Thursday, 26 May 2016
Polemik Mahalnya Uang Kuliah Perguruan Tinggi
Oleh: Suadi
Akses mengenyam pendidikan tinggi setingkat universitas, institut, sekolah tinggi dan sejenisnya masih terhambat mahalnya biaya kuliah. Terlebih kebijakan biaya kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN) yang disebut uang kuliah tunggal (UKT) yang memungkinkan hanya mahasiswa berasal dari golongan kaya membayar lebih mahal. Akibatnya adalah akses pendidikan tinggi terbuka lebar bagi si kaya, namun menghambat bagi si miskin. Terlebih wacana penghapusan penetapan batas atas biaya kuliah di PTN yang dianggap mendorong PTN memberatkan mahasiswa dengan menetapkan UKT mahal.
Berdasarkan data UKT tahun 2013 dan 2014, sebanyak 50 persen mahasiswa di PTN berbadan hukum membayar uang kuliah di atas Rp 4 juta - Rp 10 juta per semester. Bahkan ada yang membayar Rp 47,5 juta per semester (koran Kompas, 4 Februari 2016). Keberpihakan kepada orang kaya semakin kentara dengan adanya kebijakan jalur mandiri di PTN di mana mengalami peningkatan kuota 10 persen dalam penerimaan mahasiswa baru yang membuka akses luas bagi orang berduit yang tidak lolos SNMPTN dan SBMPTN untuk menikmati pendidikan perguruan tinggi negeri.
Selama ini PTN membuka tiga jalur penerimaan mahasiswa baru: jalur undangan atau disebut Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi (SNMPTN) yang mempergunakan nilai rapor dan kriteria nilai sekolah lain yang menjadi bahan pertimbangan. Kuota penerimaan mahasiswa jalur ini mencapai 40 persen. Kemudian jalur tes tertulis atau SBMPTN dengan kuota 30 persen. Terakhir jalur mandiri dengan kuota 30 persen, di mana sebelumnya 20 persen.
PTN menjadi pilihan favorit bagi masyarakat. Selain biaya kuliah dianggap lebih terjangkau, fasilitas lengkap, plus jaminan tenaga pendidik dosen dan profesor yang berkualitas. Sebuah prestise tersendiri bisa kuliah dan lulus di PTN. Namun sayang, di Indonesia hanya ada 78 PTN. Selebihnya, yaitu 4.000 lebih adalah perguruan tinggi swasta (PTS). Sementara biaya kuliah perguruan tinggi swasta rata-rata lebih mahal dan tidak semua orang bisa ke sana, terutama mahasiswa dari kalangan menengah ke bawah.
Akses Adil Pendidikan Tinggi
Menurut Doni Koesoema A. (kompas, 6 Februari 2016), seleksi masuk PTN harus adil. Ia menjabarkan keadilan akses pendidikan dengan mengutamakan kalangan miskin dengan catatan punya kapasitas dan jaminan kemampuan kecerdasan yang baik. Ia menambahkan, sebaiknya kuota jalur undangan cukup 5 persen sebagai cerminan kandidat mahasiswa terbaik, berbakat dan istimewa. Kemudian jalur mandiri 10 persen, dan sisanya sebagai bagian terbesar yaitu 85 persen sebagai wahana bersaing secara adil bagi masyarakat luas dari berbagai kalangan, terutama menengah ke bawah sebagai representasi populasi terbesar di negeri ini.
Sulit mengatakan pendidikan harus murah jika diukur dengan parameter dari berbagai sisi, terutama aspek kebutuhan peningkatan kualitas tenaga pendidik dosen, fasilitas, infrastruktur bangunan dan peningkatan program perguruan tinggi terkait. Di PTS, tentu dibebani menggaji dosen dengan mahal per SKS (satuan kredit semester). Jika tidak digaji mahal, dosen bersangkutan lebih memilih PTS lain dengan tawaran gaji menggiurkan, itu sudah fenomena umum. Sementara, PTS tidak akan berkembang bila mengandalkan dosen-dosen dengan kuafilikasi rendah, apalagi cuma tamatan S1.
Maka, mau tidak mau harus menggaji dosen dengan mahal dengan konsekuensi menarik biaya kuliah mahal dari mahasiswa. Itu belum lagi biaya membangun bangunan, fasilitas pendukung dan staf pegawai administrasi untuk menunjang kelancaran aktivitas perkuliahan. Di PTS, semua komponen pembiayaan dilalukan secara mandiri, tanpa intervensi pemerintah. Semuanya serba dikelola sendiri.
Kecenderungan di PTS adalah: semakin maju, terkenal dan bonafit, maka biaya kuliah semakin mahal. Kepercayaan masyarakat terhadap PTS terbayar manakala lulusan-lulusannya mudah diterima di bursa kerja, mudah mencari kerja, dipercaya berbagai institusi dan memiliki kualitas terjamin.
Tentu itu tidak murah, butuh modal mahal, terutama unsur dosen-dosen pendidik berkualitas dengan gaji tinggi. Karena sudah hukum alam bahwa kesejahteraan ikut memperkuat profesional dan loyalitas. Makin mapan dan sejahtera, maka dosen makin serius dan menetap mengajar di PTS tersebut.
Demikian pula, makin tidak jelas gaji dan karir masa depan, maka dosen-dosen pun mencari PTS lain yang lebih menjanjikan. Karena dosen juga manusia yang punya keluarga, anak, istri yang butuh nafkah ditanggungnya.
Oleh karena itu, PTS merupakan pilihan alternatif terakhir. Memang banyak orang-orang kuliah di PTS dari keluarga tidak mampu dengan mensiasati kuliah sambil kerja. Kuliah kelas pagi atau kelas siang, kemudian disambung bekerja mulai siang hingga malam. Atau sebaliknya. Tapi tidak semua jenis pekerjaan bisa dibarengi nyambi kuliah. Dan tidak semua mahasiswa pintar membagi waktu antara kerja dan kuliah dan bisa-bisa nilai kuliah jeblok dan menjadi mahasiswa abadi alias tidak kunjung tamat.
Meski begitu, PTN masih menjadi favorit. Meskipun sistem UKT mahal, namun bila diterapkan kuota SBMPTN dengan subsidi silang, maka mahasiswa dari kalangan menengah ke bawah bisa menikmati pendidikan tinggi.
Pemerintah juga banyak membuka kesempatan dengan program beasiswa seperti Bidikmisi, beasiswa Unggulan, Dikti, dan lain-lain. Bahkan beasiswa tersebut juga berlaku bagi mahasiswa yang kuliah di PTS seperti beasiswa dikti. Jadi, masih banyak peluang bagi masyarakat menengah ke bawah untuk mendapatkan pendidikan tinggi. Tinggal kerja keras dan meraih kesempatan tersebut dengan serius dan banyak bertanya.
