Saturday 26 September 2009

Sekolah Mahal, Tanya Kenapa?

Majalah Gatra, No.23 Tahun XIII, 18-25 April 2007, hlm.8
Doni Koesoema, A

Sistem pendidikan kita sedang menghadapi krisis solidaritas, jauh dari reksa demokratis, dan abai terhadap keadilan sosial. Meski kita telah memasuki millenium ketiga, cara kita menanggapi tiga serangan ini tak beranjak jauh dari warisan semangat baru jaman Adam Smith di tahun 1850-an. Semangat itu adalah, “mengeruk kekayaan, melupakan semuanya, kecuali diri sendiri!"

Biaya sekolah memang mahal. Tidak ada satu individu yang dari dirinya sendiri mampu membiayai kebutuhan pendidikan. Karena itu harus ada manajemen publik dari negara. Sebab negaralah yang dapat menjamin bahwa setiap warga negara memperoleh pendidikan yang layak. Negaralah yang semestinya berada di garda depan menyelamatkan pendidikan anak-anak orang miskin. Tanpa bantuan negara, orang miskin tak akan dapat mengenyam pendidikan.

Namun ketika negara sudah dibelenggu oleh hempasan gelombang modal, sistem pendidikan pun bisa ditelikung dan diikat oleh lembaga privat. Serangan ini pada gilirannya semakin mereproduksi kemiskinan, melestarikan ketimpangan, mematikan demokrasi dan menghancurkan solidaritas antar rakyat negeri!

Mengapa sekolah mahal bisa dilacak dari relasi kekuasaan antar dua instansi ini, yaitu, lembaga publik negara dan lembaga privat swasta. Ketimpangan corak relasional antar dua kubu ini melahirkan kultur pendidikan yang abai pada rakyat miskin, menggerogoti demokrasi dan melukai keadilan.

Sekolah kita mahal, pertama, karena dampak langsung kebijakan lembaga pendidikan di tingkat sekolah. Ketika negara abai terhadap peran serta masyarakat dalam pendidikan, pola pikir Darwinian menjadi satu-satunya cara untuk bertahan hidup. Sebab tanpa biaya, tidak akan ada pendidikan. Karena itu, membebankan biaya pada masyarakat dengan berbagai macam iuran merupakan satu-satunya cara bertahan hidup lembaga pendidikan swasta. Ketika lembaga pendidikan negeri yang dikelola oleh negara berlaku sama, semakin sempurnalah penderitaan rakyat negeri. Sekolah menjadi mimpi tak terbeli!

Kedua, kebijakan di tingkat sekolah yang membebankan biaya pendidikan pada masyarakat terjadi karena kebijakan pemerintah yang emoh rakyat. Ketika pemerintah lebih suka memuja berhala baru ala Adam Smith yang “gemar mengeruk kekayaan, melupakan semua, kecuali dirinya sendiri, ” setiap kewenangan yang semestinya menjadi sarana pelayanan berubah menjadi ladang penjarahan kekayaan. Pejabat pemerintah dan swasta (kalau ada kesempatan!) akan berusaha mengeruk uang sebanyak-banyaknya dari proyek anggaran pendidikan.

Ketiga, mental malingisme pejabat negara, juga swasta, semakin menggila terutama karena tuntutan persaingan di pasar global. Indikasi Noam Chomsky tentang keterlibatan perusahaan besar Lehman Brothers dalam menguasai sistem pendidikan rupanya juga telah menyergap kultur pendidikan kita. “Jika kita dapat memprivatisasi sistem pendidikan, kita akan menggunungkan uang.” Itulah isi pesan dalam brosur mereka.

Banyak perusahaan berusaha memprivatisasi lembaga pendidikan, kalau bisa membeli sistem pendidikan. Caranya adalah dengan memanfaatkan kelemahan moral para pejabat negara. Bagaimana? Dengan membuatnya tidak bekerja! Karena itu, cara paling gampang untuk memprivatisasi lembaga pendidikan adalah dengan membuat para pejabat negara membiarkan lembaga pendidikan mati tanpa subsidi, mengurangi anggaran penelitian, memandulkan persaingan, dll. Singkatnya, agar dapat dijual, lembaga pendidikan negeri harus dibuat tidak berdaya. Kalau sudah tidak berdaya, mereka akan siap dijual. Inilah yang terjadi dalam lembaga pendidikan tinggi kita yang telah mengalami privatisasi.

Pendidikan merupakan conditio sine qua non bagi sebuah masyarakat yang solid, demokratis dan menghormati keadilan. Karena kepentingan strategisnya ini, mengelola pendidikan dengan manajemen bisnis bisa membuat lembaga pendidikan menjadi menjadi sapi perah yang menggunungkan keuntungan. Karena itu, sistem pendidikan akan senantiasa menjadi rebutan pasar. Jika pasar melalui jaring-jaring privatnya menguasai sistem pendidikan, mereka dapat merogoh kocek orang tua melalui berbagai macam pungutan, seperti, uang gedung, iuran, pembelian formulir, seragam, buku, jasa lembaga bimbingan belajar, dll.

Negara sebenarnya bisa berperan efektif mengurangi mahalnya biaya pendidikan jika kebijakan politik pendidikan yang berlaku memiliki semangat melindungi rakyat miskin yang sekarat di jalanan tanpa pendidikan. Jika semangat, “mengeruk kekayaan, melupakan semuanya, kecuali diri sendiri!” masih ada seperti sekarang, sulit bagi kita menyaksikan rakyat miskin keluar dari kebodohan dan keterpurukan. Maka yang kita tuai adalah krisis solidaritas, mandegnya demokrasi, dan terpuruknya keadilan sosial"

Doni Koesoema, A.Penulis adalah mahasiswa jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma.

Kanon Moral Komensky dan UN

KOMPAS, 26 April 2007
Oleh Doni Koesoema, A

Ujian Nasional senantiasa menyisakan balada keterpurukan bagi dunia pendidikan kita. Ada kepala sekolah yang demi tanggungjawabnya terpaksa mencuri soal UN. Ketatnya penjagaan soal-soal UN pun masih bisa ditelikung oleh panitia ujian tingkat sekolah beberapa menit setelah soal dibagikan.

Di Tangerang, misalnya, panitia sekolah bahkan minta ijin kepada pengawas untuk masuk kelas dan tanpa malu-malu memberikan jawaban ujian kepada siswa! Pasca UN SMA, Ada pejabat yang kebakaran jenggot karena melihat potensi UN yang merugikan reputasi daerahnya segera mengadakan rapat kilat mengundang para kepala sekolah dan mencoba ‘main mata’ dengan Tim Pengawas Independen (TPI) agar hasil UN di daerahnya diatur baik. Dengan uang amplop yang diterima, para pendidik seperti dilecehkan nuraninya. Namun jika tidak ikut setuju, resiko jabatan sudah menghadang di depan mata!

Alih-alih menjadi sarana pengujian kualitas pendidikan, UN malah menjadi pertunjukan kebobrokan moral para penanggungjawab pendidikan, mulai dari guru, masyarakat, sampai birokrat pemerintahan. Perilaku mereka membuat anak didik tidak mengerti lagi apa makna belajar, tanggungjawab, kerja keras. Apa artinya keadilan jika mereka yang belajar dan malas mendapatkan hasil yang kurang lebih sama?

Bom waktu

Kultur pendidikan yang jauh dari norma moral akan secara perlahan membawa bangsa ini memasuki jurang keruntuhan. Pendidikan kita sedang menyimpan bom waktu yang akan menghancurkan sendi-sendi tatanan sosial kapan saja. Ketika anak tidak belajar arti kerja keras dan nilai kejujuran, kita sebenarnya sedang mempersiapkan lahirnya generasi penerabas yang gemar jalan pintas, membentuknya menjadi kerumunan pencuri dan pembunuh hati nurani.

Jika di dalam kelas saja para pendidik tidak malu-malu lagi melacurkan integritas moral mereka sebagai pendidik, bagaimana anak-anak dapat menghargai mereka. Jika mereka yang berjerih payah belajar dan enggan belajar bisa lulus karena mendapatkan jawaban soal dari panitia sekolah, bagaimana mereka belajar tentang keadilan?

