Tuesday 4 December 2018

Pendidikan Keagamaan


Oleh Doni Koesoema A.
 
Naskah Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan begitu tersiar ke publik langsung menuai pro dan kontra. RUU terkesan dipaksakan. Ada apa di balik RUU ini?

Urgensi sebuah UU bisa dilihat dari bagian pertimbangannya. Pertama, RUU ini dibuat untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia warga Negara melalui Pendidikan Keagamaan dan penyelenggaraan Pesantren.

Kedua, RUU ini berasumsi bahwa selama ini masih ada ketimpangan pada aspek pembiayaan, dukungan sarana dan prasarana, sumber daya manusia bermutu, dan kurangnya keberpihakan Negara terhadap pesantren dan pendidikan keagamaan.

Ketiga, pengelolaan pesantren dan pendidikan keagamaan belum mengakomodasi perkembangan, aspirasi dan kebutuhan masyarakat, serta pengaturan hukumnya belum komprehensif.

Intervensi Negara

Dari dasar pertimbangan ini jelas bahwa RUU ini memiliki visi sangat spiritual, yaitu membentuk keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia. Bahwa Negara mendorong warga negaranya untuk menjadi warga Negara yang memiliki kerohanian kuat, beriman, bertakwa dan memiliki akhlak mulia jelas sebuah keharusan. Namun, ketika Negara mulai mengatur bagaimana cara-cara warga Negara menjadi orang yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia, menentukan apa yang harus dipelajari agar individu menjadi pemimpin dan pemuka agama, di sini mulai muncul masalah. Sejauh mana kewenangan Negara dalam mencampuri urusan individual personal keimanan dan ketakwaan warga negaranya, dan kewenangan yang menjadi urusan lembaga agama?

Mengingat peranan pesantren dan pendidikan keagamaan sangat penting, dan diakui bahwa dalam sejarah pesantren telah berjasa bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia, maka pengaturan tentang pesantren sebaiknya mengatur tentang penyelenggaraannya sebagai organisasi atau lembaga, bukan masuk pada detail tentang berbagai mata pelajaran yang harus dipelajari para santri. Demikian juga berlaku bagi peserta didik dalam pendidikan keagamaan yang menjadi kewenangan lembaga agama.

Dalam konteks keindonesiaan terkini, di mana ancaman radikalisme begitu tinggi, dan dalam beberapa penelitian ancaman ini masuk melalui pesantren maupun pendidikan keagamaan, maka sebaiknya RUU ini mengikat para pelaku dan lembaga pendidikan pada keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mendasarkan diri pada Pancasila.

Sayangnya, dalam RUU ini, kata Pancasila hanya disebut sekali. Ini pun hanya terdapat pada bagian penjelasan, terutama pada penjelasan umum, ketika menjelaskan kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah dalam membina penyelenggaraan pendidikan keagamaan saja, tidak termasuk Pesantren.

Dalam asas-asas yang dipakai untuk menyelenggarakan Pesantren dan Pendidikan Keagamaan, salah satunya disebutkan tentang asas kebangsaan (pasal 2 butir b). Namun, dalam penjelasan tentang asas kebangsaan ini, tidak dijelaskan secara eksplisit maksudnya dalam konteks keindonesiaan. Dalam butir penjelasan pada pasal ini hanya dijelaskan bahwa “penyelenggaraan Pesantren dan Pendidikan Keagamaan dilaksanakan untuk memupuk jiwa cinta tanah air dan bela Negara”. Penjelasan pasal ini tidak secara eksplisit menyebutkan cinta tanah Indonesia, dan bela Negara Indonesia.

Pada pertimbangan kedua, persoalannya lebih jelas dipahami. Visi RUU ini sangat material, yaitu akan berakibat bahwa Negara wajib mengeluarkan anggaran untuk penyelenggaran Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. Keberpihakan Negara terhadap Pesantren dan Pendidikan Keagamaan dalam pembiayaan dirasakan kurang.

Konsekuensi Anggaran

Pertimbangan pada butir kedua memiliki konsekuensi anggaran pendidikan yang tidak sedikit. Menurut RUU ini, Negara wajib mengeluarkan anggaran untuk pembiayaan penyelenggaraan Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. Konsekuensi ini perlu dipertimbangkan secara lebih serius mengingat anggaran pendidikan kita terbatas. Jika RUU ini lolos, porsi 20 persen anggaran pendidikan dari APBN tetap, namun pos untuk pembagian anggaran pendidikan menjadi bertambah. Karena itu, pasti akan ada pengurangan pada postur anggaran pendidikan di tempat lain.

Pengakuan penyelenggaraan pendidikan pesantren dan pendidikan keagamaan yang sejajar dengan pendidikan formal lain akan berkonsekuensi bahwa para santri dan peserta didik pendidikan keagamaan yang ikut dalam pendidikan formal akan memperoleh Bantuan Operasional Sekolah (BOS), para guru dan tenaga pendidikan di pesantren bisa memperoleh tunjangan sertifikasi, dan perlunya pengeluaran anggaran pendidikan untuk tersedianya sarana dan prasarana pendidikan Pesantren dan Pendidikan Keagamaan.