Pentingnya Pendidikan
Pendidikan sangat penting membuka prospek cerah bagi masa depan seseorang. Meskipun pendidikan tinggi tidak menjamin sukses dan kaya, namun pendidikan menjamin kapasitas intelektual dan berguna bagi masyarakat. Bahkan hasil penelitian Bank Dunia pada 1996 mengemukakan adanya korelasi jumlah penduduk bergelar sarjana dengan tingkat kesejahteraan masyarakat suatu negara.
Kita bisa melihat jumlah sarjana Indonesia yang hanya sekitar 7-8 juta dari seluruh tenaga kerja produktif yang mencapai 122 juta orang. Artinya, persentase jumlah sarjana Indonesia masih sangat rendah dibandingkan jumlah tamatan SD, SMP dan SMA.
Kita berharap skema penerimaan mahasiswa baru di PTN lebih adil dengan kuota berpihak kepada masyarakat luas dan PTS menemukan cara solutif agar dapat menampung dan mengakomodasi mahasiswa dengan tidak membebani uang kuliah mahal tetapi juga tanpa mengorbankan kualitas. ***
Penulis alumnus UMSU, Mahasiswa S2 Universitas Negeri Semarang
Sumber: Analisa Daily
Pemerintah Diminta Cegah Sekolah Manipulasi Nilai
PEMERINTAH diminta mencegah upaya
manipulasi nilai yang dilakukan sekolah pada proses penerimaan mahasiswa baru
di perguruan tinggi negeri (PTN). Upaya manipulasi nilai mungkin terjadi pada
seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN) dengan kuota 40% dan
seleksi mandiri dengan kuota 30%. "Jalur undangan tanpa tes (SNMPTN) dan
mandiri yang keduanya sebesar 70% malah membuka peluang manipulasi nilai.
Pemerintah harus memastikan kedua seleksi itu bisa menyaring anak berprestasi
tanpa curang," ujar pengamat pendidikan Doni Koesoema A, di Jakarta,
kemarin.
Di sisi lain, dengan komposisi seleksi mandiri sebesar 30%, artinya pemerintah pro pada orang kaya karena jalur mandiri ialah jalur khusus dengan biaya sangat mahal. Ia mengusulkan komposisi seleksi mahasiswa PTN terdiri dari 10% untuk jalur SNMPTN dan 10% untuk seleksi mandiri. Sisanya, kuota 80% untuk jalur seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri (SBMPTN) atau dikenal ujian tulis.
"Itu sesuai jumlah anak berbakat yang berkisar 10% dan jumlah orang kaya dalam grafik normal juga 10%." Tahun ini Kemenristek Dikti menentukan kuota SNMPTN dan seleksi mandiri sebesar 40% dan 30%. Sisanya, jalur SBMPTN sebesar 30%. Ketua Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Herry Suhardiyanto menyatakan, meski total komposisi SNMPTN dan mandiri 70%, semua siswa dari latar belakang SMA, SMK, dan MA tetap berpeluang sama masuk PTN.
Namun, ia menekankan semua pihak bekerja sama agar mencegah manipulasi nilai oleh pihak yang berkepentingan atas kedua jalur itu.
Sosialisasi
Di Padang, Sumbar, panitia SNMPTN wilayah Sumbar akan menyosialisasikan cara pemilihan program studi (prodi) pada siswa kelas tiga SMA dan sederajat di provinsi itu. Anggota panitia SNMPTN Universitas Andalas Syafwardi menjelaskan, pada sosialisasi, pihaknya menyertakan informasi angka rasio keketatan atau perbandingan satu dosen dan jumlah mahasiswa pada prodi tersebut.
Dengan begitu, siswa memiliki gambaran tentang prodi yang akan dipilih. "Sebagai contoh, siswa SMA diperlihatkan peluang SMA-nya bisa masuk PTN dengan perbandingan SMA favorit lainnya. Bila SMA-nya jauh di peringkat bawah dan prodi idamannya favorit, dengan kemampuan pas-pasan ia bisa beralih ke prodi lain."
SNMPTN ialah jalur masuk tanpa tes yang berdasarkan nilai rapor dan indeks integritas sekolah. Penilaian indeks dilakukan dari hasil pengamatan dan data kejujuran UN di tiap sekolah. Proses SNMPTN dimulai dari pengisian pangkalan data sekolah dan siswa (PDSS) pada 18 Januari hingga 20 Februari 2016. Kemudian, pendaftaran pada 29 Februari hingga 12 Maret 2016. Selanjutnya seleksi pada 22 Maret-21 April dan pengumuman SNMPTN pada 10 Mei 2016. (Ant/H-2)
Di sisi lain, dengan komposisi seleksi mandiri sebesar 30%, artinya pemerintah pro pada orang kaya karena jalur mandiri ialah jalur khusus dengan biaya sangat mahal. Ia mengusulkan komposisi seleksi mahasiswa PTN terdiri dari 10% untuk jalur SNMPTN dan 10% untuk seleksi mandiri. Sisanya, kuota 80% untuk jalur seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri (SBMPTN) atau dikenal ujian tulis.
"Itu sesuai jumlah anak berbakat yang berkisar 10% dan jumlah orang kaya dalam grafik normal juga 10%." Tahun ini Kemenristek Dikti menentukan kuota SNMPTN dan seleksi mandiri sebesar 40% dan 30%. Sisanya, jalur SBMPTN sebesar 30%. Ketua Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Herry Suhardiyanto menyatakan, meski total komposisi SNMPTN dan mandiri 70%, semua siswa dari latar belakang SMA, SMK, dan MA tetap berpeluang sama masuk PTN.
Namun, ia menekankan semua pihak bekerja sama agar mencegah manipulasi nilai oleh pihak yang berkepentingan atas kedua jalur itu.
Sosialisasi
Di Padang, Sumbar, panitia SNMPTN wilayah Sumbar akan menyosialisasikan cara pemilihan program studi (prodi) pada siswa kelas tiga SMA dan sederajat di provinsi itu. Anggota panitia SNMPTN Universitas Andalas Syafwardi menjelaskan, pada sosialisasi, pihaknya menyertakan informasi angka rasio keketatan atau perbandingan satu dosen dan jumlah mahasiswa pada prodi tersebut.
Dengan begitu, siswa memiliki gambaran tentang prodi yang akan dipilih. "Sebagai contoh, siswa SMA diperlihatkan peluang SMA-nya bisa masuk PTN dengan perbandingan SMA favorit lainnya. Bila SMA-nya jauh di peringkat bawah dan prodi idamannya favorit, dengan kemampuan pas-pasan ia bisa beralih ke prodi lain."