Sekolah sebenarnya memiliki potensi yang sangat efektif bagi pembentukan habitus baru dan karakter siswa. Namun jika yang mereka saksikan adalah rusaknya moralitas para pendidik dan guru, gagasan sekolah sebagai pembentuk karakter semakin sirna. Sia-sialah mengharapkam pembaharuan pendidikan dalam lembaga pendidikan. Apapun aturan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk menjaga kualitas pendidikan, aturan itu tetap bisa ditelikung oleh individu melalui perilaku dan tindakannya. Pendidikan karakter akan semakin efektif jika dalam sekolah terdapat figur keteladanan.

Mengembalikan lembaga pendidikan sebagai agen pembentuk karakter yang menghasilkan individu bermoral melalui figur keteladanan merupakan kemendesakan yang jadi tantangan.

Untuk ini, cara pertama paling ampuh adalah bercermin diri. Semestinya, para pendidik menciptakan iklim kejujuran melalui sikap tegas terhadap peserta yang melanggar tata tertib UN. Sistem kongkalikong antar sekolah dan pengawas UN mesti dijauhkan. Integritas moral pendidik akan runtuh jika mereka sendiri tidak mampu menghargai keutuhan mertabat profesi mereka di hadapan siswa.

Kedua, setiap pendidik semestinya percaya bahwa jerih payah dan kerja keras itu tidak akan sia-sia. Siswa semestinya mendapatkan penghargaan sesuai dengan kerja keras dan ketekunan mereka dalam belajar. Inilah makna pendidikan berkeutamaan. Hanya mereka yang belajar bisa menjadi pintar. Yang suka potong kompas semestinya dilibas. Yang suka mencontek semestinya mendapat nilai jelek.

Perilaku adil

Jan Amos Komenský (1592-1670) dalam salah satu kanon pengajaran moralnya di sekolah menekankan pentingnya mengajarkan perilaku adil kepada siswa. Keadilan merupakan kemampuan diri untuk menimbang dan menilai segala sesuatu secara seimbang. Siswa belajar untuk menghargai dan menilai sesuatu secara apa adanya sesuai dengan halnya itu sendiri.

Keadilan bukan terutama terwujud dalam tindakan menghindari yang buruk, atau menerima yang baik, memuji yang luhur atau mencela yang rendahan. Yang perlu dimiliki terutama adalah kemampuan dalam membedakan dan menilai secara adil mana yang baik dan mana yang buruk sesuai dengan kenyataan itu sendiri.

Komenský yakin, bahwa sikap adil hanya dapat tumbuh dan berkembang melalui proses alamiah. Ketika anak didik tidak dibiasakan menilai secara objektif mana yang baik dan mana yang buruk, perilakunya pun akan dipandu sesuai dengan pemahamannya tersebut. Sebab kebiasaan baik maupun buruk itu terjelma bersama-sama dalam hidup manusia secara alamiah.

Jika dalam UN perilaku tidak terpuji, seperti, dengan sengaja memberikan jawaban pada siswa tetap terjadi, anak-anak itu tidak akan belajar apa arti nilai kerja keras. Siswa akan belajar bahwa nilai kerja keras dan kejujuran tidak perlu. Lama-lama anak-anak kita tidak dapat lagi melihat kenyataan secara berimbang dan menilainya secara jujur sesuai dengan kenyataan itu sendiri apa adanya.

Dalam masyarakat yang korup, kejujuran dan integritas akan membuahkan cemooh, bahkan bisa beresiko bagi jabatan mereka jika pejabat di tingkat atasnya ternyata lebih korup. Namun inilah jalan yang harus dilewati oleh para pendidik sejati. Sebab anak hanya akan belajar perilaku adil jika mereka mengalami bahwa kerja keras, baik dari guru dan siswa dihargai sebagaimana adanya. Bukan memaksakan keberhasilan semu dengan menodainya melalui perilaku tercela.

Doni Koesoema, A. Penulis adalah mahasiswa jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma.

Pendidikan dan Kekerasan

KOMPAS, Rabu, 11 April 2007

Doni Koesoema, A

Irasionalitas dalam dunia pendidikan kita semakin menjadi-jadi. Mari kita bertanya, apa makna tendangan bebas ke dada mahasiswa, juga pukulan bertubi-tubi ke ulu hati yang terjadi dari hari ke hari dalam pendidikan para calon pemimpin rakyat dalam IPDN?

Perilaku kekerasan dalam video amatir tahun 2003 yang terjadi dalam pendidikan pamong praja merupakan tindakan biadab yang melecehkan martabat manusia dan melukai martabat bangsa Indonesia. Itu bukan pendidikan melainkan penindasan. Itu adalah tindak kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilegalisasi melalui sistem pendidikan!

Gunung Es

Perilaku kekerasan yang kita saksikan terhadap para calon pamong praja dalam Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) merupakan gunung es kekerasan yang menggerogoti dunia pendidikan kita. Kematian Cliff Muntu bukanlah yang pertama. Ia bukanlah satu-satunya korban kekerasan dalam pendidikan. Sejak lama lembaga pendidikan kita telah melahirkan dan mereproduksi kekerasan dalam masyarakat.

Maraknya tawuran pelajar, pengguguran kandungan, pelecehan seksual oleh guru, yang terakhir perkosaan dan pembunuhan terhadap pelajar dan oleh pelajar lain merupakan lampu merah bagi pemerintah dan tiap insan pendidikan untuk segera menyehatkan kinerja sistem pendidikan kita.

Sebenarnya, persoalan siapa tindakan kekerasan dalam sekolah? Jawabannya adalah persoalan kita semua. Masyarakat, Negara, administrator, guru, orang tua,dan siswa harus bekerjasama untuk menciptakan lingkungan yang aman dalam lembaga pendidikan. Jika tidak demikian, segala tindakan pencegahan dan hukuman tidak akan efektif.

Kekerasan di dalam lembaga pendidikan bisa terjadi karena banyak alasan, seperti, narkoba atau maraknya gang-gang remaja. Namun di Indonesia, kekerasan pelajar terjadi karena perselingkuhan antara sistem pendidikan dan kultur sosial yang menghasilkan generasi muda sakit jiwa. Sistem pendidikan kita telah meminggirkan orang miskin atas akses pendidikan. Sedangkan kultur sosial mengajarkan gaya hidup yang mendasarkan diri pada kekayaan dan kekuasaan.

Perselingkuhan ini melahirkan orang-orang yang terlempar keluar, tidak berdaya, karena sistem pendidikan dan kultur sosial menyingkirkan mereka dari derap masyarakat. Mereka adalah orang-orang terluka, yang dimasa lalu selalu dihina, dilecehkan, dipukuli. Karena itu, mereka pun melakukan tindakan kekerasan karena balas dendam atas pengalaman masa lalu mereka. Perilaku kekerasan hanya akan melahirkan perilaku kekerasan lain. Lingkaran balas dendam inilah yang terjadi dalam kasus perilaku kekerasan di dalam IPDN.

Masuknya perilaku kekerasan dalam lembaga pendidikan, bukan hanya terjadi dalam IPDN saja, melainkan juga terjadi dalam peristiwa Masa Orientasi Sekolah (MOS) dan Orientasi Pengenalan Kampus (OPK). Kesalahan fatal dalam setiap program MOS dan OPK adalah lepasnya campur tangan sekolah sebagai pengarah kegiatan. Menyerahkan seluruh program pada OSIS atau Senat Mahasiswa tanpa ada kendali dari staf pendidik memungkinkan menelusupnya perilaku kekerasan dalam lembaga pendidikan. Masuknya perilaku kekerasan ini akan mereproduksi perilaku kekerasan secara berkelanjutan dari tahun ke tahun. Maka jika ada perilaku kekerasan dalam lembaga pendidikan yang paling bertanggungjawab adalah pimpinan lembaga tersebut sebab ia tidak becus menciptakan kebijakan yang kondusif bagi keberhasilan visi pendidikan kelembagaannya.

Bisa jadi sistem akan membelenggu individu sehingga proses pembaharuan tidak dapat terjadi, pun jika telah terjadi pergantian di pucuk pimpinan lembaga pendidikan seperti IPDN. Kasus dalam IPDN menunjukkan kelemahan dalam sistem pendidikan, namun kelemahan sistem ini terjadi karena lemahnya kepemimpinan. Lemahnya kepemimpinan terjadi karena tidak adanya visi pendidikan. Tidak adanya visi pendidikan yang jelas membuat lembaga pendidikan hanya mereproduksi perilaku tradisional dari tahun ke tahun dalam proses rekruitmen anggota-anggotanya.

