Thursday 3 September 2009

Politik Guru

KOMPAS, Selasa, 23 mei 2006
Oleh Doni Koesoema, A

Pendidikan merupakan sebuah proses politik. Relasi guru dengan pihak lain, entah itu dalam lingkup mikro (di dalam kelas) maupun makro (di luar kelas), merupakan relasi kekuasaan. Di dalamnya guru berjumpa dengan banyak pihak, seperti, kepala sekolah, komite sekolah, dewan guru, karyawan, yayasan, orang tua, lembaga-lembaga non pemerintah, birokrat, politisi, masyarakat, dll. Hubungan antar kelompok ini tidaklah imun dari praktek kekuasaan. Relasi ini terstruktur dan terbentuk melalui sebuah sistem yang menyangga sistem kekuasaan satu sama lain. Dalam kerangka inilah kinerja guru sungguh menjadi sebuah pergulatan politik par exellence.

Ginsburg (1996) mendefinisikan politik sebagai “kontrol atas alat-alat produksi, reproduksi, konsumsi dan akumulasi daya-daya material dan simbolis.” Proses ini tidak terbatas pada arena kekuasaan oleh negara. Dunia pendidikan menjadi contoh ideal proses politik sebab jaringan relasi sosial yang dimilikinya berhubungan langsung dengan kategori sumber-sumber material maupun non-material tersebut. Ketidakadilan atas distribusi sumber-sumber daya ini biasanya ditentukan oleh praksis politik dan corak relasi kekuasaan yang ada.

Marginalisasi guru

Persoalan seputar efektifitas Ujian Nasional, inkonsistensi aturan pemerintah tentang otonomi guru dalam proses pendidikan, perbaikan kurikulum tanpa menyertakan proses pra-formasi yang mempersiapkan secara matang tenaga pendidik, dll, hanyalah salah satu dari banyak corak relasi kekuasaan yang memangkas kinerja dan otonomi guru. Berhadapan dengan perubahan kurikulum, guru tak pernah dijadikan rekan dialog. Kalau toh ada dialog, dialog terjadi hanyalah dari sisi teknis pelaksanaan, bukan dari segi visi antropologi-filosofis yang memberikan semacam visi fundamental pendidikan nasional kita.

Sebaliknya, proses politik yang terjadi di negeri ini adalah justru upaya-upaya untuk meminggirkan guru dari bidang kerjanya. Guru dibuat sedemikian rupa sehingga berada dalam posisi marginal, baik secara sosial, ekonomi, politik, maupun professional. Pemberangusan otonomi guru oleh negara pada gilirannya membatasi kinerja potensial sebagai guru sebagai agen transformasi.

Jika guru mesti berjuang untuk memperoleh kembali kontrol atas bidang kerjanya, usaha ini tidaklah bisa dibuat secara sambil lalu, atau secara spontanitas, seperti misalnya, demonstrasi turun ke jalan seperti pernah terjadi dalam kasus Kampar. Atau berjuang seorang diri seperti ibu Nurlaila yang mesti berhadapan dengan aparat hukum ketika kinerja profesionalnya sebagai guru digusur kekerasan otot petugas tramtib. Guru mesti dapat memadukan tenaga dan terlibat dalam suatu aksi politik yang terencana dan teratur rapi. Namun ini mengandaikan bahwa para guru itu melek dan aktif secara politik. Perilaku dan kemampuan ini tidak bisa terjadi secara kebetulan. Karena itu, pendidikan politik semestinya menjadi bagian dari program pendidikan guru.

Posisi strategis guru sebagai aktor politik dan agen trasformasi dalam dunia pendidikan inilah yang membuat kekuasaan politik ingin selalu ikut campur dalam ‘menjinakkan’ kinerja guru. Guru yang dimahkotai mitos ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ selalu diharapkan memahami kinerjanya yang mengatasi kepentingan politik. Karena itu, salah satu otonomi dan kinerja guru ini perlu dipotong agar para guru tetap berada dalam situasi apolitik.

Guru sesungguhnya bisa kembali merenggut kinerja politiknya yang dirampok oleh negara, entah dalam lingkup mikro maupun makro.

Mikro dan makro

Dalam lingkup mikro (relasi kekuasaan guru-murid dalam kelas) para guru bisa memulai dengan mengembangkan suasana dialogis dan demokratis. Perlu dipraktekkan suatu cara pengajaran yang di satu sisi mampu membawa siswa pada tujuan pengajaran, di lain sisi membuat siswa menemukan makna dan kegembiraan dalam belajar. Kelas semestinya menjadi sebuah ruang di mana proses belajar memperkaya siswa akan nilai-nilai hidup, menghargai perbedaan dan sekaligus cinta pada kegiatan belajar itu sendiri. (Brophy, 1983,1988). Guru juga bisa menerapkan cara pengajaran yang berwibawa lewat ketegasan prinsip dan transparansi sistem perilaku. Para siswa umumnya mengharapkan bahwa guru menjadi figur kekuasaan yang mampu menciptakan situasi stabil dengan tata perilaku yang standard. (Brantilinger, 1993, Mets, 1978).

Dalam lingkup makro (relasi kekuasaan guru dengan sistem kekuasaan lain), yang paling mendesak adalah masuknya kurikulum tentang kesadaran politik dalam kerangka proses formasi tenaga guru. Guru dengan demikian tidak sekedar dipersiapkan melalui kemampuan teknis-praktis tata cara pengajaran dalam menjalankan kurikulum, melainkan juga mampu secara kreatif dan kritis menyadari dan menumbuhkan dimensi politis atas kinerjanya.

Dalam level nasional, independensi organisasi guru semestinya dipertahankan agar kekuasaan negara tidak dengan mudah ikut campur. Independensi ini tak akan dapat terjadi jika rasa solidaritas satu sama lain masih lemah. Kasus Kampar, misalnya, hanya menimbulkan geliat di Kampar saja. Kasus Ibu guru Nurlaila hanya bergema di Jakarta, padahal kasus serupa banyak terjadi di tempat lain. Soliditas dan solidaritas guru adalah bagian dari proses pertumbuhan kesadaran politik guru itu sendiri.

Pendidikan memang merupakan proses politik, dan guru sesungguhnya aktor utama dari proses politik ini. Sebagai aktor politik, guru mampu mentransformasi situasi masyarakat menjadi sebuah dunia yang lebih baik.

Mati hidupnya dunia pendidikan memang tidak tergantung semata-mata pada kinerja politik guru, namun kesadaran politik guru atas kinerjanya adalah kondisi yang dibutuhkan agar proses trasformasi dalam masyarakat berjalan secara efektif. Guru memang ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ yang kinerjanya mengatasi sekat-sekat politik, namun mitos ini menjadi tiada guna ketika dengannya pelan-pelan otonomi dan kebebasan guru dikebiri. Karena itu, para guru lebih baik segera menyadari diri sebagai aktor politik daripada sekedar menjadi pahlawan tanpa tanda jasa yang dengannya membuat mereka lena atas kinerja politiknya.

Doni Koesoema, A. Penulis adalah mahasiswa jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma.

No comments:

Pendidikan Keagamaan