SNMPTN ialah jalur masuk tanpa tes yang berdasarkan nilai rapor dan indeks integritas sekolah. Penilaian indeks dilakukan dari hasil pengamatan dan data kejujuran UN di tiap sekolah. Proses SNMPTN dimulai dari pengisian pangkalan data sekolah dan siswa (PDSS) pada 18 Januari hingga 20 Februari 2016. Kemudian, pendaftaran pada 29 Februari hingga 12 Maret 2016. Selanjutnya seleksi pada 22 Maret-21 April dan pengumuman SNMPTN pada 10 Mei 2016. (Ant/H-2)
Sumber: Media Indonesia
SNMPTN dan Distorsi Pendidikan
Sabtu, 19
Maret 2016 00:24
Oleh: Moh Yamin
Dosen di Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, penulis
buku-buku pendidikanPendaftaran Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2016 resmi ditutup (12/03/16). Dari 1.363.051 siswa yang ditargetkan, baru 641.296 siswa yang mendaftar. Dari jumlah itu, baru 624.931 siswa yang melakukan finalisasi. Dalam konteks ini, SNMPTN merupakan salah satu cara menjaring siswa untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi negeri (PTN).
SNMPTN merupakan seleksi yang dilakukan PTN masing-masing di bawah koordinasi panitia nasional dengan seleksi berdasarkan hasil penelusuran prestasi akademik calon mahasiswa. Pihak sekolah mendaftarkan siswa mereka yang memenuhi syarat ikut SNMPTN ini. Syaratnya antara lain berdasarkan nilai rapor, nilai ujian nasional, dan prestasi akademis lainnya selama di SMA.
Selanjutnya, penulis dalam konteks ini tidak berbicara tentang kuantitas peserta namun substansi SNMPTN dengan basis nilai rapor, nilai ujian nasional, dan prestasi akademis lainnya sebagai rujukan. Dalam pandangan filsafat pendidikan skolastik (Doni Koesoema A, 2007: 72), menjadikan nilai rapor, nilai ujian nasional, dan prestasi akademis lainnya yang merupakan tujuan pendidikan dasar, tentu berbeda dengan tujuan penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Lebih tepatnya, ketika UN harus dipaksa menjadi alat ukur dalam proses seleksi penerimaan mahasiswa baru, hal tersebut telah merancukan tujuan pendidikan tinggi. Sebab UN sejatinya hanya bertujuan mengukur prestasi yang dimiliki oleh anak didik secara pribadi yang disebut tes sumatif. Sebagai akibatnya, apakah ia telah menguasai materi pelajaran atau tidak. Bila berhasil, ia lulus namun apabila gagal dalam menjawab soal-soal yang di-UN-kan, maka ia dinyatakan tidak lulus.
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) No. 20 Tahun 2003, UN sebagai bagian dari proses evaluasi akhir sebuah hasil pendidikan hanya diselenggarakan untuk pendidikan sekolah, bukan perguruan tinggi. UN merupakan salah satu satu penentu yang menjustifikasi keberhasilan pendidikan anak didik kendatipun dalam pelaksanaannya belum dilakukan secara serius (baca: UN).
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana seharusnya ujian masuk perguruan tinggi perlu dipahami supaya tidak merancukan tujuan inti proses pendidikan tinggi? Dalam proses seleksi yang selama ini digunakan di pendidikan tinggi, ujian masuk ditujukan untuk mengukur kompetensi dan potensi akademik yang dimiliki seorang calon mahasiswa baru yang disebut tes formatif. Lebih tepatnya, ia bermaksud untuk melakukan diskriminasi minat dan bakat yang dimiliki oleh setiap calon mahasiswa baru. Sehingga tidak menutup kemungkinan, seorang siswa yang mendapat nilai terbaik dalam UN dan rapor sekolah tidak menjamin akan diterima masuk sebuah perguruan tinggi tertentu. Kondisi berbeda akan terjadi pada seorang calon mahasiswa baru yang dalam UN-nya hanya mendapat skor biasa. Namun karena memeroleh nilai tinggi atau sesuai dengan kriteria lembaga pendidikan tinggi terkait dalam proses seleksi masuk perguruan tinggi, maka ia pun akan bisa diterima.
Oleh karenanya, tes masuk perguruan tinggi dalam konteks demikian menggunakan pandangan normatif-sentris yang tidak mendasarkan diri terhadap penguasaan materi pelajaran an sich, namun skor penilaian berjenjang, diambil nilai paling tinggi dan jumlah kursi dalam lembaga pendidikan tinggi pun menjadi sebuah pertimbangan. Lebih dari itu, setiap item soal yang diujikan pun dibuat lebih sulit, yang bertujuan menjauhkan calon mahasiswa baru menjawab item-item soal tersebut dengan rumus menjawab UN. Akhirnya, mereka pun mendapat ruang yang sama dan adil untuk menikmati bangku pendidikan tinggi.
Meluruskan Pemahaman UN
Mencermati hal sedemikian, mencari titik-titik kelemahan yang akan berimbas pada pelaksanaan UN sebagai ukuran diterimanya seorang calon mahasiswa di perguruan tinggi pun harus menjadi bahan pertimbangan sangat utama. Jangan sampai gegabah mengambil sebuah keputusan karena ongkosnya sangat mahal. Tidak hanya menelan dana sangat besar yang harus dikeluarkan dari kantong uang negara yang disebut anggaran pendapatan belanja negara (APBN), namun juga akan menciderai landasan filosofis sebuah penyelenggaraan pendidikan tinggi. Ini belum lagi berbicara dampak buruk lain yang juga merusak tujuan dari UN dalam pendidikan secara menyeluruh. Sehingga alih-alih pendidikan bertujuan untuk melahirkan hasil pendidikan yang sangat berkualitas, itu pun menjadi isapan jempol belaka sebab konsep awal dan akhir penilaian keberhasilan pendidikan dipahami secara keliru dan sesat.
Oleh karenanya, konteks ketidakjelasan pemahaman UN perlu mendapat penyegaran pemahaman kembali sebab ini menyangkut nasib pendidikan ke depan. Hal tersebut juga berkelindan erat terhadap bagaimana pendidikan kemudian perlu diletakkan secara proporsional, tidak salah tempat dan pelaksanaan. Ibaratnya, bila tujuan baik itu dimulai dengan cara yang tidak tepat, hal tersebut bukan menambah kebaikan namun akan membawa keburukan di masa depan. Begitu pula dalam dunia pendidikan.
