Wednesday 6 January 2010

Desain Besar Pendidikan

KOMPAS, Selasa 1 Desember 2009
Doni Koesoema A

Pendidikan bukanlah obat mujarab bagi berbagai macam persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini. Namun demikian, dengan mendisain kebijakan pendidikan secara baik dan sinambung mampu memberikan sumbangan yang bermakna bagi perubahan tatanan masyarakat. Sayangnya,kebijakan pendidikan kita lebih banyak didasari oleh perilaku reaktif untuk memenuhi kebutuhan sesaat dan seringkali malah kontraproduktif bagi kinerja dunia pendidikan itu sendiri. Mendisain kebijakan pendidikan secara integral, merupakan sebuah keharusan.

Mengawali tugasnya sebagai Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Mohammad Nuh melempar dua wacana penting, yaitu persolan integrasi evaluasi pendidikan dan pentingnya mendisain pendidikan yang mampu membentuk karakter budaya, bukan sekedar membentuk siswa menjadi individu yang santun, melainkan juga memiliki keingintahuan intelektual yang bermuara pada keunggulan akademis. Integrasi pendidikan dan pembentukan karakter merupakan titik lemah kebijakan pendidikan nasional kita selama ini.

Jika dua hal ini benar-benar ingin menjadi sasaran Mendiknas, mau tidak mau ia mesti berani mengkritisi kembali berbagai macam kebijakan pendidikan yang telah lalu. Ada beberapa warisan kebijakan pendidikan warisan Mendiknas sebelumnya yang mesti ditelaah kembali karena kebijakan tersebut tidak didasari oleh sikap pikir jangka panjang melainkan hanya untuk memenuhi kebutuhan reaksioner sesaat.

Tiga keprihatinan
Pertama, perubahan kebijakan proporsi pendidikan untuk menciptakan lebih banyak Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dibandingkan Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan rasio 70-30. Kebijakan ini sangat reaksioner dan tidak memperhatikan kepentingan jangka panjang kebutuhan nasional bangsa akan lahirnya generasi peneliti dan tenaga-tenaga terdidik secara akademis.

Di banyak tempat, perubahan rasio ini telah mematikan SMK-SMK swasta yang sudah mengalami krisis siswa sejak beberapa tahun terakhir. Partisipasi masyarakat dalam dunia pendidikan berkurang karena matinya sekolah-sekolah kejuruan swasta akibat gelojoh pemerintah dalam mendirikan SMK hingga ke pelosok.

Perlu diingat, bahwa banyaknya pengangguran terdidik dari perguruan tinggi maupun yang berasal dari lulusan SMA tidak akan serta merta diatasi dengan mendirikan SMK. Persoalan pengangguran bukanlah persoalan utama bagi dunia pendidikan, melainkan persoalan politik ekonomi yang kurang mampu memberikan keadilan bagi terciptanya lapangan pekerjaan. Sekolah tidak memiliki tanggungjawab menciptakan lapangan pekerjaan. Tugas mereka adalah mendidik dan membentuk mereka menjadi individu yang cerdas sehingga mereka menjadi lebih bermartabat dan dapat berpartisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat.

Selain itu, perubahan proporsi ini akan memperkecil kesempatan para siswa yang masuk dalam Perguruan Tinggi (PT). Di masa depan, PT memiliki posisi strategis dalam menjaga keberlangsungan hidup masyarakat melalui kinerja penelitian dan keilmuan yang dimilikinya. Kita akan kehilangan banyak dokter, peneliti, ilmuwan, dll, karena kebijakan pendidikan kita lebih mengarahkan siswa pada akuisisi kemampuan dan ketrampilan teknik, sedangkan refleksi filosofis intelektual yang memiliki rigoritas akademis menjadi semakin berkurang.

Kedua, perubahan proporsi kebijakan ini juga tidak didasari oleh sebuah cara berpikir integral, bukan hanya tentang keberlanjutan kompetensi akademis, melainkan juga dari segi pemahaman akan fungsi evaluasi itu sendiri.

Dari segi keberlanjutan kompetensi akademis, menciptakan lebih banyak SMK, sementara lupa mengintegrasikannya dengan membangun akademi atau politeknik sesuai kompetensi yang dibutuhkan hanya akan menciptakan tenaga kerja murahan dan hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan swasta karena mereka tidak perlu membiayai ongkos pelatihan untuk rekrutmen karyawan yang baru, sementara beban seperti ini ditanggung oleh Negara.

Perubahan proporsi SMA-SMK dianggap merupakan bagian dan tugas dari Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, sedangkan pendirian pendidikan setingkat Akademi merupakan bagian dari kinerja Dirjen Pendidikan Tinggi. Dua direktorat jenderal ini mesti bekerja sama menciptakan program pendidikan yang sinambung sehingga mereka yang masuk SMK memiliki kesempatan melanjutkan ke Politeknik atau Akademi yang setingkat dengan PT. Melulu membangun SMK tanpa dibarengi dengan pengembangan politeknik dan akademi hanya akan melahirkan tenaga kerja murahan bagi bangsa ini.

Dari segi evaluasi, UN SMK dan SMA bermasalah. Hasil UN tidak akan bisa dipakai untuk melanjutkan ke PT karena tujuan evaluasi yang dibutuhkan oleh SMK/SMA maupun PT sangat berbeda. Dengan demikian, UN hanya akan menjadi pemborosan anggaran Negara. Negara dan rakyat ditipu karena telah mengalokasikan uang untuk membuat evaluasi yang salah sasaran. Keinginan pemerintah untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung (MA) tentang kebijakan UN menunjukkan bahwa pengambil kebijakan ini tuli dengan suara rakyatnya sendiri.

Ketiga, pembentukan karakter bangsa dalam konteks pendidikan mesti bermuara pada keunggulan akademis. Sekolah itu tugas utama adalah membentuk anak-anak yang cerdas, pintar, kritis, yang mampu memahami tatanan sosial masyarakat menjadi lebih baik sehingga mereka mampu terlibat secara aktif dalam kehidupan masyarakat. Mengajarkan kesantunan, tata krama, membentuk siswa menjadi anak yang saleh dan rajin berdoa, tentu menjadi bagian integral kinerja pendidikan, namun ini bukan tugas utama sekolah, melainkan tugas semua warga masyarakat Indonesia. Memupuk keingintahuan intelektual, seperti diindikasikan oleh Mendiknas yang baru merupakan tugas utama sekolah.

Kebijakan pendidikan yang dipikirkan secara masak, matang, dan berkesinambungan mestinya menjadi orientasi bagi Pemerintah dalam mendisain pendidikan nasional. Kebutuhan sesaat akan tetap berubah, namun menciptakan sebuah generasi yang memiliki keunggulan akademis, kiranya menjadi tugas abadi setiap lembaga pendidikan. Inilah yang semestinya menjadi desain besar pendidikan nasional kita.

Doni Koesoema A, Penulis adalah alumnus Boston College Lynch School of Education, Boston, Amerika Serikat.

Pendidikan Keagamaan