Budaya kolusi, bayar uang semir, pendaftaran lewat orang dalam, pemesanan tempat atas nama orang-orang tertentu yang memiliki kuasa hampir menjadi pemandangan harian rekruitmen orang-orang pemerintahan dan dalam lembaga militer. Situasi ini membuat visi lembaga pendidikan menjadi semakin kabur. Visi pendidikan tidak akan jelas jika lembaga pendidikan menjadi tempat di mana berbagai macam kepentingan beradu. Akhirnya hanya mereka yang berkuasa saja yang bisa lolos dalam proses rekruitmen ini.

Jika situasi ini terjadi terus menerus dalam IPDN, kesalahan utama sesungguhnya terletak pada Menteri Dalam Negeri yang tidak berani merombak sistem rekruitmen para pamong praja di lingkungannya sehingga cita-cita perbaikan pelayanan terhadap masyarakat melalui aparat Negara yang bersih, berwibawa dan memiliki semangat pelayanan tidak terjadi.

Perilaku kekerasan di dalam lembaga pendidikan dapat diretas jika ada visi pendidikan yang jelas dan sistem pendidikan yang terbuka atas kontrol publik. Rakyat berhak tahu informasi tentang bagaimana pendidikan dan pembinaan para calon praja yang akan menjadi pelayan masyarakat.

Menurunkan tim investigasi dan mengadakan penyelidikan resmi oleh polisi tidak akan memperbaiki sistem pendidikan di dalam IPDN jika struktur dan kultur yang melingkupi dalam IPDN sendiri tidak dirombak. Untuk merombaknya, paling tidak butuh 2 syarat.

Pertama, butuh pemimpin berkarakter yang memiliki visi pendidikan yang jelas bagi pendidikan calon para pelayan rakyat. Pemimpin ini mesti dapat menciptakan struktur dan kultur baru dalam lembaga pendidikan di IPDN agar perilaku kekerasan terpotong dari tradisi pendidikan yang selama ini ada.

Kedua, setiap lembaga pendidikan mesti mempertanggungjawabkan kinerjanya terhadap para pemangku kepentingan, yaitu, orang tua dan masyarakat luas. Karena itu, sistem pendidikan yang ada, baik berupa proses, materi pendidikan, kurikulum, praksis di lapangan harus bersifat terbuka dan dapat dikontrol oleh publik. Untuk inilah peranan pers sangat penting dalam mengomunikasikan kinerja pendidikan setiap lembaga pendidikan kepada masyarakat.

Homo violens


Bahwa para praja yang masuk dalam IPDN ternyata diam saja diperlakukan secara-sewenang-wenang oleh senior mereka menunjukkan kematian rasionalitas dalam diri para praja tersebut. Homo violens memang merupakan bagian dari kodrat manusia yang merupakan homo sapiens. Namun homo violens terjadi karena kebutuhan dasar untuk mempertahankan kehidupan. Dalam kasus IPDN, kehadiran para homo violens ini terjadi bukan karena kebutuhan dasar untuk mempertahankan hidup, melainkan karena matinya rasionalitas. Karena itu, alih-alih menjadi Institit Pendidikan, IPDN berubah menjadi Institut Pembunuhan Dalam Negeri.

Tidak ada satu jiwa merdekapun yang mau ditendang, dipukuli, dan dianiaya secara sistematis seperti terjadi dalam kasus mahasiswa IPDN. Kematian rasionalitas menandai matinya kemerdekaan dan penghargaan terhadap kemartabatan sendiri. Menolak adalah sikap merdeka yang mesti hadir dalam jiwa setiap individu ketika diperlakukan secara sewenang-wenang, sebab, tidak ada kaitan sama sekali antara tendangan bebas ke dada, juga pukulan bertubi-tubi ke ulu hati untuk menciptakan pamong praja pengabdi rakyat.

Kekejaman dalam dunia pendidikan ini harus segera dihentikan!

Doni Koesoema, A.
Penulis adalah mahasiswa jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma.

Menggadaikan Etika Profesi

KOMPAS, Rabu, 14 Maret 2007
Doni Koesoema, A

Gong kematian pendidikan nasional kita telah dibunyikan. Sekolah dan guru tidak lagi percaya dan dipercaya sebagai pendidik dan pengajar siswa. Tugas mereka telah digantikan oleh lembaga bimbingan belajar (bimbel). Guru dan sekolah tak ubahnya tukang kelontong dan toko grosiran yang lagi cuci gudang. Etika profesi pun telah mereka gadaikan demi setumpuk uang!

Silap akan uang, itulah yang membuat sebuah pemerintahan hancur. Intuisi Solon (630-560 SM) juga berlaku bagi dunia pendidikan kita. Jika mereka yang bertanggungjawab dalam mengurus pendidikan di negeri ini silap uang, mulai dari pejabat di tingkat pusat, sampai para guru di tingkat sekolah negeri, kesudahan dunia pendidikan kita sudah berada di depan mata.

Kehadiran lembaga bimbel yang di sekolah-sekolah negeri adalah tanda paling jelas tentang hancurnya moralitas dan matinya etika profesi. Menjadi guru adalah menghayati sebuah profesi. Apa yang membedakan sebuah profesi dengan pekerjaan lain adalah bahwa untuk sampai pada profesi tersebut seseorang berproses lewat belajar.

“Profesi merupakan pekerjaan, dapat juga berwujud sebagai jabatan di dalam suatu hierarki birokrasi, yang menuntut keahlian tertentu serta memiliki etika khusus untuk jabatan tersebut serta pelayanan baku terhadap masyarakat.” (H.A.R.Tilaar,2002,86)

Tanpa etika profesi, lembaga pendidikan hanya akan diisi oleh orang-orang yang bernafsu memuaskan kepentingan diri dan kelompoknya. Tanpa etika profesi, nilai kebebasan dan individu tidak dihargai. Untuk inilah, setiap lembaga pendidikan memerlukan sebuah keyakinan normatif bagi kinerja pendidikan yang sedang diampunya.

Etika profesi dan standard moral mesti dimiliki oleh setiap individu yang terlibat di dalam dunia pendidikan. Ini penting sebab corak relasional antar individu di dalam lembaga pendidikan itu tidak imun dari unsur kekuasaan yang memungkinkan ditindasnya individu yang satu oleh individu lain. Selain itu, etika profesi menjadi pedoman ketika muncul konflik kepentingan agar kepentingan masyarakat umum tetap terjamin melalui pelayanan profesional tersebut. Tanpa etika profesi, lembaga pendidikan berubah menjadi toko grosiran di mana keuntungan dan tumpukan uang menjadi tujuan.

Dalam kenyataan, setiap individu dalam dunia pendidikan terlibat dalam negosiasi dan perjumpaan dengan orang lain, seperti, para guru, karyawan, orang tua, siswa, masyarakat, pegawai pemerintahan, lembaga bimbingan belajar, dll. Peristiwa perjumpaan ini sangatlah rentan dengan konflik kepentingan. Jika konflik kepentingan ini muncul, manakah standard moral dan etika profesi yang dipakai sebagai sarana untuk memecahkan konflik?

Maksim moral Kant

Setiap profesi, apapun jenisnya, termasuk para guru, tidak dapat melepaskan diri dari prinsip moral dasar yang diajukan oleh Immanuel Kant. Maksim moral Immanuel Kant berbunyi demikian, “bertindaklah terhadap kemanusiaan itu sedemikian rupa sehingga engkau memperlakukan pribadi itu sendiri atau yang lain bukan sebagai alat, melainkan sebagai tujuan di dalam diri mereka sendiri.”

Dengan memperlakukan individu atau pribadi dalam kerangka tujuan keberadaan mereka, Kant secara implisit mengakui bahwa setiap individu memiliki nilai-nilai intrinsik. Individu itu bernilai di dalam diri mereka sendiri. Karena itu, setiap penguasaan atau perbuatan yang menundukkan mereka menjadi sarana bagi tujuan pribadi individu merupakan pelanggaran atas norma moral itu.

