Tajuk Kompas hari ini (9/04) yang berjudul Jangan Bingungkan Sekolah menggelitik untuk ditanggapi. Ada beberapa kalimat yang membuat saya, sebagai kritikus pendidikan, terutama yang selalu mengkritik kebijakan UN, terkena, dan saya mau memberikan tanggapan atas pembelaan saya.
Kebijakan yang tidak bijaksana
Pernyataan pertama Tajuk KOMPAS yang ingin saya tanggapi, saya kutip, “Repotnya, pernyataan berseliweran ditangkap media sebagai sikap kritis. Sikap kurang kritis media membuat yang terlibat langsung urusan sekolah bingung.”
Kalimat ini seolah mengindikasikan bahwa media kurang bersikap kritis dan memuat apa saja komentar dan tanggapan orang, dalam hal ini, yang dianggap sebagai kritikus pendidikan. Dan komentar yang dimuat ini membuat bingung pelaku pendidikan di lapangan. Ini adalah pernyataan aneh yang kesimpulannya tidak memiliki dasar. Mengapa pernyataan kritis berseliweran membingungkan praktisi pendidikan di lapangan? Saya mendengarkan banyak keluhan dari beberapa guru dan sekolah tentang kebijakan UN 2011, dan ternyata mereka bingung bukan karena pernyataan para kritikus pendidikan tentang UN, melainkan karena sosialisasi mepet, dan kriteria penilaian kelulusan, selain nilai UN yang yang memasukkan nilai rapor dan Ujian Akhir Sekolah itulah yang membuat bingung sekolah. Bahkan di surat pembaca KOMPAS pernah seorang siswa menuliskan keberatan mereka atas kebijakan ini. Mengapa kebijakan ini membingungkan?
Pertama karena sekolah tidak mengantisipasi penggunaan nilai rapor dan UAS. Nilai rapor telah jadi, dan tidak bisa diubah-ubah, sedangkan yang masih bisa diantisipasi adalah nilai Ujian Sekolah. Maka, sudah ada beberapa sekolah yang mencoba ‘bermain’ untuk menyiasati kelulusan siswa dengan cara mendongkrak nilai UAS setinggi-tingginya, agar siswa tetap dapat lulus. Kebijakan perubahan kriteria kelulusan sekolah dengan sistem seperti ini telah memaksa para kepala sekolah untuk ‘bermain’ secara halus untuk mengkatrol nilai siswa. Apa arti fenomena ini?
Artinya fenomena ini adalah bahwa kebijakan pendidikan nasional tentang UN, yang diumumkan secara mengkal, tidak matang karena sosialisasi informasinya buruk, telah membuat para guru dan pendidik untuk berbuat sesuatu yang secara moral tidak dapat dibenarkan dalam dunia pendidikan. Artinya pula, bukan karena kritikus pendidikan memberikan banyak argument pro kontra, sehingga pelaku pendidikan di lapangan bingung. Yang membuat bingung justru kebijakan pendidikan dari pemerintah tentang UN itu sendirilah yang menjadi akar penyebabnya. Perubahan kriteria penilaian seperti itu tidak bisa disosialisasikan hanya dua bulan sebelum UN. Minimal satu tahun sebelum UN perubahan kriteria penilaian itu HARUS diinformasikan kepada pemangku kepentingan. Jadi, saya tidak sependapat dengan pendapat tajuk Kompas yang mengatakan, “Kebijakan itu adalah jalan tengah yang bijaksana dan bijak”. Kebijakan itu justru tidak bijaksana dan bijak.
Pro kontra biasa di alam demokrasi
Pernyataan kedua yang ingin saya tanggapi adalah ini. “Acara tahunan sekitar Maret dan Juni itu jangan kita perkeruh dengan pernyataan pro dan kontra terus tidaknya UN.” Pernyataan pro kontra tentang UN tidak akan memperkeruh dunia pendidikan, justru pernyataan itu menunjukkan ada suara-suara yang patut di dengarkan oleh Pemerintah, dan suara mereka perlu juga diakomodasi oleh media sebagai pilar keempat Negara Demokratis. Pro dan kontra tetap akan ada selama kebijakan UN dari pemerintah tidak mengakomodasi tuntutan perubahan yang disampaikan masyarakat, terutama kalangan akademisi, praktisi pendidikan dan kritikus pendidikan.
Adalah memang benar, apa yang disampaikan dalam Tajuk bahwa UN yang bocor tidak memiliki alasan kuat untuk menghapus UN. Delivery UN yang bocor, yang tidak sesuai standar prosedur operasi bagi sebuah evaluasi standar, jelas akan membuat semua tujuan yang akan dicapai tidak terlaksana, dan validitas Nilai UN tidak dapat memotret apa yang sesungguhnya mau dipotret. Memperbaiki pelaksanaan, tentu adalah solusi yang baik dan benar, karena kebocoran soal dalam bentuk apapun akan membuat validitas penilaian UN itu nol, alias hasil nilai itu tidak dapat dipakai sebagai perangkat mengukur apa yang mau diukur.
