Showing posts with label Profesionalisme Guru. Show all posts
Showing posts with label Profesionalisme Guru. Show all posts

Saturday 15 November 2014

Wakil Rektor Unhas yang Nyabu Harus Dipecat!




Jumat, 14 November 2014, 19:46 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Pendidikan Doni Koesoema A. mengatakan, Universitas Hasanuddin (Unhas) harus segera memecat Wakil Rektor III Unhas, Prof Muzakkir dari jabatannya. Kampus harus menerapkan zero tolerance terhadap penggunaan narkoba.

"Unhas harus mau bekerja sama dengan kepolisian untuk menyelidiki kasus narkoba di kampusnya. Kalau sampai ada mahasiswa Unhas yang memakai narkoba mereka juga harus dikeluarkan sebab zero tolerance terhadap narkoba harus ditegakkan," kata Doni di Jakarta, Jumat, (14/11).

Zero tolerance, tutur dia, terhadap narkoba harus ditegakkan untuk menghindari universitas atau kampus menjadi sarang narkoba. Kalau kebijakan kampus tidak tegas terhadap narkoba bisa bahaya. Wakil rektor yang menggunakan narkoba merupakan potret Indonesia krisis kepemimpinan.

"Ini sangat mengerikan dan memprihatinkan bagi dunia pendidikan,"katanya.  Kasihan generasi muda harus melihat kenyataan bahwa pemimpin mereka krisis moral dan krisis kepemimpinan.

"Kasus ini harus dituntaskan dengan sungguh-sungguh agar anak-anak kita tidak ikut-ikutan memakai narkoba yang jelas merusak,"ujarnya. Proses hukum dalam kasus yang menimpa rektor ini harus ditegakkan. Diharapkan proses hukum bisa memberikan efek jera dan tidak ditiru oleh pihak lainnya.

Sumber: Republika

Monday 27 October 2014

Ini Dia Penyebab Banyaknya Guru Berkualitas Rendah

Pemerintah diminta segera membatasi jumlah Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK), mengingat jumlahnya yang sudah terlalu banyak. Hal itu dinilai berdampak pada membludaknya jumlah guru, melebihi kuota yang dibutuhkan.

“Itu jadi masalah. Saat ini terdapat sekitar 300 LPTK, jumlah mahasiswanya membengkak sekitar satu juta. Dan tiap tahun menghasilkan lulusan kurang lebih 200 ribu,” kata pemerhati pendidikan Doni Koesoema kepada Geotimes di Jakarta, Jumat (24/10).


Padahal formasi guru yang dibutuhkan tiap tahun adalah 60 ribu tenaga guru, akhirnya terdapat sekitar 350 ribu guru yang menganggur.

“Animo masyarakat yang tinggi terhadap profesi guru, tapi tidak diimbangi dengan peraturan ketat dari pemerintah,” katanya.

Doni menyayangkan, maraknya pendirian LPTK tersebut lantaran tidak diimbangi dengan peraturan ketat dari pemerintah. Ia pun meminta pemerintah agar segera membatasi jumlah LPTK, sampai jumlah guru yang tersedia merata.

Setelah dibatasi jumlahnya, maka pemerintah harus membenahi kualitas LPTK, dengan memperbaiki kualitas dosen, memperketat proses seleksi masuk calon mahasiswa, dan pembenahan kurikulum.

“Materi di kampus saat ini kebanyakan sudah ketinggalan jaman, padahal kurikulum dan metode pengajaran terus berkembang,” katanya.

Menurut dia kualitas dosen di LPTK harus ditingkatkan cara pengajarannya, karena pengajaran dosen yang ada saat ini dinilai ketinggalan jaman.

“Dosen meminta mahasiswanya mengajar dengan interaktif, tapi yang bersangkutan metode mengajarnya menjemukan,” katanya.

Karena dosen berkualitas berpengaruh pada kualitas lulusan calon guru LPTK. Ia menilai, cara mengajarkan guru berasal dari pengalamannya mengikuti pelajaran.

“Kalau waktu mahasiswa diajari dengan cara membosankan, maka ketika mengajarkan pun demikian,” katanya.

Selain itu, LPTK diminta menyeleksi ketat calon mahasiswa yang hendak masuk. Mereka diterima bila pengetahuan dasar seperti IPA, IPS, Matematika di atas nilai 8,” katanya. Seleksi ketat tersebut dibutuhkan agar tersaring mahasiswa yang benar-benar siap menjadi guru.

“Jadi bila kualitas LPTK-nya sudah dibenahi, maka guru yang dihasilkan sesuai dan berkualitas,” katanya.

Seperti dikutip dari laman resmi Universitas Pendidikan Indonesia, disebutkan, LPTK adalah perguruan tinggi penghasil calon guru profesional yang berperan penting pada pembangunan sumber daya manusia Indonesia.

Beberapa kampus yang menyelenggarakan LPTK diantaranya seperti Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Universitas Negeri Jakarta, Jakarta, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Universitas Negeri Semarang, Jawa Tengah, Universitas Negeri Yogyakarta, dan kampus lainnya.[Dika Irawan*]

Sunday 27 September 2009

Radikalisasi Peran Guru

Resensi Buku
KOMPAS, Minggu, 27 September 2009 | 03:12 WIB

M.Musthafa

Data buku

• Judul buku: Pendidik Karakter di Zaman Keblinger: Mengembangkan Visi Guru sebagai Pelaku Perubahan dan Pendidik Karakter
• Penulis: Doni Koesoema A
• Penerbit: Grasindo
• Cetakan: I, 2009
• Tebal: xvi + 216 halaman

Saat sendi bangunan peradaban bangsa terancam berantakan, banyak orang berharap pendidikan dapat menjadi penyelamat. Guru kemudian menjadi aktor kunci untuk menjadi pelaksana misi penyiapan generasi bangsa yang tangguh. Lalu, bagaimana jika guru itu sendiri justru menjadi sumber masalah?

