Showing posts with label Filsafat Pendidikan. Show all posts
Showing posts with label Filsafat Pendidikan. Show all posts

Saturday 15 September 2007

Pendidikan dalam Perjumpaan

Oleh. Doni Koesoema A.

“Tidak, ia tidak akan pernah kembali lagi,” ujar seorang baby-sitter pada si buyung dalam gendongannya. Setiap kali si buyung mengenang ibunya kalimat yang keluar dari bibir baby-sitter itu seperti terdengar kembali. Itulah memori yang membekas kuat dalam benak Martin Buber (1878-1965) ketika sebagai bocah berusia 3 tahun ditinggal pergi oleh ibunya. Berlalu lebih dari sepuluh tahun ia baru memahami arti pengalamannya itu. Buber memahami sebuah realitas yang disebutnya sebagai ‘kegagalan perjumpaan nyata antarpribadi’ (Vergegnung). Dalam terang pengalamannya inilah Buber lantas mendefinisikan pendidikan sebagai “sebuah keputusan dari seorang pribadi untuk bertindak dalam relasinya dengan pribadi yang lain di dunia”(Friedman, M.1976:3). Pedagoginya sering disebut dengan pendidikan dalam perjumpaan.

Tiga relasi

Perjumpaan nyata antarpribadi adalah ciri hakiki sebuah pendidikan. Definisi Buber tentang pendidikan membawa kita menyadari tiga unsur penting yang inheren dalam proses pendidikan, yaitu, aku, kamu (baca, orang lain) dan dunia. Pendidikan memiliki misi mengarahkan keputusan setiap pribadi dalam kerangka kehadiran orang lain dalam sebuah ruang dan waktu tertentu. Karena itu, pendidikan sesungguhnya merupakan sebuah relasi personal yang mendalam antarpribadi, bukan sekedar relasi fungsional pendidik (educator) dan murid (educando). Relasi ini terjadi dalam sebuah ruang publik seperti sekolah, masyarakat, bangsa, negara atau dunia. Ruang publik ini menjadi tempat berjumpa dalam rangka belajar bersama (locus educationis) dalam setiap tindakan pendidikan.

Kualitas sebuah pendidikan bisa dilihat bagaimana berbagai macam relasi dapat terbentuk dalam ruang-ruang yang menjadi locus educationis tersebut. Jika relasi pembelajaran hanya berfungsi secara teknis, maka guru hanya memandang murid sebagai semacam gelas kosong yang mesti diisi dengan berbagai macam ilmu. Jika relasi itu melibatkan unsur kekuasaan, entah kekuasaan yang dimiliki karena sebuah jabatan, misalnya, sebagai guru, kepala sekolah atau penilik sekolah, maka relasi yang terjadi akan makin koruptif-manipulatif. Guru menjual nilai, kepala sekolah dan staff sekolah memanipulasi anggaran sekolah berupa angka-angka fiktif manipulatif, penilik sekolah memanfaatkan kekuasaannya untuk memeras sekolah-sekolah elit berduit, dll. Siswapun tak kalah pintar. Jika mereka punya uang, guru dan nilai bisa dibeli sekaligus. Ebtanas tak jadi masalah sebab bisa beli bocoran soal.

Selain itu dampak sosial sebuah pendidikan yang gagal memaknai peranan penting perjumpaan antarpribadi bisa terlihat dalam meningkatnya berbagai macam tindak kekerasan yang cenderung melecehkan martabat satu sama lain. Tawuran pelajar, perkelahian mahasiswa, bahkan tawuran antar kampung merupakan manifestasi kegagalan sebuah perjumpaan yang dialami dalam hidup seseorang. Jika pendidikan tidak mempersiapkan setiap pribadi yang terlibat di dalamnya untuk dapat menghargai pribadi lain maka berbagai macam konflik antar pribadi dan golongan bisa makin subur.

