Showing posts with label Kurikulum. Show all posts
Showing posts with label Kurikulum. Show all posts

Sunday, 5 October 2014

Kebijakan Pendidikan Harus Direvisi

PEMERINTAHAN baru di bawah Joko Widodo-Jusuf Kalla diminta melakukan sejumlah perubahan di bidang kebijakan pendidikan nasional. Salah satu kebijakan yang mendesak dilakukan ialah memoratorium pelaksanaan Kurikulum 2013 dan menghapus ujian nasional (UN) sebagai syarat kelulusan.

''Isi kurikulum 2013 bermasalah dan cara pengajaran belum teruji. Jadi kembalikan saja ke Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, sambil melengkapi dan memperkaya pola pelatihan guru yang berbasis sekolah, bukan mata pelajaran (individu),'' kata kon sultan pendidikan Doni Koesoema A, saat membacakan rekomendasi Jakarta Education Forum (JEF), dalam diskusi Revolusi Mental dalam Pendidikan, di Jakarta kemarin.

Hadir dalam diskusi tersebut Prof Dr HAR Tilaar, anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Prof Sudiarto dari Universitas Negeri Jakarta, pemerhati pendidikan Darmaningtyas, dan beberapa asosiasi guru.

Selain itu, lanjut Doni, JEF juga meminta Dewan Pendidikan Nasional (DPN) sebagai mekanisme kontrol kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dikembalikan fungsinya sebagai lembaga mandiri dan independen dengan cara merevisi PP 17 Tahun 2010.

''Untuk itu, JEF meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghentikan DPN yang akan dikukuhkan pada 19 Oktober, sehari sebelum Presiden Jokowi-JK dilantik,'' tambah pendiri Pendidikan Karakter Education Consulting itu.

DPN, lanjutnya, memang usulan JEF, tetapi proses perekrutan anggotanya tidak sesuai dengan UU Sistem Pendidikan Nasional.
Lebih lanjut, Doni menyampaikan empat butir rekomendasi lainnya, yakni soal peningkatan kualitas guru harus dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan pengembangan profesional guru melalui kelompok kerja guru.

Selanjutnya, mereformasi lembaga pendidikan tenaga kependidikan, mendesentralisasi pengelolaan guru, memprioritaskan pendidikan untuk daerah terpencil dan di perbatasan, dan yang terakhir ialah mengembangkan sekolah vokasional yang relevan dengan memperbanyak teknopark sesuai kebutuhan lokal.

Di sisi lain, HAR Tilaar berharap Kemendikbud di era Jokowi-JK dapat mengembalikan tujuan pendidikan nasional yang sesuai dengan UUD 1945, yakni mencerdaskan bangsa. ''Saat ini kita masih school society, belum education society. Kita harus mengembalikan ke konsep pendidikan Ki Hajar Dewantoro,'' kata Tilaar. Tugas pendidikan, tambah dia, harus memelihara dan mengembangkan kebudayaannya.

Dalam diskusi yang dimoderatori oleh Baedowi, Direktur Sekolah Yayasan Sukma, Tilaar juga menegaskan bahwa pendidikan itu harus ditransmisikan ke generasi muda lalu dikembangkan. Transmisi itu terjadi dalam pendidikan dasar hingga menengah, barulah di pendidikan tinggi dikembangkan. ''Jadi pendidikan tinggi itu pengembang budaya dan tidak bisa dipisahkan dengan pendidikan dasar menengah,'' ujar nya.

JEF merupakan inisiatif publik yang prihatin dengan isu pendidikan saat ini, terutama soal menurunnya konsep keberagaman, kebernegaraan, dan Pancasila di kalangan anak didik ataupun pendidik. Pada April lalu, lanjutnya, JEF berdiskusi untuk memasukkan konsep perbaikan pendidikan, baik visi, strategi, maupun rekomendasi ke presiden baru nanti. 

Tuesday, 5 August 2014

Perubahan Kurikulum Dilakukan secara Gegabah

JAKARTA - Pengamat pendidikan, Doni Koesoema Albertus, menilai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah gegabah dalam melakukan perubahan kurikulum.

