Thursday, 3 September 2009

Cendekia, Politisi dan Krisis Identitas

KOMPAS, 01 November 2005
Oleh. Doni Koesoema, A

Masalah BBM, menurut Menteri Komunikasi dan Informatika (menkominfo), Sofyan A Djalil, bukanlah masalah pemerintah SBY-JK, tetapi masalah bangsa (Kompas, 12/10/2005). Ia mengkritik keras wacana Effendi Gazali lewat tulisannya Bersama Kita Bisa (Menderita) sebagai sebuah insinuasi atas kebijakan pemerintah yang seakan-akan menzalimi rakyatnya. Karena itu, mengutip menkominfo, ‘we have to choose the lesser of two evils”. Dan ia mengharapkan agar ‘ilmuwan bersikap fair dan broad minded’.

Memang benar bahwa para politisi dan cendekia semestinya bersatu dan bahu-membahu dalam mengatasi persoalan bangsa. Namun mengatakan bahwa masalah BBM bukanlah masalah pemerintah SBY-JK, malahan menunjuk suatu entitas absurd yang disebut dengan ‘masalah bangsa’ bisa dituduh sebagai sebuah eskapisme politis.

Masalah bangsa menjadi makin parah ketika para politisi ternyata juga merupakan bagian dari kelompok elite yang disebut cendekia. Intelektualisme politisi merupakan ancaman besar bagi sebuah masyarakat yang menghargai nilai-nilai demokrasi. Terlebih kalau pragmatisme politik-ekonomi lantas menjadi satu-satunya acuan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Pendidikan kontemporer, menurut Jacques Maritain ((1882-1973), karena bersifat parsial dan mendewakan spesialisasi, memiliki kelemahan dalam membangun fondasi kokoh sebuah masyarakat demokrasi. Dalam bukunya, Pendidikan berada di simpang jalan (1943), ia menengarai kesalahan-kesalahan dalam pendidikan kontemporer yang mengakibatkan hilangnya rasa integralitas seorang pribadi. Dua diantaranya adalah pragmatisme dan intelektualisme.


Pragmatisme intelektual


Kritik Maritain atas pragmatisme intelektual tidak mengacu pada perilaku partisipasipatif atas kehidupan sosial, sebuah aspek yang oleh para filsuf dianggap sebagai hal-hal yang fundamental dan positif bagi hidup sosial setiap manusia, melainkan menukik langsung pada prinsip yang mendasarinya, yaitu, bahwa kegiatan berpikir terjadi karena ada persoalan yang muncul dalam kehidupan praktis yang harus dihadapi dan harus segera dipecahkan.

“Adalah sebuah penghinaan mendefinisikan pemikiran manusia sebagai sebuah organ untuk menjawab berbagai macam rangsangan atas situasi lingkungan nyata. Terminologi seperti ini hanya tepat untuk menggambarkan pengetahuan dan reaksi binatang, sehingga berpikir secara persis dengan definisi seperti ini mengukuhkan cara berpikir khas untuk binatang tanpa rasio,” tulis Maritain.

Manusia mempergunakan daya penalarannya bukan sekedar sebagai jawaban atas rangsangan dari luar, melainkan tertuju pada suatu nilai, yaitu, kebenaran. Kebenaran inilah yang perlu diverifikasi, baik secara rasional maupun lewat pengalaman, bukan melalui kegunaan praktisnya semata. Hidup itu sendiri memiliki tujuan yang membuat hidup itu sendiri semakin layak dihayati. Pragmatisme mengaburkan kebenaran yang mesti menjadi acuan setiap ilmuwan. Pragmatisme intelektual semakin efektif menggoyahkan sendi-sendi demokrasi ketika dibarengi dengan intelektualisme politisi.

Intelektualisme politisi

Intelektualisme, lanjut Maritain, merupakan konsekuensi logis pola pikir yang mendewakan fungsi praktis dan sosial pengetahuan manusia. Kegiatan intelektual manusia tidak dilihat sebagai sebuah pejiarahan luas untuk mencari kebenaran, melainkan diredusir pada pengetahuan yang semakin lama semakin khusus dan terspesialisasi. Intelektualisme modern termanifestasi dalam pemahaman bahwa kesempurnaan pendidikan tercapai ketika anak didik memiliki spesialisasi akademis dan kemampuan teknis.


Kelemahan dasar model berpikir spesialisasi ini adalah mencetak manusia sempurna yang kenal betul akan tugas-tugas khususnya namun tidak memiliki kemampuan dan kepekaan dalam menilai sesuatu yang berada diluar bidang spesialisasinya.

“Kultus spesialisasi memiskinkan manusia dan melukai martabatnya,” kritik Maritain.