Dalam sebuah masyarakat multi-kultural, multi-religius, multi-etnis, seperti Indonesia pendidikan yang mengarahkan setiap pribadi agar dapat memaknai setiap perjumpaan mereka dengan orang lain merupakan kemendesakan yang tak dapat ditawar. Kegagalan memahami kehadiran orang lain sebagai pribadi yang berharga bagi diri setiap orang akan berdampak mengerikan. Jika sampai pada taraf massif bisa terjadi tindakan kekerasan dalam level horisontal fatal, seperti, genocide (karena tak bisa menghargai perbedaan etnis atau suku), bisa juga terwujud dalam tindakan diskriminatif rasial (hilangnya perlindungan atas hak-hak kaum minoritas karena tekanan mayoritas), atau bisa terwujud dalam pembasmian religius yang bermotifkan fundamentalisme agama.

Dunia berubah

Bagaimana seseorang berelasi satu dengan yang lain tidaklah sama dari waktu ke waktu. Tempora mutantur, et nos mutamur in illis. Waktu berubah dan kitapun ikut berubah karenanya. Pepatah ini ingin mengatakan bahwa tata cara kita memandang ruang di mana kita hidup berubah. Waktu tentu akan tetap sama. Satu hari akan selalu terdiri dari 24 jam. Namun, lebih dari masa lalu perubahan mendasar yang kita alami adalah cara pandang kita terhadap ruang.

Kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi memperpendek bahkan menghilangkan batas-batas fisik-spasial. Hadirnya komputer, maraknya sistem komunikasi multi-media lewat internet (chating, email, dll) semakin memperpendek jarak spasial yang ada. Perubahan cara pandang terhadap ruang melalui bahasa teknologi ini mempengaruhi salah satu proses dalam pendidikan yaitu transfer ilmu. Perubahan radikal pada proses transfer ilmu ini memiliki signifikasi tidak kecil bagi sebuah pedagogi pendidikan yang memberi penekanan pada unsur perjumpaan.

Menurut Jean-François Lyotard dalam The postmodern Candition: A report on Knowledge, dalam masyarakat yang terkomputerisasi, ilmu pengetahuan akan semakin valid dan terdiseminasi dengan subur jika bisa terkodifikasi dalam bahasa komputer yang bisa diakses oleh siapa saja. Monopoli ilmu adalah ilusi masa lalu. Bank data merupakan ensiklopedi masa depan. Mereka mengatasi kapasitas setiap pengguna (user). Bank data merupakan sebuah ‘kodrat’ bagi manusia pos-modern. Dengan kata lain, yang terkena sasaran langsung adalah peranan pendidik sebagai medium dalam proses pembelajaran. Sejauh proses pembelajaran dapat diterjemahkan dalam bahasa komputer, peranan tradisional guru bisa tergantikan oleh memori bank data. Proses didaktis bisa tergantikan oleh mesin yang menjembatani memori bank tradisional (perpustakaan) dengan memori bank modern (komputer) sesuai dengan kebutuhan siswa.

Proses alihfungsi parsial peran guru pada mesin sepertinya merupakan pelecehan terhadap kemanusiaan. Namun seperti disinyalir oleh Lyotard, proses didaktis tidaklah sekedar transformasi informasi, atau sekedar kepemilikan kompetensi (memiliki memori yang baik atau kemudahan akses pada komputer). Yang paling penting dalam proses didaktis modern adalah “kemampuan untuk mengaktualisasikan data-data yang relevan untuk memecahkan persoalan ‘saat ini-di sini’ dan kapasitas mengorganisasikan data-data ke dalam sebuah langkah strategis yang efisien.” (J.F.Lyotard,op.cit,51). Dalam kerangka ini guru bisa menemukan pintu masuk dalam berdialog dengan dunia.

Dalam masyarakat pos-modern ilmu telah terpublikasi secara penuh sehingga tak ada lagi monopoli ilmu. Data-data secara prinsip dapat diakses oleh siapa saja. tidak ada ada rahasia sains. Lyotard menyebut situasi ini sebagai sebuah permainan informasi sempurna (a game of perfect information). Dalam konteks ini salah satu keunggulan setiap proses belajar adalah kapasitas dalam menggabungkan berbagai macam data yang sepertinya terpisah itu ke dalam suatu wajah pengetahuan yang memiliki fungsi praktis dalam memecahkan persoalan konkret. Metode pembelajaran lintas ilmu (inter disciplinary studies) merupakan konsekuensi logis situasi ini. Siswa tidak bisa belajar secara sendiri. Ia membutuhkah partner jika ingin menjadi makin matang dan dewasa dalam proses pendidikan. Maka kehadiran orang lain dalam proses belajar menjadi penting.

