Saturday, 26 September 2009

Pendidikan dan Kekerasan

KOMPAS, Rabu, 11 April 2007

Doni Koesoema, A

Irasionalitas dalam dunia pendidikan kita semakin menjadi-jadi. Mari kita bertanya, apa makna tendangan bebas ke dada mahasiswa, juga pukulan bertubi-tubi ke ulu hati yang terjadi dari hari ke hari dalam pendidikan para calon pemimpin rakyat dalam IPDN?

Perilaku kekerasan dalam video amatir tahun 2003 yang terjadi dalam pendidikan pamong praja merupakan tindakan biadab yang melecehkan martabat manusia dan melukai martabat bangsa Indonesia. Itu bukan pendidikan melainkan penindasan. Itu adalah tindak kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilegalisasi melalui sistem pendidikan!

Gunung Es

Perilaku kekerasan yang kita saksikan terhadap para calon pamong praja dalam Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) merupakan gunung es kekerasan yang menggerogoti dunia pendidikan kita. Kematian Cliff Muntu bukanlah yang pertama. Ia bukanlah satu-satunya korban kekerasan dalam pendidikan. Sejak lama lembaga pendidikan kita telah melahirkan dan mereproduksi kekerasan dalam masyarakat.

Maraknya tawuran pelajar, pengguguran kandungan, pelecehan seksual oleh guru, yang terakhir perkosaan dan pembunuhan terhadap pelajar dan oleh pelajar lain merupakan lampu merah bagi pemerintah dan tiap insan pendidikan untuk segera menyehatkan kinerja sistem pendidikan kita.

Sebenarnya, persoalan siapa tindakan kekerasan dalam sekolah? Jawabannya adalah persoalan kita semua. Masyarakat, Negara, administrator, guru, orang tua,dan siswa harus bekerjasama untuk menciptakan lingkungan yang aman dalam lembaga pendidikan. Jika tidak demikian, segala tindakan pencegahan dan hukuman tidak akan efektif.

Kekerasan di dalam lembaga pendidikan bisa terjadi karena banyak alasan, seperti, narkoba atau maraknya gang-gang remaja. Namun di Indonesia, kekerasan pelajar terjadi karena perselingkuhan antara sistem pendidikan dan kultur sosial yang menghasilkan generasi muda sakit jiwa. Sistem pendidikan kita telah meminggirkan orang miskin atas akses pendidikan. Sedangkan kultur sosial mengajarkan gaya hidup yang mendasarkan diri pada kekayaan dan kekuasaan.

Perselingkuhan ini melahirkan orang-orang yang terlempar keluar, tidak berdaya, karena sistem pendidikan dan kultur sosial menyingkirkan mereka dari derap masyarakat. Mereka adalah orang-orang terluka, yang dimasa lalu selalu dihina, dilecehkan, dipukuli. Karena itu, mereka pun melakukan tindakan kekerasan karena balas dendam atas pengalaman masa lalu mereka. Perilaku kekerasan hanya akan melahirkan perilaku kekerasan lain. Lingkaran balas dendam inilah yang terjadi dalam kasus perilaku kekerasan di dalam IPDN.

Masuknya perilaku kekerasan dalam lembaga pendidikan, bukan hanya terjadi dalam IPDN saja, melainkan juga terjadi dalam peristiwa Masa Orientasi Sekolah (MOS) dan Orientasi Pengenalan Kampus (OPK). Kesalahan fatal dalam setiap program MOS dan OPK adalah lepasnya campur tangan sekolah sebagai pengarah kegiatan. Menyerahkan seluruh program pada OSIS atau Senat Mahasiswa tanpa ada kendali dari staf pendidik memungkinkan menelusupnya perilaku kekerasan dalam lembaga pendidikan. Masuknya perilaku kekerasan ini akan mereproduksi perilaku kekerasan secara berkelanjutan dari tahun ke tahun. Maka jika ada perilaku kekerasan dalam lembaga pendidikan yang paling bertanggungjawab adalah pimpinan lembaga tersebut sebab ia tidak becus menciptakan kebijakan yang kondusif bagi keberhasilan visi pendidikan kelembagaannya.

