN baru. Namun, bagi 14 PTN baru bersifat magang kepada 63 PTN yang lama. Dikarenakan 14 PTN tersebut belum mengetahui mekanisme penerimaannya. Ia mencontohkan, UNY dalam SNMPTN mengikuti Univeritas Gajah Mada (UGM), artinya ada 77 yang menyelengarakan SNMPTN.

Ditambahkan, Bendahara Penerimaan SNMPTN dari Rektor Universitas Negeri Solo (UNS), Ravik Karsidi, dalam program SNMPTN, dikhususkan bagi siswa-siswi yang fresh graduate atau baru lulus dan kuota penerimaan 50 persen. Sedangkan program Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) diperuntuhkan bagi calon mahasiswa diluar fresh graduate atau maksimal 3 tahun setelah lulus SMA.

Terpisah, Pengamat Pendidikan Doni Koesoema mengatakan penilaian SNMPTN tahun 2015 dengan memprioritaskan sekolah lewat akreditasi bagus sangat diskriminatif, dengan memberi kategori sekolah baik (A), sekolah hitam (C) dan sekolah abu-abu (B). dikarenakan, untuk daerah di bagian timur kesempatan masuk PTN sangat kecil. "Sebaiknya SNMPTN dihapuskan saja. Program SNMPTN dilakukan berbasis terbuka untuk semua publik, agar semua sekolah mempunyai kesempatan yang sama," pintanya.

Selain itu, jalur penerimaan prestasi lewat akademik di SNMPTN, memunculkan manipulasi pada nilai rapat. Beberapa sekolah berlomba-lomba siswanya bisa lolos di SNMPTN, dikarenakan bobot 50 persen penerimaan PTN di jalur ini. Contohnya, di tahun lalu sebanyak 150 sekolah lebih terbukti memanipulasi data raport untuk masuk PTN dan dilaporkan ke Ombudsman. "Tapi, sampai sekarang laporan tersebut tidak ditindaklanjuti," katanya. Ia menyarakan, SNMPTN diubah dengan sistem ujian tulis dikarenakan dalam tes tulis bisa dilihat kemampuan penilian siswa, tanpa ada manipulasi data di rapot dan jual beli nilai. (her/rp)


Sumber: Radarpena

Wednesday, 25 May 2016

Sekolah Abaikan SNMPTN




Kamis, 3 Maret 2016 06:15 WIB Penulis: Puput Mutiara

SELEKSI nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN) 2016 sudah memasuki tahap pendaftaran.Siswa yang sudah masuk dalam daftar pemeringkatan diperkenankan memilih PTN dan jurusan yang diinginkan. Namun sayang, banyak siswa yang terpaksa kehilangan kesempatan untuk mengikuti jalur SNMPTN lantaran sekolahnya tidak mengisi data di pangkalan data sekolah dan siswa (PDSS).


"Pengisian dan verifikasi PDSS itu sudah menjadi bagian dari proses SNMPTN. Kalau sekolahnya tidak daftar, siswanya cuma punya opsi SBMPTN atau ujian mandiri," kata Ketua Panitia SNMPTN 2016 Rochmat Wahab saat jumpa pers pendaftaran SNMPTN di Jakarta, Rabu (2/3).

SNMPTN ialah seleksi penerimaan calon mahasiswa berdasarkan nilai rapot, nilai ujian nasional, dan prestasi akademis lainnya selama di SMA.

Rochmat mengungkapkan, ada sebanyak 5.810 sekolah yang tidak mengisi PDSS.
Meski belum diketahui secara pasti alasannya, Rochmat mengaku sangat menyayangkan hal itu karena berimbas bagi calon mahasiswa.

Di Jawa Barat misalnya, hampir 1/3 dari jumlah sekolah yang ada atau sebanyak 1.006 sekolah tidak mengisi PDSS.

Padahal, persentase kelayakan siswa untuk bisa ikut SNMPTN mencapai 74,89%.
Hal serupa juga terjadi di beberapa daerah lain di Tanah Air.

Sekitar 25% atau sebanyak 854 sekolah di Jawa Timur tidak mendaftar hingga batas akhir pengisian dan verifikasi PDSS, Februari lalu.

Rektor Universitas Negeri Yogyakarta itu menuturkan, hingga saat ini belum ada kebijakan yang secara langsung memberikan sanksi kepada sekolah yang tidak mendaftar di PDSS.
Hanya saja, jika siswa yang sudah diterima atau lulus SNMPTN tidak melakukan daftar ulang, sekolah asalnya bakal menerima sanksi pengurangan jumlah siswa yang ikut SNMPTN di tahun berikutnya.

"Itu kan sama saja menghilangkan kesempatan orang lain," pungkasnya.

Akses internet
Pengamat pendidikan Doni Koesoema menilai banyaknya sekolah yang tidak mendaftar di PDSS bisa disebabkan sistem SNMPTN yang dilakukan secara online.

Menurutnya, tidak semua sekolah memiliki akses internet yang memadai, terutama sekolah-sekolah di daerah pinggiran.

"Sistem itu akhirnya yang membatasi sekolah untuk mendaftar, selain mungkin juga memang karena sebelumnya tidak diterima. Jadi, enggan daftar lagi," ucapnya saat dihubungi Media Indonesia, Rabu (2/3).

Ia mengusulkan sekolah yang terkendala akses bisa diberikan kesempatan untuk mendaftar secara manual.

Pada bagian lain, Rochmat Wahab mengatakan sebanyak 1.382.849 siswa direkomendasikan untuk mendaftar setelah sebelumnya dipilih berdasarkan hasil pemeringkatan.

Ketentuan pemeringkatan baru, lanjut Rochmat, mulai diberlakukan tahun ini menggunakan nilai semester 3 sampai 5. Selain itu, pemeringkatan dilakukan per jurusan, baik IPA, IPS, maupun bahasa.

"Dengan demikian, kuota sesuai akreditasi tidak tepat lagi meskipun semua siswa yang masuk 75% terbaik di sekolah dengan akreditasi A," jelasnya.

Pemeringkatan, kata Rochmat, berlaku untuk setiap sekolah tanpa membedakan kelas reguler dan kelas akselerasi. (X-6)

Sumber: Media Indonesia
 

Pendidikan Keagamaan