Namun, persoalan UN bukanlah sekedar bocor atau tidak. Di sana ada satu hal fundamental yang selama ini tidak pernah dianggap pemerintah sebagai penting, sehingga perubahan kebijakan apapun tentang UN tetap akan bermasalah, yaitu adanya sistem veto UN tentang kelulusan siswa. High Stakes testing, seperti UN memperlukan syarat dan kondisi yang relatif sama, di mana setiap peserta didik memperoleh pengalaman dan kesempatan belajar yang sama. Logika standardisasi adalah kalau standarnya sama, maka kualitas pendidikan akan meningkat. Namun, mereka lupa, bahwa standardisasi evaluasi harus disertai standardisasi minimal pengalaman belajar siswa. Kalau siswa tidak pernah belajar bahasa Inggris melalui listening, karena sekolah tidak memiliki lab bahasa, dan pada saat UN siswa harus mengerjakan UN melalui listening, kebijakan pemerintah seperti ini telah berlaku tidak adil bagi sekolah-sekolah yang standard sarana dan prasarana masih jauh. Karena itu, logika standardisasi yang seolah-olah dengan adanya evaluasi standard meningkatkan kualita pendidikan itu sebenarnya tidak seluruhnya benar. KOMPAS mestinya dapat melihat hal fundamental ini. Yang dipermasalahkan para kritikus pendidikan adalah persoalan tujuan UN dan Ketidakadilan yang terjadi dalam diri siswa dan sekolah miskin sebagai akibat dari kebijakan UN ini.
Tujuh tahun tanpa perubahan
Sejak tahun 2004 saya sudah secara terus menerus mengkritik kebijakan UN. Namun tujuh tahun telah berlalu dan saya tidak melihat adanya perubahan signifikan tentang kebijakan UN ini. Apakah pemerintah benar-benar sudah tuli dan tidak mau mendengarkan lagi kritikan dari akademisi dan pemerhati pendidikan Indonesia, yang adalah juga suara rakyat Indonesia?
Coba lihat sekilas apa yang sudah saya sampaikan untuk perbaikan dunia pendidikan terutama tentang Ujian Nasional. Artikel saya yang berjudul Aplaus palsu teater pendidikan nasional (Kompas, 19/06/2004) merupakan artikel opini yang pertama kali saya tulis untuk mengkritik kebijakan pemerintah tentang Ujian Nasional (UN). Hasil UN adalah seperti aplaus palsu sebab katrolan nilai terjadi secara nasional. Terlalu banyak siswa yang tidak lulus.
Dua tahun setelah itu muncul artikel lain dengan judul Generasi penjual rujak (Kompas, 27/06/2006) yang merupakan balada kisah si Sari, seorang siswa di Surakarta yang tidak lulus UN. Ia terpaksa berjualan rujak untuk dapat membeli materi ujian kejar paket C. Pemerintah bilang ujian kejar paket C gratis, tapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa mereka harus tetap membeli buku-buku materi yang akan diujikan dalam kejar paket C. Ironisnya, setelah dua tahun berlalu dari ketidaklulusan Sari, adik Sari, Della, perempuan lincah dan energik itu juga bernasib sama. Ia juga tidak lulus UN. UN telah melahirkan tradisi keluarga yang gagal. Serta melahirkan cemooh sosial atas keluarga tersebut karena memiliki tradisi buruk sebagai korban UN.
Setelah itu berturut-turut keluar artikel saya berjudul Menggadaikan etika profesi (Kompas, 14/03/2007) dan Kanon moral Komensky dan UN (Kompas, 26/04/2007) tentang kehancuran moral guru akibat kebijakan UN, Ironi pendidikan dari Trunyan (Kompas, 18/07/2007) yang mengkritik sia-sianya diadakan UASBN untuk SD. Desa Trunyan adalah sebuah ironi sebab sebagai tempat utama kunjungan wisatawan, penduduk kampung di desa itu tetap miskin, dan anak-anak tidak bisa melanjutkan ke sekolah SMP karena tidak ada sekolah SMP. UN jelas tidak ada artinya bagi mereka. Ketidakadilan dalam pendidikan (Kompas, 29/11/2007), UN harus dihentikan (Kompas,30/04/2008) dan yang terakhir Sepuluh Kesesatan UN (Media Indonesia, 06/05/2008). Setelah tulisan yang terakhir, yang terdengar kasar dan keras itu, saya berhenti menulis tentang UN karena saya menganggap pemerintah telah berkepala batu, bertelinga besi, dan bernurani baja, yang sudah tidak MAU lagi mendengar kritikan dari warganya.
Berbagai macam kritik dan masukan tentang kebijakan UN tampaknya tidak menggugah dan menggelitik hati para pengambil kebijakan untuk mengevaluasinya. Bahkan ketika pengadilan telah mengabulkan tuntutan warga negara yang menjadi korban kebijakan UN, baik di tingkat Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi, pemerintah pun tetap maju tak gentar melaksanakan kebijakan yang sesungguhnya lebih banyak memberikan dampak negatif dan merusak dunia pendidikan daripada mengembangkannya. Kebijakan pendidikan tentang UN lebih banyak mendasarkan diri pada kepentingan politik daripada nilai-nilai pedagogis. Pemaksaan kebijakan UN tanpa mau mendengarkan aspirasi dari warga negara merupakan sebuah praktek politik otoriter yang tidak demokratis.
Dan saya khawatir, KOMPAS yang merupakan media nasional terbesar, mulai menganggap nyinyir dan sepi atas komentar dan kritikan para pemerhati pendidikan, terutama terkait dengan kebijakan UN. Semoga pendapat saya ini salah. Dan saya senang kalau pendapat saya ini salah. Maju terus dunia pendidikan di Indonesia. Suara kritis, jangan pernah mati!
No comments:
Post a Comment