Buku yang ditulis praktisi dan pemerhati pendidikan ini memberi peta persoalan dan tawaran solusi cukup radikal untuk menguatkan kembali peran dan posisi guru. Tentu saja dalam konteks pembangunan peradaban masyarakat yang tengah terbelit dalam krisis yang kompleks dan akut.

Doni Koesoema, penulis buku ini, berupaya mengembangkan dan meradikalkan visi dan peran guru sebagai pelaku perubahan dan pendidik karakter. Hal tersebut perlu, terutama kala profesi keguruan cenderung mudah terjebak dalam perangkap konflik kepentingan, ekonomi, dan kelompok politik tertentu yang dangkal.

Menurut penulis buku ini, guru bisa memainkan peran memperbarui tatanan sosial masyarakat. Caranya dengan memperkaya dan memperkokoh kepribadian siswa serta menanamkan kesadaran kritis. Fungsi transformatif pendidikan dimulai dengan pembentukan dan pendidikan karakter. Proses pengembangan karakter di sekolah dilakukan menyeluruh (integral) antara diskursus dengan praktik dan antara kegiatan kurikuler (akademis) dengan pergaulan sehari-hari.

Zaman ”keblinger"

Berhadapan dengan kutub ideal ini, penulis mencatat sekarang ini kita hidup pada zaman keblinger, sebuah zaman saat dunia lari tunggang langgang dan menciptakan situasi yang membuat guru kehilangan orientasinya.

Otonomi dan kebebasan untuk merumuskan jati diri sebagai guru menjadi sulit sekali untuk dijaga. Sebuah ilustrasi yang sangat bagus digambarkan dalam buku ini. Jangankan untuk menghambat terorisme global, untuk melawan ujian nasional yang merenggut otonomi guru saja mereka tidak mampu. Jangankan berurusan dengan perusahaan multinasional, untuk mengurus uang Bantuan Operasional Sekolah (BOS) saja tidak becus.

Dalam situasi seperti ini, guru sering tidak sadar dengan peran dan visi strategis dan radikal yang mesti mereka miliki. Bagaimana bisa menjadi pelaku perubahan jika untuk mengubah dirinya saja guru masih kesulitan. Ketika sekolah atau otoritas negara berupaya meningkatkan mutu guru melalui sejumlah kegiatan, seperti pelatihan, lokakarya, seminar, atau semacamnya, ternyata semua itu tidak cukup memberi dampak positif. Bahkan, untuk sebuah perubahan mendasar yang menyangkut kemampuan pedagogis maupun penguasaan bahan ajar.

Hal itu menurut penulis buku ini terjadi karena tak ada kerangka kerja jangka panjang yang melatarinya sehingga perubahan radikal yang diharapkan tak kunjung dicapai. Untuk itulah, Doni kemudian merumuskan tujuh strategi untuk membumikan gagasannya yang hendak meradikalkan visi dan peran guru sebagai pelaku perubahan dan pendidik karakter.

Ketujuh strategi itu adalah menjernihkan visi sebagai guru, menumbuhkan semangat peneliti dalam diri guru, membiasakan umpan balik dari para pemangku kepentingan, menumbuhkan kejujuran akademis, mempraktikkan pembelajaran kolaboratif, mengembangkan sekolah sebagai komunitas belajar profesional, dan menumbuhkan kultur demokratis di sekolah.

Ketujuh strategi tersebut memang tidak bersifat teknis karena hal yang ingin dicapai adalah perubahan paradigma. Meski demikian, di beberapa bagian terdapat uraian yang cukup praktis. Misalnya, tentang pentingnya penjernihan visi sebagai guru. Di situ dipaparkan visi yang berfungsi sebagai orientasi dan landasan yang memotivasi guru bertindak, beraktivitas, dan mengembangkan diri. Dia juga menegaskan, visi seseorang sebagai guru juga dapat dilihat dari bagaimana dia memahami tujuan pendidikan, pengajaran, siswa, pengetahuan, dan masyarakat. Dengan kata lain, visi sangat berkaitan dengan sejumlah asumsi dasar yang akan sangat berpengaruh terhadap praktik pendidikan dan pembelajaran di kelas.

Visi guru sebagai pendidik dengan pemahaman seperti ini dipertajam dengan studi kasus pemberitaan di media. Di antaranya tentang aktivitas Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo yang menyatakan kebijakan pendidikan menengah akan diarahkan pada meningkatnya proporsi sekolah menengah kejuruan dibandingkan dengan sekolah menengah atas. Penulis kemudian mengajukan sejumlah pertanyaan reflektif dan menguraikan berbagai implikasi arah kebijakan tersebut dengan cukup panjang lebar.

Tidak sederhana

Tentu saja upaya mengubah paradigma dan visi mendasar dari profesi keguruan tidaklah sederhana. Bagian awal buku ini menguraikan kompleksitas persoalan yang dihadapi guru di lapangan.

Pada zaman keblinger, misalnya, mistifikasi profesi guru terjadi ketika muncul euforia berlebihan oleh komunitas dalam mengidealkan berfungsinya peranan guru. Di sisi yang lain, beban kerja dan rutinitas di sekolah semakin menyulitkan guru mengembangkan dan mengubah diri.