Penerapan kurikulum baru, Kurikulum 2013, tidak dilakukan dengan persiapan yang matang dan kehati-hatian. Akibatnya, berbagai masalah timbul dalam penerapannya.

“Jangan gegabah mengubah kurikulum, kalau belum membahasnya secara lengkap dan matang dengan berbagai instansi terkait,” ujar Doni.

Ia mengatakan, perubahan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 ke Kurikulum 2013 terbukti telah menghadirkan sejumlah masalah.

Masalah besar yang timbul saat ini, terutama adalah kurang siapnya guru dan penyediaan buku-buku paket sebagai sarana pembelajaran. Kedua masalah tersebut tidak bisa dipandang ringan karena sangat merugikan siswa.

Pembelajaran yang berlangsung tanpa perencanaan yang baik tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Hasil pembelajaran yang amburadul semacam ini, menurut Doni, akhirnya akan merugikan pendidikan nasional.

“Masalah buku adalah masalah teknis. Masalah tersebut sebenarnya bukan persoalan sulit,” ucap Doni.

Menurutnya, apabila perubahan kurikulum dipersiapkan secara matang, Kemendikbud tidak akan mengalami kesulitan untuk mengatasi persoalan guru dan penyediaan buku seperti yang terjadi sekarang ini.

“Sekarang ini, masalah yang gampang seperti persoalan distribusi buku saja tidak beres, berarti ada persoalan-persoalan lain yang juga belum dapat tertangani dengan baik,” ujarnya.

Doni menduga selain menghadapi persoalan ketidaksiapan guru dan distribusi buku, Kemendikbud saat ini menghadapi persoalan mendasar dalam penerapan Kurikulum 2013. Persoalan tersebut adalah masalah manajemen, koordinasi, dan komunikasi.

Menurut Doni, ketiga hal tersebut yang akan menentukan keberhasilan perubahan kebijakan pendidikan. Untuk itu, Kemendikbud seharusnya mengevaluasi ketiga hal tersebut sebelum menerapkan Kurikulum 2013.

Klinik Guru

Doni mencontohkah program Klinik Guru yang diluncurkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) M Nuh baru-baru ini. Menurutnya, pengadaan Klinik Guru menjadi pertanda bahwa paradigma Kemendikbud atas Kurikulum 2013 tidak sehat.

Pasalnya, dengan klinik ini, guru yang oleh Kemendikbud dinilai “sakit” atau bermasalah karena tidak mampu memahami Kurikulum 2013. Padahal, menurut Doni, wajar apabila guru tidak mampu memahami Kurikulum 2013. Itu karena persiapan dan pelatihan para guru dilakukan kurang matang.

“Paradigma Kemendikbud sangat tidak sehat. Guru yang dianggap sakit, padahal yang cacat adalah kebijakan Kurikulum 2013-nya,” ujar Doni.

Sementara itu, hingga satu hari menjelang masuk sekolah, hari ini, Selasa (5/8), SH masih menerima sejumlah laporan dari daerah terkait buku yang belum sampai ke sekolah-sekolah. Hesty, seorang guru sebuah SMP di Tomohon Selatan, Sulawesi Utara, mengatakan sekolahnya belum menerima buku paket Kurikulum 2013.

Padahal, tahun ini di sekolahnya ada dua kelas yang menerapkan Kurikulum 2013, yakni kelas VII dan kelas VIII. Ia mengatakan, sekolahnya mendapat instruksi untuk memfotokopi materi dari bahan di compact disk (CD) yang telah diperoleh para guru sebelumnya.

“Kami dapat softcopy-nya. Jadi untuk proses belajar, sementara kami cetak bahan dari situ,” tuturnya, Selasa (5/8) pagi.

Selain Hesty, laporan keterlambatan buku paket Kurikulum 2013 juga datang dari Agnes, seorang guru dari sebuah sekolah di Surabaya, Jawa Timur; Junjun Nugraha, seorang guru SMK dari Tasikmalaya; dan Arnida seorang guru dari sebuah SMP di DKI Jakarta.

