Saturday 15 September 2007

Mati Sunyi Seorang Guru

Oleh. Doni Koesoema, A

Menjadi guru merupakan komitmen. Bahwa aku memilih secara bebas untuk menjadi guru berdasarkan nuraniku yang bening merupakan salah satu pegangan yang memberikan rasa aman di tengah masyarakat yang penuh ketidakpastian dan perubahan. Tak mengherankan, dalam sebuah masyarakat yang mendewakan materi, memuja ketidakjujuran, membiarkan penindasan, mati sunyi menjadi konsekuensi logis yang disandang oleh setiap guru.

Kidung populer tentang mati sunyi seorang guru bisa kita dengar dari syair guru Oemar Bakrie-nya Iwan Fals. Oemar Bakrie adalah seorang guru yang penuh dedikasi dan kesederhanaan. Hanya dengan sepeda kumbang dan tas kulit buaya ia bolak-balik kesekolah. Akhir lagu merupakan jeritan protes yang menggema terus hingga sekarang, mengapa, ia yang telah mencetak profesor, insinyur dan dokter, gajinya seperti dikebiri?

Namun, kisah dramatis lebih mengharukan tentang komitmen seorang guru nasionalis hanya dapat kita temukan dalam novel Pramoedya Ananta Toer Bukan Pasar Malam(1951). Novel ini, dengan gaya bahasa realisme yang kuat, mengisahkan tentang sebuah keluarga nasionalis revolusioner yang keluarganya hancur berantakan karena revolusi kemerdekaan yang diperjuangkannya sendiri. Ayah dari tokoh utama, aku, adalah seorang guru yang komitmennya pada pendidikan bangsa begitu besar. Guru yang telah mengabdi selama 30 tahun itu kini sekarat tak berdaya karena digerogoti baksil tbc. Di sela dengus nafasnya yang tersengal-sengal, tanpa keluhan, hanya tergeletak di ranjang bambu reyot, ia berujar kepada anak yang menunggunya, terpatah-patah. “Aku tak mau jadi ulama… Aku mau jadi nasionalis… Karena itu, aku jadi guru... Membukakan pintu hati anak-anak untuk pergi ke taman...patriotisme, dengar?..karena itu aku mau jadi guru..jadi lembaga bangsa.”

Sebenarnya, guru yang berjuang dengan tbc-nya ini pernah ditawari untuk menjadi anggota perwakilan daerah, yang memungkinkannya mendapat perlakuan istimewa, misalnya dirawat di sanatorium, namun ia menolak, dengan alasan bahwa perwakilan rakyat hanya panggung sandiwara. Dan lagi, ia tak suka menjadi badut, sekalipun itu badut besar. Jabatan sebagai pengawas sekolah di Pati pun ditolaknya.

Refleksi Pram tentang mati sunyi seorang guru, keluar dari mulut seorang dukun yang kebetulan jadi guru, yang pada waktu itu dimintai tolong untuk mengobati ayah si tokoh utama. Dukun ini menemui kenyataan pahit bahwa suatu ketika para muridnya hanya sedikit yang mau menjadi guru. “Alangkah sedihku waktu itu. Dan berkata aku pada mereka. Kalau diantara lima puluh orang cuma tiga orang yang ingin jadi guru, siapakah yang akan mengajar anak-anakmu nanti? Kalau sekiranya engkau kelak menjadi jenderal, adakah akan senang hatimu kalau anakmu diajar oleh anak tukang sate? Tak ada yang menjawab di antara. Kemudian kunasehati mereka yang ingin jadi guru. Kalau engkau tidak yakin betul, lepaskan cita-citamu untuk jadi guru itu, kataku. Seorang guru adalah korban—korban selama-lamanya. Dan kewajibannya terlampau berat—membuka sumber kebajikan yang tersembunyi dalam tubuh-anak-anak bangsa.”

Seorang guru, bisa hancur secara fisik, bukan karena banyak tugas yang harus dikerjakan, namun karena komitmennya pada pendidikan, keprihatinannya pada masyarakat dan bangsa yang dicintainya. Dalam novel ini, dukun yang dimintai pertolongan itu begitu heran bahwa ayah si tokoh baru terkena penyakit paru-paru setelah tiga puluh tahun menjadi guru. “Alangkah kuatnya. Aku baru dinas delapan belas tahun rasa-rasanya sudah tak kuat lagi. Tapi siapakah mau jadi guru selain kita-kita ini? Guru tetap jadi guru—untuk selama-lamanya. Sedang selama itu murid-muridnya telah jadi orang-orang besar. Tapi guru tetap jadi guru.”

“Barangkali penyakitnya itu didapatnya waktu jadi pengawas sekolah—tiap hari mengayuh sepeda limabelas sampai dua puluh kilometer,” paman si tokoh berkata.

“Tidak,” kata dukun itu.”Aku yang sudah lama jadi guru bisa mengatakan tidak. Sungguh, penyakitnya bukan karena itu. Karena beliau minta kembali jadi guru itulah sebabnya. Limabelas-dua puluh kilometer mengayuh sepeda bukan perkara berat untuk seorang guru. Yang berat ialah mengajar, menelan pahit getirnya kesalahan-kesalahan pendidikan orang tua si murid. Itulah gampang sekali menghancurkan seorang guru…”

Di tangan para gurulah sesungguhnya wajah keluarga, masyarakat dan bangsa kita akan terlukis. Karena perjuangan mereka yang tanpa nama, mereka layak sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Namun cukupkah jasa guru hanya dikenang dalam nyanyian sementara kehidupan ekonomis mereka semakin terpuruk? Hymne Guru, memang baik, tapi sekarang para guru telah bersikap kritis, bahwa penindasan itu tak bisa dibiarkan begitu saja. Bahwa, guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, mulai dipertanyakan, sebab seringkali menjadi kedok ideologis semata.

Menjadi guru memang sebuah komitmen. Dan dalam tata masyarakat yang telah hancur sendi-sendi moralitasnya, mati sunyi adalah “salib” yang harus dipanggul dipundak setiap guru. Jika guru tetap berdemonstrasi menuntut kenaikan gaji, mungkin kita perlu bertanya juga pada diri, sejauh mana kemampuan negara memenuhi tuntutan mereka? Apakah arif kiranya, ketika negara yang berhutang sebanyak $ 74 milyar-- dan untuk membayar cicilan hutang yang jatuh tempo kita sibuk dengan penjadwalan utang dengan resiko kredibilitas dan nama baik bangsa dipertaruhkan --, para guru meminta kenaikan tunjangan sebesar lebih dari 100%?

Negara kita hancur bukan karena utang. Negara kita hancur karena ketidakjujuran bersimaharajalela, sehingga banyak kekayaan kita terkorupsi. Dan rupanya, kita, guru turut andil dalam membentuk mental negeri ini, ketika kita membiarkan saja anak didik kita menyontek. Jadilah kita mati sunyi karena kesalahan kita sendiri. Mungkin para guru perlu meresapkan benar-kata-kata Pram, “kalau engkau tidak yakin betul, lepaskan cita-citamu untuk jadi guru itu. Seorang guru adalah korban—korban selama-lamanya. Dan kewajibannya terlampau berat—membuka sumber kebajikan yang tersembunyi dalam tubuh-anak-anak bangsa.”

Doni Koesoema A. penulis adalah staf pendidik di Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang.

Artikel dimuat di Harian BERNAS, 28 April 2000.

Nurlaila, siapa pembelamu kini?

Oleh Doni Koesoema, A

NURLAILA apa salahmu? Kamu curahkan cinta dan hidupmu untuk mencerdaskan bangsa. Namun, apa balasan yang kamu terima? Kamu dituduh melakukan tindak pidana dengan melakukan pendirian satuan pendidikan tanpa izin dan pemalsuan. Munir yang membelamu saat itu berkata keras, "Tuduhan melakukan pemalsuan dan penyerobotan merupakan cara-cara lama." Kini Munir telah pergi ke dunia abadi. Kini kamu sendiri. Sekolahmu pun tiada lagi. Para penjaga negeri telah membuatnya sepi penghuni. Nurlaila, siapa pembelamu kini?

Mempertanyakan pembela Nurlaila tak lain mempertanyakan masa depan pendidikan. Jika arogansi kekuasaan yang berselingkuh dengan uang tidak mendapat kontrol rakyat, lembaga pendidikan kita akan kian sekarat. SMPN 56 Melawai, Jakarta Selatan, telah sepi. Dua sosok pencinta negeri menyeruak memori. Nurlaila dan Munir, dua sosok yang tak bisa dilepaskan saat kasus tukar guling antara Departemen Pendidikan Nasional dan PT Tata Disantara, menuai protes rakyat.

Sebagai tersangka

Nurlaila, guru sederhana SMPN 56 Melawai yang bersikukuh mengajar para siswa saat belum ada keputusan resmi pengadilan atas kasus sekolahnya, ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya dengan tuduhan pemalsuan dokumen SMPN 56 Melawai. Pertengahan Juli 2004 ia diperiksa Satuan Korupsi Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya. Kegiatannya mengajar siswa yang dilakukan di luar kelas menjadikannya seperti seorang kriminal tertangkap basah melakukan kejahatan.

Dalam surat panggilan pemeriksaan, Nurlaila dituduh melakukan tindak pidana pendirian satuan pendidikan tanpa izin dan pemalsuan. Pelanggaran yang dikenakan didasarkan Pasal 62 Ayat (1) dan Pasal 71 UU No 20 Tahun 2003 tentang pendidikan nasional dan Pasal 263 KUHP tentang memasuki tempat (SMPN 56 Melawai), tanpa izin.

Almarhum Munir yang saat itu menjadi Direktur Eksekutif Imparsial mengatakan, pertentangan antarpraktik dan konsep pendidikan seperti ini bukan tindak kriminal. Konsep pendidikan modern yang diusulkan guru-guru SMPN 56 Melawai saat itu adalah sekolah sebagai lingkungan belajar yang memiliki kedekatan dengan masyarakat sehingga siswa tidak tercabut dari lingkungan sosialnya. Sementara pemerintah melihatnya hanya sebagai urusan tata ruang dan bisnis. "Tuduhan melakukan pemalsuan dan penyerobotan merupakan cara-cara lama."

Kepergian Munir, kesendirian Nurlaila, dan pengosongan sekolah secara paksa bukan hanya tragedi, tetapi sebuah pertanda. Kosongnya sekolah adalah kosongnya nurani bangsa. Kesendirian Nurlaila adalah sepinya jutaan guru yang turut berduka, tak hanya atas kepergian Munir yang berjanji mau membela kasus Nurlaila, tetapi juga tanda makin sepinya harapan negeri ini sedang menuju padang di mana matahari kebijaksanaan dan pengetahuan bersinar cemerlang.