Kerjasama antara lembaga sekolah dengan lembaga bimbingan belajar menyiratkan adanya konflik kepentingan ini. Demi kepentingan siapa lembaga bimbel itu ada? Siswa, guru dan sekolah, orang tua, atau lembaga bimbel? Mungkin ada yang berpendapat, bahwa yang diuntungkan adalah semua, yaitu, siswa, guru/sekolah, orang tua dan lembaga bimbingan belajar. Siswa dapat semakin percaya diri dalam menghadapi Ujian Nasional (UN). Orang tua merasa nyaman dan aman bahwa anaknya akan siap menghadapi UN dan tes Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri, sekolah untung karena prestasi jadi tinggi, guru untung sebab dapat tambahan uang saku, dan lembaga bimbingan belajar untung karena dapat fulus dari proyek ini. Namun tidak semua berpendapat demikian, sebab tidak semua siswa, guru, dan orang tua diuntungkan!

Kehadiran lembaga bimbel di sekolah merupakan indikasi nyata konflik kepentingan yang mengorbankan kemartabatan guru, memperalat siswa, mengelabui orangtua, dan menipu masyarakat. Maksim moral Kant, mempersyaratkan bahwa dalam setiap hal kita mesti menghormati pribadi atau yang lain sebagai bernilai di dalam dirinya sendiri dan tidak pernah memanfaatkan mereka sebagai alat demi tujuan tertentu (bahkan yang tampaknya baik dan menguntungkan!)

Tugas mendidik dan mengajar siswa merupakan hak istimewa yang menjadi monopoli guru. Ketika tugas ini diserahkan pada lembaga lain yang tidak memiliki monopoli profesi satu pertanyaan muncul. Apa yang telah dilakukan para guru selama ini atas tugasnya dalam mendidik dan mengajar siswa? Keinginan menghadirkan lembaga bimbel di sekolah menjadi tanda bahwa para guru tidak melaksanakan profesinya secara profesional dan total.

Fenomena bimbel di sekolah menunjukkan kenyataan bahwa kepentingan siswa telah diperalat demi kepentingan lain, terutama, demi kepentingan bisnis. Lembaga bimbingan belajar yang datang ke sekolah tidaklah lelahanan (gratis). Mereka dibayar untuk itu, dan demi kepentingan ini, siswa dan orang tua harus membayar mahal. Aturan moral yang berlaku untuk kasus ini adalah jika bimbingan belajar itu diperlukan oleh sekolah demi perbaikan prestasi siswa, sekolah tidak berhak menarik bayaran atas kegiatan tambahan ini. Les tambahan merupakan tanggungjawab sekolah demi kepentingan siswa. Namun, yang gratisan seperti ini tidak ada! Maka sekolah dan guru telah memanipulasi siswa menjadi alat demi kepentingannya sendiri. Guru menarik keuntungan dengan melacurkan martabat profesinya sendiri!

Apa yang harus dilakukan?

Berhadapan dengan situasi ini, apa yang dapat kita lakukan? Pertama, pemerintah dan guru semestinya segera bertindak untuk memulihkan martabat profesional mereka. Praksis kerjasama sekolah dengan lembaga bimbel harus segera dihentikan, kalau perlu sekolah yang melakukan diberi teguran keras, sebab mereka telah melecehkan etika profesi guru yang membuat fungsi mereka tidak dipercaya lagi dalam masyarakat.

Kedua, untuk itu perlu segera dibentuk Dewan Kehormatan Guru agar profesi guru itu tetap terjaga kemartabatannya dan kepentingan masyarakat luas tetap terjamin.

Guru sesungguhnya hanya bisa menjaga kemartabatannya melalui perilaku dan keteladanan hidup mereka. Jika para guru dan pendidik telah menggadaikan etika profesi mereka, tidak ada lagi yang akan dapat mempertahankan kemartabatan dan keluhuran profesi mereka. Sebab, etika profesi itu harta paling berharga yang mereka miliki. Tanpa penghargaan atas etika profesi, guru tak ubahnya pedagang kelontongan dan sekolah berubah jadi toko grosiran. Mereka akan terus menjual kepentingan siswa demi menggelembungkan pundi-pundi pribadi.

Doni Koesoema, A. Penulis adalah mahasiswa jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma.

Menjelang PP tentang Guru

KOMPAS, Kamis, 9 November 2006
Oleh Doni Koesoema, A

Pendidikan nasional tidak akan pernah bangkit dari keterpurukannya jika program profesionalisasi formasi guru tidak digarap secara serius, integral, melalui pendekatan konseptual yang relevan dan responsif atas tantangan jaman.

Undang-Undang tentang Guru dan Dosen (UUGD) mencantumkan persyaratan kepemilikan sertifikat pendidik sebagai salah satu kriteria profesionalitas guru. Namun keseriusan pemerintah dalam menghargai peran dan martabat guru bisa terancam melalui klausul pasal 11 ayat 4 tentang proses sertifikasi yang akan diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP). PP ini jika tidak digarap serius dan transparan akan menjadi bencana baru bagi pendidikan nasional. Sertifikasi berpotensi menjadi politisasi peranan guru, penjarahan uang rakyat, dan lahan empuk korupsi yang malah kontraproduktif bagi usaha perbaikan pendidikan nasional.

Dua pendekatan

Tampaknya telah terjadi kekeliruan konseptual di kalangan para pembuat UUGD ketika memasukkan pasal-pasal tentang sertifikasi guru sebagai salah satu cara meningkatkan kualitas pendidik. Akar permasalahan utamanya adalah kekeliruan dalam membaca realitas dan kesalahan dalam menerapkan strategi dalam menyikapi persoalan seputar kualitas pendidik.

Debat pokok tentang formasi pendidik biasanya terpolarisasi pada dua bidang isi yang bertentangan satu sama lain (Cochran-Smith & Fries, 2001). Pertama, mereka yang berusaha menderegulasi pengajaran. Kedua, mereka yang berusaha untuk membuatnya semakin profesional.

Mereka yang mau menderegulasi pengajaran berpendapat bahwa satu-satunya cara untuk menilai proses pembelajaran siswa dan kualitas guru adalah dengan menerapkan sebuah ujian standard. Mencetak guru lewat proses pendidikan yang lama dan panjang dianggap sebagai pemborosan tenaga, waktu dan uang. Jadi, para pembela deregulasi berusaha untuk memperpendek proses pendidikan guru dan menggantikannya dengan sekumpulan program alternatif berupa sertifikasi.

Asumsi dasar program sertifikasi guru adalah bahwa para guru dapat belajar sedikit yang mereka butuhkan tentang proses pengajaran sementara mereka akan belajar banyak ketika terjun langsung di lapangan.

Sebaliknya, mereka yang berpendapat bahwa formasi guru semestinya semakin profesional mengatakan bahwa jalan pintas proses formasi guru lewat sertifikasi tidak akan menghasilkan para pendidik yang berkualitas. Mereka yang membela profesionalisme guru yakin bahwa proses pengajaran berkaitan erat dengan dimensi keadilan sosial dan pemberdayaan guru sebagai bagian dari proses pengembangan terus menerus atas kemampuan akademis yang dimilikinya, sehingga program sertifikasi sebagai jalan pintas peningkatan kualitas guru dianggap sebagai antitesis bagi hakekat profesionalisme guru.

Sertifikasi pendidik yang diterapkan secara pukul rata, termasuk bagi para guru yang telah lulus S-1 dari universitas yang terakreditasi oleh pemerintah akan menjadi lahan baru untuk memeras uang rakyat. Sertifikasi pendidik lebih kental muatan ekonomis dan politisnya ketimbang keseriusan dalam meningkatkan mutu guru.

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa di kalangan guru telah ada mereka yang memiliki kualifikasi akademis setaraf sarjana strata-1 atau D-4 alumni dari universitas yang telah terakreditasi oleh pemerintah. Mereka ini telah secara profesional dipersiapkan untuk menjadi guru. Para lulusan sarjana strata-1 dan D-4 dari perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah semestinya tidak memerlukan sertifikasi pendidik lagi. Hak-hak mereka sebagai pendidik telah dilindungi dengan pasal 11 ayat 2, yang menyatakan bahwa, “Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah.”

Jika nanti keluar PP tentang sertifikasi pendidik dan peraturan itu ternyata masih mewajibkan sertifikasi pendidik bagi para guru lulusan perguruan tinggi yang telah terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah, PP tersebut jelas bertentangan dengan pasal 11 ayat 2. Ngotot menerapkan sertifikasi untuk kasus seperti ini bisa dicap sebagai politisasi peran guru demi kepentingan ekonomis para penguasa.