Saat menguraikan strategi kedua mengenai menumbuhkan semangat peneliti dalam diri guru, penulis tampak sedang berefleksi dengan apa yang tengah dia lakukan selama lebih dari sepuluh tahun terakhir. Dalam kadar tertentu, buku ini sebenarnya semacam refleksi diri setelah terlibat langsung dalam pengelolaan pendidikan di beberapa sekolah. Lebih jauh lagi ketika kemudian ia mendalami pedagogi di Universitas Salesian Roma, Italia, dan Boston College Lynch School of Education, Boston, Amerika Serikat. Dengan kata lain, penulis telah mempraktikkan sekaligus menegaskan dengan memosisikan diri sebagai peneliti, ia tak hanya terlibat dalam praksis peningkatan mutu pendidikan.

Di sisi lain, penulis buku ini juga dapat berbagi makna personal yang berkembang selama ia menjalani dan menghayati aktivitas keguruan dan kependidikan, baik dalam dirinya maupun dengan komunitas (guru) yang lebih luas. Ia mengonstruksi pengalamannya melalui kerja-kerja dokumentasi, pengamatan, analisis, dan refleksi. Selanjutnya ia menciptakan gugus pengetahuan dan ilmu ”baru”.

Buku ini sangat cocok dibaca para guru, pengelola lembaga pendidikan, dan mereka yang peduli terhadap masa depan bangsa ini. Paparan buku ini memberikan peta dan agenda persoalan bersifat mendasar untuk lebih memperkuat peran dan visi guru dalam pembangunan peradaban.

Lebih dari sekadar berbagi makna dan kepedulian, buku ini juga mencatat sejumlah pekerjaan rumah bersama yang bersifat pragmatis maupun praktis, meski pada sisi lain lebih menekankan pada pendekatan dan perspektif yang bersifat individual dalam upaya menjaga makna substantif profesi keguruan yang mulia pada kerangka kerja peradaban.

M Mushthafa Guru SMA 3 Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep, Mahasiswa Program Master of Applied Ethics (Erasmus Mundus) Utrecht University, Belanda.

Wednesday 2 September 2009

Guru Itu Kembali Ke Jalan

Artikel KOMPAS, 20 Februari 2004

Oleh Doni Koesoema A

Berita tentang 100.000 murid dan 7000 guru yang menggelar aksi mogok mengajar di Bangkinang, Riau, yang diberitakan harian ini (14/12) hampir selama seminggu berturut-turut ternyata tidak segera membangkitkan minat para pejabat terkait untuk segera mengatasinya. Apakah memang tuntutan mereka tidak layak untuk didengarkan? Apakah kasus ini layak dibiarkan begitu saja diterpa badai berita lebih akbar tentang Akbar?

Guru itu telah kembali ke jalan. Mereka telah meninggalkan kelas, meninggalkan siswa, meninggalkan tugas-tugas utamanya untuk memperjuangkan kemartabatan dan harga dirinya yang telah diinjak-injak oleh kekuasaan. Sepertinya ambang batas kesabaran para pendidik ini telah habis ketika hal terakhir yang dimilikinya, yaitu, harga dirinya sebagai guru dilecehkan. Mungkin mereka masih bisa tahan berdiri sebagai guru di tengah situasi krisis ekonomi bangsa. Namun, siapa dapat tetap tahan jika kemartabatan (dignity) mereka diinjak-injak? Kemartabatan bagi kita adalah adalah sadumuk bathuk sanyari bumi (setiap jengkal, bahkan jika hanya sekening dahipun) akan kita pertahankan mati-matian. Tampaknya rundung malang para guru di Kampar yang dikampar kemartabatan mereka telah sampai pada taraf ini.

Guru yang berjuang di jalanan memberikan dampak material yang tak bisa disepelekan begitu saja, yaitu, macetnya proses pendidikan di 560 sekolah, mulai dari SD sampai SLTA. Meski mogok ini dikatakan tidak ada unsur manipulasi politis, namun dampak-dampak politisnya sesungguhnya begitu besar. Mogok para guru mau tidak mau mesti bersifat politis. Tuntutan mencopot jabatan seorang Bupati adalah tuntutan politis.

Namun dari pengalaman kita menyaksikan bahwa demonstrasi para guru yang terjadi dalam skala yang begitu besar (misalnya, demonstrasi pada saat proses perancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan demonstrasi di Kampar) pada akhirnya jatuh sekedar pada simbolisme dan tidak memiliki dampak nyata sebab pemahaman strategis konseptual yang mereka usung lemah.

Kelemahan strategis konseptual ini terjadi karena kekurangcermatan membuat analisis persoalan. Ambillah contoh dalam kasus Kampar. Permasalahan muncul ketika seorang guru teladan tingkat nasional diusir dari ruang pertemuan oleh seorang bupati karena ia mempertanyakan proporsi anggaran APBD bagi pendidikan. Persoalan yang muaranya adalah politis, sebab berkaitan dengan transparansi penggunaan anggaran publik dari pihak pemerintah, semestinya ditindaklanjuti dalam kerangka politik, yaitu, menciptakan sistem kontrol publik yang ketat atas penggunaan dana-dana masyarakat dalam APBD bagi pendidikan. Namun apa yang diperjuangkan para guru adalah dicopotnya bupati dari jabatan publik yang dimilikinya, seolah dengan dicopotnya oknum pejabat tersebut persoalan akan selesai. Inilah kelemahan strategis-konseptual demonstrasi guru di Riau.