Di tengah drama kekerasan menyedihkan ini, kita kian pilu melihat kenyataan bahwa pengosongan sekolah ini dibiayai uang rakyat! Pemerintah Provinsi DKI sudah menganggarkan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk penertiban sekolah itu seperti operasi penertiban lainnya (Kompas, 20/11). Apa jadinya bangsa ini jika pemerintah menganggap kehadiran lembaga pendidikan setara dengan pedagang kaki lima yang layak digusur begitu saja?

Pengosongan sekolah secara paksa oleh sekitar 300 petugas Dinas Ketenteraman dan Ketertiban DKI Jakarta kian menunjukkan bahwa para pegawai, yang seharusnya menjadi pelayan bagi kesejahteraan rakyat, melindungi, dan menciptakan rasa aman dalam masyarakat, lebih gemar menggunakan cara-cara kekerasan.

Gagalnya pendidikan demokrasi

Pindahnya gedung sekolah yang lebih baik dan jaminan Pemprov DKI akan kelanjutan pendidikan para siswa sampai lulus tidak akan pernah dapat mengganti pengalaman traumatis yang dialami para siswa. Pengalaman traumatis kekerasan dan penggusuran akan selalu dikenang dan diingat seumur hidup.

Pemerintah sebagai aparat negara yang mengemban amanat pendiri negeri untuk memberikan pendidikan yang layak bagi tiap warga telah lupa, yang mereka gusur dan rusak bukan hanya bangunan fisik. Bagi anak-anak SMP usia 13-15 tahun itu, sekolah sebagai tempat, sebagai sebuah komunitas kecil dalam berinteraksi merupakan tempat berseminya nilai-nilai solidaritas dan rasa aman. Sekolah merupakan sebuah tempat di mana anak- anak berkumpul di bawah disiplin untuk belajar mengenali apa yang oleh komunitas dianggap penting.

Anak-anak tak hanya belajar apa yang mereka peroleh dari komunitas sekolah, tetapi juga dari dunia di sekitarnya. Anak-anak lebih banyak belajar dari yang mereka lihat, dengar, dan rasakan. Mereka melihat apa yang kita lakukan, mereka belajar dari cara kita menyelesaikan konflik. Bagi mereka, setiap "tempat" memiliki batasnya sendiri di mana pemahaman akan dunia secara perlahan menemukan bentuknya. Dunia merupakan pertentangan terus-menerus yang berguna bagi mereka dalam merangkai dan membingkai relasinya di masa depan. Mereka belajar bagaimana memiliki perbedaan pandangan dan menyelesaikan persoalan dengan penuh hormat. Komunitas sekolah merupakan lingkungan praktis yang membantu mempertajam intuisi hidup sama pentingnya dengan pengetahuan abstrak.

Lingkungan pendidikan seperti inilah yang tak pernah dipikirkan aparat pemerintah. Pamer kekerasan dengan mengerahkan ratusan petugas ketertiban hanya mengajarkan satu hal, yaitu tiap persoalan hanya akan berakhir jika diselesaikan dengan cara-cara kasar, menggunakan kekuasaan. Kasus Melawai mengajarkan pada anak-anak bahwa dunia pendidikan tidak penting dan dialog bukan sebuah nilai yang diterima di masyarakat. Tak hanya anak-anak yang tak berdaya menghadapi kekerasan, tetapi juga orang dewasa, seperti Nurlaila.

Siapa pembelamu kini?

Munir yang berjanji akan membela kasusmu telah pergi. Para pendiri bangsa yang mencita-citakan tiap warga negara Indonesia berhak mendapat pendidikan layak, raganya telah menyatu dengan tanah negeri ini. Orang-orang hebat itu tiada lagi. Namun, semangat mereka tak akan pernah mati. Kami yakin, tiap nurani yang cinta pada tanah pertiwi tidak akan pernah tuli pada cita-cita pendiri negeri. Ibu guru Nurlaila, jutaan orang di belakangmu. Ibu tidak sendiri. Kasus Melawai harus berhenti.

Doni Koesoema A Mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma.

Artikel dimuat di KOMPAS, Selasa, 23 November 2004.

Pendidikan Darurat Pasca Bencana

Oleh Doni Koesoema A
KONFLIK politik dan bencana alam memperparah situasi krisis dan penderitaan berkepanjangan di Aceh. Kita masih ingat, sebelum bencana, pembakaran sejumlah sekolah di Aceh akibat konflik politik. Kini gelombang tsunami menyapu dan meluluhlantakkan sejumlah sekolah dan menghancurkan sistem pendidikan.
Anak-anak selalu menjadi korban utama dalam konflik politik maupun bencana alam. Dunia pendidikan kita, yang dalam keadaan normal masih carut marut jika dilihat dari sudut manajerial, kini kian kacau dan tidak tahu lagi harus berbuat apa saat menghadapi krisis dan darurat akibat bencana.
Situasi darurat akibat krisis politik dan bencana alam bisa terjadi di mana saja. Maka, dalam pertemuan di Dakar, Senegal, April 2000, Unesco memikirkan dan mempelajari sebuah kerangka kerja bersama bagi kelangsungan pendidikan pada masyarakat yang ditimpa krisis politik maupun bencana. Pembahasan kelangsungan pendidikan dalam situasi darurat dan krisis merupakan pengejawantahan keprihatinan atas Deklarasi Hak- hak Asasi Manusia Universal, tertuang dalam Pasal 26 Ayat (1), "Setiap orang berhak atas pendidikan. Pendidikan gratis semestinya diberikan pada tingkat dasar atau tingkat paling fundamental. Pendidikan dasar merupakan hal amat esensial dan dilindungi oleh hukum".
Apa yang menjadi keprihatinan di balik pemikiran untuk mengantisipasi situasi pendidikan darurat dan krisis, entah akibat konflik politik maupun bencana, adalah tetap dijaga dan dihormatinya hak- hak dasar manusia atas pendidikan. Artikel 26 Ayat (1) menegaskan, pendidikan dasar yang tersedia dan dijamin hukum merupakan salah satu langkah nyata atas realisasi hak-hak dasar ini.
Dua sasaran utama menciptakan kelangsungan pendidikan dalam situasi darurat adalah terjaminnya pendidikan bagi semua (education for all) dan promosi pendidikan yang selaras dengan deklarasi hak-hak asasi manusia universal.
Memahami pendidikan sebagai hak fundamental inilah yang biasanya luput dari perhatian banyak orang, staf organisasi kemanusiaan, pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) saat bencana hebat seperti terjadi di Aceh dan penduduk sepanjang pantai tersapu gelombang. Konsentrasi pada evakuasi korban, pemenuhan kebutuhan fundamental, seperti bahan makanan, obat- obatan, dan lain-lain membuat lembaga-lembaga kemanusiaan dan pemerintah tidak melihat kepentingan mendesak untuk segera merestorasi akses pendidikan bagi anak-anak yang tertimpa bencana. Mereka lupa, anak-anak bukanlah selimut atau tenda yang bisa disimpan lama sembari menunggu situasi normal untuk memulai kembali kelangsungan pendidikan yang mereka terima. Menunggu sampai situasi normal, baru kemudian memikirkan kelangsungan pendidikan, hanya akan memosisikan mereka sebagai "generasi yang hilang" dalam struktur dan tatanan masyarakat.
Penderitaan ganda
Situasi pendidikan di Aceh mengalami penderitaan ganda. Pertama, sistem pendidikan lumpuh karena konflik politik dan kekerasan bersenjata mengorbankan warga sipil dan anak-anak. Kedua, krisis karena bencana alam yang menghancurkan sarana pendidikan menciptakan situasi traumatis-psikologis akibat kematian orang-orang tercinta.
Penderitaan ganda ini mewajibkan berbagai pihak untuk menilai kembali posisi konfliktual yang mereka hadapi dalam kerangka mencari langkah-langkah penyelesaian konflik yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Merupakan sebuah tanggung jawab moral bagi setiap pihak untuk pertama-tama menghentikan perang. Konflik bersenjata antara TNI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sudah semestinya dihentikan mengingat beberapa bantuan kemanusiaan tidak sampai sasaran karena transportasi masih terputus, maupun ancaman konflik bersenjata yang bisa berlangsung kapan saja. Melanjutkan operasi militer bagi kedua pihak yang berkonflik dalam situasi darurat seperti sekarang hanya menunjukkan tidak adanya kepekaan atas kesediaan untuk menghargai martabat kemanusiaan.
Kedua, berhadapan dengan luluh lantaknya sistem pendidikan di Aceh dan daerah lain yang diterjang tsunami, pemerintah bekerja sama dengan LSM- LSM, baik internasional maupun nasional, mesti segera memikirkan kelangsungan pendidikan, terutama bagi anak- anak dengan memerhatikan dimensi psikologis yang mereka alami. Dalam hal ini, menyiapkan para guru yang dibekali pengetahuan psikologis untuk mengenali situasi kejiwaan anak-anak yang menjadi korban merupakan sebuah kemendesakan.
Membangun kembali prasarana dan sarana pendidikan pascabencana di satu sisi memberi semacam keuntungan berupa kesempatan membangun kembali sistem pendidikan yang menghindari kelemahan dan kesalahan di masa lalu, menciptakan sistem pendidikan yang menghargai harkat kemanusiaan, menciptakan solidaritas dan harmoni yang memecah akar- akar konflik politik. Demikian juga merupakan sebuah kesempatan untuk merekonseptualisasi kurikulum dan metode dalam kerangka jangka panjang berdasar kebutuhan nyata siswa, termasuk memperkuat sistem formasi pengajar dengan memberi berbagai macam pelatihan yang dibutuhkan.
Memberi beasiswa bagi pelajar korban atau memindahkan mereka ke sekolah lain merupakan usaha yang patut dihargai, tetapi tetap bukan perwujudan adanya rasa krisis (sense of crisis) dan penghargaan bagi siswa yang menjadi korban bencana, mengingat situasi psikologis yang mereka alami begitu traumatis di mana program pendidikan nasional yang diterapkan dalam situasi normal amat jauh dari apa yang mereka butuhkan. Program pendidikan nasional tidak dapat diterapkan dalam situasi pendidikan darurat seperti terjadi di Aceh dan daerah bencana lain. Inilah yang harus diingat dan diperhatikan sebelum mengambil langkah-langkah penyelamatan atas kelangsungan pendidikan anak-anak korban bencana.
Tanggapan terhadap situasi pendidikan darurat sering fragmentaris karena adanya berbagai macam kesulitan di lapangan maupun dalam kerangka pemberian kewenangan. Untuk kasus Aceh, sudah semestinya pemerintah membuka akses sebesar-sebesarnya bagi lembaga internasional, seperti Unesco, agar mereka mampu bekerja sama dengan LSM-LSM lokal maupun nasional dalam membangun kembali dunia pendidikan di Aceh.
Sementara itu, sudah merupakan conditio sine qua non untuk mengatasi kendala yang bersifat politis, terlebih dalam menghentikan konflik bersenjata, membangun jalur dialog antara pihak pemerintah dan kelompok bersenjata di Aceh untuk menghentikan perang, dan turun tangan secara bersama-sama dalam menciptakan masa depan yang lebih baik yang menghormati kemartabatan sesama manusia.
Menciptakan kesadaran baru
Menyadari kemendesakan untuk segera membangun kembali situasi pendidikan di Aceh merupakan langkah awal yang baik guna memulai sebuah masyarakat baru yang menghargai hak-hak dasar manusia, seperti tercantum dalam deklarasi hak-hak asasi manusia universal dan UUD 1945 dalam kerangka pendidikan, terutama hak tiap orang untuk mengenyam pendidikan yang layak, apa pun situasi yang sedang mereka hadapi. Untuk ini, kepentingan politik, semestinya mengatasi kepentingan mendesak para korban yang kemanusiaannya diinjak-injak entah karena situasi politik sebelum maupun sesudah bencana.
Semoga kesadaran baru seperti ini merupakan langkah awal yang baik untuk menata kembali puing-puing reruntuhan sistem pendidikan di daerah-daerah yang terkena bencana, terutama di Aceh, yang hari-hari ini menjadi semakin istimewa. Sebab, bencana Aceh tak hanya mengabarkan duka di setiap keluarga umat manusia, tetapi sebuah momen kelahiran bagi sebuah solidaritas umat manusia universal yang mengatasi sekat-sekat agama, terlebih sekat-sekat politik yang selama ini membuat masyarakat Aceh terpuruk dalam lembah duka lara tiada tara.