Kualitas akademis yang dituntut oleh pemerintah bagi para guru, berupa kualitas akademis setingkat sarjana strata-1 atau diploma 4, yang diterapkan secara pukul rata, termasuk terhadap para guru senior yang telah bekerja dan memiliki pengalaman pengajaran bertahun-tahun, hanya akan menjadi beban bagi kinerja guru yang telah penuh dedikasi memberikan seluruh waktu dan tenaganya bagi perbaikan pendidikan di negeri ini.

Sertifikasi akan menjadi kontraproduktif bagi para guru senior, karena mereka sendiri telah teruji dalam mendidik dan mengajar anak didik. Sertifikasi pendidik bagi mereka sesungguhnya tidak diperlukan lagi sebab pengalaman telah menguji mereka menjadi guru yang handal. Sertifikasi bagi mereka hanya akan memperkuat kesan bahwa pemerintah ingin mengeruk uang rakyat yang telah berjasa besar bagi pendidikan di negeri ini.

Sertifikasi mungkin lebih tepat sasaran jika diterapkan bagi para guru bantu, sebab kehadiran mereka di sekolah-sekolah biasanya tidak disertai dengan persiapan yang memadai, dicomot begitu saja karena langkanya guru, tanpa membekali mereka dengan kecakapan dan kemampuan dasar sebagai pendidik. Guru bantu biasanya dihadirkan karena langkanya tenaga pendidik di suatu daerah. Karena itu, program sertifikasi pendidik bagi mereka semestinya dilakukan melalui test standard disertai dengan pelatihan hal-hal pokok yang dibutuhkan bagi proses pembelajaran. Biaya untuk proses sertifikasi ini semestinya ditanggung oleh negara seperti diamanatkan dalam UUGD.

Sertifikasi pendidik yang diterapkan bagi semua secara pukul rata menunjukkan bahwa pemerintah kurang dapat melihat realitas pendidikan di negeri ini secara jernih. Karena itu, pemerintah bisa keliru dalam merencanakan strategi bagi peningkatan kualitas guru melalui berupa sertifikasi pendidik.

Isu politik dan ekonomi

Sebenarnya, persoalan pokok perbaikan kualitas guru bukan terletak pada pertentangan antara formasi tradisional dan alternatif berupa sertifikasi, melainkan lebih pada kepentingan politik dan ekonomi suatu pemerintahan. Membangun dan meningkatkan kualitas guru, baik pada masa sebelum maupun sesudah mereka memasuki dunia pengajaran mau tidak mau akan mempengaruhi jumlah gaji yang mesti mereka terima. Kenyataan inilah yang lantas menekan para pengambil keputusan pemerintahan di bidang pendidikan untuk memikirkan kembali bagaimana sekolah-sekolah mesti dibiayai.

Pada titik ini, dibutuhkan political will pemerintah untuk sungguh-sungguh merealisasikan dukungannya bagi hadirnya para pendidik yang berkualitas. Besarnya akolasi anggaran negara bagi pendidikan menunjukkan besarnya political will sebuah pemerintahan untuk serius memperbaiki kehancuran dunia pendidikan kita.

Merekrut dan mempertahanan para guru yang memiliki kualifikasi akademis, kompetensi pada bidangnya, serta mengenal komunitas di mana ia mengajar membuat model kurikulum wajib yang sifatnya top-down, sistem pembelajaran text book, dan kebijakan ujian yang sifatnya nasional tidak relevan lagi bagi proses reformasi pendidikan. Pembaharuan pendidikan mempersyaratkan reformasi total bagi para pengambil keputusan yang membuat mereka sungguh-sungguh serius dan konsisten ingin memperbaiki dunia pendidikan. Keluarnya kurikulum tingkat satuan pendidikan disertai dengan sikap keras kepala untuk tetap mengadakan Ujian Nasional merupakan salah satu bukti inkonsistensi dan ketidakseriusan pemerintah dalam menangani persoalan pendidikan!

Kita menantikan PP tentang sertifikasi pendidik yang sungguh berpihak pada keadilan dan demi perbaikan kualitas pendidik, bukan sekedar proyek menjarah uang rakyat di tengah kebangkrutan dunia pendidikan di negara kita. Dikotomi antara persiapan tradisional dan alternatif semestinya ditinggalkan dengan mengedepankan hadirnya kebijakan pendidikan yang integratif, adil, tepat sasaran, dan relevan dengan tantangan jaman.

Doni Koesoema, A Mahasiswa jurusan pedagogi sekolah dan pengembangan profesional pada fakultas ilmu pendidikan Universitas Salesian, Roma.

Thursday 24 September 2009

Reformasi Kurikulum

KOMPAS Jum’at, 1 September 2006
Oleh Doni Koesoema, A

Keluarnya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22, 23, dan 24 tahun 2006 menandai babak baru sejarah reformasi kurikulum di Indonesia. Namun sebagaimana reformasi lainnya, reformasi kurikulum ini masih tampak setengah hati dan kurang matang digarap. Selain itu, Permen secara substansial masih belum mampu memberikan roh untuk menghidupi otonomi pendidikan yang sesungguhnya.

Antinomi pedagogi

Salah satu antinomi pedagogi yang menjadi ‘penyakit kronis’ dunia pendidikan kita adalah ketegangan antara sistem kurikulum terpusat dan organisasi lokal di tingkat sekolah. Hadirnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sesungguhnya ingin menjembatani adanya bipolarisasi antara kurikulum kuota nasional dan lokal. Karena itu, Permen sekedar mengatur Standard Isi (SI) dan Standard Kompetensi Lulusan (SKL) minimal, serta membiarkan Satuan Tingkat Pendidikan menentukan sendiri metodologi didaktisnya agar proses pembelajaran mencapai tujuannya.

Reformasi pendidikan memang bisa dimulai dari pembaharuan di bidang kurikulum, sebab kurikulum merupakan semacam satelit yang melacak dan memberikan identitas edukatif bagi setiap siklus pendidikan.

Secara pedagogis dan didaktis tujuan kurikulum adalah untuk mempercantik busana kultural maupun formatif, entah melalui pengayaan secara berkesinambungan atas identitas intelektual anak didik mulai dari sekolah taman-kanak sampai pada tingkat perguruan tinggi, atau melalui penguatan otonomi pendidikan yang sifatnya subsidiaris, jauh dari sentralisasi edukatif, secara didaktis memberikan otonomi penuh pada anak didik sebagai agen yang belajar sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya.

Globalisasi yang mengakibatkan turun pamornya monosentrisme pendidikan yang lantas digantikan dengan polisentrisme sumber-sumber pengetahuan membuat reformasi pendidikan, khususnya pembaharuan kurikulum, menghadapi tantangan besar berkaitan dengan identitas dan peranan sekolah dalam situasi masyarakat yang semakin kompleks. Bipolarisme pendidikan yang memperhadapkan kekuasaan sentral dengan kekuasaan lokal tak dapat menghindarkan diri dari dua pertanyaan kritis seputar persoalan pedagogis berkaitan dengan tujuan reformatif yang ingin dilakukannya.

Pertama, apakah pembaharuan kurikulum itu menjadi sebuah alat penuntun bagi peserta didik atau penuntun bagi objek pengajaran itu sendiri? Di sini antinomi pendidikan terlihat paling kentara. Pertama, jika kurikulum dipahami sebagai sebuah ‘kendaraan’ yang membimbing anak didik pada tujuannya, kurikulum semestinya memberikan otonomi besar bagi peserta didik untuk ikut ambil bagian aktif dalam perjalanan formatifnya. Titik berangkat posisi ini adalah pada siswa itu sendiri.

Di lain pihak, jika kurikulum dipahami sebagai sebuah alat penuntun bagi pembuatan objek-objek pengetahuan yang perlu diajarkan kepada siswa, persoalan pokoknya adalah nilai-nilai budaya macam apa yang akan dipilih, dikembangkan, sehingga peserta didik memiliki hak untuk dapat mengolah dan memperdalam warisan simbol-simbol budaya yang mereka miliki, mengaktualisasikannya selaras dengan kemajuan teknologi dan informasi, serta relevan bagi kesiapan mereka memasuki dunia kerja.