Apa yang direfleksikan oleh Martin Buber tentang pentingnya perjumpaan antar pribadi menjadi sangat penting dan relevan. Masyarakat pos-modern menekankan pentingnya sebuah dialog terbuka satu dengan yang lain. Kehadiran pribadi lain menjadi bermakna ketika diletakkan dalam kerangka proses transformasi masyarakat sebab pendidikan pada hakekatnya merupakan cara berelasi antar pribadi satu sama lain dalam kerangka memecahkan masalah-masalah konkret yang mereka hadapi.

Menjadi guru di dalam masyarakat pos-modern akhirnya merupakan kinerja seni. Ia seperti seorang pelukis yang mengajak muridnya membuat sebuah lukisan secara bersama-sama. Dalam kerangka ini, pedagogi pendidikan dalam perjumpaan seperti direfleksikan oleh Martin Buber merupakan perwujudan emansipasi kemanusiaan kerangka transformasi masyarakat untuk mencari jalan-jalan alternatif terbaik bagi berlangsungnya kehidupan.

Kepada para pendidik tradisional yang masih merasa diri sebagai pemilik ilmu, kepada para pendidik yang masih yakin bahwa dirinya adalah satu-satunya protagonista dalam proses pendidikan, juga kepada para murid yang merasa bisa melangkah sendiri dalam mencari ilmu, yang mengabaikan kehadiran guru dan temannya sendiri, mungkin baik juga mengenang ingatan Martin Buber akan ibunya dan mengatakan kepada mereka, “tidak, ia tidak akan pernah kembali lagi.” Orang-orang seperti itu memang tidak pernah boleh kembali lagi dalam proses pendidikan kita yang ingin memaknai setiap perjumpaan dan pertemuan dengan yang lain dalam membangun tatanan dunia baru yang lebih manusiawi dan layak huni.

Doni Koesoema A. mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma.

Artikel dimuat di KOMPAS, 16 Januari 2004

Pendidikan Keluarga dan Salus Publica

Oleh. Doni Koesoema, A

Niccolò Macchiavelli (1469-1527) mengkritik kacau balaunya situasi politik di Florence dengan merujuk pada gejala amnesia historis atas sistem pendidikan Romana Antica. “Kita cenderung mengagumi masa lalu daripada mencontohnya,” tulisnya dalam Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio (Milano,1984). Kebencian dan ambisi politik di banyak provinsi dan kota-kota kristiani bukanlah alasan mengapa situasi politik di Florence begitu kacau. Kekacauan terjadi karena kurangnya “pengenalan sejati akan sejarah dan mencecap nilai intrinsik yang ada.” Singkatnya, belajar dari sejarah adalah awal dari reformasi politik. Belajar pada pendidikan Romana Antica berarti memberi prioritas pendidikan keluarga.

Pedagogi pendidikan romawi kuno bergerak dari ranah privat (keluarga) menuju ranah publik (kesejahteraan rakyat). Visi pendidikan ini kental dengan ideal moral ciceronis, “Salus publica suprema lex”(Cicero, la Leggi.III,8). Kemaslahatan umum adalah norma, nilai, dan keutamaan (virtù) dalam setiap proses pendidikan.

Macchiavelli lebih dikenal sebagai seorang pemikir politik ketimbang seorang pendidik. Namun tak dapat diragukan karya-karya ‘sekretaris negara Florence’ memiliki dimensi edukatif genial, khususnya refleksinya atas ketakterpisahan (dialektika) antara dimensi privat dan publik proses pendidikan. Kacaunya dunia politik bisa dilacak dalam carut-marutnya dunia pendidikan, sebab “contoh yang baik lahir dari pendidikan yang baik, dan pendidikan yang baik terlahir dari tatanan hukum yang baik (buone legge)...”(Discorsi,I,4).