Doni Koesoema A Mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma


Artikel dimuat di harian KOMPAS, Jumat, 07 Januari 2005

Pendidikan dalam Perjumpaan

Oleh. Doni Koesoema A.

“Tidak, ia tidak akan pernah kembali lagi,” ujar seorang baby-sitter pada si buyung dalam gendongannya. Setiap kali si buyung mengenang ibunya kalimat yang keluar dari bibir baby-sitter itu seperti terdengar kembali. Itulah memori yang membekas kuat dalam benak Martin Buber (1878-1965) ketika sebagai bocah berusia 3 tahun ditinggal pergi oleh ibunya. Berlalu lebih dari sepuluh tahun ia baru memahami arti pengalamannya itu. Buber memahami sebuah realitas yang disebutnya sebagai ‘kegagalan perjumpaan nyata antarpribadi’ (Vergegnung). Dalam terang pengalamannya inilah Buber lantas mendefinisikan pendidikan sebagai “sebuah keputusan dari seorang pribadi untuk bertindak dalam relasinya dengan pribadi yang lain di dunia”(Friedman, M.1976:3). Pedagoginya sering disebut dengan pendidikan dalam perjumpaan.

Tiga relasi

Perjumpaan nyata antarpribadi adalah ciri hakiki sebuah pendidikan. Definisi Buber tentang pendidikan membawa kita menyadari tiga unsur penting yang inheren dalam proses pendidikan, yaitu, aku, kamu (baca, orang lain) dan dunia. Pendidikan memiliki misi mengarahkan keputusan setiap pribadi dalam kerangka kehadiran orang lain dalam sebuah ruang dan waktu tertentu. Karena itu, pendidikan sesungguhnya merupakan sebuah relasi personal yang mendalam antarpribadi, bukan sekedar relasi fungsional pendidik (educator) dan murid (educando). Relasi ini terjadi dalam sebuah ruang publik seperti sekolah, masyarakat, bangsa, negara atau dunia. Ruang publik ini menjadi tempat berjumpa dalam rangka belajar bersama (locus educationis) dalam setiap tindakan pendidikan.

Kualitas sebuah pendidikan bisa dilihat bagaimana berbagai macam relasi dapat terbentuk dalam ruang-ruang yang menjadi locus educationis tersebut. Jika relasi pembelajaran hanya berfungsi secara teknis, maka guru hanya memandang murid sebagai semacam gelas kosong yang mesti diisi dengan berbagai macam ilmu. Jika relasi itu melibatkan unsur kekuasaan, entah kekuasaan yang dimiliki karena sebuah jabatan, misalnya, sebagai guru, kepala sekolah atau penilik sekolah, maka relasi yang terjadi akan makin koruptif-manipulatif. Guru menjual nilai, kepala sekolah dan staff sekolah memanipulasi anggaran sekolah berupa angka-angka fiktif manipulatif, penilik sekolah memanfaatkan kekuasaannya untuk memeras sekolah-sekolah elit berduit, dll. Siswapun tak kalah pintar. Jika mereka punya uang, guru dan nilai bisa dibeli sekaligus. Ebtanas tak jadi masalah sebab bisa beli bocoran soal.

Selain itu dampak sosial sebuah pendidikan yang gagal memaknai peranan penting perjumpaan antarpribadi bisa terlihat dalam meningkatnya berbagai macam tindak kekerasan yang cenderung melecehkan martabat satu sama lain. Tawuran pelajar, perkelahian mahasiswa, bahkan tawuran antar kampung merupakan manifestasi kegagalan sebuah perjumpaan yang dialami dalam hidup seseorang. Jika pendidikan tidak mempersiapkan setiap pribadi yang terlibat di dalamnya untuk dapat menghargai pribadi lain maka berbagai macam konflik antar pribadi dan golongan bisa makin subur.

Dalam sebuah masyarakat multi-kultural, multi-religius, multi-etnis, seperti Indonesia pendidikan yang mengarahkan setiap pribadi agar dapat memaknai setiap perjumpaan mereka dengan orang lain merupakan kemendesakan yang tak dapat ditawar. Kegagalan memahami kehadiran orang lain sebagai pribadi yang berharga bagi diri setiap orang akan berdampak mengerikan. Jika sampai pada taraf massif bisa terjadi tindakan kekerasan dalam level horisontal fatal, seperti, genocide (karena tak bisa menghargai perbedaan etnis atau suku), bisa juga terwujud dalam tindakan diskriminatif rasial (hilangnya perlindungan atas hak-hak kaum minoritas karena tekanan mayoritas), atau bisa terwujud dalam pembasmian religius yang bermotifkan fundamentalisme agama.

Dunia berubah

Bagaimana seseorang berelasi satu dengan yang lain tidaklah sama dari waktu ke waktu. Tempora mutantur, et nos mutamur in illis. Waktu berubah dan kitapun ikut berubah karenanya. Pepatah ini ingin mengatakan bahwa tata cara kita memandang ruang di mana kita hidup berubah. Waktu tentu akan tetap sama. Satu hari akan selalu terdiri dari 24 jam. Namun, lebih dari masa lalu perubahan mendasar yang kita alami adalah cara pandang kita terhadap ruang.

Kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi memperpendek bahkan menghilangkan batas-batas fisik-spasial. Hadirnya komputer, maraknya sistem komunikasi multi-media lewat internet (chating, email, dll) semakin memperpendek jarak spasial yang ada. Perubahan cara pandang terhadap ruang melalui bahasa teknologi ini mempengaruhi salah satu proses dalam pendidikan yaitu transfer ilmu. Perubahan radikal pada proses transfer ilmu ini memiliki signifikasi tidak kecil bagi sebuah pedagogi pendidikan yang memberi penekanan pada unsur perjumpaan.

Menurut Jean-François Lyotard dalam The postmodern Candition: A report on Knowledge, dalam masyarakat yang terkomputerisasi, ilmu pengetahuan akan semakin valid dan terdiseminasi dengan subur jika bisa terkodifikasi dalam bahasa komputer yang bisa diakses oleh siapa saja. Monopoli ilmu adalah ilusi masa lalu. Bank data merupakan ensiklopedi masa depan. Mereka mengatasi kapasitas setiap pengguna (user). Bank data merupakan sebuah ‘kodrat’ bagi manusia pos-modern. Dengan kata lain, yang terkena sasaran langsung adalah peranan pendidik sebagai medium dalam proses pembelajaran. Sejauh proses pembelajaran dapat diterjemahkan dalam bahasa komputer, peranan tradisional guru bisa tergantikan oleh memori bank data. Proses didaktis bisa tergantikan oleh mesin yang menjembatani memori bank tradisional (perpustakaan) dengan memori bank modern (komputer) sesuai dengan kebutuhan siswa.

Proses alihfungsi parsial peran guru pada mesin sepertinya merupakan pelecehan terhadap kemanusiaan. Namun seperti disinyalir oleh Lyotard, proses didaktis tidaklah sekedar transformasi informasi, atau sekedar kepemilikan kompetensi (memiliki memori yang baik atau kemudahan akses pada komputer). Yang paling penting dalam proses didaktis modern adalah “kemampuan untuk mengaktualisasikan data-data yang relevan untuk memecahkan persoalan ‘saat ini-di sini’ dan kapasitas mengorganisasikan data-data ke dalam sebuah langkah strategis yang efisien.” (J.F.Lyotard,op.cit,51). Dalam kerangka ini guru bisa menemukan pintu masuk dalam berdialog dengan dunia.

Dalam masyarakat pos-modern ilmu telah terpublikasi secara penuh sehingga tak ada lagi monopoli ilmu. Data-data secara prinsip dapat diakses oleh siapa saja. tidak ada ada rahasia sains. Lyotard menyebut situasi ini sebagai sebuah permainan informasi sempurna (a game of perfect information). Dalam konteks ini salah satu keunggulan setiap proses belajar adalah kapasitas dalam menggabungkan berbagai macam data yang sepertinya terpisah itu ke dalam suatu wajah pengetahuan yang memiliki fungsi praktis dalam memecahkan persoalan konkret. Metode pembelajaran lintas ilmu (inter disciplinary studies) merupakan konsekuensi logis situasi ini. Siswa tidak bisa belajar secara sendiri. Ia membutuhkah partner jika ingin menjadi makin matang dan dewasa dalam proses pendidikan. Maka kehadiran orang lain dalam proses belajar menjadi penting.