Dunia sekunder

Guru tidak akan turun ke jalan seandainya mereka tidak mengalami perasaan senasib seperti guru yang diusir oleh Bupati. Solidaritas ini berdasarkan pada pengalaman nyata yang dihidupi para guru di sekolah. Para guru turun ke jalan karena apa yang mereka alami, apa yang dialami rekan kerja mereka adalah benar-benar menyentuh pengalaman mereka sebagai guru. Karena itu mereka ingin mengubah dan memperjuangkan agar pengalaman pahit itu tidak terjadi lagi. Namun apakah pengalaman yang menjadi basis perjuangan itu sekedar urusan pribadi satu dengan pribadi lain saja, sehingga persoalan cukup diselesaikan dengan dicopotnya jabatan Bupati? Diagnosis permasalahan yang kurang cermat membuat cara pengobatan tidak efektif. Karena itu, perlulah klarifikasi permasalahan agar tuntutan para guru efektif.

J.B. Metz dalam Faith in History and Society(1980) memberikan dua ciri penting analisis situasi yang membantu kita menemukan langkah-langkah strategis agar sebuah perjuangan pembaharuan itu efektif. Pertama, analisis situasi mesti dilihat dalam kerangka sebuah jaringan yang lebih luas (world-wide scale). “Sekarang ini hubungan sosial-politik-ekonomi menjadi takterpisahkan satu sama lain, karena itu tak satu situasi pun dapat ditentukan secara nyata tanpa mempertimbangkan dimensi globalnya.” (1980:4) Karena itu, lanjut Metz, setiap usaha yang menginginkan hasil-hasil praktis, nyata, namun mengabaikan dimensi global permasalahan yang dihadapinya hanya akan menjadi perjuangan abstrak.

Kedua, apa yang sering kita acu dengan pengalaman dalam kenyataannya adalah sebuah dunia sekunder (meta-world), dengan kata lain, sebuah dunia yang dalam kenyataan intinya merupakan impresi dari berbagai macam sistem dan teori, dan karena itu hanya dapat dialami dan mungkin diubah melalui sistem dan teori itu sendiri. Jika kenyataan ini dilupakan, yang terjadi adalah praksis diterima tanpa sikap kritis. Sebuah praksis yang gagal mempertimbangkan kompleksitas struktur dunia yang kita alami sebagai dunia sekunder hanya akan muncul secara sporadis dan tidak efektif. Lebih dari itu, gerakan itu hanya akan menjadi gerakan simbolis atas realitas baru yang diperjuangkan, namun tidak dapat dari dalam dirinya sendiri menghasilkan perubahan nyata, bahkan gerakan itu berpotensi terserap oleh kekuatan sistem itu sendiri yang pada gilirannya menjadi kontra produktif bagi perjuangan yang telah dimulainya.

Langkah strategis

Kegiatan ekstra-aktifitas yang dilakukan para guru untuk turun ke jalan mesti disertai dengan langkah-langkah strategis agar perjuangannya tidak kembali jatuh pada gerakan simbolis semata yang malahan akan makin mempertahankan status quo. Ada beberapa langkah strategis yang bisa dibuat:

Pertama, para guru sudah saatnya membentuk sebuah lembaga independen yang bertujuan memperjuangkan hak-haknya sesuai dengan kapasitas profesional yang dimilikinya. Kasus di Kampar sebenarnya menunjukkan bahwa kekuatan politis guru tak bisa disepelekan begitu saja.

Kedua, tingkat perjuangan yang dilakukannya tak bisa hanya sekedar tindakan simbolis, dengan demo-demo di jalanan, melainkan perubahan struktur dan sistem. Dalam kasus di kabupaten Kampar, Riau, misalnya yang utama mesti diperjuangkan adalah kontrol publik atas penggunaan anggaran APBD bagi pendidikan, dll. Otonomi daerah bisa menjadi kesempatan untuk menjadikan lembaga pemerintahan berfungsi efektif dalam kerangka pemberdayaan potensi rakyat. Daya juang yang digalakkannya di satu sisi bersifat global, namun di lain pihak lokal, sehingga kinerja dan hasil bisa direfleksikan dan dicermati secara terus menerus.

Ketiga, lembaga ini dalam memperjuangkan hak-hak dan tujuannya bekerja sama dengan lembaga-lembaga lain dalam masyarakat yang memiliki komitmen sama, sehingga menumbuhkan kekuatan-kekuatan demokratis di kalangan kelompok profesional.

Menyaksikan perjuangan para guru yang mesti keluar dari kelas dan memperjuangkan nasibnya di jalanan membuat hati kita terluka, sebab dari merekalah kita mengenyam kemajuan dan pendidikan kita saat ini. Janganlah kita menjadi bangsa yang tidak mengenal terimakasih. Dikamparnya martabat guru mesti selalu kita ingat sebagai catatan sejarah buruk dalam sejarah pendidikan kita. Karena itu kasus ini tidak layak dibiarkan begitu saja menguap ditelan hiruk pikuk berita yang lebih akbar.

Doni Koesoema, A. Penulis adalah mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma.

Monday 24 November 2008

Mengurai Masalah Guru (Swasta)

KOMPAS, 19 November 2008
Oleh Doni Koesoema A

Persoalan nasib guru swasta yang merasa dianaktirikan dan diperlakukan tidak adil kian mencuat ke publik. Polarisasi antara guru swasta dan negeri sebenarnya bukan persoalan utama yang kita hadapi. Masalah utama yang menjadi pangkal perdebatan adalah tidak adanya keseriusan pemerintah dalam menjaga dan melindungi martabat profesi guru, tidak peduli apakah itu guru negeri, swasta, tetap, maupun honorer.