Supaya tujuan pendidikan tinggi bisa dijalankan secara tepat sasaran dengan landasan filosofis yang benar, ujian masuk perguruan tinggi yang bersifat normatif-sentris pun harus tetap dipertahankan dengan sedemikian rupa. Namun apabila UN tetap diharuskan menjadi bagian dari ujian masuk perguruan tinggi, sebagaimana yang dilaksanakan selama ini, maka merombak kembali orientasi tujuan UN untuk sekolah supaya memiliki korelasi dengan tujuan pendidikan tinggi pun merupakan sebuah keniscayaan.
Akan tetapi tantangan dan tugas ke depan adalah apakah bangsa ini mampu dan siap menanggung beban besar perombakan totalitas tersebut mulai dari sistem pendidikan dasar, menengah, atas dan tinggi yang juga harus diubah? Ini belum lagi berbicara tentang rumah pendidikan dasar dan menengah berada di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), sedangkan pendidikan tinggi berada di bawah Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristek Dikti).
Yang jelas, semua anak bangsa di negeri ini mulai dari Sabang sampai Merauke sangat mengharap, pendidikan dalam konteks apa pun jangan selalu menjadi kelinci percobaan demi kepentingan segelintir orang semata. Dengan kata lain, Kemdikbud dan Kemristek Dikti di bawah ketiak sebuah rezim tertentu, janganlah melahirkan kebijakan baru dalam dunia pendidikan yang terkesan memunculkan stigma buruk di tengah publik bahwa pendidikan selalu menjadi kepentingan kekuasaan tertentu. Siapa yang memiliki wewenang terhadap dunia pendidikan, maka bisa diubah sesuai dengan keinginan dan kepentingan masing-masing. (*)
SNMPTN Diprioritaskan Untuk Sekolah Akreditasi A
Selasa, 10 Februari 2015 13:17 wIB
JAKARTA - Tahun ini, Panitia Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) akan memprioritaskan sekolah yang beraktreditasi A untuk masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Sementara, Ujian Nasional (UN) hanya sebagai salah satu syarat pintu masuk siswa mendaftar di PTN.
Ketua Panitia Penerimaan SNMPTN, Rochman Wahah mengatakan, penerimaan jalur SNMPTN setiap PTN mempunyai ketentuan yang berbeda-beda dalam menerima calon mahasiswa / i dan kebijakan tersebut tergantung dari pengalaman perguruan tinggi tersebut. Misalnya, dari nilai evaluasi prestasi dari minat (interest), bakat (aptitude), kemampuan (competency), dan pengalaman (experince) siswa bidang yang diminatinya.
"Nilai sekolah disetiap daerah / kota bisa berbeda-beda, meskipun nilainya sama dalam mata pelajaran tertentu dengan nilai 8 atau 9 bisa berbeda bobotnya. Hal tersebut dapat dilihat dari aktreditasi sekolah, dan banyak alumsi sekolah tersebut diterima di Program SNMPTN. Nantinya, kita akan melihat nilanya, ketika dari sekolah yang maju dipriortaskan masuk," ungkap dia dalam jumpa pers Pendaftaran SNPTN 2015, di gedung Kementerian Riset Teknologi dan dan Dikti (Kemenristek), Jakarta, Senin (9/2).
Maka, dalam program SNMPTN tersebut sekolah-sekolah harus mendaftarkan Pangkalan Data Sekolah dan Siswa (PDSS) di www.pdss.snmptn.ac.id. Sebab komponen PDSS menentukan siswa sekolah diterima dengan melihat prestasi dan portofolio akademik, agar panitia SNMPTN dapat melakukan penelusuran dengan mudah. Ada pun pengisian data PDSS telah dibuka sejak 22 Januari 2015 dan ditutup sampai 12 Maret 2015.
"Belakangan ini UN sudah tidak terkait dengan standar kelulusan. Kita sebagai penyelenggara Universitas memberikan pertimbangan. Disamping, nilai, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memberi kategori sekolah baik (A), hitam (C) dan abu-abu (B) untuk setiap sekolah," ungkap Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Ia menambahkan, siswa lulusan SMA dapat dengan mudah mendaftar SNMPTN lewat jalur online www.snmptn.ac.id dan pendaftaran SNMPTN dibuka pada 13 Februari 2015 - 15 Maret 2015. Sedangkan, untuk pengumumanya dilaksanakan pada 9 Mei 2015. "Tahun ini, daya tampung untuk menerima SNMPTN sebanyak 137.781 dengan ketentuan siswa bisa memilih 2 perguruan tinggi, tapi harus berbeda letak provinsinya. Sementara, untuk peserta SNMPTN maksimal dapat memilih 3 program study, dengan aturan 2 program study di PTN yang sama dan 1 di program study di PTN yang berbeda," tandasnya.
Nah, untuk total PTN yang menyelenggaran SNMPTN sebanyak 63 PTN dan 14 PTN baru. Namun, bagi 14 PTN baru bersifat magang kepada 63 PTN yang lama. Dikarenakan 14 PTN tersebut belum mengetahui mekanisme penerimaannya. Ia mencontohkan, UNY dalam SNMPTN mengikuti Univeritas Gajah Mada (UGM), artinya ada 77 yang menyelengarakan SNMPTN.
Ditambahkan, Bendahara Penerimaan SNMPTN dari Rektor Universitas Negeri Solo (UNS), Ravik Karsidi, dalam program SNMPTN, dikhususkan bagi siswa-siswi yang fresh graduate atau baru lulus dan kuota penerimaan 50 persen. Sedangkan program Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) diperuntuhkan bagi calon mahasiswa diluar fresh graduate atau maksimal 3 tahun setelah lulus SMA.
Terpisah, Pengamat Pendidikan Doni Koesoema mengatakan penilaian SNMPTN tahun 2015 dengan memprioritaskan sekolah lewat akreditasi bagus sangat diskriminatif, dengan memberi kategori sekolah baik (A), sekolah hitam (C) dan sekolah abu-abu (B). dikarenakan, untuk daerah di bagian timur kesempatan masuk PTN sangat kecil. "Sebaiknya SNMPTN dihapuskan saja. Program SNMPTN dilakukan berbasis terbuka untuk semua publik, agar semua sekolah mempunyai kesempatan yang sama," pintanya.
Selain itu, jalur penerimaan prestasi lewat akademik di SNMPTN, memunculkan manipulasi pada nilai rapat. Beberapa sekolah berlomba-lomba siswanya bisa lolos di SNMPTN, dikarenakan bobot 50 persen penerimaan PTN di jalur ini. Contohnya, di tahun lalu sebanyak 150 sekolah lebih terbukti memanipulasi data raport untuk masuk PTN dan dilaporkan ke Ombudsman. "Tapi, sampai sekarang laporan tersebut tidak ditindaklanjuti," katanya. Ia menyarakan, SNMPTN diubah dengan sistem ujian tulis dikarenakan dalam tes tulis bisa dilihat kemampuan penilian siswa, tanpa ada manipulasi data di rapot dan jual beli nilai. (her/rp)
Sumber: Radarpena
JAKARTA - Tahun ini, Panitia Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) akan memprioritaskan sekolah yang beraktreditasi A untuk masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Sementara, Ujian Nasional (UN) hanya sebagai salah satu syarat pintu masuk siswa mendaftar di PTN.