Apa yang direfleksikan oleh Martin Buber tentang pentingnya perjumpaan antar pribadi menjadi sangat penting dan relevan. Masyarakat pos-modern menekankan pentingnya sebuah dialog terbuka satu dengan yang lain. Kehadiran pribadi lain menjadi bermakna ketika diletakkan dalam kerangka proses transformasi masyarakat sebab pendidikan pada hakekatnya merupakan cara berelasi antar pribadi satu sama lain dalam kerangka memecahkan masalah-masalah konkret yang mereka hadapi.

Menjadi guru di dalam masyarakat pos-modern akhirnya merupakan kinerja seni. Ia seperti seorang pelukis yang mengajak muridnya membuat sebuah lukisan secara bersama-sama. Dalam kerangka ini, pedagogi pendidikan dalam perjumpaan seperti direfleksikan oleh Martin Buber merupakan perwujudan emansipasi kemanusiaan kerangka transformasi masyarakat untuk mencari jalan-jalan alternatif terbaik bagi berlangsungnya kehidupan.

Kepada para pendidik tradisional yang masih merasa diri sebagai pemilik ilmu, kepada para pendidik yang masih yakin bahwa dirinya adalah satu-satunya protagonista dalam proses pendidikan, juga kepada para murid yang merasa bisa melangkah sendiri dalam mencari ilmu, yang mengabaikan kehadiran guru dan temannya sendiri, mungkin baik juga mengenang ingatan Martin Buber akan ibunya dan mengatakan kepada mereka, “tidak, ia tidak akan pernah kembali lagi.” Orang-orang seperti itu memang tidak pernah boleh kembali lagi dalam proses pendidikan kita yang ingin memaknai setiap perjumpaan dan pertemuan dengan yang lain dalam membangun tatanan dunia baru yang lebih manusiawi dan layak huni.

Doni Koesoema A. mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma.

Artikel dimuat di KOMPAS, 16 Januari 2004

Pendidikan Keluarga dan Salus Publica

Oleh. Doni Koesoema, A

Niccolò Macchiavelli (1469-1527) mengkritik kacau balaunya situasi politik di Florence dengan merujuk pada gejala amnesia historis atas sistem pendidikan Romana Antica. “Kita cenderung mengagumi masa lalu daripada mencontohnya,” tulisnya dalam Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio (Milano,1984). Kebencian dan ambisi politik di banyak provinsi dan kota-kota kristiani bukanlah alasan mengapa situasi politik di Florence begitu kacau. Kekacauan terjadi karena kurangnya “pengenalan sejati akan sejarah dan mencecap nilai intrinsik yang ada.” Singkatnya, belajar dari sejarah adalah awal dari reformasi politik. Belajar pada pendidikan Romana Antica berarti memberi prioritas pendidikan keluarga.

Pedagogi pendidikan romawi kuno bergerak dari ranah privat (keluarga) menuju ranah publik (kesejahteraan rakyat). Visi pendidikan ini kental dengan ideal moral ciceronis, “Salus publica suprema lex”(Cicero, la Leggi.III,8). Kemaslahatan umum adalah norma, nilai, dan keutamaan (virtù) dalam setiap proses pendidikan.

Macchiavelli lebih dikenal sebagai seorang pemikir politik ketimbang seorang pendidik. Namun tak dapat diragukan karya-karya ‘sekretaris negara Florence’ memiliki dimensi edukatif genial, khususnya refleksinya atas ketakterpisahan (dialektika) antara dimensi privat dan publik proses pendidikan. Kacaunya dunia politik bisa dilacak dalam carut-marutnya dunia pendidikan, sebab “contoh yang baik lahir dari pendidikan yang baik, dan pendidikan yang baik terlahir dari tatanan hukum yang baik (buone legge)...”(Discorsi,I,4).

Dalam seluruh opera Macchiavelli, kata-kata “pendidikan” (educazione) hanya dapat ditemukan 11 kali; 9 kali dalam Discorsi sulla prima Deca di Tito Livio, 1 kali dalam Dell’arte della Guerra, 1 kali dalam karya sastra Dell’Ambizione. Dalam karya-karyanya yang paling penting dan paling terkenal, seperti, Sang Pangeran (Il Principe), Sejarah Kota Florence (Storie Fiorentine) dan dalam Surat-Surat-nya (Lettere) tak ditemukan satupun kata-kata educazione.

“Pendidikan yang direfleksikan dan ditelaah oleh Macchiavelli adalah pendidikan politik dalam rangka merespons kebutuhan politis mendesak. Seandainya pendidikan tidak menciptakan situasi politik nyata, mempersiapkan setiap orang agar dapat hidup bersama sesuai dengan aturan, bagaimana mungkin mencapai tujuan pendidikan?”(Manuel Anselmi,2000).

Visi naturalisme

Dalam Discorsi (G.Sasso,1984), Macchiavelli menekankan dimensi natural pendidikan. Ia memakai kata-kata korporeal seperti tubuh dalam analoginya tentang kehidupan politik dengan mengkontraskannya antara jasmani yang sehat dan sakit. “(sebab)…tujuan republik adalah mematikan syaraf-syarafnya dan melemahkan dirinya sendiri untuk membuat seluruh tubuh bertumbuh dengan lebih sehat“ (G.Sasso.op.cit,302). Antara institusi politik (corpo politico) dan tubuh natural (pribadi, anggota dalam masyarakat) tidak ada perbedaan kualitatif. Dalam diri manusia ada yang mati demikian juga dalam sebuah sistem juga selalu ada unsur yang mati, agar manusia dan sistem itu menemukan keseimbangan alami bagi kesehatannya dan pertumbuhannya sendiri.

Macchiavelli sangat menjunjung tinggi gaya pendidikan Romana Antica yang secara intensif membentuk pribadi-pribadi yang siap terjun dalam kancah politik.

Ia mencoba mencari jawab fakta adanya perbedaan karakter dalam setiap keluarga bangsawan di Roma. Ia bertanya mengapa keluarga bangsawan Manlii misalnya memiliki karakter keras dan kasar, sedangkan keluarga Publicoli menghasilkan orang-orang yang bersahaja dan disukai rakyat, sementara keluarga Appii begitu ambisius dan menjadi musuh kalangan jelata? Perbedaan karakter ini tak mungkin karena garis keturunan. “Jika karena darah, karakter keluarga itu akan berubah melalu proses perkawinan satu sama lain. Karakter dalam keluarga mereka muncul karena perbedaan pendidikan antara keluarga yang satu dengan yang lain.“

Pendidikan dalam keluarga

Pendidikan Romawi kuno menempatkan keluarga sebagai locus educationis utama. Keluarga dianggap sebagai patron bagi Republik Roma. Ide paterfamilias menjadi semacam jembatan antara pendidikan privat dan publik. Ayah adalah penanggungjawab keluarga yang mengantar anak untuk memasuki dunia publik pemerintahan. Selain itu, pendidikan romawi kuno menempatkan ibu sebagai tokoh utama dan pendidik pertama bagi anak-anak. Ibu yang berkualitas akan memberikan pendidikan bagi anak-anaknya agar anak mereka kelak dapat siap terjun dalam kancah politik. Tokoh perempuan seperti Cornelia (ibu Gracchi), Aurelia (ibu Caesar), Attia (ibu Augusto) merupakan protagonista utama bagi pendidikan politik anak-anak mereka.

Cukup beralasan jika Macchiavelli meneropong kekacauan politis di Florence dengan membidik tajam pada bidang pendidikan. Ia begitu prihatin dengan proses pendidikan yang berlaku di Florence pada masanya sebab sistem pendidikan pada masa itu rupanya lebih suka, “mengagumi” masa lalu daripada “mencontohnya.” Mereka tak belajar dari sejarah kejayaan pendidikan Romana Antica.

“..jika proses pendidikan di italia tidak menghasilkan orang-orang yang kuat dan tegas, dan mereka lebih mempersalahkan unsur alamiah, tentu, jujur saya katakan, hal ini tak dapat dimaafkan dan justru inilah kelemahan kita. Sebab pendidikan dapat melengkapi apa yang kurang dari kapasitas alami yang kita miliki. Italia telah berkembang dan mampu menguasai dunia sejauh ia memiliki proses pendidikan yang ulet dan kuat ” (Macchiavelli, dell’Ambizione).
Pendidikan kita

Jika analisis Macchiavelli benar, carut-marut dunia politik kita, merajalelanya korupsi, ketidakpastian hukum, macetnya pelayanan publik negara terhadap warga negaranya, bisa dilacak juga dari kacaunya sistem pendidikan yang kita miliki, sebab “contoh yang baik lahir dari pendidikan yang baik, dan pendidikan yang baik terlahir dari tatanan hukum yang baik.” Selain itu, luputnya perhatian kita pada pendidikan dalam keluarga bisa menjadi bumerang bagi kehidupan sosial berbangsa di masa depan.

Ada kesan bahwa proses pendidikan kita makin mengarahkan anak didik yang dari sononya adalah manusia politis (baca, manusia publik), menjadi manusia rohani (manusia privat). Rusaknya moralitas bangsa sering dikambinghitamkan pada lemahnya iman. Karena itu, pendidikan agama mesti diterapkan pada seluruh jenjang pendidikan. Baik kita ingat, pemerintah Fasis Mussolini justru mewajibkan pendidikan agama katolik di setiap sekolah pada Reformasi Gentile (1922-1923).

Pendidikan mestinya mengarahkan anak didik untuk bergerak dari ranah privat menuju publik. Bukan sebaliknya. Pendidikan dalam keluarga dengan demikian tak terlepaskan dari proses kehidupan sosial politik dalam masyarakat.

Menjadi orang tua yang bertanggunjawab dan dapat memberikan bekal pendidikan bagi anaknya memang tidak mudah. Tidak ada sekolah untuk menjadi bapak atau ibu. Setiap orang bisa menjadi bapak atau ibu karena kapasitas alami biologis reproduktif dalam melanggengkan keturunan.

Mengharapkan output pendidikan yang bervisi salus publica suprema lex menjadi sekedar impian jika sampai sekarang masih banyak kita temui orang tua yang pasrah bongkokan menyerahkan anaknya untuk dididik di sekolah, tanpa mau terlibat dalam proses pendidikan anak-anak mereka sendiri, entah karena alasan kerja, sibuk, tak ada waktu, atau alasan ekonomi, “saya sudah bayar mahal ke sekolah untuk pendidikan anak saya.” Mental jual beli inilah sebenarnya yang menghambat kualitas pendidikan kita. Pendidikan yang baik mengandaikan kontinuitas dan kerjasama antara pihak orang tua dan sekolah.