Kedua, apakah kurikulum lebih dipahami sebagai sebuah sarana untuk menerapkan program-program, atau sebaliknya menjadi alat untuk belajar membuat program itu sendiri? Jika yang pertama dipilih, kurikulum lantas sekedar menjadi sebuah alat untuk menerapkan program-program yang telah jadi, pelaksanaannya bersifat wajib, sifatnya terpusat dan mengikat, misalnya, berupa kurikulum dengan kuota nasional.

Di lain pihak, jika kurikulum dipahami sebagai sebuah sarana untuk membuat program pendidikan, kurikulum lantas merupakan sebuah sarana pendukung yang sifatnya opsional, tidak wajib, yang sepenuhnya diserahkan pada otonomi sekolah lewat kuota lokal.

Dua pendekatan di atas tampaknya lepas dari analisis Permen, sebab lampiran Permen yang memberikan indikasi teoritis berupa programasi kurikulum yang ditawarkan masih bersifat sentralistis, kurang memberi tempat pada dimensi otonomi dari peserta didik untuk memilih jalur formasi yang ingin dijalaninya.

Permen juga membatasi fungsi kurikulum sekedar sebagai penuntuk pembuatan objek-objek pengetahuan yang mesti disosialisasikan pada peserta didik. Di lain tempat malah memberikan keleluasaan pada sekolah untuk menjiplak begitu saja program yang ditawarkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan(BSNP). Proses aplikasi program inipun masih terlihat sangat memusat, kental muatan kurikulum dengan kuota nasional, sedangkan muatan lokal hanya diberi alokasi rata-rata 2 jam mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan.

Reformasi setengah hati seperti ini alih-alih membantu menumbuhkan otonomi pendidikan dalam arti sesungguhnya, malah membingungkan pihak-pihak yang terlibat dalam pendidikan (guru, yayasan, sekolah, dan masyarakat). Pertanyaan masyarakat tentang adanya kontradiksi antara KTSP dengan Ujian Nasional semakin menunjukkan bahwa KTSP memang digarap secara kurang integral sebab ada inkonsistensi di sana-sini.

Integrasi

Reformasi pendidikan memang semestinya dimulai dari reformasi kurikulum, sebab kurikulum merupakan jembatan yang menjadi fondasi bangunan pendidikan. Karena itu, reformasi kurikulum semestinya bersifat integratif yang mampu mengakomodasi dimensi konfliktual yang terjadi antara peserta didik sebagai agen pendidikan dan kebudayaan sebagai obyek-obyek pengetahuan. Selain itu reformasi kurikulum semestinya juga mampu mengatasi ketimpangan yang terjadi antara pendekatan pusat dan pinggiran (baca, otonomi sekolah).

Reformasi kurikulum semestinya menjadikan kebijakan pemerintah sebagai semacam termostat yang menyeimbangan visi pendekatan yang berpusat pada anak didik dan visi yang berpusat pada kebudayaan.

Jadi ada semacam dialektika terus menerus antara bipolarisasi pendidikan dan penguatan otonomi sekolah dengan menjauhkan diri dari kecenderungan kurikulum yang hiperformal (semua diatur, direncanakan dan diprogramkan dari atas, sekolah tinggal mengikuti), atau hiperinformal (kurikulum menjadi cerminan atas semua yang diputuskan oleh sekolah).

Permen no 22, 23, dan 24 tahun 2006 bisa menjadi reformasi kurikulum yang sesungguhnya jika memperhatikan dimensi integralitas di atas.

Kekurangmatangan dalam membuat reformasi kurikulum menghasilkan hilangnya dimensi otonomi pendidikan yang sesungguhnya ingin diarah lewat adanya KTSP, yaitu, kebebasan peserta didik dalam menentukan sendiri perjalanan formatif intelektualnya dan mandulnya otonomi sekolah. Jika ini terjadi, roh otonomi pendidikan akan semakin jauh dari harapan kita.

Doni Koesoema, A
Mahasiswa Jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma

Otonomi (Pungutan) Pendidikan

Doni Koesoema, A

Kesewenang-wenangan sekolah dalam menarik dana pendidikan dari masyarakat sudah berada pada taraf yang mengkhawatirkan. Banyak orang tua mengeluhkan, misalnya, besarnya biaya yang harus dibayar untuk Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI).

Otonomi pendidikan oleh insan pendidikan tampaknya baru dipahami sekedar sebagai sebuah otonomi untuk memungut dana dari orang tua. Tapi apa daya orang tua? Mereka tidak bisa marah sebab anak mesti sekolah. Mereka pasrah meski telah dijadikan sapi perah! Siswa dari keluarga miskin akhirnya hengkang dari sekolah. Mereka tak dapat membayar uang sekolah.

Menarik dana pendidikan dari masyarakat memang merupakan sesuatu yang wajar, terlebih bagi sekolah-sekolah swasta yang hidup matinya banyak tergantung dari dana yang diperolehnya dari masyarakat. Namun proses ini menjadi tidak wajar ketika lembaga pendidikan memanfaatkan posisi lemah kekuatan tawar menawar orang tua terhadap kebijakan sekolah. Ada ketidakberesan dalam komunikasi pendidikan dan cara memahami otonomi sekolah. Alih-alih memosisikan orang tua sebagai partner malah menjadikannya ‘sapi perah’!

Orang tua dalam kerangka pendidikan masih dipahami sekedar sebagai institusi legal yang hanya bertanggungjawab bagi proses pendidikan anak-anak mereka secara ekonomis. Di luar itu, peran serta orang tua nol.

Otonomi pendidikan yang berubah wajah menjadi otonomi pungutan pendidikan melahirkan ketimpangan, menyuburkan ketidakadilan dan mengerdilkan solidaritas. Elitisme sekolah menyingkirkan keluarga miskin dari sekolah. Yang kaya semakin berjaya. Yang miskin semakin tak berdaya.

Ketidakadilan dalam memperoleh akses pendidikan bagi kalangan miskin menjadi semakin besar ketika jumlah kursi sekolah yang ada ternyata lebih kecil dibandingkan para lulusan yang semestinya melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Akibatnya, sekolah (negri dan swasta) semakin berlomba menarik dana dari orang tua dengan memanfaatkan rasa khawatir atas terbatasnya jumlah sekolah yang ada.

Situasi pendidikan seperti ini sangat kontraproduktif dengan usaha-usaha untuk konsolidasi demokrasi. Tanpa adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga untuk mengenyam pendidikan, di mana negara semestinya menjamin hak-hak dasar ini, sekolah kita menjadi semakin elitis dan antidemokrasi. Sebab bukannya persamaan yang kita perjuangkan, melainkan diseminasi perbedaan dan ketimpangan.

Usaha untuk konsolidasi demokrasi hanya bisa mungkin dimulai dengan menciptakan sebuah sekolah yang sungguh memiliki otonomi.

Dua sasaran

Sekolah yang memiliki visi otonomi dalam masyarakat demokratis semestinya mengarahkan diri pada dua sasaran yang semestinya berjalan secara seimbang.

Pertama, otonomi pendidikan semestinya memusatkan kinerja dan perhatiannya terutama pada dan bagi anak didik. Instansi yang terlibat dalam kerangka pendidikan, seperti, sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat, merupakan sebuah jaringan demi tujuan formasi anak didik. Karena itu, program pendidikan yang diusulkan, sistem kurikulum yang ditawarkan, penganggaran pendapatan dan belanja sekolah semestinya diarahkan pada satu tujuan bersama yaitu proses pembentukan (formasi) anak didik.

Otonomi pendidikan baru akan memiliki arti ketika anak didik mampu bertumbuh, berkembang dan menyempurnakan diri melalui akuisisi pengetahuan, pembiasaan perilaku baik, pemahaman nilai, pembentukan karakter, yang disertai dengan rasa solidaritas dan kebebasan yang bertanggungjawab, bagi perkembangan diri sendiri maupun bagi kebaikan orang lain. Hanya melalui visi ini, otonomi pendidikan mampu menciptakan suasana demokratis yang membantu melahirkan warga negara yang terbuka dan mampu bekerja sama demi kebaikan bersama.

