Meski UN tidak lagi penentu
kelulusan, masih ada siswa yang khawatir UN memengaruhi nilai ijazah
24 April
2015 15:15 Wheny Hari Muljati Pendidikan
“Selama UN, di kelas saya banyak
peserta ujian yang menyontek”. Ken, seorang siswa kelas XII sebuah sekolah
menengah atas (SMA) swasta di kawasan Bekasi, Jawa Barat, mengatakan hal ini
kepada SH beberapa hari setelah penyelenggaraan UN untuk tingkat SMA/MA/SMK
2015.
Ia menuturkan, sesaat setelah UN berlangsung, ia merasa heran karena ada beberapa temannya yang mengaku mendapat soal UN. Ada pula yang mengaku telah memiliki kunci jawabannya.
“Ada teman yang bilang sampai pergi ke Bandung untuk mencari kunci jawaban,” tutur Ken.
Ia mengatakan, teman-teman di sekolahnya sebenarnya telah mengetahui bahwa tahun ini UN tidak lagi menentukan kelulusan dari sekolah. Namun, ia menduga sebagian teman-temannya khawatir apabila nilai UN tidak bagus akan memengaruhi nilai ijazah.
Ken mengungkapkan, seingatnya ada aturan yang menyebutkan bahwa 70 persen nilai sekolah plus 30 persen nilai UN sama dengan nilai kelulusan yang tertera di ijazah. “Jadi, hasil UN memengaruhi nilai ijazah. Kalau nilai UN jelek, nilai ijazah kan jadi jelek juga,” ucap Ken.
Ken berpandangan, lebih baik mempunyai nilai jelek tapi jujur, ketimbang mendapatkan nilai bagus tapi menyontek. Namun, ia menyayangkan pengawas yang bertugas di kelasnya justru membiarkan saat mengetahui ada seorang temannya yang menyontek.
“Sudahlah, Ken, cuma satu nomor saja,” kata Ken mengutip kata-kata pengawas tersebut saat ia menegur temannya agar tidak menyontek.
Ken menyebutkan, ia sedikit terhibur saat mendapatkan informasi bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyatakan mampu menganalisis kejujuran atau integritas hingga ke tingkat individu peserta UN.
Menurun Signifikan
Lembaga Ombudsman Republik Indonesia (ORI) masih terus menghimpun laporan dari berbagai daerah terkait pengaduan kecurangan selama penyelenggaraan UN 2015. Anggota Bidang Pengaduan dan Penyelesaian Laporan ORI, Budi Santoso mengatakan, jumlahnya menurun signifikan.
“Saya janji presentasi hasil rekapitulasi 26 April. Namun, saya bisa pastikan tahun ini ada penurunan signifikan. Hanya belum bisa kami simpulkan persentasenya,” tutur Budi.
Sementara itu, Dewan Pertimbangan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Doni Koesoema Albertus mengungkapkan, UN sebaiknya hanya untuk pemetaan. Ia berpendapat, hasil UN yang masih dijadikan syarat masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, berpotensi mendorong timbulnya kebocoran dan kecurangan-kecurangan di kalangan siswa dan sekolah.
Ia mengakui, ketegangan UN tahun ini memang jauh berkurang ketimbang tahun-tahun sebelumnya.
Pertanyakan Indeks Integritas
Doni berpendapat, konsep indeks integritas yang dikemukakan Kemendikbud terkait UN harus berdasarkan pada teori, metode, dan tujuan yang jelas. Ia mengutarakan, selama ini belum ada satu teori pun yang valid mengukur semua masalah integritas.
Menurutnya, Kemendikbud sebaiknya menjelaskan secara terbuka kerangka teori siapa yang dipakai untuk mengukur indeks integritas individu tersebut. “Metode dan teori harus transparan karena menyangkut kepentingan publik,” ujar Doni.
Menurutnya, transparansi penting karena Kemendikbud menggunakan data UN lima tahun terakhir, yang notabene menggunakan soal hingga 20 varian. Doni berpendapat, apabila mau menanamkan kejujuran, sikap tersebut harus dimulai dari kementerian sendiri.
Ia mengingatkan, Kemendikbud harus jujur dan transparan soal indeks integritas karena indeks tersebut bakal memengaruhi sekolah, siswa, dan orang tua siswa.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Pusat Penelitian Pendidikan (Puspendik), Prof Nizam, menjamin Kemendikbud akan transparan soal indeks integritas. Menurutnya, Puspendik telah menganalisis data UN SMA selama lima tahun terakhir. Namun, Puspendik tidak dapat membagikan data tersebut ke publik karena menyangkut data pribadi sekolah dan siswa.
“Kami tidak bisa membuka ke publik karena data itu dilindungi Undang-Undang Kebebasan Informasi Publik (UU KIP),” ujar Nizam.