Kalau yang punya anak sendiri saja tidak punya komitmen mendidik anaknya sendiri, jangan harapkan orang lain juga punya komitmen terhadap anak-anak kita. Siapakah anak-anak kita bagi mereka?

***
Doni Koesoema, A, penulis adalah mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma.
Dimuat di KOMPAS, 22 Desember 2003

Anak-Anak Tanpa Identitas

Oleh Doni Koesoema, A

Kelabu, itulah kenangan yang masih diingat tentang masa kecilnya. Ibunya pergi menghadap Sang Khalik ketika ia berumur beberapa bulan. Bapaknya adalah seorang gembala di sebuah dusun kecil, seorang pekerja keras yang tak sempat memikirkan pendidikan primer yang dibutuhkannya ketika ia tumbuh sebagai seorang bocah. Ia menerima didikan dari seorang asing yang menjadi ibu angkatnya. Namun setelah ibu asuh itu memiliki anak dari darah dagingnya sendiri, berakhirlah pendidikan yang ia terima. Si kecil malang bermasalalu kelabu itu adalah Friedrich Wilhelm August Fröbel (1782-1852). Dialah penggagas sistem sekolah bagi anak-anak usia dini yang kita kenal dengan Taman kanak-kanak (kindergarten system).

Di negeri kita, ada 23.5 juta anak bermasa lalu kelabu seperti Froebel. Namun Froebel masih lebih untung. Meski ia memiliki masa lalu kelabu, ia tetap memiliki akses pada pendidikan. Akses pada pendidikan membuka cakrawala hidup dan pandangannya sehingga terlahir sistem pendidikan bagi bagi anak-anak.

Anak indonesia lebih malang nasibnya. Situasi kemiskinan membuat mereka tak dapat menikmati sekolah. Menurut Fasli Jalal, Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda(PLSP) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) ada sekitar 16 juta anak Indonesia yang buta huruf (Kompas,24/7).

Buntunya akses pada dunia pendidikan juga dapat dilihat secara implisit dalam laporan Unicef seperti dikutip AsiaNews (21/7) yang menyatakan bahwa 26% dari 90,2 juta anak di Indonesia tidak memiliki kartu identitas, baik berupa akta kelahiran maupun Kartu Tanda Penduduk (KTP). Anak-anak tanpa nama, tanpa negara, tanpa masa lalu ini ada sekitar 23.5 juta. Keberadaan mereka sebagai warga negara tidak diakui, masa lalu mereka terhapus dari catatan sejarah. Tanpa akta kelahiran dan KTP hak-hak asasi mereka dapat diperkosa seenaknya. Mereka bisa dijebloskan sebagai pekerja dibawah umur, diperas tenaganya tanpa dapat membela diri, diperdagangkan di pasar gelap, dan diadopsi secara tidak sah. Mereka juga tidak mendapatkan pelayanan kesehatan, tak dapat mengklaim hak-haknya secara legal. Mereka tidak dapat memiliki akses pada pendidikan yang pada akhirnya akan menyingkirkan dan meminggirkan mereka dalam kehidupan sosial. Indonesia, l’infanzia ‘cancellata’ itulah judul besar yang ditulis oleh harian Avenire yang terbit di Italia (1/8) untuk menggambarkan terhapusnya catatan sejarah anak Indonesia yang tak memiliki identitas.

Kita tak bisa membiarkan situasi ini berlarut-larut. Kita tidak bisa membiarkan 23.5 juta anak Indonesia tidak beridentitas. Menurut laporan AsiaNews, anak-anak kita tidak memiliki identitas karena alasan ekonomis. Keluarga miskin tak dapat mencatatkan anaknya sebab mereka mesti merogoh kantong antara 5 ribu sampai 15 ribu rupiah untuk mendapatkan akta kelahiran atau KTP. Sementara jutaan anak tak dapat memiliki akses pada dunia pendidikan karena alasan kemiskinan, kita semakin pilu menyaksikan maraknya Taman Kanak-Kanak berbintang bintang lima yang tersebar di Jakarta yang untuk uang pangkal saja orang tua mesti merogoh uang saku antara 20 juta sampai 40 juta!

Karena itu sangat tepat jika Presiden Megawati dalam kesempatan Hari Anak Nasional mengkampanyekan pendidikan bagi semua dibarengi dengan pembuatan akta kelahiran. Inisiatif mulia ini patut didukung oleh semua rakyat Indonesia, namun terlebih para politisi dan pemerintah yang memiliki infrastruktur untuk proses administratif ini. Dibutuhkan kemauan politik yang kuat disertai tindakan nyata. Jika tidak, jangan heran jika kemudian orang mencibir, “Ah itu semua cuma omong kosong. Sama saja dengan para politisi yang lain yang hanya bisa omong dan tidak pernah dapat menepati janji.” Jika untuk membebaskan biaya pembuatan akta kelahiran dan KTP gratis saja pemerintah begitu lamban, apalagi untuk mewujudnyatakan program pendidikan bagi semua. Kita tidak ingin bahwa kampanye pendidikan untuk semua hanya menjadi pamflet politik.

Politik dan pendidikan

Pendidikan memang selalu menjadi bahan dagangan bagi para politisi di mana saja. Justru karena kepentingannya yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, bidang ini menjadi rebutan banyak pihak, mulai dari para politisi, penerbit, sampai penjual buku. Dalam sejarah pendidikan di Italia misalnya, kita temukan sosok Il Duce Mussolini, yang berhasil mengkooptasi bidang pendidikan demi berseminya ideologi fasis bagi kepentingan politiknya. Partai Komunis Pembaharuan di Italia (Partito Comunista Rifondazione) beberapa waktu yang lalu juga melancarkan pendidikan untuk semua dan menentang berbagai macam Program pendidikan Morati yang dinilai lambat mengantisipasi keadaan. Di Indonesia, kita masih ingat bagaimana selama 30 tahun proses ideologisasi ini juga masuk di sekolah-sekolah kita dengan program penataran P4. Antara pendidikan dan kebijakan politik memiliki kaitan yang begitu erat. Tugas untuk memberikan kesempatan pendidikan bagi semua bukanlah hasil kerja orang perorangan melainkan tanggungjawab yang mesti dilakukan oleh negara. Hanya negaralah yang memiliki kemampuan berupa sarana dan prasarana untuk menciptakan situasi pendidikan yang memadai.

Program pembaharuan dalam bidang pendidikan, apapun bentuknya, hanya akan dapat terjadi jika para politisi memiliki kemauan politik dan langkah strategis efektif yang jelas. Kemauan politik dan langkah strategis yang efektif akan memiliki fondasi yang kokoh ketika mereka memiliki kesungguhan hati untuk pertama-tama menghargai hak-hak dasar warga negara, dan kemudian memberikan fasilitas dan sarana yang memadai bagi proses pendidikan bagi setiap warga negara. Sebab merupakan amanat suci pendiri bangsa bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Fenomena anak-anak tanpa identitas adalah sebuah cela bagi para politisi apapun affiliasi partai yang dimilikinya. Jutaan anak Indonesia tanpa identitas adalah sebuah tanda bahwa penghargaan kita pada anak-anak, yang oleh Presiden megawati dikatakan sebagai ‘pemilik hari esok bangsa’, masih berada pada level pemanis bibir semata.

Di dunia ini kita tidak sendirian memerangi keberadaan anak-anak tanpa identitas. Ada 19 negara lain yang oleh AsiaNews dilaporkan memiliki permasalahan serupa. Karena itu kerja sama internasional dalam hal ini juga mendesak untuk dikembangkan. Jual beli tenaga murah anak-anak di pasar gelap bukan hanya persoalan nasional, melainkan melibatkan jaringan perdagangan orang di tingkat mondial. Perbudakan terselubung, pencabutan hak untuk hidup layak, hak untuk memiliki sejarah hidup, dll, merupakan sebuah pelecehan bagi kemanusiaan secara keseluruhan.

Banyak anak memiliki masa lalu kelabu seperti dialami oleh Frobel. Namun jutaan anak mengalami masa lalu kelabu melebihi apa yang dialami oleh Frobel. Lingkaran setan yang pecah dalam memutus masa lalu kelabu Frobel adalah akses pada pendidikan. Akses pada dunia pendidikan membangkitkan empati dan keprihatinan untuk membaharui pendidikan bagi anak-anak yang tersistem dalam program negara.

Keterbukaan bagi semua warga untuk mengenyam pendidikan hanya dapat terjadi jika kemartabatan setiap orang dihargai dan masa lalu mereka diakui. Untuk ini, adalah sangat mendesak pemerintah segera bertindak untuk memberikan pelayanan gratis bagi setiap warga negara yang ingin memperoleh identitas bagi kemartabatan mereka. Program pendidikan bagi semua dan pencatatan akta kelahiran yang dicanangkan oleh Presiden Megawati adalah program yang mulia, sebab kehadiran anak-anak Indonesia tanpa identitas adalah sebuah cela bagi sejarah bangsa.

Doni Koesoema,A Penulis adalah mahasiswa universitas Gregoriana, Roma.
Artikel dimuat di KOMPAS, 05 Agustus 2004

Bangsa Yang Mendidik Dirinya Sendiri

Doni Koesoema A.

Masyarakat modern akan berdiri kokoh dan stabil bukan karena kehadiran para eksekutor, melainkan para profesor (para guru). Simbol kekuatan sebuah bangsa tidak didasarkan pada banyaknya guillotine, melainkan pada kualitas dan kuantitas kalangan cerdik pandai yang dimilikinya. Ernest Gellner menyebutnya dengan istilah doctorat d’éta[1] (1983;34). Karena itu, monopoli legitim atas dunia pendidikan saat ini menjadi sangat penting daripada monopoli perilaku kekerasan (violence). Singkatnya, sebuah bangsa akan kokoh jika ia memiliki dua hal. Pertama, dapat mendidik dirinya sendiri. Kedua, cinta damai.

Jika analisis Gellner tepat, banyaknya kalangan cerdik pandai akan berdampak pada turunnya tingkat kekerasan (fisik dan non-fisik) dalam masyarakat. Meningkatnya intelegensi sebuah bangsa akan dibarengi dengan turunnya perilaku kekerasan dalam menyelesaikan berbagai macam konflik sosial yang ada dalam masyarakat. Masyarakat akan lebih terbuka dalam dialog daripada bergegas menghunus pedang.