Dalam seluruh opera Macchiavelli, kata-kata “pendidikan” (educazione) hanya dapat ditemukan 11 kali; 9 kali dalam Discorsi sulla prima Deca di Tito Livio, 1 kali dalam Dell’arte della Guerra, 1 kali dalam karya sastra Dell’Ambizione. Dalam karya-karyanya yang paling penting dan paling terkenal, seperti, Sang Pangeran (Il Principe), Sejarah Kota Florence (Storie Fiorentine) dan dalam Surat-Surat-nya (Lettere) tak ditemukan satupun kata-kata educazione.

“Pendidikan yang direfleksikan dan ditelaah oleh Macchiavelli adalah pendidikan politik dalam rangka merespons kebutuhan politis mendesak. Seandainya pendidikan tidak menciptakan situasi politik nyata, mempersiapkan setiap orang agar dapat hidup bersama sesuai dengan aturan, bagaimana mungkin mencapai tujuan pendidikan?”(Manuel Anselmi,2000).

Visi naturalisme

Dalam Discorsi (G.Sasso,1984), Macchiavelli menekankan dimensi natural pendidikan. Ia memakai kata-kata korporeal seperti tubuh dalam analoginya tentang kehidupan politik dengan mengkontraskannya antara jasmani yang sehat dan sakit. “(sebab)…tujuan republik adalah mematikan syaraf-syarafnya dan melemahkan dirinya sendiri untuk membuat seluruh tubuh bertumbuh dengan lebih sehat“ (G.Sasso.op.cit,302). Antara institusi politik (corpo politico) dan tubuh natural (pribadi, anggota dalam masyarakat) tidak ada perbedaan kualitatif. Dalam diri manusia ada yang mati demikian juga dalam sebuah sistem juga selalu ada unsur yang mati, agar manusia dan sistem itu menemukan keseimbangan alami bagi kesehatannya dan pertumbuhannya sendiri.

Macchiavelli sangat menjunjung tinggi gaya pendidikan Romana Antica yang secara intensif membentuk pribadi-pribadi yang siap terjun dalam kancah politik.

Ia mencoba mencari jawab fakta adanya perbedaan karakter dalam setiap keluarga bangsawan di Roma. Ia bertanya mengapa keluarga bangsawan Manlii misalnya memiliki karakter keras dan kasar, sedangkan keluarga Publicoli menghasilkan orang-orang yang bersahaja dan disukai rakyat, sementara keluarga Appii begitu ambisius dan menjadi musuh kalangan jelata? Perbedaan karakter ini tak mungkin karena garis keturunan. “Jika karena darah, karakter keluarga itu akan berubah melalu proses perkawinan satu sama lain. Karakter dalam keluarga mereka muncul karena perbedaan pendidikan antara keluarga yang satu dengan yang lain.“

Pendidikan dalam keluarga

Pendidikan Romawi kuno menempatkan keluarga sebagai locus educationis utama. Keluarga dianggap sebagai patron bagi Republik Roma. Ide paterfamilias menjadi semacam jembatan antara pendidikan privat dan publik. Ayah adalah penanggungjawab keluarga yang mengantar anak untuk memasuki dunia publik pemerintahan. Selain itu, pendidikan romawi kuno menempatkan ibu sebagai tokoh utama dan pendidik pertama bagi anak-anak. Ibu yang berkualitas akan memberikan pendidikan bagi anak-anaknya agar anak mereka kelak dapat siap terjun dalam kancah politik. Tokoh perempuan seperti Cornelia (ibu Gracchi), Aurelia (ibu Caesar), Attia (ibu Augusto) merupakan protagonista utama bagi pendidikan politik anak-anak mereka.

Cukup beralasan jika Macchiavelli meneropong kekacauan politis di Florence dengan membidik tajam pada bidang pendidikan. Ia begitu prihatin dengan proses pendidikan yang berlaku di Florence pada masanya sebab sistem pendidikan pada masa itu rupanya lebih suka, “mengagumi” masa lalu daripada “mencontohnya.” Mereka tak belajar dari sejarah kejayaan pendidikan Romana Antica.

