Thursday 3 September 2009

Penilaian Pendidikan

KOMPAS, Kamis, 8 juni 2006
Doni Koesoema, A

Banyak kalangan, seperti orang tua, intelektual, pendidik, anggota parlemen dan masyarakat, mempertanyakan makna Ujian Nasional (UN). Berhadapan dengan disparitas kultur akademis, ketersediaan tenaga guru, sarana, prasarana pendidikan, dll,UN alih-alih memecahkan persoalan peningkatan mutu pendidikan malah menjadi bagian dari persoalan itu sendiri. Karena itu banyak yang mengusulkan agar UN dihapuskan saja.

Namun yang dihadapi oleh dunia pendidikan bukanlah persoalan sekedar ‘nasional’ atau ‘lokal’ semata. Sistem penilaian yang dipraktekkan dalam dunia pendidikan, seperti, ujian, evaluasi, pemeringkatan, pengisian rapor, dll, telah lama dipersoalkan tingkat keabsahan (validity) dan tingkat keandalannya (affidability) sebagai tolok ukur hasil suatu proses pendidikan. Jadi, modus operandi dalam menilai sebuah kinerja pendidikan itu sendirilah yang dipertanyakan.

Docimologi

Berbagai macam ketidakakuratan dan ketidaktepatan dalam menilai suatu hasil pendidikan melahirkan studi khusus yang oleh H. Piéron (1963) disebut docimologi (dari kata Yunani, dokimàzo, menilai, dan logòs, diskursus sistematis dan ilmiah). Docimologi merupakan suatu studi kritis yang mempelajari persoalan seputar tata cara penilaian hasil-hasil suatu intervensi pendidikan.

Tata cara penilaian suatu proses pendidikan biasanya dipengaruhi oleh gambaran manusia macam apa yang menjadi titik pijaknya. Sayangnya, antropologi UN inilah yang biasanya luput dari bahasan para anggota parlemen (politisi) dan birokrat pemerintah ketika menghadapi polemik seputar UN.

Dalam kerangka menilai perkembangan peserta didik, misalnya, semakin disadari bahwa gambaran manusia mekanis yang diredusir pada kemampuan akademis tak mampu menjawab integritas manusia sebagai pribadi yang dikaruniai berbagai macam fasilitas, pikiran, budi, kehendak, emosi, dll. Model quantifikasi hasil pendidikan dalam jumlah nilai dianggap terlalu meredusir makna pendidikan dan gambaran tentang manusia yang melatarbelakanginya.

Karena itulah mulai dikembangkan suatu cara penilaian di mana akuisisi ilmu dipahami bukan dalam artian ‘banyaknya’ jumlah gagasan, pengetahuan yang dapat dipahami dan diterima oleh peserta didik, melainkan sejauh mana pengetahuan itu mengubah sikap, perilaku yang koheren dengan konsep sebuah sekolah yang mendidik. (J.M.Prellezo-L.Calonghi,1997,1159)

Populisme murahan

Penilaian hasil pendidikan dalam lingkup nasional melalui UN dalam batas-batas tertentu masih bisa dipakai sejauh diterapkan dalam kerangka evaluasi dan perbaikan secara struktural, bukan dalam kerangka evaluasi kinerja individu. Karena itu, banyaknya kritik yang muncul berkaitan dengan ‘pemaksaan’ pelaksanaan UN 2006 tidak bisa dijadikan alasan untuk menghapuskan begitu saja UN. Para politisi yang membabibuta meminta UN segera dihapuskan tanpa memberikan alternatif bisa jatuh pada sikap populisme murahan.

Sebaliknya, sikap pemerintah yang ngotot agar UN tetap dijalankan tanpa memberikan pertimbangan yang valid dan sah, tanpa ada tindak lanjut dalam kebijakan pendidikan post-UN, bahkan bersikap tuli atas masukan dari banyak pihak bisa dicap sekedar melakukan politik bagi-bagi uang. Dana 238 milyard untuk UN bukanlah jumlah yang sedikit!