Saturday, 15 September 2007

Kurikulum Berubah Lagi?

Oleh Doni Koesoema, A

Dulu ketika diperkenalkan model pembelajaran yang bernama Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) di sekolah-sekolah, tak berapa lama kemudian muncul parodi atas CBSA, yaitu, Cah Bodho Soyo Akeh (baca, jumlah anak yang bodoh semakin banyak). Begitu ada istilah MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), muncul ekpresi lain Masyarakat Bayar Sendiri. Dan sekarang ketika pemerintah memperkenalkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), banyak guru berseloroh, kurikulum KaTeSiaPe? (Menurut siapa?)

Seloroh itu tentu saja sekedar parodi. Namun parodi ini merepresentasikan kenyataan sesungguhnya yang dihadapi oleh para guru di tingkat satuan pendidikan. Korban pertama KTSP adalah para guru bidang studi. Dengan keluarnya KTSP, para guru bidang studi dikejar-kejar agar membuat sendiri kurikulum tiap mata pelajaran bagi sekolahnya. Banyak waktu habis untuk seminar dan pertemuan guru bidang studi demi merencanakan kurikulum seperti yang diharapkan dalam KTSP.

Tanpa persiapan

Proses pembuatan dan perencanaan kurikulum yang menyibukkan para guru bidang studi ketika proses pendidikan tahunan telah berjalan jelas membuat proses belajar mengajar terganggu. Para guru tidak konsentrasi mengajar karena selalu berpikir tentang pembuatan silabus, program, indikator, dll. Otonomi guru dalam mengaplikasikan indikator dari kompetensi dasar lebih banyak dialami sebagai penambahan beban pengisian kolom administratif yang lebih banyak buang waktu sia-sia. KTSP diluncurkan tanpa persiapan memadai.

Kekurangsiapan aplikasi KTSP, lebih terlihat nyata di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), khususnya berkaitan dengan proses pemetaan materi dari mata pelajaran yang terintegrasi, seperti IPA dan IPS. Hal ini tidak hanya membuat guru mata pelajaran pusing tujuh keliling, mengingat, misalnya, standar isi materi IPA terpadu versi KTSP tersebar tidak merata dari kelas satu sampai kelas tiga dalam buku versi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004. Pembuatan standar isi dan kompetensi dasar tampaknya tidak memperhatikan sebaran materi yang terdapat dalam kurikulum sebelumnya. Pemetaan materi antar kelas yang diintegrasikan akan mempengaruhi pengaturan, alokasi waktu mengajar dan kuantitas pekerjaan guru bidang studi.

Dari segi kompetensi, para guru merasa tidak siap sebab selama ini mereka mengampu satu mata pelajaran tertentu. Sekarang mereka mesti mampu mengajarkan semuanya. Guru IPA mesti bisa menguasai sekaligus Biologi, Kimia, dan Fisika! Kuota yang hanya 4 jam pelajaran seminggu untuk mata pelajaran terpadu juga membuka peluang bagi beberapa guru bidang studi untuk kehilangan pekerjaan!

Keputusan pemerintah yang bersikap keras kepala untuk mengadakan Ujian Nasional tahun 2007 semakin membuat pembaharuan kurikulum lewat KTSP menjadi mandul dan semakin menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam memperbaiki carut marut pendidikan di negeri kita. Pertanyaan pokoknya adalah jika KTSP memberikan keluasan bagi otonomi sekolah di tingkat satuan pendidikan, standar penilaian juga semestinya menjadi hak otonom sekolah, sebab merekalah yang menentukan indikator dan memilih proses serta materi melalui program belajar di kelas. Karena itu, UN merupakan sebuah keputusan yang kontraproduktif bagi peningkatan kualitas pembelajaran.