Ketua Panitia Penerimaan SNMPTN, Rochman Wahah mengatakan, penerimaan jalur SNMPTN setiap PTN mempunyai ketentuan yang berbeda-beda dalam menerima calon mahasiswa / i dan kebijakan tersebut tergantung dari pengalaman perguruan tinggi tersebut. Misalnya, dari nilai evaluasi prestasi dari minat (interest), bakat (aptitude), kemampuan (competency), dan pengalaman (experince) siswa bidang yang diminatinya.
"Nilai sekolah disetiap daerah / kota bisa berbeda-beda, meskipun nilainya sama dalam mata pelajaran tertentu dengan nilai 8 atau 9 bisa berbeda bobotnya. Hal tersebut dapat dilihat dari aktreditasi sekolah, dan banyak alumsi sekolah tersebut diterima di Program SNMPTN. Nantinya, kita akan melihat nilanya, ketika dari sekolah yang maju dipriortaskan masuk," ungkap dia dalam jumpa pers Pendaftaran SNPTN 2015, di gedung Kementerian Riset Teknologi dan dan Dikti (Kemenristek), Jakarta, Senin (9/2).
Maka, dalam program SNMPTN tersebut sekolah-sekolah harus mendaftarkan Pangkalan Data Sekolah dan Siswa (PDSS) di www.pdss.snmptn.ac.id. Sebab komponen PDSS menentukan siswa sekolah diterima dengan melihat prestasi dan portofolio akademik, agar panitia SNMPTN dapat melakukan penelusuran dengan mudah. Ada pun pengisian data PDSS telah dibuka sejak 22 Januari 2015 dan ditutup sampai 12 Maret 2015.
"Belakangan ini UN sudah tidak terkait dengan standar kelulusan. Kita sebagai penyelenggara Universitas memberikan pertimbangan. Disamping, nilai, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memberi kategori sekolah baik (A), hitam (C) dan abu-abu (B) untuk setiap sekolah," ungkap Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Ia menambahkan, siswa lulusan SMA dapat dengan mudah mendaftar SNMPTN lewat jalur online www.snmptn.ac.id dan pendaftaran SNMPTN dibuka pada 13 Februari 2015 - 15 Maret 2015. Sedangkan, untuk pengumumanya dilaksanakan pada 9 Mei 2015. "Tahun ini, daya tampung untuk menerima SNMPTN sebanyak 137.781 dengan ketentuan siswa bisa memilih 2 perguruan tinggi, tapi harus berbeda letak provinsinya. Sementara, untuk peserta SNMPTN maksimal dapat memilih 3 program study, dengan aturan 2 program study di PTN yang sama dan 1 di program study di PTN yang berbeda," tandasnya.
Nah, untuk total PTN yang menyelenggaran SNMPTN sebanyak 63 PTN dan 14 PTN baru. Namun, bagi 14 PTN baru bersifat magang kepada 63 PTN yang lama. Dikarenakan 14 PTN tersebut belum mengetahui mekanisme penerimaannya. Ia mencontohkan, UNY dalam SNMPTN mengikuti Univeritas Gajah Mada (UGM), artinya ada 77 yang menyelengarakan SNMPTN.
Ditambahkan, Bendahara Penerimaan SNMPTN dari Rektor Universitas Negeri Solo (UNS), Ravik Karsidi, dalam program SNMPTN, dikhususkan bagi siswa-siswi yang fresh graduate atau baru lulus dan kuota penerimaan 50 persen. Sedangkan program Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) diperuntuhkan bagi calon mahasiswa diluar fresh graduate atau maksimal 3 tahun setelah lulus SMA.
Terpisah, Pengamat Pendidikan Doni Koesoema mengatakan penilaian SNMPTN tahun 2015 dengan memprioritaskan sekolah lewat akreditasi bagus sangat diskriminatif, dengan memberi kategori sekolah baik (A), sekolah hitam (C) dan sekolah abu-abu (B). dikarenakan, untuk daerah di bagian timur kesempatan masuk PTN sangat kecil. "Sebaiknya SNMPTN dihapuskan saja. Program SNMPTN dilakukan berbasis terbuka untuk semua publik, agar semua sekolah mempunyai kesempatan yang sama," pintanya.
Selain itu, jalur penerimaan prestasi lewat akademik di SNMPTN, memunculkan manipulasi pada nilai rapat. Beberapa sekolah berlomba-lomba siswanya bisa lolos di SNMPTN, dikarenakan bobot 50 persen penerimaan PTN di jalur ini. Contohnya, di tahun lalu sebanyak 150 sekolah lebih terbukti memanipulasi data raport untuk masuk PTN dan dilaporkan ke Ombudsman. "Tapi, sampai sekarang laporan tersebut tidak ditindaklanjuti," katanya. Ia menyarakan, SNMPTN diubah dengan sistem ujian tulis dikarenakan dalam tes tulis bisa dilihat kemampuan penilian siswa, tanpa ada manipulasi data di rapot dan jual beli nilai. (her/rp)
Sumber: Radarpena
Wednesday, 25 May 2016
Sekolah Abaikan SNMPTN
Kamis, 3
Maret 2016 06:15 WIB Penulis: Puput Mutiara
SELEKSI nasional masuk perguruan
tinggi negeri (SNMPTN) 2016 sudah memasuki tahap pendaftaran.Siswa yang sudah masuk dalam daftar
pemeringkatan diperkenankan memilih PTN dan jurusan yang diinginkan. Namun sayang, banyak siswa yang
terpaksa kehilangan kesempatan untuk mengikuti jalur SNMPTN lantaran sekolahnya
tidak mengisi data di pangkalan data sekolah dan siswa (PDSS).
"Pengisian dan verifikasi PDSS
itu sudah menjadi bagian dari proses SNMPTN. Kalau sekolahnya tidak daftar,
siswanya cuma punya opsi SBMPTN atau ujian mandiri," kata Ketua Panitia
SNMPTN 2016 Rochmat Wahab saat jumpa pers pendaftaran SNMPTN di Jakarta, Rabu
(2/3).
SNMPTN ialah seleksi penerimaan
calon mahasiswa berdasarkan nilai rapot, nilai ujian nasional, dan prestasi
akademis lainnya selama di SMA.
