Monday 23 June 2008

Momentum Pasca UN

KOMPAS, 21 Juni 2008
Doni Koesoema A

Sudah dapat diduga bahwa kelulusan Ujian Nasional (UN) tahun ini semakin menurun. Tanpa ada keberanian untuk mengevaluasi diri, momentum pembelajaran pasca UN akan lewat begitu saja. Selain itu, bisnis pendidikan akan berjalan seperti biasa jika pemerintah tidak segera mengkaji kembali kebijakan UN yang semakin banyak menyingkirkan hak-hak anak didik dalam mengenyam pendidikan bermutu.

Di banyak negara standardisasi menjadi jargon utama yang diusung untuk meningkatkan mutu pendidikan dan persaingan dalam dunia global. Tuntutan akuntabilitas pendidikan melalui standardisasi semakin menguat dengan adanya deklarasi global seperti Milleniun Developmental Goals (MDGs) dan Education for All yang memiliki tujuan utama dalam menyediakan pendidikan bermutu dan akses pendidikan dasar bagi semua. Persaingan global membuat banyak negara berusaha meningkatkan kinerja pendidikan mereka sehingga mereka mampu memperkaya kualitas sumber daya manusiawi yang dianggap sebagai modal sosial dan budaya.

Gerakan standardisasi global yang dipahami secara sempit dan mekanistis berpotensi kontraproduktif bagi tujuan pendidikan. Hargreaves (2003), misalnya, menengarai bahwa gelojoh standardisasi rupanya telah merenggut kreatifitas dan fleksibilitas guru, menghancurkan kerja sama, mengerdilkan kemampuan kepemimpinan guru, meredusir investasi guru dalam pengembangan profesional dan menghancurkan intelegensi kolektif yang sangat dibutuhkan dalam menanggapi tantangan global.

Di Indonesia, dampak standardisasi melalui UN bukan hanya mengancurkan kinerja profesional guru, menurunkan moral pendidik, melainkan melahirkan sebuah kultur jalan pintas dan mekanistis yang meredusir makna pendidikan sekedar lulus UN. Lebih dari itu, UN hanya akan melanggengkan ketimpangan sosial sebab sekolah papan atas, meskipun tidak memperoleh banyak manfaat atas UN, akan semakin bertengger di atas, sedangkan, sedangkan akan semakin banyak murid dari sekolah yang tidak bermutu, miskin, memiliki tenaga pengajar dan sarana pendidikan yang pas-pasan, akan semakin tersingkir. Mereka ini akan menjadi tumbal dan korban tahunan bagi gegap gempita UN. Situasi ini pada gilirannya akan menghancurkan kecerdasan kolektif yang dibutuhkan dalam persaingan global.

Tiga inspirasi

Di balik gegap gempita UN dan standardisasi, ada 3 sumber reformasi pendidikan global yang bisa menjadi inspirasi, namun dilewatkan begitu saja oleh pemerintah. Pertama, tuntutan standardisasi sesungguhnya dibarengi dengan kesadaran global akan makna pembelajaran yang bersifat lebih konstruktif. Ada titik balik dalam memandang proses belajar, yaitu dari cara belajar yang sifatnya kognitif, menuju pendekatan belajar yang lebih konstruktif. Menurut paradigma ini, target hasil belajar di sekolah diarahkan pada perkembangan pemahaman konseptual, pemecahan masalah, kecerdasan emosional, pengembangan kecerdasan bhineka (multiple intelligence) dan keterampilan interpersonal, daripada hafalan atau pembelajaran materi yang tidak relevan.

Kedua, tuntutan publik agar lembaga pendidikan menjamin proses belajar yang efektif bagi setiap siswa. Pendidikan inklusif yang memberikan kepada siapa saja, baik yang miskin maupun kaya untuk mengenyam pendidikan bermutu tanpa terancam masa depannya dipandang sebagai usaha untuk mempromosikan idealisme pendidikan untuk semua.

Ketiga, gerakan akuntabilitas pendidikan juga dibarengi dengan gelombang desentralisasi berbagai macam pelayanan publik termasuk dalam pendidikan. Karena itu, setiap usaha sentralisasi pendidikan malahan bertentangan dengan inspirasi dan cita-cita terlaksananya cita-cita pendidikan untuk semua.

Tiga inspirasi yang berasal dari gerakan reformasi pendidikan global menekankan tiga hal fundamental, yaitu, kualitas, persamaan kesempatan dalam mengenyam pendidikan (equity) dan pembelajaran yang efektif. Penekanan utamanya pada unsur pembelajaran (learning) aktif bukan mekanis.

Sayangnya, tiga hal inilah yang tidak pernah masuk dalam agenda reformasi pendidikan kita. Pembelajaran yang sifatnya konstruktif dan kreatif terpasung karena para siswa justru banyak mengalami pembelajaran yang sifatnya mekanistis, hafalan. Soal model pilihan ganda merupakan defisiensi pedagogis yang bertolak belakang dengan pendekatan konstruktif, kritis, yang penting bagi pemecahan masalah.

Pembelajaran yang efektif hanya diredusir sekedar melampaui batas minimal kelulusan UN. Siswa tidak dipacu untuk secara kreatif mempelajari apa yang memang penting dan dibutuhkan. Padahal pembelajaran yang efektif mengandaikan siswa memiliki pengalaman belajar yang membantunya menemukan makna dan memperkokoh pengertian daripada sekedar hafalan fakta-fakta ilmu pengetahuan yang terisolir.

Lebih dari itu, gerakan desentralisasi pendidikan yang sudah dilaksanakan dengan diluncurkannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), sepertinya ditarik kembali oleh pemerintah dengan tetap menerapkan UN yang sifatnya sentralistis dan malahan memangkas hak-hak guru dalam memberikan evaluasi bagi para siswanya.

Pendekatan keliru

Adalah keliru kalau menganggap sebuah perubahan pendidikan yang dipaksakan dari atas akan memberikan dampak nyata bagi praksis pengajaran dan pembelajaran di kelas. UN sebagai sebuah kebijakan yang dipaksakan dari atas dalam jangka panjang akan semakin menghancurkan dunia pendidikan kita dan semakin memperlebar jurang kualitas pendidikan.

Di banyak negara, ujian standar berskala nasional lebih banyak menghancurkan dunia pendidikan ketimbang memperkuatnya. Lebih dari itu, ujian standar berskala nasional seringkali lebih dilandasi motivasi politik daripada pedagogis. Di negara kita, situasinya tidak jauh berbeda. UN menyingkirkan semakin banyak anak didik dalam mengenyam pendidikan yang bermutu, menurunkan moralitas guru, siswa, kepala sekolah dan pejabat dinas pendidikan. Maraknya kebocoran soal dan terjadinya kecurangan selama UN yang terjadi di mana-mana semestinya membuat pemerintah mengkaji kembali kebijakan UN, bukan malah menambah mata pelajaran yang diujikan dalam UN.

Hiruk pikuk UN memang telah selesai, namun tugas pemerintah untuk menyempurnakan kebijakan pendidikannya belum selesai. Tenggelam dalam besaran persentase kelulusan tanpa mau mengkritisi kebijakan UN yang cacat secara mendasar dan kontraproduktif bagi pendidikan serta membiarkan korban UN berjatuhan setiap tahun merupakan perilaku kebijakan pendidikan yang tidak bertanggungjawab.

Doni Koesoema A Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston

Pendidikan Keagamaan