Merajut makna atau hampa

Dalam masyarakat pramodern proses pendidikan terbatas pada lingkup keluarga dan komunitas kecil yang sangat homogen secara kultural. Meski terbatas secara spasial, proses ini penting bagi sosialisasi dan pewarisan adat istiadat suatu komunitas. Pribadi menemukan tempatnya yang khas dalam komunitas kecil melalui keikutsertaan mereka dalam berbagai macam upacara adat, pelaksanaan ritus keagamaan, dll. Dengan cara inilah sebuah masyarakat melanggengkan dirinya secara terus-menerus.
Sebaliknya, masyarakat modern memiliki cara sosialisasi yang lebih rumit dan kompleks. Proses pembelajaran bagi individu tidak lagi dilakukan oleh keluarga. Pendidikan melibatkan pihak-pihak lain di luar ikatan keluarga, suku atau komunitas tertentu. Apa yang diperoleh melulu lewat keluarga tidak mencukupi buat persiapan hidup dalam masyarakat modern yang membutuhkan spesialisasi, kompetensi dan ketrampilan teknis tertentu.

Makna keberadaan seseorang ditentukan dari kapasitasnya untuk memasuki dunia kerja yang berbeda dengan latar belakang primordial di mana ia lahir dan dibesarkan. Dengan tegas Gellner mengatakan bahwa “the level of literacy and technical competence, in a standardized medium, a common conceptual currency, which is required of members of this society if they are to be employable and enjoy full and effektif moral citizenship[2]…”(Gellner,1983;34). Tingkatan literasi dan kompetensi teknis memungkinkan manusia menemukan makna keberadaan dirinya dalam arus dinamika masyarakan modern.

Rendahnya kualitas pendidikan dalam sebuah masyarakat, meski bukan faktor utama, berpotensi mendorong tumbuhnya perilaku kekerasan. Tingkat pendidikan yang rendah menyingkirkan orang-orang pada dunia kerja. Padahal inilah satu-satunya cara dalam memaknai hidupnya dalam masyarakat. Krisis eksistensial dalam lingkup kehidupan sosial jika tidak segera diantisipasi dapat mendiseminasi hubungan sosial yang polanya zero-sum game.

Pendidikan yang gagal melahirkan manusia-manusia yang gagal, yaitu, manusia yang gagal menegakkan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Kebodohan menjadi salah satu sumber yang melahirkan kekerasan. Barang siapa hanya memiliki palu, ia akan membuat semua orang menjadi paku. Karena itu meningkatkan kualitas pendidikan merupakan syarat mutlak kalau negeri ini ingin berdiri tegak secara bermartabat. Jika tidak, di masa-masa mendatang akan semakin sering kita jumpai masyarakat yang suka menghunus pedang untuk menebas leher sesamanya.

Formalitas tanpa isi

Pendapat Ernest Gellner bahwa akses pada pendidikan dan kehidupan kultural sangat berpengaruh bagi proses pemaknaan diri seseorang tampaknya klop dengan situasi masyarakat kita. Identitas dan keberadaan seorang pribadi seringkali dikaitkan dengan kualitas pendidikan dan luasnya lingkup budaya yang dijelajahinya. “kemampuan bekerja, kemartabatan, rasa aman dan penghargaan diri sebagai pribadi bagi sebagaian besar orang saat ini tergantung pada kualitas pendidikannya; batas-batas dunia yang dihirupnya secara moral dan profesional akan ditentukan oleh ruang lingkup pendidikan yang diterimanya. Karena itu, pendidikan seseorang merupakan investasi dirinya yang sangat berharga sebab inilah yang membentuk identitas dirinya. Manusia modern tidak setia pada monarki, tanah air, atau keyakinan imannya..., melainkan pada kebudayaan.” (Gellner,1983;36)

Kenyataan bahwa identitas pribadi banyak ditentukan oleh kualitas pendidikan dan ‘cara pandang dunia’ yang dimiliki membuat banyak orang berlomba-lomba memperoleh identitas formal agar eksistensi mereka diakui. Masyarakat cenderung mencari jalan pintas dalam memperoleh gelar akademik, entah dengan cara beli skripsi atau beli gelar. Rendahnya tanggungjawab moral dan keilmuan para intelektual menyumbangkan perilaku kekerasan tak kalah dahsyatnya bagi kehancuran masyarakat. Banyaknya sarjana aspal yang menduduki jabatan publik membelenggu mekanisme kerja masyarakat modern lewat perilakunya yang korup. Profesionalitas kerja menjadi rusak karena banyak jabatan penting dipegang oleh mereka yang boleh menduduki jabatan tapi tidak mampu bekerja sesuai kompetensi keilmuan untuk tugas tersebut. Ungkapan Gelner, bahwa stabilitas sebuah negara banyak ditentukan oleh para guru dan profesor bisa jadi benar seandainya kualitas dan tanggungjawab moral-keilmuan dijunjung tinggi.

Pendidikan yang mengedepankan damai, tanpa kekerasan mestinya menjadi perhatian kita. Sayangnya, sejak dulu hingga sekarang, dunia pendidikan kita pun tak luput dari cengkeraman perilaku kekerasan. Siswa terancam oleh kehadiran guru yang otoriter. Guru merasa tertekan karena tuntutan kurikulum. Kepala sekolah takut membuat inovasi dan terobosan baru di sekolah karena ancaman akreditasi sekolah,dll. Jika hampir semua proses pendidikan yang ada diam-diam menyemai benih kekerasan, doctorat d’éta hanya akan menjadi impian kita semata. Dunia pendidikan kita tidak dapat bangkit karena di dalamnya sendiri perilaku kekerasan masih merajalela. Kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan. Murid tak akan berbeda jauh dari gurunya.

Bung Karno membidik dengan tepat bagaimana pentingnya meningkatkan kualitas guru untuk meretas jalur kekerasan ini. Dalam sambutan yang berjudul “Menjadi goeroe dimasanya kebangunan” di hadapan para guru Taman Siswa ia berbicara tentang sebuah bangsa yang mendidik dirinya sendiri. Tumpuan pendidikan ada di pundak para guru. “Onderwijst is een voorplanting (pendidikan merupakan sebuah proses penanaman). Guru yang sifat hakikatnya hijau akan “beranak” hijau, guru yang sifat hakikatnya hitam akan “beranak hitam”. Saya tidak mau masuk ke dalam golongannya orang-orang yang mengatakan, bahwa guru bisa ‘main komedi’ kepada anak-anak: di muka anak-anak dengan muka yang angker hanya mengasih pengajaran, pengajaran yang termuat dalam lessontes saja, tetapi di belakang anak-anak itu berjiwa lain, berjiwa fasis atau anarkis atau nasionalis atau komunis, bertindak seperti orang yang tak berani membunuh nyamuk atau bertindak seperti bandit…tidak, guru tidak bisa ‘main komedi’, guru tidak bisa mendurhakai ia punya jiwa sendiri. Guru hanya bisa mengajarkan apa dia-itu sebenarnya. Men kan niet onderwijzen wat men wil, men kan niet onderwijzen wat men weet, men kan allen onderwijzen wat man is. (manusia tidak bisa mengajarkan sesuatu sekehendak hatinya, manusia tidak bisa mengajarkan apa yang tidak dimilikinya, manusia hanya bisa mengajarkan apa yang ada padanya[3]). (Di bawah bendera revolusi,1964:614).

Kapan bangsa ini mulai kembali pada visi Founding Fathers untuk merealisasikan cita-cita sebagai bangsa yang mendidik dirinya sendiri?

****
Doni Koesoema,A Penulis adalah mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma.
Artikel dimuat di harian KOMPAS, 15 November 2003

[1] Lihat, Ernest Gellner, Nations and Nationalism, Blackwell, Oxford UK and Cambridge USA, 1983, hlm.34
[2] Gellner, Ibid, hlm.34
[3] Soekarno,Ir.,Di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta, 1964. Hlm 614

Pendidikan Karakter

Doni Koesoema A.

Pendidikan karakter pertama kali dicetuskan oleh pedagog Jerman F.W.Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi merupakan reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis deweyan. Selain itu pedagogi puerocentris lewat perayaan atas spontanitas anak-anak (Edouard Claparède, Ovide Decroly, Maria Montessori) yang mewarnai pedagogi di Eropa dan Amerika Serikat di awal abad 19 dirasakan semakin tidak mencukupi lagi bagi sebuah formasi intelektual dan kultural seorang pribadi.

Polemik anti-positivis dan anti-naturalis dalam konteks pendidikan yang berkembang di eropa pada awal abad 19 merupakan gerakan pembebasan dari determinisme natural menuju dimensi spiritual, bergerak dari formasi personal yang lebih didominasi pendekatan psikologis-sosial menuju sebuah cita-cita humanisme yang kental dengan dimensi kultural dan religius. Lahirnya pendidikan karakter bisa dikatakan sebagai sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme yang dipelopori oleh filsuf perancis Auguste Comte (1798-1857).

Tujuan pendidikan, menurut Foerster, adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial antara si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi, yang memberikan kesatuan dan kekuatan atas keputusan diambilnya. Karena itu, karakter menjadi semacam identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah kualitas seorang pribadi diukur.

Empat karakter

Kekuatan karakter seseorang dalam pandangan Foerster tampak dalam 4 ciri fondamental yang mesti dimiliki.

Pertama, keteraturan interior melalui mana setiap tindakan diukur berdasarkan hierarki nilai. Ini tidak berarti bahwa karakter yang terbentuk dengan baik tidak mengenal konflik, melainkan selalu merupakan sebuah kesediaan dan keterbukaan untuk mengubah dari ketidakteraturan menuju keteraturan nilai.

Kedua, koherensi yang memberikan keberanian melalui mana seseorang dapat mengakarkan diri teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut resiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.

Ketiga, otonomi. Yang dimaksud dengan otonomi di sini adalah kemampuan seseorang untuk menginternalisasikan aturan dari luar sehingga menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat melalui penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan dari pihak lain.

Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang untuk mengingini apa yang dipandang baik, sedangan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.

Kematangan keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas. “Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dengan aku rohani, independensi eksterior dengan interior.” Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya.

Bukan pendidikan agama

Di tengah kebangkrutan moral bangsa, maraknya tindak kekerasan, inkoherensi politisi atas retorika politik dan perilaku keseharian, pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-religius menjadi relevan untuk diterapkan. Namun pendidikan karakter bukanlah bayi tabung yang bisa dicangkokkan begitu saja dalam kultur kita. Retorika pendidikan karakter yang digembar-gemborkan di parlemen dalam UU Sisdiknas ternyata disempitkan sekedar pada persolan seputar pendidikan agama. Pendidikan karakter bukanlah semata-mata pendidikan agama.

