Doni Koesoema A
Para pengambil kebijakan pendidikan di negeri ini tampaknya harus belajar dari Ayu Ting Ting. Jangan sampai alamat yang mereka pegang untuk mengarahkan "ke mana" pendidikan nasional ternyata palsu.
Banyaknya kebijakan pendidikan yang dipilih semakin menunjukkan bahwa alamat yang mereka pegang benar-benar palsu. Kebijakan pendidikan itu salah arah dan tak sampai pada apa yang sebenarnya ingin dituju.
Pengambil kebijakan pendidikan tampaknya semakin kalap dengan mengeluarkan berbagai kebijakan yang kontroversial : baik terkait dengan Ujian Nasional maupun dengan pengembangan profesi guru. Yang terakhir, kebijakan menambah jam mengajar guru dari minimal 24 jam per minggu menjadi 27,5 jam per minggu mendadak sontak menimbulkan protes para guru.
Dibatalkannya UU Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi dan dimenangkannya tuntutan para penyelenggara pendidikan swasta atas kata dapat menjadi wajib yang mendiskriminasi sekolah swasta jelas menunjukkan bahwa kalangan legislatif tak memahami dinamika yang terjadi dalam dunia pendidikan. Anggota yang legislatif yang membuat undang-undang tentang pendidikan tak punya kompetensi memadai sehingga produk hukum yang dibuat dibatalkan Mahkamah Konstitusi.
Jika diteruskan dan dijadikan dasar sebagai cara bertindak dalam pengaturan kebijakan pendidikan nasional di tingkat yang lebih rendah, cacat hukum di tingkat undang-undang akan melahirkan kebijakan yang distorsif, tak adil, dan malah meremehkan keberadaan dunia pendidikan dan eksistensi pendidik sendiri.
Dalam UU Sistem Pendidikan Nasional, peran guru sebagai evaluator bagi kinerja siswa telah dikebiri dalam kebijakan ujian nasional yang memandulkan kinerja guru. Diskriminasi atas peran sekolah swasta juga terjadi. Negara lebih memperhatikan sekolah negeri ketimbang sekolah swasta dalam pembiayaan pendidikan. Demikian juga dalam penentuan kuota sertifikasi guru. Ada ketakadilan dalam penentuan kuota sertifikasi antara guru negeri dan swasta.
Sekarang persoalan jam mengajar guru, yang sebenarnya sudah tak adil, justru diperberat lagi dengan adanya peraturan minimal menjadi 27,5 jam tatap muka per minggu. Jam mengajar guru minimal 24 jam ditetapkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 39 Tahun 2009.
Banyak guru yang tak dapat memenuhi minimal mengajar 24 jam per minggu. Ini terjadi karena perbedaan alokasi jam mengajar antarmata pelajaran. Jumlah jam yang tersedia selama satu nminggu tak akan mungkin dipenuhi oleh guru yang mengampu mata pelajaran dengan alokasi kecil, seperti Olahraga, Geografi, dan Agama. Alokasi 24 jam tatap muka per minggu bisa dipenuhi apabila sekolah memiliki lebih banyak kelas paralel.
Ketidakadilan
Aturan minimal 24 jam tatap muka per minggu saja sudah merupakan kebijakan yang tak adil. Kaetakadilan pertama terjadi karena pekerjaan guru hanya dinilai dari yang ia ajarkan di depan kelas. Kegiatan lain yang dilakukan guru di luar jam mengajar di kelas---seperti memberi remedial teaching, koreksi, membuat soal, mendesain program pembelajaran---tidak dihitung sebagai pekerjaan guru.
Apalagi sekarang malah mau ditambah menjadi 27,5 jam per minggu. Kebijakan ini tidak hanya menegaskan kebutaan para pengambil kebijakan pendidikan, tetapi semakin mengukuhkan keyakinan bahwa mereka sesungguhnya tak peduli terhadap pengembangan kualitas pendidikan nasional. Orang-orang seperti itu tidak layak menduduki posisi pemimpin yang menentukan maju mundurnya sebuah bangsa.
Kedua, sangat tidak adil dan melukai hati para guru dan pendidik ketika pekerjaan mereka selama sebulan hanya dihitung dan dibayar berdasarkan jam yang mereka lakukan selama seminggu. Jadi, gambaran kasarnya begini. Guru bekerja selama satu bulan, tetapi gaji yang mereka terima hanyalah untuk seminggu bekerja. Para pengambil kebijakan mestinya segera sadar bahwa kebijakan yang mereka buat tersebut sangat melukai, tidakk adil, serta tidak menghargai profesi guru.
Kalau mau bersikap adil, mestinya jam mengajar guru itu dihitung secara penuh selama satu bulan. Jadi gaji guru tidak hanya dihitung berdasarkan jam mengajar selama seminggu. Apabila guru mengajar tatap muka selama 24 jam per minggu, itu berarti selama satu bulan dia melakukan 96 jam tatap muka. Dari 96 jam mengajar yang dilakukan selama satu bulan penuh, hanya 24 jam yang dihargai. Bagaimana dengan jumlah tatap muka guru tersisa yang 72 jam? apakah ada penghargaan pemerintah terhadap sisa jam mengajar yang 72 jam tersebut?
Mestinya pemerintah segera menyadari bahwa kebijakan jam mengajar guru yang telah ditetapkan itu sangat tidak manusiawi, tidak adil, dan melecehkan pekerjaan guru. Berbagai macam kebijakan pendidikan, yang kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi menunjukkan bahwa anggota legislatif membuat undang-undang tanpa didasari niat baik dalam mengembangkan dunia pendidikan.
Aturan dibuat asal-asalan, diskriminatif, dan tidak adil. Itu justru malah membuat negara ini menjauh dari tujuan semula, yaitu membawa masyarakat Indonesia adil, makmur, dan berkeadilan di mana masyarakatnya menjadi kian cerdas dan bermartabat.
Jangan-jangan alamat yang dipegang para pengambil kebijakan pendidikan tersebut ternyata alamat palsu sehingga pendidikan nasional tak akan sampai pada tujuannya. Kepalsuan dalam dunia pendidikan hanya akan melahirkan ketidakadilan, frustrasi, dan pelecehan terhadap martabat para guru. Kepalsuan membuat tujuan pendidikan nasional tak akan tercapai. Ayu Ting Ting dengan alamat palsunya sesungguhnya menelanjangi kedunguan para pengambil kebijakan pendidikan karena mereka tak tahu lagi mau dibawa "ke mana" nasib para guru dan dunia pendidikan di negeri ini.
Doni Koesoema A, Pemerhati Pendidikan
foto:laguterbaru-net
No comments:
Post a Comment