BAGAIMANA dampak teknologi informasi terhadap budaya baca tulis anak? Adakah kehadiran teknologi informasi itu menghidupkan budaya baca tulis anak atau sebaliknya secara sistematis dan kultural mematikan budaya baca tulis mereka? Tulisan ini memaparkannya.
INOVASI teknologi informasi berkembang begitu pesat. Kini, era informasi
telah merambah segala dimensi kehidupan kita. Laju informasi yang beredar sudah
tidak bisa dibendung (dan dikendalikan) baik jumlah maupun jenis dan dampak
ikutannya. Melalui media elektronik (televisi, internet dengan segala
variannya), anak-anak kita dihantam oleh tsunami informasi yang maha dahsyat.
Di satu sisi, informasi itu bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan,
ketrampilan, dan sikap anak. Secara positif, ada amat banyak situs yang
menawarkan program atau modul pembelajaran yang bisa diakses anak dengan mudah.
Ruang belajar anak tidak lagi dibatasi dinding-dinding tembok ruang kelas
karena proses pembelajaran di dunia maya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
Sejumlah situs menyajikan program amat bermutu bagi pengembangan berbagai
kompetensi anak.
Namun di sisi lain, banjir informasi itu bisa merusak anak karena content
(isinya) mengandung banyak unsur yang tidak sesuai untuk konsumsi anak. Ketika
anak sudah berselancar di dunia maya, mengakses rupa-rupa informasi yang ada di
dalamnya, segala informasi yang ada di situ akan bisa diakses anak termasuk
situs-situs yang tidak layak/tidak sesuai (kekerasan dan pornografi, misalnya).
Situasi ini semakin parah karena tidak banyak guru dan orangtua yang melek
teknologi informasi dan punya waktu mendampingi anak dan memberi arahan dalam
penjelajahan ke dunia maya. Akibatnya, anak-anak menjadi rentan terhadap
berbagai dampak negatif dari penyalahgunaan teknologi informasi (lih. Anita
Lie, 2004).
Dampak lainnya yang paling dahsyat, kemajuan teknologi informasi itu
ternyata secara sistematis dan struktural memperlemah kemampuan-kemampuan
dasariah manusia. Sebagaimana yang dikemukakan Doni Koesoema A, dalam
tulisannya “Pendidikan Manusia Versus Kebutuhan Pasar, 2004”, kemajuan
teknologi informasi di satu sisi memberi manusia informasi alternatif,
menawarkan jutaan informasi, namun di lain pihak menghasilkan gejala buta huruf
jenis baru, yaitu buta huruf fungsional.
Buta huruf fungsional adalah sebuah keadaan di mana kapasitas dan kemampuan
manusia paling mendasar dalam berekspresi dan berpikir menjadi mandeg.
Membanjirnya informasi membuat kemampuan membaca, menulis, menghitung, dan
mengingat lumpuh. Para pelajar menjadi semakin pasif dan miskin perbendaharaan
kata. Melimpahnya data memposisikan manusia sebagai sekadar keranjang sampah
informasi semata sehingga kemampuannya untuk mengolah data dan membuat refleksi
secara sistematis dan tergarap dengan baik makin menurun.
Sebagai ilustrasi, data yang dikeluarkan National Labour Survey tahun 2000
yang membahas daya jangkau orang Indonesia terhadap media massa, menegaskan
betapa penurunan drastis pada minat baca (Koran dan majalah), yaitu dari 23,31%
(1993) menjadi 17,47% (2000). Sementara terdapat peningkatan signifikan dalam
masyarakat (berusia lebih dari 10 tahun) atas kebiasaan menonton televisi,
yaitu dari 64,77% (1993) meningkat menjadi 87,97% (2000) (Doni Koesoema A,
2004). Itu data belasan tahun lalu yang ‘Generasi Gadget’ belum separah
sekarang. Bagaimana kondisi budaya baca anak-anak kita saat ini dan tahun-tahun
mendatang? Bukankah akan semakin memprihatinkan ketika era internet/gadget
semakin merajalela? Menarik untuk diteliti.
Matinya budaya baca dan budaya tulis membuat masyarakat kita terjerumus
sekadar menjadi masyarakat penonton yang dijejali berbagai macam data,
imajinasi, yang kebenaran dan keakuratannya tak dapat diandalkan. Masyarakat
menjadi tak tahu lagi mana yang isu, fitnah, berita sungguhan, kejadian
sungguhan atau rekaan, dan sebagainya.
Di satu sisi, akses pada pengetahuan semakin mudah, namun di lain pihak kita
juga kesulitan mendefinisikan batas-batas berkaitan dengan penyebaran data itu.
Ada semacam anonimitas dalam dunia internet. Dunia maya yang ditawarkan
internet bisa membuat orang terkecoh, salah data, dan kemampuannya memandang
kenyataan berpotensi terdistorsi (Ibid.)
Di tengah kondisi yang demikian, apa yang mesti dilakukan? Ada beberapa
alternatif yang bisa dilakukan, diantaranya, etika media dan penegakan etika
serta pemberlakuan UU terkait ICT secara konsisten dan konsekuen mutlak
diperlukan agar degradasi kemanusiaan dapat dihindari.
Telaah terhadap situasi pendidikan (apalagi saat ini) harus diletakkan dalam
kerangka kehidupan sosial yang lebih luas. Meski pendidikan menempatkan siswa
dalam sebuah ruang kelas tertutup, apa yang mereka pelajari menembus
batas-batas dinding tembok sekolahnya. Di sini pendampingan dan arahan dari
guru dan orangtua menjadi penting.
Pencarian, penyaringan, pemilahan, dan pemanfaatan informasi amat mudah
dengan penggunaan teknologi komputer dan internet. Maka dari itu, penguasaan
teknologi komputer dan internet menjadi keharusan di kalangan guru dan
orangtua. Penguasaan teknologi komputer dan internet ini menjadi mendesak agar
guru dan orangtua dapat mendampingi dan memberi arahan dalam penjelajahan ke
dunia maya.
Pelbagai kegiatan, lomba-lomba yang mendorong anak didik/siswa untuk
meningkatkan kegemaran membacanya secara signifikan mutlak dilakukan.
Pendidikan kita mesti menanamkan dan menguatkan nilai-nilai kebangsaan agar
siswa kita tidak mudah hanyut dalam arus dunia dan mudah menerima segala
pengaruh asing.
Kata-kata bijak Mahatma Gandhi (seperti dikutip dalam Kachru, 1983, Anita Lie,
2004), kiranya dapat menjadi filter dan inspirasi agar kita tidak mudah terbawa
arus dan terhempaskan oleh gelombang tsunami informasi. “Saya tidak ingin rumah
saya ditemboki pada semua bagian dan jendela saya ditutup. Saya ingin
budaya-budaya dari semua tempat berembus di seputar rumah saya sebebas mungkin.
Tetapi saya menolak untuk terbawa dan terhempaskan”.
* Penulis Seorang Pendidik, Alumnus USD Yogyakarta, Humas SMP
Santo F Asisi, Tinggal di Kota Pontianak
Sumber: Pontianak Post