Kedua, otonomi sekolah merupakan sebuah sintesis antara kebijakan makro (visi dan kebijakan Menteri Pendidikan tentang Tujuan pendidikan nasional dan perangkat praktis ke arah sana), dan kebijakan mikro (sistem organisasi sekolah, pengayaan kurikulum, tanggungjawab sekolah atas program formasi, dll). Dalam level mikro inilah orang tua sungguh-sungguh dilibatkan dalam proses formasi anak didik dengan memberikan masukan, usulan dalam program kurikuler yang dipilih dan ditawarkan oleh sekolah. Orang tua semestinya menjadi partner dalam proses formasi anak didik. Di sini komunikasi pendidikan dan transparansi dijiwai dengan semangat demokratis, keterbukaan, disertai dengan kepekaan akan kebutuhan masyarakat lokal.

Komunikasi pendidikan yang memperhatikan berbagai dimensi relasional antara pihak-pihak yang terkait dengan proses formasi (orang tua, pendidik, sekolah, masyarakat, dll) merupakan jalinan relasional kompleks yang saling menghargai otonomi serta peran serta masing-masing dalam kerangka pendidikan.

Karena itu, otonomi pendidikan tidak sekedar dipahami dari kacamata ekonomis yang menjadikan orang tua, dalam relasinya dengan lembaga pendidikan sekedar sebagi obyek penarikan dana, melainkan juga melibatkan dimensi partisipatif (kesinambungan pendampingan orang tua pada anak didik pasca-sekolah), komunikatif (sistem kontrol dan propositif atas transparansi keuangan dan perencanaan program formatif sekolah), konsiliatif (keterbukaan untuk menerima masukan dari masyarakat berkaitan dengan program pendidikan yang ditawarkan).

Sekolah yang memiliki otonomi, jika dipahami lewat kaca mata seperti ini akan menjadi pembaharu dalam arti yang sesungguhnya, dan menghilangkan tiga jenis penyakit pendidikan yang muncul dalam konteks pendidikan terpusat (sentralistis), seperti, inefisiensi (buang banyak uang dan tidak produktif), kemandulan produksi (dalam arti menjadi mesin yang memproduksi kekosongan, menghasilkan pemahaman pengetahuan yang tidak mendalam, pemborosan otak anak didik), serta anti demokrasi (tidak adanya kesempatan menerima pendidikan yang sama, drop out karena miskin, konsep tentang anak didik yang abstrak dan jauh dari lingkungan).

Otonomi pendidikan jika dipahami secara sempit sekedar sebagai sebuah otonomi (=kesewenangan) dalam menarik dana dari masyarakat pada gilirannya akan menjadi bumerang bagi dunia pendidikan itu sendiri.

Mengingat nilai-nilai demokrasi yang dipertaruhkan, dalam sistem pendidikan yang elitis dan sektarian seperti ini, pemerintah perlu mengusahakan dijaminnya hak-hak kaum miskin untuk tetap dapat mengenyam pendidikan yang dalam sistem pendidikan sekarang ini semakin tersingkirkan dari dunia pendidikan.

Mengharapkan anak didik untuk menjadi ‘aktor’ dalam lingkup budaya yang dihidupinya, memimpikan otonomi pendidikan yang memiliki jiwa demokratis kiranya sebuah usaha yang tak pernah boleh berhenti kita usahakan.

Doni Koesoema, A Penulis adalah mahasiswa jurusan ilmu pendidikan dan pengembangan profesional Universitas Salesian, Roma.

Monday 21 September 2009

Kemartiran Sebagai Pedagogi Rohani

Senin 10 Oktober 2005
Doni Koesoema, A

Terorisme di Indonesia pada kenyataannya bukan merupakan karakter bangsa Indonesia melainkan lebih merupakan konflik politik dan ekonomi yang mempergunakan agama dan memanfaatkan orang-orang beriman. Analisis K.H. Hasyim Muzadi dalam seminar Islam in a pluralistic Society, yang diadakan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Tahta Suci Vatikan (KBRI-TSV) di auditorium Yohanes Paulus II, Universitas Kepausan Urbaniana, Roma,(30/9), mengingatkan kita betapa kecerobohan dalam menggeneralisir akar permasalahan terorisme bisa berakibat fatal dalam kerangka membangun dialog persaudaraan antar umat beriman, terlebih lagi dalam menakar kesejatian pengalaman iman.

K.H.Hasyim Muzadi juga menegaskan bahwa persentase kelompok teroris dibandingkan dengan umat beriman yang memiliki kehendak baik untuk membangun persaudaraan sejati sangatlah kecil. Demikian juga Rm. Thomas Michel sebagai anggota dewan penasehat kepausan untuk urusan dialog antar agama, misalnya, memaparkan bahwa sejak reformasi 1998 telah hadir sekitar 465 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), baik lokal maupun internasional yang bekerja dalam membangun perdamaian di daerah konflik (peacebuilding Ngo’s) yang memiliki ciri lintas agama.

Karena itu, konflik yang menciptakan teror yang bermula dari sikap salah interpretasi, baik atas ajaran agama maupun simbol agama, merupakan bagian yang kecil saja yang kadang tidak selalu menghadirkan teror. Namun yang signifikan, ujar K.H. Hasyim Muzadi, adalah ketika salah tafsir dan penyalahgunaan agama dan simbol agama ini berbenturan dengan kepentingan politik, ketidakadilan, rendahnya mutu pendidikan, kemiskinan dan ketidakadilan ekonomi.

Selama para politisi masih berkelahi untuk mempertahankan kekuasaannya, alih-alih mempergunakan kewenangan untuk melayani rakyat, selama keadilan tak dapat ditemukan di pengadilan, selama dunia pendidikan ditelantarkan, negeri kita akan menjadi sekam membara yang mudah disulut kelompok teroris untuk menghanguskan keberadaban negeri ini.

Bom bunuh diri jilid II di Bali mengingatkan kita betapa ternyata pedagogi rohani yang keliru dalam memaknai kemartiran bisa berakibat fatal bagi keberlangsungan hidup manusia. Dalam sebuah negara yang sistem keamanannya masih kedodoran seperti di negeri kita, di mana di setiap tempat para teroris bisa berpesta pora dan melakukan aksinya tanpa perlu melukai diri sendiri, di mana kaum teroris dengan mudah melancarkan aksinya tanpa halangan ketatnya penjagaan petugas keamanan, bom bunuh diri di Bali hanya menyiratkan satu pesan : keyakinan iman akan kemartiran itu telah ada pada level personal yang tak bisa dibendung oleh satu instansi manapun! Membunuh semakin banyak orang seolah sebuah keyakinan integral akan keselamatan. Seolah ingin mengatakan bahwa baik pengebom maupun korban adalah jiwa-jiwa yang mati syahid, sehingga layak langsung menerima mahkota surgawi. Betapa ironisnya pedagogi kerohanian seperti ini.

Pedagogi rohani

Pedagogi macam apa yang bisa diwariskan dan ditanamkan pada anak didik kita dalam situasi seperti ini?

Dalam masyarakat yang mengakui keesaan Tuhan sebagai sang sumber hidup, anak didik semestinya belajar memahami bahwa kemartiran sesungguhnya merupakan ekpresi terdalam sebuah keyakinan iman yang fondasi utamanya adalah penghargaan atas hidup itu sendiri. Kemartiran sejati bukanlah bom bunuh diri yang mengajak orang lain mati suci, seolah diri adalah Tuhan, sang penentu hidup mati orang lain. Kemartiran sejati adalah kesediaan untuk memberikan diri secara total bagi berlangsungnya kehidupan orang lain secara pribadi maupun sebagai sebuah masyarakat.

Kemartiran Riyanto, pemuda NU yang menyelamatkan umat kristen yang sedang beribadah, kemartiran Romo Dewanto yang melindungi jemaat di Gereja Suai, Timor-Timur, kemartiran Munir sang pembela orang-orang hilang, dll, merupakan contoh kemartiran lokal yang sesungguhnya menjadi saksi bahwa kemartiran otentik seperti ini dapat terwujud di negeri kita dan bukanlah impian semata. Teladan kemartiran seperti ini bukanlah sebuah ide di atas awang-awang yang tidak memiliki relevansi dan dampak berhadapan dengan berbagai macam krisis multi dimensi yang dihadapi oleh bangsa kita.