Rochmat mengungkapkan, ada sebanyak
5.810 sekolah yang tidak mengisi PDSS.
Meski belum diketahui secara pasti
alasannya, Rochmat mengaku sangat menyayangkan hal itu karena berimbas bagi
calon mahasiswa.
Di Jawa Barat misalnya, hampir 1/3
dari jumlah sekolah yang ada atau sebanyak 1.006 sekolah tidak mengisi PDSS.
Padahal, persentase kelayakan siswa
untuk bisa ikut SNMPTN mencapai 74,89%.
Hal serupa juga terjadi di beberapa
daerah lain di Tanah Air.
Sekitar 25% atau sebanyak 854
sekolah di Jawa Timur tidak mendaftar hingga batas akhir pengisian dan
verifikasi PDSS, Februari lalu.
Rektor Universitas Negeri Yogyakarta
itu menuturkan, hingga saat ini belum ada kebijakan yang secara langsung
memberikan sanksi kepada sekolah yang tidak mendaftar di PDSS.
Hanya saja, jika siswa yang sudah
diterima atau lulus SNMPTN tidak melakukan daftar ulang, sekolah asalnya bakal
menerima sanksi pengurangan jumlah siswa yang ikut SNMPTN di tahun berikutnya.
"Itu kan sama saja
menghilangkan kesempatan orang lain," pungkasnya.
Akses internet
Pengamat pendidikan Doni Koesoema menilai banyaknya sekolah yang tidak
mendaftar di PDSS bisa disebabkan sistem SNMPTN yang dilakukan secara online.
Menurutnya, tidak semua sekolah
memiliki akses internet yang memadai, terutama sekolah-sekolah di daerah
pinggiran.
"Sistem itu akhirnya yang
membatasi sekolah untuk mendaftar, selain mungkin juga memang karena sebelumnya
tidak diterima. Jadi, enggan daftar lagi," ucapnya saat dihubungi Media
Indonesia, Rabu (2/3).
Ia mengusulkan sekolah yang
terkendala akses bisa diberikan kesempatan untuk mendaftar secara manual.
Pada bagian lain, Rochmat Wahab
mengatakan sebanyak 1.382.849 siswa direkomendasikan untuk mendaftar setelah
sebelumnya dipilih berdasarkan hasil pemeringkatan.
Ketentuan pemeringkatan baru, lanjut
Rochmat, mulai diberlakukan tahun ini menggunakan nilai semester 3 sampai 5.
Selain itu, pemeringkatan dilakukan per jurusan, baik IPA, IPS, maupun bahasa.
"Dengan demikian, kuota sesuai
akreditasi tidak tepat lagi meskipun semua siswa yang masuk 75% terbaik di
sekolah dengan akreditasi A," jelasnya.
Pemeringkatan, kata Rochmat, berlaku
untuk setiap sekolah tanpa membedakan kelas reguler dan kelas akselerasi. (X-6)
Sumber: Media Indonesia
Sumber: Media Indonesia
Untuk Hadapi MEA, Pemerintah Harus Perbaharui Sistem Pendidikan
Jakarta, NU Online. Dalam rangka Hari Pendidikan Nasional dan sekaligus memprediksi serta menyiapkan langkah dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Forum Temu Kebangsaan Orang Muda menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “Tantangan Dunia Pendidikan Menghadapi MEA” di Griya Gus Dur, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (03/5).
Hadir sebagai pembicara adalah pemerhati serta penulis buku-buku pendidikan, Doni Koesoema A dan praktisi pendidikan, Jimmy Paat.
Mengawali paparannya, Doni Koesoema mengajak peserta diskusi untuk berkaca pada kemunduran perusahaan Nokia seperti dikatakan CEO-nya Stephen Elop, “We didn’t do anything wrong, but somehow, we lost (Kami tidak melakukan kesalahan, tetapi entah bagaimana bisa kalah).”
Nokia sempat menjadi perusahaan besar yang dikelola dengan manajemen yang baik, tetapi bisa mundur. “Kalau sesuatu yang dikelola dengan baik saja bisa mundur, bagaimana dengan sesuatu yang dikelola asal-asalan?” kata Doni yang kemudian mengaitkannya dengan dunia pendidikan Indonesia dewasa ini.
Menurut Doni, pendidikan abad 21 harus memuat aspek-aspek pengetahuan, keterampilan, karakter, metakognisi (kemampuan untuk mengontrol ranah atau aspek kognitif), dan spiritualitas. Doni mengatakan, dalam menyiapkan MEA, masyarakat Indonesia perlu menyiapkan kemampuan berbahasa asing dan kompetensi di bidang tertentu. Bahasa asing yang dimaksud Doni tidak hanya bahasa Inggris, tetapi juga bahasa asing di negara lain, misalnya bahasa Tagalog di Filipina.
Sementara kompetensi adalah kemampuan yang diperlukan sesuai standar yang berlaku di seluruh negara ASEAN. Pemerintah, menurut Doni, perlu menyiapkan langkah pembaharuan dengan mempersiapkan struktur kurikulum agar dapat bersaing di era global. Kurikulum yang diajarkan adalah untuk menyiapkan generasi muda dengan pengalaman belajar, membentuk serta memperkuat karakter dan kemampuan untuk bisa bersaing di masa mendatang.
Kemampuan berkomunikasi, berpikir kreatif, kepemimpinan juga harus ada. Kurikulum harusnya menyiapkan siswa untuk itu karena kalau tidak, siswa akan menghadapi kesulitan.
Sementara Jimmy Paat mendorong para siswa untuk memiliki rasa cinta terhadap pendidikan seperti yang contohkan Ki Hajar Dewantara. Di era MEA pendidikan juga harus menyiapkan siswa untuk menghargai produk lokal, tidak justru berbangga-bangga dengan menjadi konsumen dari produk-produk asing. (Kendi Setiawan/Mahbib)
Sistem Pendidikan Pesantren Lebih Siap Hadapi Tantangan MEA
Jumat, 13 Mei 2016 12:00 Wawancara
Pendidikan karakter dinilai tepat untuk mengembangkan kepribadian siswa. Salah satu pemerhati pendidikan yang juga mengembangkan pendidikan karakter adalah Doni Koesoema A.
Dikaitkan dengan dunia pesantren dalam menghadapi tantangan MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) dan pendidikan karakter, Master Pendidikan lulusan Boston College Lynch School of Education, AS ini memprediksi pola dunia pesantren akan lebih siap. Berikut wawancara Kontributor NU Online Kendi Setiawan dengan Doni.
Pak Doni, Anda kan dikenal aktif mengembangkan pendidikan karakter. Sebenarnya pendidikan karakter di Indonesia sudah seperti apa?