Sebagai simulasi, bila untuk para santri saja kita asumsikan jumlahnya sekitar 4 juta, dan mereka mendapatkan dana BOS sebesar 1 Juta rupiah per tahun, maka harga RUU ini 4 Triliun rupiah untuk penyelenggaraan pesantren dan pendidikan keagamaan. Ini belum termasuk pembiayaan lain. Konseksuensi dari RUU ini dari sisi anggaran berat. Karena akan memengaruhi peningkatan kualitas pendidikan secara umum.

Tentu kita senang bahwa para santri secara khusus memperoleh dukungan pembiayaan dari Negara agar dapat berkembang. Demikian juga para santri, guru agama, katekis, yang selama ini hanya memperoleh honor dari lembaga keagamaan, yang seringkali ala kadarnya saja, sekarang bisa memiliki potensi memperoleh honor dan tunjangan sertifikasi dari Negara. Namun, konsekuensi dari sisi pengeluaran anggaran pendidikan perlu dipertimbangkan secara serius.

Dengan RUU ini, Negara mengeluarkan anggaran besar untuk mengelola Penyelenggaraan Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. Namun, pasal-pasal yang memberikan kewenangan pada Negara untuk membina dan mengembangkan Pesantren dan Pendidikan Keagamaan sangat kecil, bahkan tidak dibahas secara rinci.

Negara memiliki kepentingan bahwa penyelenggaraan Pesantren memiliki visi rahmatan lil alamin, dididik oleh para kiai dan guru agama yang kuat semangat nasionalisme, dan Pendidikan Keagamaan yang dikelola melahirkan peserta didik yang cinta Indonesia. Sayangnya, berbagai kewenangan untuk pembinaan Pesantren dan Pendidikan Keagaamaan ini tidak secara jelas dijabarkan dalam pasal-pasal RUU. Jadi, biaya besar tidak disertai kewenangan efektif Negara dalam memastikan penyelenggaraan Pesantren dan Pendidikan Keagamaan tidak bertentangan dengan ideologi bangsa.

Tidak Sinkron

Pada butir pertimbangan ketiga, terkait dengan sinkronisasi hukum yang mengatur penyelenggaraan Pesantren dan Pendidikan Keagamaan, terdapat potensi tumpang tindih dan tidak sinkron terkait konsep Pendidikan Keagamaan.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah secara khusus mengatur tentang Pendidikan Keagamaan. Dalam UU ini disebutkan bahwa Pesantren termasuk di dalam kelompok Pendidikan Keagamaan. Pada pasal 30 ayat 4 dinyatakan bahwa “pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.” Lebih lanjut, tentang pendidikan keagamaan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah. Tidak ada amanat membuat Undang-Undang terkait Pesantren.

Namun, dalam RUU ini, Pesantren dianggap bukan sebagai bentuk Pendidikan Keagamaan. Padahal, dari definisi yang diberikan tentang Pendidikan Keagamaan, Pesantren seharusnya masuk dalam definisi Pendidikan Keagamaan. Jika per definisi sebenarnya Pesantren adalah salah satu bentuk Pendidikan Keagamaan, mengapa nama RUU ini adalah tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan, bukankah akan lebih baik disebut RUU Pendidikan Keagamaan di mana tentang Pesantren juga diatur di dalamnya?

UU Sisdiknas mengamanatkan bahwa Pendidikan Keagamaan, termasuk di dalamnya Pesantren, diatur dalam Peraturan Pemerintah, bukan diatur dalam Undang-Undang. Karena itu, RUU ini menjadi tumpang tindih dengan konsep Pendidikan Keagamaan sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas.

Konsep Pendidikan Keagamaan yang diacu pada RUU ini juga memiliki perbedaan dengan konsep Pendidikan Keagamaan dalam UU Sisdiknas. Bila dalam UU Sisdiknas, konsep Pendidikan Keagamaan adalah pendidikan umum plus berciri keagamaan, seperti Madrasah, dan sekolah lain sejenis, dalam RUU ini Pendidikan Keagamaan dipahami sebagai pendidikan keagamaan plus beberapa mata pelajaran nasional (kurikulum nasional sekedar sebagai tambahan saja). Namun, secara legal, ijasah yang diperoleh peserta didik dalam lembaga pendidikan yang dikelola Pesantren dan Pendidikan Keagamaan dianggap setara dengan pendidikan umum, meskipun isi kurikulumnya sangat berbeda. Dua konsep ini sangat berbeda, kualifikasi dan kompetensinya pun sangat berbeda sehingga tidak bisa disamakan.

Persoalan tentang keterkaitan RUU ini dengan Pancasila, konsekuensi anggaran, intervensi Negara pada urusan lembaga pendidikan, dan rancunya konsep Pendidikan Keagamaan dalam konstelasi Undang-Undang yang sudah ada, kiranya perlu mendapatkan perhatian serius dari anggota dewan dan masyarakat Indonesia.

Membentuk karakter warga Negara yang beriman, bertakwa, bermoral, memang penting. Namun Negara perlu memahami keterbatasannya saat mengurusi hak-hak individu warga Negara dalam mengembangkan iman dan ketakwaannya, dan terutama Negara perlu menghargai peranan lembaga keagaamaan yang memiliki kewenangan mengelola Pendidikan Keagamaan.

Doni Koesoema A. Pemerhati Pendidikan dan Pengajar di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong.

Opini dimuat di KOMPAS, 15 November 2018

Pendidikan Keagamaan