Bagi sebuah masyarakat yang semakin beradap, memupuk sebuah keyakinan dalam diri setiap anak didik bahwa nilai-nilai luhur religiusitas, seperti pengorbanan diri, jerih payah dan pelayanan total demi kepentingan orang banyak, kejujuran, belaskasih, pengampunan, merupakan bagian dari keluhuran nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya masih ada, masih relevan, dan masih dapat diraih dalam menciptakan sebuah masyarakat yang semakin menghargai kemartabatan setiap orang sebagai sesama ciptaan Tuhan.

Pembela kehidupan

Tepatlah, jika K.H. Hasyim Muzadi mengatakan bahwa terorisme bukanlah karakter bangsa kita. Jika terorisme akhir-akhir ini mencoreng muka kita sehingga kita menjadi bangsa yang tidak memiliki kepribadian, atau malahan dicap sebagai bangsa yang menyemai teroris, mungkin baik jika kita kembali bercermin pada para pahlawan kemanusiaan, para martir kita seperti Riyanto, Romo Dewanto, Munir, dan masih banyak lagi yang menjalani kemartiran tersembunyi yang tak perlu secara gegap gempita dirayakan sebab hidup manusia itu sendiri akan menjadi saksi paling jujur atas kesahihan kemartiran seseorang.

Teladan para pembela hidup dan kemartabatan manusia ini semestinya menjadi pedagogi rohani bagi setiap orang dalam memurnikan keaslian pengalaman imannya dalam masyarakat yang mengakui keesaan Tuhan, di mana keadilan dan keberadaban manusia merupakan jaminan nyata dan bukti dihargainya keluhuran hidup manusia itu sendiri di hadapan Tuhan dan sesama. Semoga!

Doni Koesoema, A. Penulis adalah mahasiswa jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma.

Gereja dan Demokrasi

Kompas, Selasa, 15 April 2005
Doni Koesoema A

“Gereja, lembaga karismatis per eccellenza, mengadopsi metode yang lebih demokratis untuk memilih pemimpinnya.” Demikian salah satu komentar yang dikutip dari harian Avenire (17/4) untuk memaparkan salah satu fakta paling menonjol dalam konklaf pertama di millenium ketiga.

Masuknya ide-ide demokratis yang ditetapkan secara transparan melalui Konstitusi Apostolis Universi Dominici Gregis (UDG) (22 februari 1996) ini tak lepas dari sentuhan tangan almarhum Paus Yohanes Paulus II yang telah memperbaharui proses dan prosedur pemilihan penggantinya secara jelas.

Pada artikel no.62, almarhum Yohanes Paulus II menghapus cara pemilihan secara aklamasi atau berdasarkan inspirasi (per acclamationem seu inspirationem) atau proses pemilihan berdasarkan kompromi (per compromissum). Ia menegaskan bahwa “Proses pemilihan Paus sekarang ini dan kemudian hari akan ditentukan secara unik melalui pemungutan suara (per scrutinium)” di mana keabsahan pemilihan Paus akan ditentukan melalui terpenuhinya dua pertiga suara berdasarkan jumlah (kardinal) pemilih yang hadir.

Memperoleh 2/3 suara dari 115 kardinal tanpa melalui saat-saat kampanye tentu pekerjaan yang tidak mudah. Terlebih dengan adanya kebijakan isolasi total para kardinal selama konklaf sehingga mereka tidak memiliki satu kontakpun dengan dunia luar, baik melalui koran, televisi, radio, dan alat komunikasi lainnya sampai mereka memilih penerus tahta Santo Petrus yang ke 265.

Di tengah terabasan simoni (politik uang), di tengah hamburan janji palsu yang kerap keluar dari mulut para kandidat politik menjelang pemilihan, Gereja Katolik, menawarkan kepada dunia suatu alternatif demokrasi melalui struktur dan sistem kelembagaan yang dimilikinya selama hampir 20 abad yang terbukti bisa proaktif dan sigap dalam menyesuaikan derap dan arus jaman.

Pemilihan pemimpin yang demokratis tidak lagi ditentukan bukan melalui aklamasi sehingga siapa yang bersuara keras mampu menggiring suara mayoritas. Juga tidak melalui intuisi di mana model ‘kira-kira’ atau ‘senang tidak senang’ menjadi bahan pertimbangan. Bukan pula berdasarkan kompromi atau bagi-bagi kue kekuasaan. Demokrasi model inilah yang ingin disingkirkan Almarhum Paus Yohanes Paulus II dalam proses pemilihan penggantinya.

Demokrasi yang ada dalam benak Yohanes Paulus II merupakan penggabungan antara pilihan rasional real seluruh pemilih dan pilihan spiritual personal berdasarkan intuisi hati serta kesadaran nurani bening. Hanya dengan cara seperti inilah proses demokrasi selama konklaf mampu memilih pemimpin yang berjiwa melayani, tanggap akan situasi jaman, kokoh di tengah badai persoalan di setiap jaman.

Strategi vatikan

Untuk menghasilkan output pemimpin ideal Vatikan memiliki strategi demokrasi yang agak khas. Strategi ini merupakan proses-proses dan tata cara yang menghantar setiap kandidat berada dalam situasi fisik, batin dan rohani yang dewasa dalam melakukan pemilihan.

Strategi itu antara lain. Pertama, kegiatan selama masa berkabung. Pada masa ini para kandidat memiliki kesempatan untuk secara bersama-sama mendiskusikan situasi aktual Gereja serta tantangannya pada masa kini, tanpa satupun mengacu pada nama-nama. Ini sekaligus untuk memperkuat sensibilitas kegembalaan universal yang mesti disandang dengan wafatnya Paus sebelumnya.

Kedua, kerahasiaan dalam seluruh proses. Setiap pihak yang terlibat dalam proses konklaf, entah secara langsung maupun tidak langsung dituntut untuk mengucapkan janji dan sumpah untuk tidak membocorkan berbagai macam informasi yang diterima sebelum maupun selama proses konklaf berlangsung.

Ketiga, setiap tindakan pembocoran atas rahasia, penyadapan, usaha suap, dikenakan hukuman ekskomunikasi secara otomatis (latae sententiae) di mana hukuman atau pelepasan atasnya hanya dapat diberikan oleh Paus yang akan terpilih.

Keempat, iklim spiritual yang mendukung berupa perayaan ritus peribadatan selama konklaf. Iklim spiritual sudah dimulai pada hari pertama masa berkabung yang diawali dengan perayaan ekaristi pemakaman Paus. Selam konklaf juga disediakan Imam yang menerima pengakuan dari para kardinal yang akan memilih Paus.

Kelima, kebijakan extra omnes. Pada hari pertama kardinal memasuki Kapel Sistina untuk memulai proses pemilihan, diserukan agar semua hal lain yang tidak ada kepentingan dengan proses konklaf ditinggalkan, termasuk pamrih, kepentingan, dan agenda pribadi. Extra omnes ini ditandai dengan isolasi total komunikasi antara cardinal pemilih dengan dunia luar.

Karena itu, selama proses pemilihan para kardinal tidak diperkenankan berhubungan dengan dunia luar, selain berkanjang dalam doa untuk memilih Paus yang dikehendaki Allah bagi penggembalaan Gereja Universal. Tidak ada kontak telpon, koran, radio, televisi, dan bahkan tempat sekitar kapel Sistina telah diblokir sehingga telpon genggam tidak berfungsi.

Strategi inilah yang membuat proses demokratisasi pemilihan Paus menjadi begitu istimewa. Karena itu, model pemilihan pemimpin seperti ini bisa dijadikan alternatif model pemilihan secara demokrasi. Sebuah proses demokrasi yang tidak sekedar mempersyaratkan kejernihan moral para calon pemimpin, lebih dari itu, keyakinan iman bahwa panggilan menjadi pemimpin tak lain adalah sebuah pelayanan bagi kemanusiaan yang dipercayakan Tuhan kepadanya.

Fenomena dan praksis demokrasi seperti ini bukan sekedar menjadi bukti bahwa Gereja merupakan sebuah lembaga kharismatis per eccellenza yang tidak sekedar latah dalam memaknai praksis demokrasi, melainkan sebuah komunitas yang para petingginya peka dalam membaca tanda-tanda jaman, yang di lubuk hati dan jiwanya selalu bergema seruan bahwa kekuasaan itu bukan untuk kesewenangan, melainkan demi kemaslahatan kemanusiaan.

Doni Koesoema, A penulis adalah mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma.

Pendidikan Keagamaan