Pendidikan karakter ala Foerster yang berkembang pada awal abad 19 merupakan perjalanan panjang pemikiran umat manusia untuk mendudukkan kembali idealisme kemanusiaan yang lama hilang ditelan arus positivisme yang kental dengan pendekatan naturalistis deterministis dalam pendidikan. Ini berarti pendidikan karakter mengandaikan sebuah pedagogi yang kental dengan rigorisme ilmiah, sarat muatan puerocentrisme, menghargai aktifitas manusia. Tanpanya tak akan terjadi pendidikan karakter.

Tradisi pendidikan di Indonesia tampaknya masih belum matang untuk memeluk pendidikan karakter sebagai kinerja budaya dan religius dalam kehidupan bermasyarakat. Pedagogi aktif deweyan baru muncul secara fragmentaris lewat pengalaman sekolah mangunan di tahun 90-an. Sumbangan positivisme tampaknya juga belum dirasakan dalam tradisi pendidikan kita. Kebiasaan berpikir kritis melalui pendasaran logika yang kuat dalam setiap argumentasi juga belum menjadi habitus. Guru hanya mengajarkan apa yang harus dihapalkan. Mereka membuat anak didik menjadi beo-beo yang dalam setiap ujian cuma mengulang apa yang dikatakan guru.

Loncatan sejarah

Apakah mungkin sebuah loncatan sejarah dapat terjadi dalam tradisi pendidikan kita? Apakah mungkin pendidikan karakter bisa diterapkan di Indonesia tanpa melewati tahap-tahap positivisme dan naturalisme terlebih dahulu?

Mencangkokan begitu saja pendidikan karakter dalam sistem pendidikan tanpa mempertimbangkan struktur institusional dunia pendidikan bisa membuat kita jatuh dalam kelatahan yang malah mendangkalkan, seperti misalnya menyempitkan pendidikan karakter pada pendidikan agama, atau Pendidikan Moral Pancasila pada era Soeharto.

Pendidikan karakter yang digagas oleh Foerster tidak menghapuskan pentingnya dimensi kekuatan ilmiah lewat pendekatan metodologi eksperimental yang disumbangkan oleh positivisme maupun relevansi pedagogi naturalis yang merayakan spontanitas dalam pendidikan anak-anak.Yang ingin ditebas oleh arus ‘idealisme’ pedagogi dalam pendidikan adalah determinisme dan naturalisme yang mendasari paham mereka tentang kebebasan.

Jika pedagogi puerocentrisme memahami kebebasan sebagai sekedar ekspresi perkembangan natural pribadi sesuai bakat dan potensi alamiahnya, pedagogi karakter ingin meletakkan kebebasan itu dalam tujuan yang sifatnya mengatasi kepentingan pribadi (metaindividu). Kebebasan dipandang sebagai sharing nilai-nilai kehidupan. Jika hukum alam meletakkan manusia pada sebuah keadaan yang tak dapat tidak harus dihayati begitu, hukum moral dalam pendidikan karakter menjadi fondasi rasional tentang keberadaan-bermakna setiap manusia yang tidak sekedar puas ‘berada’ (to be).

Bertentangan dengan determinisme hukum alam melalui pendidikan karakter manusia mempercayakan dirinya dalam dunia nilai (bildung). Sebab nilai merupakan kekuatan penggerak perubahan sejarah. Kemampuan membentuk diri dan mengaktualisasikan nilai-nilai etis merupakan ciri hakiki manusia. Karena itu mereka mampu menjadi agen perubahan sejarah.

Mengutip kata-kata Dilthey, “alam mengasingkan kita. Ia bagi kita merupakan hal ekstern, bukan intern. Masyarakat itulah dunia kita.” Jadi melalui pergulatan dalam mengaktualisasikan nilai-nilai etis-religius dalam sejarahlah manusia merangkai makna kehidupannya.

Jika nilai merupakan motor penggerak sejarah, aktualisasi atasnya akan merupakan sebuah pergulatan dinamis terus menerus. Manusia apapun kultur yang melingkupinya akan menjadi agen bagi perjalanan sejarahnya sendiri dan masyarakatnya. Karena itu, loncatan sejarah masih bisa terjadi di negeri kita. Pendidikan karakter masih memiliki tempat bagi optimisme idealis pendidikan di negeri kita, terlebih karena bangsa kita kaya akan tradisi religius dan budaya.

Manusia yang memiliki religiusitas kuat akan semakin termotivasi untuk menjadi agen perubahan dalam masyarakat, bertanggungjawab atas penghargaan hidup orang lain, dan mampu berbagi nilai-nilai kerohanian bersama yang mengatasi keterbatasan eksistensi natural manusia yang mudah tercabik oleh berbagai macam konflik yang tak jarang malah mengatasnamakan religiusitas itu sendiri.

Doni Koesoema, A. Penulis adalah mahasiswa jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma.

NB: Artikel yang sama dalam versi pendek diterbitkan di KOMPAS, Jum’at 3 februari 2006. Artikel ini adalah versi yang lebih panjang.

Kurikulum Berubah Lagi?

Oleh Doni Koesoema, A

Dulu ketika diperkenalkan model pembelajaran yang bernama Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) di sekolah-sekolah, tak berapa lama kemudian muncul parodi atas CBSA, yaitu, Cah Bodho Soyo Akeh (baca, jumlah anak yang bodoh semakin banyak). Begitu ada istilah MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), muncul ekpresi lain Masyarakat Bayar Sendiri. Dan sekarang ketika pemerintah memperkenalkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), banyak guru berseloroh, kurikulum KaTeSiaPe? (Menurut siapa?)

Seloroh itu tentu saja sekedar parodi. Namun parodi ini merepresentasikan kenyataan sesungguhnya yang dihadapi oleh para guru di tingkat satuan pendidikan. Korban pertama KTSP adalah para guru bidang studi. Dengan keluarnya KTSP, para guru bidang studi dikejar-kejar agar membuat sendiri kurikulum tiap mata pelajaran bagi sekolahnya. Banyak waktu habis untuk seminar dan pertemuan guru bidang studi demi merencanakan kurikulum seperti yang diharapkan dalam KTSP.

Tanpa persiapan

Proses pembuatan dan perencanaan kurikulum yang menyibukkan para guru bidang studi ketika proses pendidikan tahunan telah berjalan jelas membuat proses belajar mengajar terganggu. Para guru tidak konsentrasi mengajar karena selalu berpikir tentang pembuatan silabus, program, indikator, dll. Otonomi guru dalam mengaplikasikan indikator dari kompetensi dasar lebih banyak dialami sebagai penambahan beban pengisian kolom administratif yang lebih banyak buang waktu sia-sia. KTSP diluncurkan tanpa persiapan memadai.

Kekurangsiapan aplikasi KTSP, lebih terlihat nyata di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), khususnya berkaitan dengan proses pemetaan materi dari mata pelajaran yang terintegrasi, seperti IPA dan IPS. Hal ini tidak hanya membuat guru mata pelajaran pusing tujuh keliling, mengingat, misalnya, standar isi materi IPA terpadu versi KTSP tersebar tidak merata dari kelas satu sampai kelas tiga dalam buku versi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004. Pembuatan standar isi dan kompetensi dasar tampaknya tidak memperhatikan sebaran materi yang terdapat dalam kurikulum sebelumnya. Pemetaan materi antar kelas yang diintegrasikan akan mempengaruhi pengaturan, alokasi waktu mengajar dan kuantitas pekerjaan guru bidang studi.

Dari segi kompetensi, para guru merasa tidak siap sebab selama ini mereka mengampu satu mata pelajaran tertentu. Sekarang mereka mesti mampu mengajarkan semuanya. Guru IPA mesti bisa menguasai sekaligus Biologi, Kimia, dan Fisika! Kuota yang hanya 4 jam pelajaran seminggu untuk mata pelajaran terpadu juga membuka peluang bagi beberapa guru bidang studi untuk kehilangan pekerjaan!

Keputusan pemerintah yang bersikap keras kepala untuk mengadakan Ujian Nasional tahun 2007 semakin membuat pembaharuan kurikulum lewat KTSP menjadi mandul dan semakin menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam memperbaiki carut marut pendidikan di negeri kita. Pertanyaan pokoknya adalah jika KTSP memberikan keluasan bagi otonomi sekolah di tingkat satuan pendidikan, standar penilaian juga semestinya menjadi hak otonom sekolah, sebab merekalah yang menentukan indikator dan memilih proses serta materi melalui program belajar di kelas. Karena itu, UN merupakan sebuah keputusan yang kontraproduktif bagi peningkatan kualitas pembelajaran.

Pada saat pemerintah menerapkan KBK saja, para guru sempat kedodoran untuk mempersiapkan materi UN bagi siswa, sebab depdiknas memberikan kisi-kisi UN sekitar 2 bulan sebelumnya. Jelas saja para guru pontang-panting sebab selama 2 bulan mesti mendalami lagi materi agar siswa tidak mengalami kegagalan selama UN. Penentuan kisi-kisi UN oleh pemerintah jika ditilik dari tujuan KTSP adalah sebuah inkonsistensi. Sekolah yang telah merancang program pembelajaran semestinya juga menentukan standar penilaiannya. Secara didaktis tidak masuk akan meminta siswa mengerjakan soal-soal yang di dalam sekolahnya sendiri tidak diajarkan.

Dampak negatif UN lainnya adalah bahwa UN akan tetap membuat tiap sekolah lebih konsentrasi untuk memperdalam mata pelajaran yang diujiannasionalkan daripada membuat anak didik cerdas dan mampu berpikir kreatif berhadapan dengan materi pembelajaran yang diterimanya.

Mengingat tidak adanya persiapan teknis, kekeliruan prosedur, kesalahan pedagogis, serta inkonsistensi struktural dalam UN, UN yang akan dilakukan pada tahun 2007 tidak akan mampu menaikkan kualitas pendidikan nasional, selain menjadi sebuah proyek yang kental muatan politisnya daripada edukatifnya berupa pemborosan anggaran negara untuk sesuatu yang tidak berguna!

Beban administrasi

KTSP merupakan sebuah program pembaharuan kurikulum yang mencoba memberikan ruang bagi otonomi sekolah secara lebih luas. Namun, untuk menerapkannya butuh berbagai macam persiapan,seperti, proses sosialisasi dan pelatihan mengingat para guru tidak pernah belajar bagaimana membuat kurikulum sendiri. Demi mengejar target pihak sekolah akhirnya banyak memilih mengikuti model yang ditawarkan pemerintah, mengerjakan KTSP asal-asalan, atau meniru materi KBK 2004 yang telah ada dengan penyesuaian administratif di sana sini. Singkatnya, asal syarat administratif terpenuhi.