Pendidikan merupakan sebuah intervensi sosial demi tujuan tertentu yang ingin diraih. Setiap keputusan intervensif dalam bidang pendidikan mesti memperhatikan dan melihat dampak-dampak atas intervensi tersebut dalam konteks yang lebih fundamental. Membuat suatu program bagi intervensi pendidikan namun tidak mau mempertimbangkan dampak-dampaknya merupakan perilaku yang tidak bertanggungjawab.

Salah satu dampak UN yang paling eksistensial adalah digantikannya makna pribadi menjadi sekumpulan barang produksi yang dapat distandardisasi.

Hilangnya pribadi

Ujian Nasional yang dipakai sebagai tolok ukur kelulusan siswa merupakan program yang tidak menghargai keunikan pribadi. UN telah meredusir kekayaan pribadi menjadi sekedar barang produksi yang bisa distandardisasi. Dalam UN yang diutamakan adalah hasil akhir, bukan proses. Akibatnya, individu kehilangan nilainya sebagai pribadi yang unik dan tak tergantikan (person). Lewat UN dimensi etis individu tidak diakui lagi. Individu menjadi materi tanpa ikatan sejarah yang bisa dilipat-lipat seperti kardus sehingga menjadi kotak-kotak kosong yang sama.

Selain itu, proses penilaian UN tidak mengacu pada sekumpulan nilai (set of value) melainkan pada efektifitas dan efisiensi, yaitu, sejauh mana seseorang mempergunakan sumber-sumber pengetahuan yang tersedia baginya. Dengan adanya disparitas sumber-sumber pengetahuan yang ada, entah karena keterbatasan dana, sarana, tenaga guru, dll, UN yang berpretensi membuat ‘penyamaan’ telah menjadi alat untuk menyebarkan ketidakadilan.

Karena pribadi itu unik dan tak tergantikan yang dianugerahi dengan banyak bakat, talenta, dan kreatifitas, juga kebebasan dalam mengembangkan dirinya secara penuh, penilaian kelulusan yang semata-mata mendasarkan diri pada standardisasi akademis merupakan pelecehan atas integritas harkat dan martabat mereka.

Kemampuan akademis memang merupakan batu pijakan (corner stone) bagi dunia pendidikan. Namun pertumbuhan karakter adalah fondasi bagi hidup seseorang. Pendidikan semestinya memberikan tolok ukur penilaiannya pada sikap perilaku yang baik (good doing) bukan sekedar mencetak orang-orang sesuai dengan spesifikasi kuantitatif yang dipaksakan.

Menerapkan kriteria ekonomi lewat efisiensi dan efektivitas bagi tolok ukur sebuah proses pendidikan membuat banyak hal yang bernilai dalam diri pribadi hilang, seperti, kesadaran sebagai satu warga (citizenship), ketulusan dan kejujuran (honesty), rasa hormat, persahabatan, penghargaan atas perbedaan, jerih payah, kerja keras, ketekunan, dll.

Pribadi-pribadi dengan kriteria inilah yang sekarang ini sangat kita butuhkan agar masyarakat kita dapat hidup berdampingan dengan damai, tidak gampang berkelahi atau adu otot, melainkan mampu menghargai keanekaragaman dalam kesatuan. Padahal, kebhinekaan yang ika inilah sesungguhnya kekayaan tak ternilai bangsa kita.

Doni Koesoema, A. Penulis adalah mahasiswa jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma.

1 comment:

victor ngantung said...

Pendidikan di Indonesia telah dirasuk politik yang tidak mencerdaskan bangsa Indonesia seluruhnya, yakni orang-orang yang sama sekali tidak tahu tentang esensi pendidikan. Kita membutuhkan Pemimpin negara yang mampu dengan tegas mengatasi orang-orang egois dan egosehtris, dan mendukung negarawan-negarawan sejati demi harkat dan martabat bangsa Indonesia yang luhur. Otonomi pendidikan, yang memberi kesempatan yang luas untuk meningkatkan mutu pendidikan yang ideal, hanya menjadi cita-cita yang masih belum bisa dicapai selama pejabat negara dan wakil rakyat yang egois masih berkuasa.

Pendidikan Keagamaan