Ia membenarkan hasil analisis Puspendik bisa sampai ke tingkat individu setiap siswa. Metode analisis yang digunakan, menurutnya dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Ia berharap hasil analisis tersebut dapat dimanfaatkan perguruan tinggi negeri (PTN). Jadi, PTN dapat memilih siswa yang jujur dan pekerja keras sebagai mahasiswa mereka.
Sumber : Sinar Harapan
Ia menuturkan, sesaat setelah UN berlangsung, ia merasa heran karena ada beberapa temannya yang mengaku mendapat soal UN. Ada pula yang mengaku telah memiliki kunci jawabannya.
“Ada teman yang bilang sampai pergi ke Bandung untuk mencari kunci jawaban,” tutur Ken.
Ia mengatakan, teman-teman di sekolahnya sebenarnya telah mengetahui bahwa tahun ini UN tidak lagi menentukan kelulusan dari sekolah. Namun, ia menduga sebagian teman-temannya khawatir apabila nilai UN tidak bagus akan memengaruhi nilai ijazah.
Ken mengungkapkan, seingatnya ada aturan yang menyebutkan bahwa 70 persen nilai sekolah plus 30 persen nilai UN sama dengan nilai kelulusan yang tertera di ijazah. “Jadi, hasil UN memengaruhi nilai ijazah. Kalau nilai UN jelek, nilai ijazah kan jadi jelek juga,” ucap Ken.
Ken berpandangan, lebih baik mempunyai nilai jelek tapi jujur, ketimbang mendapatkan nilai bagus tapi menyontek. Namun, ia menyayangkan pengawas yang bertugas di kelasnya justru membiarkan saat mengetahui ada seorang temannya yang menyontek.
“Sudahlah, Ken, cuma satu nomor saja,” kata Ken mengutip kata-kata pengawas tersebut saat ia menegur temannya agar tidak menyontek.
Ken menyebutkan, ia sedikit terhibur saat mendapatkan informasi bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyatakan mampu menganalisis kejujuran atau integritas hingga ke tingkat individu peserta UN.
Menurun Signifikan
Lembaga Ombudsman Republik Indonesia (ORI) masih terus menghimpun laporan dari berbagai daerah terkait pengaduan kecurangan selama penyelenggaraan UN 2015. Anggota Bidang Pengaduan dan Penyelesaian Laporan ORI, Budi Santoso mengatakan, jumlahnya menurun signifikan.
“Saya janji presentasi hasil rekapitulasi 26 April. Namun, saya bisa pastikan tahun ini ada penurunan signifikan. Hanya belum bisa kami simpulkan persentasenya,” tutur Budi.
Sementara itu, Dewan Pertimbangan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Doni Koesoema Albertus mengungkapkan, UN sebaiknya hanya untuk pemetaan. Ia berpendapat, hasil UN yang masih dijadikan syarat masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, berpotensi mendorong timbulnya kebocoran dan kecurangan-kecurangan di kalangan siswa dan sekolah.
Ia mengakui, ketegangan UN tahun ini memang jauh berkurang ketimbang tahun-tahun sebelumnya.
Pertanyakan Indeks Integritas
Doni berpendapat, konsep indeks integritas yang dikemukakan Kemendikbud terkait UN harus berdasarkan pada teori, metode, dan tujuan yang jelas. Ia mengutarakan, selama ini belum ada satu teori pun yang valid mengukur semua masalah integritas.
Menurutnya, Kemendikbud sebaiknya menjelaskan secara terbuka kerangka teori siapa yang dipakai untuk mengukur indeks integritas individu tersebut. “Metode dan teori harus transparan karena menyangkut kepentingan publik,” ujar Doni.
Menurutnya, transparansi penting karena Kemendikbud menggunakan data UN lima tahun terakhir, yang notabene menggunakan soal hingga 20 varian. Doni berpendapat, apabila mau menanamkan kejujuran, sikap tersebut harus dimulai dari kementerian sendiri.
Ia mengingatkan, Kemendikbud harus jujur dan transparan soal indeks integritas karena indeks tersebut bakal memengaruhi sekolah, siswa, dan orang tua siswa.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Pusat Penelitian Pendidikan (Puspendik), Prof Nizam, menjamin Kemendikbud akan transparan soal indeks integritas. Menurutnya, Puspendik telah menganalisis data UN SMA selama lima tahun terakhir. Namun, Puspendik tidak dapat membagikan data tersebut ke publik karena menyangkut data pribadi sekolah dan siswa.
“Kami tidak bisa membuka ke publik karena data itu dilindungi Undang-Undang Kebebasan Informasi Publik (UU KIP),” ujar Nizam.
Ia membenarkan hasil analisis Puspendik bisa sampai ke tingkat individu setiap siswa. Metode analisis yang digunakan, menurutnya dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Ia berharap hasil analisis tersebut dapat dimanfaatkan perguruan tinggi negeri (PTN). Jadi, PTN dapat memilih siswa yang jujur dan pekerja keras sebagai mahasiswa mereka.
Sumber : Sinar Harapan