Dua kekuatan

Sebenarnya, nasib guru lebih banyak ditentukan dua kekuatan, yaitu kekuatan negara dan kekuatan masyarakat. Kekuatan negara terhadap guru bersifat memaksa dan mengatur. Ini terjadi karena negara berkepentingan hanya mereka yang memiliki kompetensi dan layak mengajar di kelaslah yang boleh berdiri di depan kelas. Karena itu, negara mengatur berbagai macam kompetensi yang harus dimiliki guru sebelum mereka boleh mengajar di dalam kelas. Kualifikasi akademis, sertifikasi, kemampuan sosial, dan keterampilan pedagogis adalah hal-hal yang harus dikuasai guru. Berhadapan dengan aturan negara yang koersif ini, para guru tidak dapat berbuat apa-apa selain harus menyesuaikan diri. Sebab inilah satu-satunya cara agar profesi guru tetap berfungsi efektif dalam lembaga pendidikan.

Selain itu, masyarakat juga memiliki kekuatan kultur yang menentukan gambaran sosok guru. Guru harus memiliki sifat-sifat tertentu, yaitu ramah, terbuka, akrab, mau mengerti, dan pembelajar terus-menerus agar semakin menunjukkan jati diri keguruannya. Masyarakat telah menentukan pola perilaku yang boleh dan tidak boleh dilakukan guru di dalam kelas dan di luar kelas. Bahkan, masyarakat dengan kekuatan kulturalnya mengatur bagaimana guru harus berpakaian. Guru tak bisa seenaknya memakai jenis pakaian tertentu selama mengajar. Pelanggaran atas harapan masyarakat ini membuat individu guru kehilangan integritas.

Berhadapan dengan dua kekuatan ini, guru tidak memiliki kekuatan penawaran, selain mengikuti apa yang ditetapkan instansi di luar dirinya. Tidak jarang, norma sosial yang harus dilaksanakan guru menjadi rambu-rambu yang sebenarnya menjaga martabat guru itu. Ketika ada pelanggaran kode etik yang dilakukan guru, masyarakat akan menilai pribadi itu sebagai kehilangan kualitas keguruan dan dia tidak akan dipercaya. Karena itu, sanksi sosial, baik dari masyarakat maupun negara, sebenarnya bukan bersifat punitif, tetapi juga reparatif, yang membuat status dan martabat guru tetap berharga di mata masyarakat dan negara.

Bagian hakiki

Kekuatan memaksa negara dan kekuatan kultural masyarakat sebenarnya menjadi bagian hakiki yang mewarnai status seorang guru. Karena itu, tiap orang yang ingin menjadi guru harus mempertimbangkan dua tuntutan itu. Guru tidak bisa mengklaim dirinya sebagai guru jika negara dan masyarakat tidak memaklumkan keberadaan individu itu sebagai guru.

Sayang, situasi sosial, politik, dan ekonomi kian membuat status guru terpencil dan terpinggir. Ini terjadi karena tuntutan tinggi yang dipaksakan pemerintah ternyata tidak dibarengi kesediaan pemerintah melindungi profesi guru. Bahkan, ada guru digaji di bawah upah minimum regional. Sedangkan masyarakat, terutama para pemilik yayasan pendidikan swasta, juga tidak dapat berbuat banyak karena alasan tak adanya dana untuk mengangkat guru-guru mereka menjadi guru tetap. Minimnya sumber daya yayasan sering menjadi alasan untuk tidak memerhatikan nasib guru, bahkan membebani masyarakat dengan cara menaikkan biaya pendidikan.

Entah berhadapan dengan kekuatan negara atau masyarakat, guru ada dalam posisi lemah dan selalu menjadi korban. Situasi ini tidak dapat diatasi dengan mengangkat seluruh guru honorer menjadi pegawai negeri, seperti tuntutan beberapa kelompok guru honorer maupun mengangkat guru tidak tetap menjadi guru tetap yayasan.
Masalah ini hanya bisa diatasi jika pemerintah dan masyarakat memberi prioritas untuk menjaga, melindungi, dan menghormati profesi guru. Secara khusus, pemerintah harus memberi jaminan finansial secara minimal kepada tiap guru agar mereka dapat hidup layak dan bermartabat sebagai guru. Jaminan seperti ini hanya bisa muncul jika ada perlindungan hukum berupa peraturan perundang-undangan yang benar-benar memihak dan berpihak kepada guru.

Sejauh ini, pemerintah hanya mampu menuntut guru untuk ikut sertifikasi, tetapi ia gagal memberi penghargaan dan perlindungan atas profesi guru (ada ketidakseimbangan kuota guru negeri dan swasta, sedangkan swasta dibatasi kesejahterannya dengan aturan alokasi jam mengajar dan status kepegawaian). Pemerintah memiliki tugas mulia dalam menyejahterakan nasib guru. Negara mampu melakukan itu jika ada keinginan politik yang kuat. Ongkos sosial dan politik pada masa depan akan lebih ringan jika pemerintah mampu memberi perlindungan dan kemartabatan profesi guru, terutama memberi jaminan ekonomi minimal agar para guru dapat hidup bermartabat, sehingga mereka dapat memberi pelayanan bermutu bagi masyarakat dan negara.

Dukungan bagi swasta

Ketidakmampuan sekolah swasta dalam membiayai para guru yang bekerja di lingkungannya juga harus menjadi keprihatinan utama pemerintah. Partisipasi masyarakat dalam mengembangkan dunia pendidikan patut didukung, tetapi pemerintah juga wajib menjamin bahwa masyarakat yang mengelola sekolah memenuhi persyaratan sesuai standar pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan. Jika banyak yayasan pendidikan tidak mampu memenuhi standar pelayanan pendidikan, yayasan seperti itu tidak layak melangsungkan pelayanan pendidikan karena akan merugikan masyarakat (menarik ongkos terlalu tinggi), tidak mampu menghargai kinerja guru, dan tidak mampu memberi layanan pendidikan yang terbaik bagi siswa karena keterbatasan sarana, fasilitas, dan mutu guru.