“..jika proses pendidikan di italia tidak menghasilkan orang-orang yang kuat dan tegas, dan mereka lebih mempersalahkan unsur alamiah, tentu, jujur saya katakan, hal ini tak dapat dimaafkan dan justru inilah kelemahan kita. Sebab pendidikan dapat melengkapi apa yang kurang dari kapasitas alami yang kita miliki. Italia telah berkembang dan mampu menguasai dunia sejauh ia memiliki proses pendidikan yang ulet dan kuat ” (Macchiavelli, dell’Ambizione).
Pendidikan kita

Jika analisis Macchiavelli benar, carut-marut dunia politik kita, merajalelanya korupsi, ketidakpastian hukum, macetnya pelayanan publik negara terhadap warga negaranya, bisa dilacak juga dari kacaunya sistem pendidikan yang kita miliki, sebab “contoh yang baik lahir dari pendidikan yang baik, dan pendidikan yang baik terlahir dari tatanan hukum yang baik.” Selain itu, luputnya perhatian kita pada pendidikan dalam keluarga bisa menjadi bumerang bagi kehidupan sosial berbangsa di masa depan.

Ada kesan bahwa proses pendidikan kita makin mengarahkan anak didik yang dari sononya adalah manusia politis (baca, manusia publik), menjadi manusia rohani (manusia privat). Rusaknya moralitas bangsa sering dikambinghitamkan pada lemahnya iman. Karena itu, pendidikan agama mesti diterapkan pada seluruh jenjang pendidikan. Baik kita ingat, pemerintah Fasis Mussolini justru mewajibkan pendidikan agama katolik di setiap sekolah pada Reformasi Gentile (1922-1923).

Pendidikan mestinya mengarahkan anak didik untuk bergerak dari ranah privat menuju publik. Bukan sebaliknya. Pendidikan dalam keluarga dengan demikian tak terlepaskan dari proses kehidupan sosial politik dalam masyarakat.

Menjadi orang tua yang bertanggunjawab dan dapat memberikan bekal pendidikan bagi anaknya memang tidak mudah. Tidak ada sekolah untuk menjadi bapak atau ibu. Setiap orang bisa menjadi bapak atau ibu karena kapasitas alami biologis reproduktif dalam melanggengkan keturunan.

Mengharapkan output pendidikan yang bervisi salus publica suprema lex menjadi sekedar impian jika sampai sekarang masih banyak kita temui orang tua yang pasrah bongkokan menyerahkan anaknya untuk dididik di sekolah, tanpa mau terlibat dalam proses pendidikan anak-anak mereka sendiri, entah karena alasan kerja, sibuk, tak ada waktu, atau alasan ekonomi, “saya sudah bayar mahal ke sekolah untuk pendidikan anak saya.” Mental jual beli inilah sebenarnya yang menghambat kualitas pendidikan kita. Pendidikan yang baik mengandaikan kontinuitas dan kerjasama antara pihak orang tua dan sekolah.

Kalau yang punya anak sendiri saja tidak punya komitmen mendidik anaknya sendiri, jangan harapkan orang lain juga punya komitmen terhadap anak-anak kita. Siapakah anak-anak kita bagi mereka?

***
Doni Koesoema, A, penulis adalah mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma.
Dimuat di KOMPAS, 22 Desember 2003

Bangsa Yang Mendidik Dirinya Sendiri

Doni Koesoema A.

Masyarakat modern akan berdiri kokoh dan stabil bukan karena kehadiran para eksekutor, melainkan para profesor (para guru). Simbol kekuatan sebuah bangsa tidak didasarkan pada banyaknya guillotine, melainkan pada kualitas dan kuantitas kalangan cerdik pandai yang dimilikinya. Ernest Gellner menyebutnya dengan istilah doctorat d’éta[1] (1983;34). Karena itu, monopoli legitim atas dunia pendidikan saat ini menjadi sangat penting daripada monopoli perilaku kekerasan (violence). Singkatnya, sebuah bangsa akan kokoh jika ia memiliki dua hal. Pertama, dapat mendidik dirinya sendiri. Kedua, cinta damai.

Jika analisis Gellner tepat, banyaknya kalangan cerdik pandai akan berdampak pada turunnya tingkat kekerasan (fisik dan non-fisik) dalam masyarakat. Meningkatnya intelegensi sebuah bangsa akan dibarengi dengan turunnya perilaku kekerasan dalam menyelesaikan berbagai macam konflik sosial yang ada dalam masyarakat. Masyarakat akan lebih terbuka dalam dialog daripada bergegas menghunus pedang.