Dalam kerangka politik, pemiskinan manusia ini merupakan hal yang fatal bagi pembentukan masyarakat sosial yang demokratis. Masyarakat yang demokratis membutuhkan cendekia yang terbuka, luas horisonnya, bukan sebuah jiwa yang tertutup pada spesialisasinya saja.

Dihitung secara matematis dan ekonomis, menaikkan harga BBM memang sebuah keputusan yang secara rasional gamblang paling menguntungkan dan praktis. Menghapus subsidi BBM dan menaikkan harga BBM akan menjaga keberlangsungan APBN yang sehat dan menjamin nilai rupiah, mengurangi penyelundupan dan pengoplosan BBM, dll. Dana kompensasi langsung BBM bagi orang miskin mungkin memang diperlukan. Namun untuk apa keberlangsungan APBN jika uang negara masih dengan mudah dijarah sehingga proyek padat karya dan perbaikan infrastruktur yang dianggarkan tetap menjadi ladang empuk korupsi? Untuk apa dana kompensasi kalau hanya menjadi kesempatan bagi mereka yang berkuasa untuk memanipulasi data dan menjarah kembali uang negara?

Yang dibutuhkan rakyat adalah keadilan, di mana para penyelundup BBM yang merugikan negara dihukum; transparansi keuangan, di mana para manipulator dana compensasi diproses di pengadilan. Yang diminta dari rakyat adalah jaminan sosial secara terstruktur dan legal bagi mereka yang kurang beruntung (bukan sekedar aksidental dengan memberi kartu keluarga miskin!).

Kebijakan kenaikan harga BBM mengindikasikan bahwa aristokrasi ekonomi di Indonesia telah sampai pada tahap yang membahayakan sendi-sendi demokrasi dan keadilan sosial.

Intelektualisme politisi seperti ini membawa kehidupan politik di ambang kehancuran, sebab kehidupan politik yang semestinya menjadi kinerja bersama seluruh warga, di mana masyarakat sipil mengemban peran sebagai pengawal kebijakan publik, akhirnya hanya dipegang oleh sekelompok kecil politisi spesialis.
Kelompok kecil teknokrat politik-ekonomi yang menentukan hidup mati semua orang.

Krisis solidaritas

Pragmatisme intelektual ditambah dengan fenomena intelektualisme politisi akan menghasilkan krisis solidaritas. Krisis solidaritas menggerogoti tatanan kehidupan sosial masyarakat. Krisis solidaritas terjadi karena warga semakin menyadari bahwa para politisi alih-alih memiliki sense of crisis, malah jatuh pada eskapisme politis. Kompleksitas masalah BBM yang dipicu oleh kebijakan politik ekonomi pemerintah digeneralisir sebagai masalah bangsa, bukan karena kekeliruan analisis pemerintah dalam mengatur negara. Eskapisme politis menyepelekan efektifitas struktur kekuasaan politik dalam menentukan kebijakan publiknya.

Cuci tangan atas keputusan politik yang diambil bukanlah perilaku terpuji seorang demokrat. Para politisi (baca, pemerintah, pembuat hukum, dan pegawai pengadilan) dalam sebuah masyarakat demokratis bekerja pertama-tama untuk melayani melayani republik (baca=hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, di sini termasuk BBM). Sebab, dari kodrat kekuasaan yang dimilikinya, setiap keputusan politik yang mereka ambil akan memiliki dampak nyata bagi setiap warga negara.

Masalah BBM mungkin memang merupakan masalah bangsa. Namun keputusan menaikkan harga BBM yang berimbas pada meroketnya harga-harga, sulitnya mendapat pasokan gas, dll, merupakan tetap menjadi tanggungjawab politik pemerintahan SBY-JK.

Masyarakat akan tetap berpikir bahwa kebijakan pemerintah telah menzalimi dan melukai martabat warganya, jika dengan keputusan politiknya, pemerintahan SBY-JK tidak dapat mempertanggungjawabkan transparansi keuangan dan kelancaran penyaluran dana kompensasi bagi rakyat miskin, menjamin stabilitas kehidupan sosial ekonomi di dalam masyarakat serta perbaikan berbagai macam infrastruktur yang dijanjikan setelah mengambil keputusan politiknya, yang menurut Sofyan A DJalil. “we have to choose the lesser of two evils”.

Mungkin sekaranglah saat yang tepat mengatakan pada pemerintah bahwa sebagai warga kita juga berhak mengatakan, “‘we have to choose the lesser of two evils”. Apakah pemerintah memang mau lari dari tanggungjawab politik, atau rakyat harus terus mendendangkan tembang duka dengan judul Bersama Kita Bisa (Menderita).

Doni Koesoema, A. Penulis adalah mahasiswa jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma.

No comments:

Pendidikan Keagamaan