Di zaman persaingan ketat seperti sekarang, kinerja menjadi satu-satunya cara untuk mengukur mutu seorang guru. Karena itu, status pegawai negeri, swasta, tetap, atau honorer tidak terlalu relevan dikaitkan gagasan tentang profesionalisme kinerja seorang guru. Di banyak tempat, status pegawai tetap malah membuat lembaga pendidikan swasta tidak mampu mengembangkan gurunya secara profesional sebab mereka telah merasa mapan. Demikian juga yang menjadi pegawai negeri, banyak yang telah merasa nyaman sehingga lalai mengembangkan dirinya. Di Papua, ada fenomena, status menjadi guru pegawai negeri banyak diincar sebab tiap bulan mendapat gaji, sementara hadir di sekolah dianggap tidak wajib.

Guru yang berkualitas selalu mengembangkan profesionalismenya secara penuh. Dia tak akan merengek-rengek meminta diangkat sebagai pegawai negeri atau guru tetap sebab pekerjaannya telah membuktikan, kinerjanya layak dihargai. Mungkin ini salah satu alternatif yang bisa dilakukan guru untuk mengembangkan dan mempertahankan idealismenya pada masa sulit. Namun, idealisme ini akan kian tumbuh jika ada kebijakan politik pendidikan yang mengayomi, melindungi, dan menghargai profesi guru. Pemerintah sudah seharusnya menggagas peraturan perundang-undangan yang melindungi profesi guru, tidak peduli apakah itu guru negeri atau swasta, dengan memberi jaminan minimal yang diperlukan agar kesejahteraan dan martabat guru terjaga.

Doni Koesoema A
Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston

Friday 23 November 2007

Batas Tanggungjawab Pendidik

Doni Koesoema A
Kekerasan yang terus menerus terjadi dalam dunia pendidikan sudah sampai titik kulminasi yang sangat memprihatinkan. Sadisme dalam Kasus IPDN, penculikan Raisah, premanisme di SMA PL seolah belum cukup bagi para pendidik untuk bercermin. Kini kriminalitas itu terjadi lagi, kali ini di sekolah negeri, lebih tertata dan terorganisasi. Tamparan demi tamparan itu semestinya membuat kita bertanya di mana batas tanggungjawab kita sebagai pendidik?

Kerancuan akan makna tanggungjawab sebagai pendidik akan tetap melestarikan kultur kekerasan di dalam sekolah dan dalam masyarakat. Dalam kasus IPDN, mungkin batas tanggungjawab itu jelas, sebab kekerasan terjadi di dalam pagar kampus. Namun bagaimana dengan kasus penculikan Raisah? Bagaimana dengan kekerasan di PL? Bagaimana sekarang menyikapi kasus Geng di SMA 34? Apakah memang batas-batas tanggungjawab sebagai pendidik itu sudah sangat jelas sehingga pagar kampus dan pagar sekolah menjadi definisi bagi tanggungjawab setiap pendidik? Bisakah kita sebagai pendidik mengatakan bahwa kasus penculikan dan premanisme di PL itu terjadi di luar pagar sekolah, sehingga pendidik tidak bertanggungjawab dengan alasan tindakan kriminal adalah urusan polisi?

Batasan moral

Yang membatasi definisi tanggungjawab seorang pendidik bukanlah pagar sekolah. Batasan morallah yang menjadi definisi esensial bagi tanggungjawab mereka sebagai pendidik. Karena itu, entah di dalam pagar sekolah maupun di luar sekolah, para pendidik tetap memiliki tanggungjawab moral untuk mengatasi persoalan kekerasan dalam dunia pendidikan.

Ketika moralitas menjadi dasar yang mendefinisikan tanggungjawab sebagai seorang pendidik, maka dua jenis orientasi tanggungjawab menjadi bagian penting dari kinerjanya.

Pertama, pendidik mengidentifikasikan tanggungjawab melalui prinsip dasar tidak melakukan tindakan yang merusak (doing no harm). Prinsip tanggungjawab ini sifatnya ex post facto. Ini berarti bahwa pendidik bertanggungjawab atas tindakan yang telah dilakukan. Karena itu, ia mesti mengevaluasi terus menerus apakah keputusan dan tindakan yang telah dilakukannya memiliki dampak merusak, baik itu dari segi moral, mental dan fisik (Jonsen, 1968; Starrats, 2004). Membiarkan kekerasan terjadi dalam lingkup sekolah sama saja menyetujui tindakan merusak.

Kedua, pendidik melangkah dari prinsip doing no harm menuju proactive responsibility. Ini berarti bahwa pendidik mesti menemukan niat-niat baik yang secara kelembagaan ingin direalisasikan demi berlangsungnya kinerja pendidikan, seperti, kualitas pembelajaran, relasi yang sehat antar individu sebagai warga negara, dll. Cakupan tanggungjawab yang demikian ini sifatnya antisipatif sebab terjadi sebelum tindakan itu sendiri (ex ante facto).

Dua orientasi moral atas tanggungjawab pendidik ini menuntut mereka untuk senantiasa menyadari sumber-sumber yang melahirkan tanggungjawab mereka selama ini. Jika dipahami melalui batasan moral, maka tanggungjawab pendidik bukanlah sekedar tugas-tugas yang secara formal didefinisikan melalui job descriptions lembaga, melainkan merupakan tanggungjawab penuh dirinya sebagai individu yang sekaligus secara formal adalah pendidik. Di sini memisahkan batas tanggungjawab antara sekolah dan masyarakat merupakan pengingkaran tanggungjawab moral diri sebagai pendidik.