Pada saat pemerintah menerapkan KBK saja, para guru sempat kedodoran untuk mempersiapkan materi UN bagi siswa, sebab depdiknas memberikan kisi-kisi UN sekitar 2 bulan sebelumnya. Jelas saja para guru pontang-panting sebab selama 2 bulan mesti mendalami lagi materi agar siswa tidak mengalami kegagalan selama UN. Penentuan kisi-kisi UN oleh pemerintah jika ditilik dari tujuan KTSP adalah sebuah inkonsistensi. Sekolah yang telah merancang program pembelajaran semestinya juga menentukan standar penilaiannya. Secara didaktis tidak masuk akan meminta siswa mengerjakan soal-soal yang di dalam sekolahnya sendiri tidak diajarkan.

Dampak negatif UN lainnya adalah bahwa UN akan tetap membuat tiap sekolah lebih konsentrasi untuk memperdalam mata pelajaran yang diujiannasionalkan daripada membuat anak didik cerdas dan mampu berpikir kreatif berhadapan dengan materi pembelajaran yang diterimanya.

Mengingat tidak adanya persiapan teknis, kekeliruan prosedur, kesalahan pedagogis, serta inkonsistensi struktural dalam UN, UN yang akan dilakukan pada tahun 2007 tidak akan mampu menaikkan kualitas pendidikan nasional, selain menjadi sebuah proyek yang kental muatan politisnya daripada edukatifnya berupa pemborosan anggaran negara untuk sesuatu yang tidak berguna!

Beban administrasi

KTSP merupakan sebuah program pembaharuan kurikulum yang mencoba memberikan ruang bagi otonomi sekolah secara lebih luas. Namun, untuk menerapkannya butuh berbagai macam persiapan,seperti, proses sosialisasi dan pelatihan mengingat para guru tidak pernah belajar bagaimana membuat kurikulum sendiri. Demi mengejar target pihak sekolah akhirnya banyak memilih mengikuti model yang ditawarkan pemerintah, mengerjakan KTSP asal-asalan, atau meniru materi KBK 2004 yang telah ada dengan penyesuaian administratif di sana sini. Singkatnya, asal syarat administratif terpenuhi.

Tak heran jika ada seorang guru berseloroh selepas mengikuti seminar yang diadakan depdiknas, “susah-susah kita datang untuk mendengarkan seminar tentang KTSP, kita nggak dapat-apa apa. Kenapa kita selalu dibebani tugas administrasi yang menyita energi dan merugikan proses belajar siswa?”

Dengarkanlah!

Para penanggungjawab pendidikan yang dipercaya republik ini untuk memperbaiki dunia pendidikan semestinya mendengarkan keluhan tak terdendar para guru ini. Mereka adalah orang yang berdedikasi tinggi bagi pendidikan di negeri ini. Namun karena tidak ada kehendak politik dari pemerintah untuk memperbaiki dunia pendidikan, orang-orang yang berjasa itu seperti dianggap angin lalu. Padahal, keluhan dan jeritan hati mereka adalah keluhan dan jeritan hati bangsa ini. Untuk itu para politisi dan pengambil kebijakan pendidikan semestinya mendengarkan mereka!

Pembaharuan pendidikan mempersyaratkan sebuah dialog dewasa dan adil antara pihak-pihak yang berkepentingan, seperti, guru, sekolah, pemerintah, dll. KTSP yang kini diplesetkan dengan kata, ‘katesiape’ sesungguhnya merupakan lambang ketidakberdayaan guru yang selama ini diperlakukan tidak adil dan menjadi obyek kekuasaan.

Jika pemerintah tidak mau mendengarkan mereka, dan tetap ngotot dengan agendanya sendiri, tentu nanti pemerintah sendiri yang akan menanggung resiko atas kredibilitas kinerja politiknya. Rakyat sendiri nanti yang akan menilai dan mengadilinya. Guru hanya meminta satu hal agar kinerjanya sebagai pendidik bangsa dihargai, bukan dijadikan proyek politik, apalagi dilecehkan. Para guru sudah lama lelah dan muak untuk disuguhi parodi reformasi yang mengatasnamakan pembaharuan pendidikan.

Doni Koesoema, A Mahasiswa jurusan pedagogi sekolah dan pengembangan profesional pada fakultas ilmu pendidikan Universitas Salesian, Roma. Artikel ini pernah diterbitkan di KOMPAS, Jumat, 29 September 2006.

Kurikulum Berubah Lagi?