Tak heran jika ada seorang guru berseloroh selepas mengikuti seminar yang diadakan depdiknas, “susah-susah kita datang untuk mendengarkan seminar tentang KTSP, kita nggak dapat-apa apa. Kenapa kita selalu dibebani tugas administrasi yang menyita energi dan merugikan proses belajar siswa?”

Dengarkanlah!

Para penanggungjawab pendidikan yang dipercaya republik ini untuk memperbaiki dunia pendidikan semestinya mendengarkan keluhan tak terdendar para guru ini. Mereka adalah orang yang berdedikasi tinggi bagi pendidikan di negeri ini. Namun karena tidak ada kehendak politik dari pemerintah untuk memperbaiki dunia pendidikan, orang-orang yang berjasa itu seperti dianggap angin lalu. Padahal, keluhan dan jeritan hati mereka adalah keluhan dan jeritan hati bangsa ini. Untuk itu para politisi dan pengambil kebijakan pendidikan semestinya mendengarkan mereka!

Pembaharuan pendidikan mempersyaratkan sebuah dialog dewasa dan adil antara pihak-pihak yang berkepentingan, seperti, guru, sekolah, pemerintah, dll. KTSP yang kini diplesetkan dengan kata, ‘katesiape’ sesungguhnya merupakan lambang ketidakberdayaan guru yang selama ini diperlakukan tidak adil dan menjadi obyek kekuasaan.

Jika pemerintah tidak mau mendengarkan mereka, dan tetap ngotot dengan agendanya sendiri, tentu nanti pemerintah sendiri yang akan menanggung resiko atas kredibilitas kinerja politiknya. Rakyat sendiri nanti yang akan menilai dan mengadilinya. Guru hanya meminta satu hal agar kinerjanya sebagai pendidik bangsa dihargai, bukan dijadikan proyek politik, apalagi dilecehkan. Para guru sudah lama lelah dan muak untuk disuguhi parodi reformasi yang mengatasnamakan pembaharuan pendidikan.

Doni Koesoema, A Mahasiswa jurusan pedagogi sekolah dan pengembangan profesional pada fakultas ilmu pendidikan Universitas Salesian, Roma. Artikel ini pernah diterbitkan di KOMPAS, Jumat, 29 September 2006.

Kurikulum Berubah Lagi?

Kompas, Jumat, 29 September 2006

Oleh Doni Koesoema, A


Dulu ketika diperkenalkan model pembelajaran yang bernama Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) di sekolah-sekolah, tak berapa lama kemudian muncul parodi atas CBSA, yaitu, Cah Bodho Soyo Akeh (baca, jumlah anak yang bodoh semakin banyak). Begitu ada istilah MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), muncul ekpresi lain Masyarakat Bayar Sendiri. Dan sekarang ketika pemerintah memperkenalkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), banyak guru berseloroh, kurikulum KaTeSiaPe? (Menurut siapa?)

Seloroh itu tentu saja sekedar parodi. Namun parodi ini merepresentasikan kenyataan sesungguhnya yang dihadapi oleh para guru di tingkat satuan pendidikan. Korban pertama KTSP adalah para guru bidang studi. Dengan keluarnya KTSP, para guru bidang studi dikejar-kejar agar membuat sendiri kurikulum tiap mata pelajaran bagi sekolahnya. Banyak waktu habis untuk seminar dan pertemuan guru bidang studi demi merencanakan kurikulum seperti yang diharapkan dalam KTSP.

Tanpa persiapan


Proses pembuatan dan perencanaan kurikulum yang menyibukkan para guru bidang studi ketika proses pendidikan tahunan telah berjalan jelas membuat proses belajar mengajar terganggu. Para guru tidak konsentrasi mengajar karena selalu berpikir tentang pembuatan silabus, program, indikator, dll. Otonomi guru dalam mengaplikasikan indikator dari kompetensi dasar lebih banyak dialami sebagai penambahan beban pengisian kolom administratif yang lebih banyak buang waktu sia-sia. KTSP diluncurkan tanpa persiapan memadai.

Kekurangsiapan aplikasi KTSP, lebih terlihat nyata di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), khususnya berkaitan dengan proses pemetaan materi dari mata pelajaran yang terintegrasi, seperti IPA dan IPS. Hal ini tidak hanya membuat guru mata pelajaran pusing tujuh keliling, mengingat, misalnya, standar isi materi IPA terpadu versi KTSP tersebar tidak merata dari kelas satu sampai kelas tiga dalam buku versi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004. Pembuatan standar isi dan kompetensi dasar tampaknya tidak memperhatikan sebaran materi yang terdapat dalam kurikulum sebelumnya. Pemetaan materi antar kelas yang diintegrasikan akan mempengaruhi pengaturan, alokasi waktu mengajar dan kuantitas pekerjaan guru bidang studi.

Dari segi kompetensi, para guru merasa tidak siap sebab selama ini mereka mengampu satu mata pelajaran tertentu. Sekarang mereka mesti mampu mengajarkan semuanya. Guru IPA mesti bisa menguasai sekaligus Biologi, Kimia, dan Fisika! Kuota yang hanya 4 jam pelajaran seminggu untuk mata pelajaran terpadu juga membuka peluang bagi beberapa guru bidang studi untuk kehilangan pekerjaan!

Keputusan pemerintah yang bersikap keras kepala untuk mengadakan Ujian Nasional tahun 2007 semakin membuat pembaharuan kurikulum lewat KTSP menjadi mandul dan semakin menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam memperbaiki carut marut pendidikan di negeri kita. Pertanyaan pokoknya adalah jika KTSP memberikan keluasan bagi otonomi sekolah di tingkat satuan pendidikan, standar penilaian juga semestinya menjadi hak otonom sekolah, sebab merekalah yang menentukan indikator dan memilih proses serta materi melalui program belajar di kelas. Karena itu, UN merupakan sebuah keputusan yang kontraproduktif bagi peningkatan kualitas pembelajaran.

Pada saat pemerintah menerapkan KBK saja, para guru sempat kedodoran untuk mempersiapkan materi UN bagi siswa, sebab depdiknas memberikan kisi-kisi UN sekitar 2 bulan sebelumnya. Jelas saja para guru pontang-panting sebab selama 2 bulan mesti mendalami lagi materi agar siswa tidak mengalami kegagalan selama UN. Penentuan kisi-kisi UN oleh pemerintah jika ditilik dari tujuan KTSP adalah sebuah inkonsistensi. Sekolah yang telah merancang program pembelajaran semestinya juga menentukan standar penilaiannya. Secara didaktis tidak masuk akan meminta siswa mengerjakan soal-soal yang di dalam sekolahnya sendiri tidak diajarkan.

Dampak negatif UN lainnya adalah bahwa UN akan tetap membuat tiap sekolah lebih konsentrasi untuk memperdalam mata pelajaran yang diujiannasionalkan daripada membuat anak didik cerdas dan mampu berpikir kreatif berhadapan dengan materi pembelajaran yang diterimanya.

Mengingat tidak adanya persiapan teknis, kekeliruan prosedur, kesalahan pedagogis, serta inkonsistensi struktural dalam UN, UN yang akan dilakukan pada tahun 2007 tidak akan mampu menaikkan kualitas pendidikan nasional, selain menjadi sebuah proyek yang kental muatan politisnya daripada edukatifnya berupa pemborosan anggaran negara untuk sesuatu yang tidak berguna!

Beban administrasi

KTSP merupakan sebuah program pembaharuan kurikulum yang mencoba memberikan ruang bagi otonomi sekolah secara lebih luas. Namun, untuk menerapkannya butuh berbagai macam persiapan,seperti, proses sosialisasi dan pelatihan mengingat para guru tidak pernah belajar bagaimana membuat kurikulum sendiri. Demi mengejar target pihak sekolah akhirnya banyak memilih mengikuti model yang ditawarkan pemerintah, mengerjakan KTSP asal-asalan, atau meniru materi KBK 2004 yang telah ada dengan penyesuaian administratif di sana sini. Singkatnya, asal syarat administratif terpenuhi.

Tak heran jika ada seorang guru berseloroh selepas mengikuti seminar yang diadakan depdiknas, “susah-susah kita datang untuk mendengarkan seminar tentang KTSP, kita nggak dapat-apa apa. Kenapa kita selalu dibebani tugas administrasi yang menyita energi dan merugikan proses belajar siswa?”

Dengarkanlah!


Para penanggungjawab pendidikan yang dipercaya republik ini untuk memperbaiki dunia pendidikan semestinya mendengarkan keluhan tak terdendar para guru ini. Mereka adalah orang yang berdedikasi tinggi bagi pendidikan di negeri ini. Namun karena tidak ada kehendak politik dari pemerintah untuk memperbaiki dunia pendidikan, orang-orang yang berjasa itu seperti dianggap angin lalu. Padahal, keluhan dan jeritan hati mereka adalah keluhan dan jeritan hati bangsa ini. Untuk itu para politisi dan pengambil kebijakan pendidikan semestinya mendengarkan mereka!

Pembaharuan pendidikan mempersyaratkan sebuah dialog dewasa dan adil antara pihak-pihak yang berkepentingan, seperti, guru, sekolah, pemerintah, dll. KTSP yang kini diplesetkan dengan kata, ‘katesiape’ sesungguhnya merupakan lambang ketidakberdayaan guru yang selama ini diperlakukan tidak adil dan menjadi obyek kekuasaan.

Jika pemerintah tidak mau mendengarkan mereka, dan tetap ngotot dengan agendanya sendiri, tentu nanti pemerintah sendiri yang akan menanggung resiko atas kredibilitas kinerja politiknya. Rakyat sendiri nanti yang akan menilai dan mengadilinya. Guru hanya meminta satu hal agar kinerjanya sebagai pendidik bangsa dihargai, bukan dijadikan proyek politik, apalagi dilecehkan. Para guru sudah lama lelah dan muak untuk disuguhi parodi reformasi yang mengatasnamakan pembaharuan pendidikan.

Doni Koesoema, A Mahasiswa jurusan pedagogi sekolah dan pengembangan profesional pada fakultas ilmu pendidikan Universitas Salesian, Roma.


Artikel ini dimuat di Harian Kompas, Jumat, 29 September 2006.

Pendidikan Keagamaan