Pendidikan karakter itu sebenarnya sudah banyak dipraktikkan di sekolah-sekolah kita. Cuma sering kali apa yang sudah dilaksanakan ini belum disadari sebagai bagian pembentukan nilai. Maka orang selalu bingung, kita ini sudah melaksanakan pendidikan karakter atau belum.
Nah, dengan menyadari kembali pendidikan karakter, orang harus tahu dasar-dasarnya apa, agar dia bisa memperbaiaki. Selama ini memang sudah ada, namun karena sering kali tidak dievaluasi dan direfleksi, sehingga orang tidak tahu apakah ini sudah benar, apakah program-program yang dilakukan itu sudah benar-benar membentuk karakter atau tidak. Itu yang kurang digali. Itu yang sejauh pengamatan saya.
Ada bebarapa pertentangan terhadap pendidikan karakter, ada yang tidak setuju. Misalnya saya pernah menjumpai praktisi pendidikan, dia lebih menyukai Matematika atau eksakta saja. Itu bagaimana?
Jadi mereka itu tidak suka pendidikan karakter karena mereka salah memahamai konsep pendidikan karakter. Dia pikir untuk belajar Matematika itu nggak ada kaitannya dengan pendidikan karakter. Padahal justru Matematika itu banyak pendidikan karakternya. Di sekolah di luar negeri misalkan Matematika, anak itu kalau mengerjakan harus pakai pulpen. Kenapa di Indoensia malah pakai pensil misalnya anak-anak SD? Sementara di luar mereka wajib pakai pulpen supaya nggak bisa dihapus dan guru bisa tahu cara berpikirnya. Itu kan membentuk cara berpikir yang lurus dan guru bisa mengevaluasi. Di situ sebenarnya ada pembentukan karakter. Nah berarti ada kekeliruan dalam memahami pendidikan karakter sehingga orang menganggap Matematika, IPA, Sains itu nggak ada kaitannya dengan pendidikan karakter, dan ini salah menurut saya.
Harusnya ada justru misalnya Matematika pendidikan karakter itu ada di sini. Kalau saya punya pendapat bahwa dua tambah dua empat itu benar, saya harus mempertahankan pendapat saya bahwa itu benar. Tapi kalau saya kemudian tahu bahwa pendapat saya salah, saya harus berani mengubah bahwa pendapat saya salah. Itu pendidikan karakter ada di sana.
Saya beberapa kali mendengar Anda menyebut pondok pesantren bagus sebagai tempat pendidikan. Itu dari mana asumsinya, padahal Anda bukan warga Muslim?
Saya tahu itu karena saya pernah banyak juga bekesplorasi di tempat-tempat itu (pondok pesantren). Saya pernah di Tebuireng, kunjungan ke sana lalu melihat pendidikan di pesantren. Lalu ke Samanera yang di Borobudur, bahkan menginap di sana sampai satu minggu, ikut doa-doa mereka. Saya rasa pondok pesantren benar-benar membentuk individu dengan budaya yang kuat.
Kemudian keterikatan dengan lingkungan setempat sebagai proses pembelajaran itu ada. Saya nggak menemukan pondok pesantren ada pagarnya. Di banyak pondok pesantren yang ada itu terintegrasi dengan masyarakat. Beda di seminari misalnya di Martoyudan, itu kan ada pagarnya, tapi di ponpes itu kebanyakan nggak.
Waktu saya di Bima memang ada pagarnya. Tetapi, mereka relatif bergaul dengan masyarakat. Jadi saya rasa ponpes model pembelajaran yang menurut saya bagus, Karena di sana kan kiai-kiai, artinya menginterpretasikan ajaran-ajaran agama itu lebih kontekstual, jadi arahnya tidak ideologis saja. Dan itu yang membuat pesantren maju dan bisa menjadi role model untuk proses pendidikan.
Kalau dikaitkan dengan tantangan MEA, pendidikan pesantren itu bagaimana? Apa ada perbedaan dengan sistem pendidikan di tempat lain?
Menurut saya harusnya membedakan, karena di pesantren individu dibekali oleh kekuatan spiritual yang bagus. Lalu kontak budaya dan kontak dengan masyarakat yang kuat, itu sebenarnya bisa menjadi modal.
Di sisi ekonominya di pondok pesantren memang perlu bagaimana memberdayakan ekonomi masyarakat. Dan saya rasa ini akan mengubah bangsa ini akan lebih cepat maju. Saya melihat begini, di masjid-masjid ada banyak, istilahnya, arus uang. Tetapi kalau di masjid ada kas, misalnya di Tangerang (tempat tinggal Doni), dipakai untuk membangun gapura. Padahal di sekitarnya banyak orang miskin.
Nah, saya membayangkan seandainya di setiap masjid, mereka punya perhatian terhadap pemberdayaan ekonomi orang-orang miskin, bangsa ini akan cepat maju, naik kelas. Dan proses pendidikan di pesantren akan membantu karena sejak awal mereka sudah dekat dengan masyarakat, mengenal siapa masyarakat di sekitar, anak-anak di sekitar pesantren tahu siapa yang miskin siapa yang bisa dibantu.
Kalau sistem pendidikannya sendiri bagaimana di pondok pesantren menghadapi tantangan MEA?
Kalau saya sistem enggak paham secara khusus. Tapi saya lihat pondok pesantren lebih ke pendidikan yang dinamis. Mereka memang selain kekuatan nilai-ilai tradisional, lalu kitab yang dilatihkan dengan model menghapal, kemudian terbatinkan, diwujudkan melalui praktik. Itu bagi saya bisa menjadi modal yang bisa dipindahkan, misalkan menghadapi tantangan di luar kan kita harus tahu apa yang ada di dalam masyarakat, apa yang dibutuhkan kan akan mencari cara yang lebih baik untuk mengantisipasinya. Dan di era MEA ini, tentu yang dibutuhkan kemampuan bahasa. Di pesantren bahasanya bagus. Itu kan menurut saya luar biasa.
(Kendi Setiawan)
Pendidikan karakter dinilai tepat untuk mengembangkan kepribadian siswa. Salah satu pemerhati pendidikan yang juga mengembangkan pendidikan karakter adalah Doni Koesoema A.
Dikaitkan dengan dunia pesantren dalam menghadapi tantangan MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) dan pendidikan karakter, Master Pendidikan lulusan Boston College Lynch School of Education, AS ini memprediksi pola dunia pesantren akan lebih siap. Berikut wawancara Kontributor NU Online Kendi Setiawan dengan Doni.
Pak Doni, Anda kan dikenal aktif mengembangkan pendidikan karakter. Sebenarnya pendidikan karakter di Indonesia sudah seperti apa?