Kompas, Jumat, 29 September 2006

Oleh Doni Koesoema, A


Dulu ketika diperkenalkan model pembelajaran yang bernama Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) di sekolah-sekolah, tak berapa lama kemudian muncul parodi atas CBSA, yaitu, Cah Bodho Soyo Akeh (baca, jumlah anak yang bodoh semakin banyak). Begitu ada istilah MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), muncul ekpresi lain Masyarakat Bayar Sendiri. Dan sekarang ketika pemerintah memperkenalkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), banyak guru berseloroh, kurikulum KaTeSiaPe? (Menurut siapa?)

Seloroh itu tentu saja sekedar parodi. Namun parodi ini merepresentasikan kenyataan sesungguhnya yang dihadapi oleh para guru di tingkat satuan pendidikan. Korban pertama KTSP adalah para guru bidang studi. Dengan keluarnya KTSP, para guru bidang studi dikejar-kejar agar membuat sendiri kurikulum tiap mata pelajaran bagi sekolahnya. Banyak waktu habis untuk seminar dan pertemuan guru bidang studi demi merencanakan kurikulum seperti yang diharapkan dalam KTSP.

Tanpa persiapan


Proses pembuatan dan perencanaan kurikulum yang menyibukkan para guru bidang studi ketika proses pendidikan tahunan telah berjalan jelas membuat proses belajar mengajar terganggu. Para guru tidak konsentrasi mengajar karena selalu berpikir tentang pembuatan silabus, program, indikator, dll. Otonomi guru dalam mengaplikasikan indikator dari kompetensi dasar lebih banyak dialami sebagai penambahan beban pengisian kolom administratif yang lebih banyak buang waktu sia-sia. KTSP diluncurkan tanpa persiapan memadai.

Kekurangsiapan aplikasi KTSP, lebih terlihat nyata di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), khususnya berkaitan dengan proses pemetaan materi dari mata pelajaran yang terintegrasi, seperti IPA dan IPS. Hal ini tidak hanya membuat guru mata pelajaran pusing tujuh keliling, mengingat, misalnya, standar isi materi IPA terpadu versi KTSP tersebar tidak merata dari kelas satu sampai kelas tiga dalam buku versi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004. Pembuatan standar isi dan kompetensi dasar tampaknya tidak memperhatikan sebaran materi yang terdapat dalam kurikulum sebelumnya. Pemetaan materi antar kelas yang diintegrasikan akan mempengaruhi pengaturan, alokasi waktu mengajar dan kuantitas pekerjaan guru bidang studi.

Dari segi kompetensi, para guru merasa tidak siap sebab selama ini mereka mengampu satu mata pelajaran tertentu. Sekarang mereka mesti mampu mengajarkan semuanya. Guru IPA mesti bisa menguasai sekaligus Biologi, Kimia, dan Fisika! Kuota yang hanya 4 jam pelajaran seminggu untuk mata pelajaran terpadu juga membuka peluang bagi beberapa guru bidang studi untuk kehilangan pekerjaan!

Keputusan pemerintah yang bersikap keras kepala untuk mengadakan Ujian Nasional tahun 2007 semakin membuat pembaharuan kurikulum lewat KTSP menjadi mandul dan semakin menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam memperbaiki carut marut pendidikan di negeri kita. Pertanyaan pokoknya adalah jika KTSP memberikan keluasan bagi otonomi sekolah di tingkat satuan pendidikan, standar penilaian juga semestinya menjadi hak otonom sekolah, sebab merekalah yang menentukan indikator dan memilih proses serta materi melalui program belajar di kelas. Karena itu, UN merupakan sebuah keputusan yang kontraproduktif bagi peningkatan kualitas pembelajaran.