Jika pemahaman akan tanggungjawab ini dipahami, pendidik tidak akan serta merta mengatakan bahwa kasus penculikan Raisah adalah urusan polisi, dan kekerasan senior PL atas yuniornya yang terjadi di luar batas sekolah bukanlah tanggungjawab sekolah. Kekerasan di SMA 34 terjadi karena pendidik melupakan tanggungjawab moralnya sehingga perilaku kekerasan yang terjadi di sekolah lepas dari cakupan tanggungjawabnya sebagai pendidik.

Para pendidik memiliki tanggungjawab secara moral untuk menciptakan sebuah iklim yang menghargai individu di manapun mereka berada. Jika kultur kekerasan ternyata ada di sekolah, sementara pihak sekolah membiarkan semua itu terjadi terus menerus, tanggungjawab moral mereka sebagai pendidik dipertanyakan. Jika kita sering berteriak lantang tentang krisis moral para pemimpin kita, apakah kita sebagai pemimpin pendidikan juga telah merefleksikan cakupan tanggungjawab moral kita dalam kasus maraknya perilaku kekerasan dalam lembaga pendidikan?

Tiga jenis tanggungjawab

Para pendidik mestinya memahami bahwa tanggungjawab itu bukan sekedar jenis tanggungjawab terhadap (responsibility to), yang secara sempit di definisikan secara formal melalui struktur kelembagaan, seperti, tanggungjawab terhadap siswa, orang tua para staf guru, melainkan juga tanggungjawab untuk (responsibility for), yaitu tanggungjawab untuk menciptakan sebuah lingkungan belajar yang aman, nyaman dan teduh bagi berlangsungnya proses pembelajaran.

Lebih dari itu, para pendidik sesungguhnya memiliki tanggungjawab sebagai (responsibility as), yaitu, sebuah esensi tanggungjawab berdasarkan keluasan identitas dirinya. Pendidik bertanggungjawab sebagai sesama manusia, karena itu apa saja yang berkaitan dengan promosi kebaikan, keadilan, kehidupan dan penghargaan martabat manusia merupakan bagian dasar dari tanggungjawabnya.

Selain itu, pendidik bertanggungjawab sebagai administrator sekolah, yang menjaga agar visi kelembagaan tetap pada garis cita-citanya. Pendidik juga bertanggungjawab sebagai warganegara yang kebetulan menjadi pendidik, kepala sekolah, pengawas, dll. Tanggungjawabnya sebagai warga negara inilah yang membuat dirinya sebagai pendidik tidak dapat memisahkan cakupan kinerjanya sekedar dalam batasan formal-struktural tanggungjawabnya, apalagi batasan fisik tanggungjawab berdasarkan batas pagar sekolah.

Kekerasan demi kekerasan yang terjadi di dalam lingkup sekolah akan berkurang jika pendidik memahami lingkup tanggungjawabnya secara utuh. Namun kekerasan dalam sekolah akan terus terjadi dan tetap akan menampar tanggungjawab kita sebagai pendidik jika batasan tanggungjawab kita sebagai pendidik kita pahami sekedar batasan pagar sekolah.

Perilaku kekerasan itu dapat terkikis jika pendidik menyadari tanggungjawab moralnya. Batas tanggungjawab pendidik adalah nilai-nilai moral, yaitu, menghindari tindakan dan kebijakan yang merusak dan mengejar nilai-nilai kebaikan. Jika nilai-nilai moral itu bukan menjadi batas yang mendefinisikan tanggungjawab kita sebagai pendidik, kekerasan itu akan tetap terjadi dalam lembaga pendidikan kita.

Kita tahu, krisis kepemimpinan moral telah kronis menggerogoti sendi-sendi masyarakat kita. Namun jangan-jangan kita tidak pernah menyadari bahwa yang melahirkan mereka adalah kita sendiri, para pendidik negeri yang memahami batas tanggungjawabnya sekedar pada batasan pagar sekolah.

Doni Koesoema A Mahasiswa Pasca Sarjana Boston College Lynch School of Education, Boston.
Artikel dimuat di Media Indonesia, Kamis, 22 November 2007

Saturday 15 September 2007

Mati Sunyi Seorang Guru

Oleh. Doni Koesoema, A

Menjadi guru merupakan komitmen. Bahwa aku memilih secara bebas untuk menjadi guru berdasarkan nuraniku yang bening merupakan salah satu pegangan yang memberikan rasa aman di tengah masyarakat yang penuh ketidakpastian dan perubahan. Tak mengherankan, dalam sebuah masyarakat yang mendewakan materi, memuja ketidakjujuran, membiarkan penindasan, mati sunyi menjadi konsekuensi logis yang disandang oleh setiap guru.

Kidung populer tentang mati sunyi seorang guru bisa kita dengar dari syair guru Oemar Bakrie-nya Iwan Fals. Oemar Bakrie adalah seorang guru yang penuh dedikasi dan kesederhanaan. Hanya dengan sepeda kumbang dan tas kulit buaya ia bolak-balik kesekolah. Akhir lagu merupakan jeritan protes yang menggema terus hingga sekarang, mengapa, ia yang telah mencetak profesor, insinyur dan dokter, gajinya seperti dikebiri?

Namun, kisah dramatis lebih mengharukan tentang komitmen seorang guru nasionalis hanya dapat kita temukan dalam novel Pramoedya Ananta Toer Bukan Pasar Malam(1951). Novel ini, dengan gaya bahasa realisme yang kuat, mengisahkan tentang sebuah keluarga nasionalis revolusioner yang keluarganya hancur berantakan karena revolusi kemerdekaan yang diperjuangkannya sendiri. Ayah dari tokoh utama, aku, adalah seorang guru yang komitmennya pada pendidikan bangsa begitu besar. Guru yang telah mengabdi selama 30 tahun itu kini sekarat tak berdaya karena digerogoti baksil tbc. Di sela dengus nafasnya yang tersengal-sengal, tanpa keluhan, hanya tergeletak di ranjang bambu reyot, ia berujar kepada anak yang menunggunya, terpatah-patah. “Aku tak mau jadi ulama… Aku mau jadi nasionalis… Karena itu, aku jadi guru... Membukakan pintu hati anak-anak untuk pergi ke taman...patriotisme, dengar?..karena itu aku mau jadi guru..jadi lembaga bangsa.”