Merajut makna atau hampa

Dalam masyarakat pramodern proses pendidikan terbatas pada lingkup keluarga dan komunitas kecil yang sangat homogen secara kultural. Meski terbatas secara spasial, proses ini penting bagi sosialisasi dan pewarisan adat istiadat suatu komunitas. Pribadi menemukan tempatnya yang khas dalam komunitas kecil melalui keikutsertaan mereka dalam berbagai macam upacara adat, pelaksanaan ritus keagamaan, dll. Dengan cara inilah sebuah masyarakat melanggengkan dirinya secara terus-menerus.
Sebaliknya, masyarakat modern memiliki cara sosialisasi yang lebih rumit dan kompleks. Proses pembelajaran bagi individu tidak lagi dilakukan oleh keluarga. Pendidikan melibatkan pihak-pihak lain di luar ikatan keluarga, suku atau komunitas tertentu. Apa yang diperoleh melulu lewat keluarga tidak mencukupi buat persiapan hidup dalam masyarakat modern yang membutuhkan spesialisasi, kompetensi dan ketrampilan teknis tertentu.

Makna keberadaan seseorang ditentukan dari kapasitasnya untuk memasuki dunia kerja yang berbeda dengan latar belakang primordial di mana ia lahir dan dibesarkan. Dengan tegas Gellner mengatakan bahwa “the level of literacy and technical competence, in a standardized medium, a common conceptual currency, which is required of members of this society if they are to be employable and enjoy full and effektif moral citizenship[2]…”(Gellner,1983;34). Tingkatan literasi dan kompetensi teknis memungkinkan manusia menemukan makna keberadaan dirinya dalam arus dinamika masyarakan modern.

Rendahnya kualitas pendidikan dalam sebuah masyarakat, meski bukan faktor utama, berpotensi mendorong tumbuhnya perilaku kekerasan. Tingkat pendidikan yang rendah menyingkirkan orang-orang pada dunia kerja. Padahal inilah satu-satunya cara dalam memaknai hidupnya dalam masyarakat. Krisis eksistensial dalam lingkup kehidupan sosial jika tidak segera diantisipasi dapat mendiseminasi hubungan sosial yang polanya zero-sum game.

Pendidikan yang gagal melahirkan manusia-manusia yang gagal, yaitu, manusia yang gagal menegakkan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Kebodohan menjadi salah satu sumber yang melahirkan kekerasan. Barang siapa hanya memiliki palu, ia akan membuat semua orang menjadi paku. Karena itu meningkatkan kualitas pendidikan merupakan syarat mutlak kalau negeri ini ingin berdiri tegak secara bermartabat. Jika tidak, di masa-masa mendatang akan semakin sering kita jumpai masyarakat yang suka menghunus pedang untuk menebas leher sesamanya.

Formalitas tanpa isi

Pendapat Ernest Gellner bahwa akses pada pendidikan dan kehidupan kultural sangat berpengaruh bagi proses pemaknaan diri seseorang tampaknya klop dengan situasi masyarakat kita. Identitas dan keberadaan seorang pribadi seringkali dikaitkan dengan kualitas pendidikan dan luasnya lingkup budaya yang dijelajahinya. “kemampuan bekerja, kemartabatan, rasa aman dan penghargaan diri sebagai pribadi bagi sebagaian besar orang saat ini tergantung pada kualitas pendidikannya; batas-batas dunia yang dihirupnya secara moral dan profesional akan ditentukan oleh ruang lingkup pendidikan yang diterimanya. Karena itu, pendidikan seseorang merupakan investasi dirinya yang sangat berharga sebab inilah yang membentuk identitas dirinya. Manusia modern tidak setia pada monarki, tanah air, atau keyakinan imannya..., melainkan pada kebudayaan.” (Gellner,1983;36)