Pada saat pemerintah menerapkan KBK saja, para guru sempat kedodoran untuk mempersiapkan materi UN bagi siswa, sebab depdiknas memberikan kisi-kisi UN sekitar 2 bulan sebelumnya. Jelas saja para guru pontang-panting sebab selama 2 bulan mesti mendalami lagi materi agar siswa tidak mengalami kegagalan selama UN. Penentuan kisi-kisi UN oleh pemerintah jika ditilik dari tujuan KTSP adalah sebuah inkonsistensi. Sekolah yang telah merancang program pembelajaran semestinya juga menentukan standar penilaiannya. Secara didaktis tidak masuk akan meminta siswa mengerjakan soal-soal yang di dalam sekolahnya sendiri tidak diajarkan.

Dampak negatif UN lainnya adalah bahwa UN akan tetap membuat tiap sekolah lebih konsentrasi untuk memperdalam mata pelajaran yang diujiannasionalkan daripada membuat anak didik cerdas dan mampu berpikir kreatif berhadapan dengan materi pembelajaran yang diterimanya.

Mengingat tidak adanya persiapan teknis, kekeliruan prosedur, kesalahan pedagogis, serta inkonsistensi struktural dalam UN, UN yang akan dilakukan pada tahun 2007 tidak akan mampu menaikkan kualitas pendidikan nasional, selain menjadi sebuah proyek yang kental muatan politisnya daripada edukatifnya berupa pemborosan anggaran negara untuk sesuatu yang tidak berguna!

Beban administrasi

KTSP merupakan sebuah program pembaharuan kurikulum yang mencoba memberikan ruang bagi otonomi sekolah secara lebih luas. Namun, untuk menerapkannya butuh berbagai macam persiapan,seperti, proses sosialisasi dan pelatihan mengingat para guru tidak pernah belajar bagaimana membuat kurikulum sendiri. Demi mengejar target pihak sekolah akhirnya banyak memilih mengikuti model yang ditawarkan pemerintah, mengerjakan KTSP asal-asalan, atau meniru materi KBK 2004 yang telah ada dengan penyesuaian administratif di sana sini. Singkatnya, asal syarat administratif terpenuhi.

Tak heran jika ada seorang guru berseloroh selepas mengikuti seminar yang diadakan depdiknas, “susah-susah kita datang untuk mendengarkan seminar tentang KTSP, kita nggak dapat-apa apa. Kenapa kita selalu dibebani tugas administrasi yang menyita energi dan merugikan proses belajar siswa?”

Dengarkanlah!


Para penanggungjawab pendidikan yang dipercaya republik ini untuk memperbaiki dunia pendidikan semestinya mendengarkan keluhan tak terdendar para guru ini. Mereka adalah orang yang berdedikasi tinggi bagi pendidikan di negeri ini. Namun karena tidak ada kehendak politik dari pemerintah untuk memperbaiki dunia pendidikan, orang-orang yang berjasa itu seperti dianggap angin lalu. Padahal, keluhan dan jeritan hati mereka adalah keluhan dan jeritan hati bangsa ini. Untuk itu para politisi dan pengambil kebijakan pendidikan semestinya mendengarkan mereka!

Pembaharuan pendidikan mempersyaratkan sebuah dialog dewasa dan adil antara pihak-pihak yang berkepentingan, seperti, guru, sekolah, pemerintah, dll. KTSP yang kini diplesetkan dengan kata, ‘katesiape’ sesungguhnya merupakan lambang ketidakberdayaan guru yang selama ini diperlakukan tidak adil dan menjadi obyek kekuasaan.

Jika pemerintah tidak mau mendengarkan mereka, dan tetap ngotot dengan agendanya sendiri, tentu nanti pemerintah sendiri yang akan menanggung resiko atas kredibilitas kinerja politiknya. Rakyat sendiri nanti yang akan menilai dan mengadilinya. Guru hanya meminta satu hal agar kinerjanya sebagai pendidik bangsa dihargai, bukan dijadikan proyek politik, apalagi dilecehkan. Para guru sudah lama lelah dan muak untuk disuguhi parodi reformasi yang mengatasnamakan pembaharuan pendidikan.

Doni Koesoema, A Mahasiswa jurusan pedagogi sekolah dan pengembangan profesional pada fakultas ilmu pendidikan Universitas Salesian, Roma.


Artikel ini dimuat di Harian Kompas, Jumat, 29 September 2006.

Pendidikan Keagamaan