Sebenarnya, guru yang berjuang dengan tbc-nya ini pernah ditawari untuk menjadi anggota perwakilan daerah, yang memungkinkannya mendapat perlakuan istimewa, misalnya dirawat di sanatorium, namun ia menolak, dengan alasan bahwa perwakilan rakyat hanya panggung sandiwara. Dan lagi, ia tak suka menjadi badut, sekalipun itu badut besar. Jabatan sebagai pengawas sekolah di Pati pun ditolaknya.

Refleksi Pram tentang mati sunyi seorang guru, keluar dari mulut seorang dukun yang kebetulan jadi guru, yang pada waktu itu dimintai tolong untuk mengobati ayah si tokoh utama. Dukun ini menemui kenyataan pahit bahwa suatu ketika para muridnya hanya sedikit yang mau menjadi guru. “Alangkah sedihku waktu itu. Dan berkata aku pada mereka. Kalau diantara lima puluh orang cuma tiga orang yang ingin jadi guru, siapakah yang akan mengajar anak-anakmu nanti? Kalau sekiranya engkau kelak menjadi jenderal, adakah akan senang hatimu kalau anakmu diajar oleh anak tukang sate? Tak ada yang menjawab di antara. Kemudian kunasehati mereka yang ingin jadi guru. Kalau engkau tidak yakin betul, lepaskan cita-citamu untuk jadi guru itu, kataku. Seorang guru adalah korban—korban selama-lamanya. Dan kewajibannya terlampau berat—membuka sumber kebajikan yang tersembunyi dalam tubuh-anak-anak bangsa.”

Seorang guru, bisa hancur secara fisik, bukan karena banyak tugas yang harus dikerjakan, namun karena komitmennya pada pendidikan, keprihatinannya pada masyarakat dan bangsa yang dicintainya. Dalam novel ini, dukun yang dimintai pertolongan itu begitu heran bahwa ayah si tokoh baru terkena penyakit paru-paru setelah tiga puluh tahun menjadi guru. “Alangkah kuatnya. Aku baru dinas delapan belas tahun rasa-rasanya sudah tak kuat lagi. Tapi siapakah mau jadi guru selain kita-kita ini? Guru tetap jadi guru—untuk selama-lamanya. Sedang selama itu murid-muridnya telah jadi orang-orang besar. Tapi guru tetap jadi guru.”

“Barangkali penyakitnya itu didapatnya waktu jadi pengawas sekolah—tiap hari mengayuh sepeda limabelas sampai dua puluh kilometer,” paman si tokoh berkata.

“Tidak,” kata dukun itu.”Aku yang sudah lama jadi guru bisa mengatakan tidak. Sungguh, penyakitnya bukan karena itu. Karena beliau minta kembali jadi guru itulah sebabnya. Limabelas-dua puluh kilometer mengayuh sepeda bukan perkara berat untuk seorang guru. Yang berat ialah mengajar, menelan pahit getirnya kesalahan-kesalahan pendidikan orang tua si murid. Itulah gampang sekali menghancurkan seorang guru…”

Di tangan para gurulah sesungguhnya wajah keluarga, masyarakat dan bangsa kita akan terlukis. Karena perjuangan mereka yang tanpa nama, mereka layak sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Namun cukupkah jasa guru hanya dikenang dalam nyanyian sementara kehidupan ekonomis mereka semakin terpuruk? Hymne Guru, memang baik, tapi sekarang para guru telah bersikap kritis, bahwa penindasan itu tak bisa dibiarkan begitu saja. Bahwa, guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, mulai dipertanyakan, sebab seringkali menjadi kedok ideologis semata.

Menjadi guru memang sebuah komitmen. Dan dalam tata masyarakat yang telah hancur sendi-sendi moralitasnya, mati sunyi adalah “salib” yang harus dipanggul dipundak setiap guru. Jika guru tetap berdemonstrasi menuntut kenaikan gaji, mungkin kita perlu bertanya juga pada diri, sejauh mana kemampuan negara memenuhi tuntutan mereka? Apakah arif kiranya, ketika negara yang berhutang sebanyak $ 74 milyar-- dan untuk membayar cicilan hutang yang jatuh tempo kita sibuk dengan penjadwalan utang dengan resiko kredibilitas dan nama baik bangsa dipertaruhkan --, para guru meminta kenaikan tunjangan sebesar lebih dari 100%?

Negara kita hancur bukan karena utang. Negara kita hancur karena ketidakjujuran bersimaharajalela, sehingga banyak kekayaan kita terkorupsi. Dan rupanya, kita, guru turut andil dalam membentuk mental negeri ini, ketika kita membiarkan saja anak didik kita menyontek. Jadilah kita mati sunyi karena kesalahan kita sendiri. Mungkin para guru perlu meresapkan benar-kata-kata Pram, “kalau engkau tidak yakin betul, lepaskan cita-citamu untuk jadi guru itu. Seorang guru adalah korban—korban selama-lamanya. Dan kewajibannya terlampau berat—membuka sumber kebajikan yang tersembunyi dalam tubuh-anak-anak bangsa.”

Doni Koesoema A. penulis adalah staf pendidik di Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang.

Artikel dimuat di Harian BERNAS, 28 April 2000.

Pendidikan Keagamaan