Bisa jadi sistem akan membelenggu individu sehingga proses pembaharuan tidak dapat terjadi, pun jika telah terjadi pergantian di pucuk pimpinan lembaga pendidikan seperti IPDN. Kasus dalam IPDN menunjukkan kelemahan dalam sistem pendidikan, namun kelemahan sistem ini terjadi karena lemahnya kepemimpinan. Lemahnya kepemimpinan terjadi karena tidak adanya visi pendidikan. Tidak adanya visi pendidikan yang jelas membuat lembaga pendidikan hanya mereproduksi perilaku tradisional dari tahun ke tahun dalam proses rekruitmen anggota-anggotanya.

Budaya kolusi, bayar uang semir, pendaftaran lewat orang dalam, pemesanan tempat atas nama orang-orang tertentu yang memiliki kuasa hampir menjadi pemandangan harian rekruitmen orang-orang pemerintahan dan dalam lembaga militer. Situasi ini membuat visi lembaga pendidikan menjadi semakin kabur. Visi pendidikan tidak akan jelas jika lembaga pendidikan menjadi tempat di mana berbagai macam kepentingan beradu. Akhirnya hanya mereka yang berkuasa saja yang bisa lolos dalam proses rekruitmen ini.

Jika situasi ini terjadi terus menerus dalam IPDN, kesalahan utama sesungguhnya terletak pada Menteri Dalam Negeri yang tidak berani merombak sistem rekruitmen para pamong praja di lingkungannya sehingga cita-cita perbaikan pelayanan terhadap masyarakat melalui aparat Negara yang bersih, berwibawa dan memiliki semangat pelayanan tidak terjadi.

Perilaku kekerasan di dalam lembaga pendidikan dapat diretas jika ada visi pendidikan yang jelas dan sistem pendidikan yang terbuka atas kontrol publik. Rakyat berhak tahu informasi tentang bagaimana pendidikan dan pembinaan para calon praja yang akan menjadi pelayan masyarakat.

Menurunkan tim investigasi dan mengadakan penyelidikan resmi oleh polisi tidak akan memperbaiki sistem pendidikan di dalam IPDN jika struktur dan kultur yang melingkupi dalam IPDN sendiri tidak dirombak. Untuk merombaknya, paling tidak butuh 2 syarat.

Pertama, butuh pemimpin berkarakter yang memiliki visi pendidikan yang jelas bagi pendidikan calon para pelayan rakyat. Pemimpin ini mesti dapat menciptakan struktur dan kultur baru dalam lembaga pendidikan di IPDN agar perilaku kekerasan terpotong dari tradisi pendidikan yang selama ini ada.

Kedua, setiap lembaga pendidikan mesti mempertanggungjawabkan kinerjanya terhadap para pemangku kepentingan, yaitu, orang tua dan masyarakat luas. Karena itu, sistem pendidikan yang ada, baik berupa proses, materi pendidikan, kurikulum, praksis di lapangan harus bersifat terbuka dan dapat dikontrol oleh publik. Untuk inilah peranan pers sangat penting dalam mengomunikasikan kinerja pendidikan setiap lembaga pendidikan kepada masyarakat.

Homo violens


Bahwa para praja yang masuk dalam IPDN ternyata diam saja diperlakukan secara-sewenang-wenang oleh senior mereka menunjukkan kematian rasionalitas dalam diri para praja tersebut. Homo violens memang merupakan bagian dari kodrat manusia yang merupakan homo sapiens. Namun homo violens terjadi karena kebutuhan dasar untuk mempertahankan kehidupan. Dalam kasus IPDN, kehadiran para homo violens ini terjadi bukan karena kebutuhan dasar untuk mempertahankan hidup, melainkan karena matinya rasionalitas. Karena itu, alih-alih menjadi Institit Pendidikan, IPDN berubah menjadi Institut Pembunuhan Dalam Negeri.

Tidak ada satu jiwa merdekapun yang mau ditendang, dipukuli, dan dianiaya secara sistematis seperti terjadi dalam kasus mahasiswa IPDN. Kematian rasionalitas menandai matinya kemerdekaan dan penghargaan terhadap kemartabatan sendiri. Menolak adalah sikap merdeka yang mesti hadir dalam jiwa setiap individu ketika diperlakukan secara sewenang-wenang, sebab, tidak ada kaitan sama sekali antara tendangan bebas ke dada, juga pukulan bertubi-tubi ke ulu hati untuk menciptakan pamong praja pengabdi rakyat.

Kekejaman dalam dunia pendidikan ini harus segera dihentikan!

Doni Koesoema, A.
Penulis adalah mahasiswa jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma.

No comments:

Pendidikan Keagamaan