Pendidikan karakter itu sebenarnya sudah banyak dipraktikkan di sekolah-sekolah kita. Cuma sering kali apa yang sudah dilaksanakan ini belum disadari sebagai bagian pembentukan nilai. Maka orang selalu bingung, kita ini sudah melaksanakan pendidikan karakter atau belum.
Nah, dengan menyadari kembali pendidikan karakter, orang harus tahu dasar-dasarnya apa, agar dia bisa memperbaiaki. Selama ini memang sudah ada, namun karena sering kali tidak dievaluasi dan direfleksi, sehingga orang tidak tahu apakah ini sudah benar, apakah program-program yang dilakukan itu sudah benar-benar membentuk karakter atau tidak. Itu yang kurang digali. Itu yang sejauh pengamatan saya.
Ada bebarapa pertentangan terhadap pendidikan karakter, ada yang tidak setuju. Misalnya saya pernah menjumpai praktisi pendidikan, dia lebih menyukai Matematika atau eksakta saja. Itu bagaimana?
Jadi mereka itu tidak suka pendidikan karakter karena mereka salah memahamai konsep pendidikan karakter. Dia pikir untuk belajar Matematika itu nggak ada kaitannya dengan pendidikan karakter. Padahal justru Matematika itu banyak pendidikan karakternya. Di sekolah di luar negeri misalkan Matematika, anak itu kalau mengerjakan harus pakai pulpen. Kenapa di Indoensia malah pakai pensil misalnya anak-anak SD? Sementara di luar mereka wajib pakai pulpen supaya nggak bisa dihapus dan guru bisa tahu cara berpikirnya. Itu kan membentuk cara berpikir yang lurus dan guru bisa mengevaluasi. Di situ sebenarnya ada pembentukan karakter. Nah berarti ada kekeliruan dalam memahami pendidikan karakter sehingga orang menganggap Matematika, IPA, Sains itu nggak ada kaitannya dengan pendidikan karakter, dan ini salah menurut saya.
Harusnya ada justru misalnya Matematika pendidikan karakter itu ada di sini. Kalau saya punya pendapat bahwa dua tambah dua empat itu benar, saya harus mempertahankan pendapat saya bahwa itu benar. Tapi kalau saya kemudian tahu bahwa pendapat saya salah, saya harus berani mengubah bahwa pendapat saya salah. Itu pendidikan karakter ada di sana.
Saya beberapa kali mendengar Anda menyebut pondok pesantren bagus sebagai tempat pendidikan. Itu dari mana asumsinya, padahal Anda bukan warga Muslim?
Saya tahu itu karena saya pernah banyak juga bekesplorasi di tempat-tempat itu (pondok pesantren). Saya pernah di Tebuireng, kunjungan ke sana lalu melihat pendidikan di pesantren. Lalu ke Samanera yang di Borobudur, bahkan menginap di sana sampai satu minggu, ikut doa-doa mereka. Saya rasa pondok pesantren benar-benar membentuk individu dengan budaya yang kuat.
Kemudian keterikatan dengan lingkungan setempat sebagai proses pembelajaran itu ada. Saya nggak menemukan pondok pesantren ada pagarnya. Di banyak pondok pesantren yang ada itu terintegrasi dengan masyarakat. Beda di seminari misalnya di Martoyudan, itu kan ada pagarnya, tapi di ponpes itu kebanyakan nggak.
Waktu saya di Bima memang ada pagarnya. Tetapi, mereka relatif bergaul dengan masyarakat. Jadi saya rasa ponpes model pembelajaran yang menurut saya bagus, Karena di sana kan kiai-kiai, artinya menginterpretasikan ajaran-ajaran agama itu lebih kontekstual, jadi arahnya tidak ideologis saja. Dan itu yang membuat pesantren maju dan bisa menjadi role model untuk proses pendidikan.
Kalau dikaitkan dengan tantangan MEA, pendidikan pesantren itu bagaimana? Apa ada perbedaan dengan sistem pendidikan di tempat lain?
Menurut saya harusnya membedakan, karena di pesantren individu dibekali oleh kekuatan spiritual yang bagus. Lalu kontak budaya dan kontak dengan masyarakat yang kuat, itu sebenarnya bisa menjadi modal.
Di sisi ekonominya di pondok pesantren memang perlu bagaimana memberdayakan ekonomi masyarakat. Dan saya rasa ini akan mengubah bangsa ini akan lebih cepat maju. Saya melihat begini, di masjid-masjid ada banyak, istilahnya, arus uang. Tetapi kalau di masjid ada kas, misalnya di Tangerang (tempat tinggal Doni), dipakai untuk membangun gapura. Padahal di sekitarnya banyak orang miskin.
Nah, saya membayangkan seandainya di setiap masjid, mereka punya perhatian terhadap pemberdayaan ekonomi orang-orang miskin, bangsa ini akan cepat maju, naik kelas. Dan proses pendidikan di pesantren akan membantu karena sejak awal mereka sudah dekat dengan masyarakat, mengenal siapa masyarakat di sekitar, anak-anak di sekitar pesantren tahu siapa yang miskin siapa yang bisa dibantu.
Kalau sistem pendidikannya sendiri bagaimana di pondok pesantren menghadapi tantangan MEA?
Kalau saya sistem enggak paham secara khusus. Tapi saya lihat pondok pesantren lebih ke pendidikan yang dinamis. Mereka memang selain kekuatan nilai-ilai tradisional, lalu kitab yang dilatihkan dengan model menghapal, kemudian terbatinkan, diwujudkan melalui praktik. Itu bagi saya bisa menjadi modal yang bisa dipindahkan, misalkan menghadapi tantangan di luar kan kita harus tahu apa yang ada di dalam masyarakat, apa yang dibutuhkan kan akan mencari cara yang lebih baik untuk mengantisipasinya. Dan di era MEA ini, tentu yang dibutuhkan kemampuan bahasa. Di pesantren bahasanya bagus. Itu kan menurut saya luar biasa.
(Kendi Setiawan)
Sumber: NU Online
Subscribe to:
Posts (Atom)
-
BASIS, Nomor 07-08, Tahun ke- 5 5, Juli-Agustus 2006, hlm 62-68 Doni Koeseoema, A Keluarga sebagai locus educationis telah la...
-
Doni Koesoema A. Pendidikan karakter pertama kali dicetuskan oleh pedagog Jerman F.W.Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter yang menekank...
-
BAB I PENDIDIKAN KARAKTER SEBUAH TINJAUAN HISTORIS 1.1. Perang melawan lupa 1.2. Pendidikan karakter aristokratis ala Homeros 1.3. Pendidik...