Kenyataan bahwa identitas pribadi banyak ditentukan oleh kualitas pendidikan dan ‘cara pandang dunia’ yang dimiliki membuat banyak orang berlomba-lomba memperoleh identitas formal agar eksistensi mereka diakui. Masyarakat cenderung mencari jalan pintas dalam memperoleh gelar akademik, entah dengan cara beli skripsi atau beli gelar. Rendahnya tanggungjawab moral dan keilmuan para intelektual menyumbangkan perilaku kekerasan tak kalah dahsyatnya bagi kehancuran masyarakat. Banyaknya sarjana aspal yang menduduki jabatan publik membelenggu mekanisme kerja masyarakat modern lewat perilakunya yang korup. Profesionalitas kerja menjadi rusak karena banyak jabatan penting dipegang oleh mereka yang boleh menduduki jabatan tapi tidak mampu bekerja sesuai kompetensi keilmuan untuk tugas tersebut. Ungkapan Gelner, bahwa stabilitas sebuah negara banyak ditentukan oleh para guru dan profesor bisa jadi benar seandainya kualitas dan tanggungjawab moral-keilmuan dijunjung tinggi.

Pendidikan yang mengedepankan damai, tanpa kekerasan mestinya menjadi perhatian kita. Sayangnya, sejak dulu hingga sekarang, dunia pendidikan kita pun tak luput dari cengkeraman perilaku kekerasan. Siswa terancam oleh kehadiran guru yang otoriter. Guru merasa tertekan karena tuntutan kurikulum. Kepala sekolah takut membuat inovasi dan terobosan baru di sekolah karena ancaman akreditasi sekolah,dll. Jika hampir semua proses pendidikan yang ada diam-diam menyemai benih kekerasan, doctorat d’éta hanya akan menjadi impian kita semata. Dunia pendidikan kita tidak dapat bangkit karena di dalamnya sendiri perilaku kekerasan masih merajalela. Kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan. Murid tak akan berbeda jauh dari gurunya.

Bung Karno membidik dengan tepat bagaimana pentingnya meningkatkan kualitas guru untuk meretas jalur kekerasan ini. Dalam sambutan yang berjudul “Menjadi goeroe dimasanya kebangunan” di hadapan para guru Taman Siswa ia berbicara tentang sebuah bangsa yang mendidik dirinya sendiri. Tumpuan pendidikan ada di pundak para guru. “Onderwijst is een voorplanting (pendidikan merupakan sebuah proses penanaman). Guru yang sifat hakikatnya hijau akan “beranak” hijau, guru yang sifat hakikatnya hitam akan “beranak hitam”. Saya tidak mau masuk ke dalam golongannya orang-orang yang mengatakan, bahwa guru bisa ‘main komedi’ kepada anak-anak: di muka anak-anak dengan muka yang angker hanya mengasih pengajaran, pengajaran yang termuat dalam lessontes saja, tetapi di belakang anak-anak itu berjiwa lain, berjiwa fasis atau anarkis atau nasionalis atau komunis, bertindak seperti orang yang tak berani membunuh nyamuk atau bertindak seperti bandit…tidak, guru tidak bisa ‘main komedi’, guru tidak bisa mendurhakai ia punya jiwa sendiri. Guru hanya bisa mengajarkan apa dia-itu sebenarnya. Men kan niet onderwijzen wat men wil, men kan niet onderwijzen wat men weet, men kan allen onderwijzen wat man is. (manusia tidak bisa mengajarkan sesuatu sekehendak hatinya, manusia tidak bisa mengajarkan apa yang tidak dimilikinya, manusia hanya bisa mengajarkan apa yang ada padanya[3]). (Di bawah bendera revolusi,1964:614).

Kapan bangsa ini mulai kembali pada visi Founding Fathers untuk merealisasikan cita-cita sebagai bangsa yang mendidik dirinya sendiri?

****
Doni Koesoema,A Penulis adalah mahasiswa Universitas Gregoriana, Roma.
Artikel dimuat di harian KOMPAS, 15 November 2003

[1] Lihat, Ernest Gellner, Nations and Nationalism, Blackwell, Oxford UK and Cambridge USA, 1983, hlm.34
[2] Gellner, Ibid, hlm.34
[3] Soekarno,Ir.,Di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta, 1964. Hlm 614

Pendidikan Keagamaan