KOMPAS (17 Desember 2008)
Doni Koesoema A
Pembentukan karakter merupakan bagian vital kinerja sebuah pendidikan. Namun kecenderungan untuk menciptakan praksis on the spot yang dipaksakan hanya akan melahirkan sikap reaktif. Kurikulum lipstik lantas menjadi tren. Siswa menjadi objek bagi ajang pelatihan. Akibatnya, pendidikan terjerembab di kedangkalan.
Sekolah menjadi reaktif ketika terburu-buru ingin menanggapi tantangan jaman, seolah sekolah adalah obat bagi masalah itu. Ketika korupsi merajalela di dalam masyarakat, para pendidik hiruk pikuk mengembangkan pendidikan antikorupsi di sekolah. Ada yang mempromosikan sekolah Anti Korupsi, Program Kantin Kejujuran, dll (Kompas, 5/12). Demikian juga ada yang mengusulkan masuknya mata pelajaran khusus, yaitu, Pendidikan Anti Korupsi untuk menggantikan PPkn dan Agama yang dianggap telah gagal dalam menjalankan misinya.
Selain itu, tuntutan akuntabilitas pendidikan akibat tantangan standardisasi telah banyak membuat para pendidik lari ke sana kemari untuk mengikuti berbagai macam program kilat pengembangan diri, mulai dari seminar cara mengajar efektif dan kreatif, pola pembelajaran PAKEM, diklat positive thinking, mengikuti lokakarya dan berbagai macam pelatihan bertajuk pendidikan. Hal ini semakin menjadi-jadi ketika model portofolio sertifikasi memang mempersyaratkan adanya berbagai macam sertifikat untuk memperoleh poin. Lembaga seminar menjamur, panitia untung, guru untung, tapi murid yang buntung!
Sikap reaktif inilah yang belakangan terjadi dalam dunia pendidikan kita. Sebagaimana lipstik hanya menjadi tampilan luar dan akan hilang dalam sekejap, reformasi pendidikan pun juga tidak akan bertahan lama jika pendidik sibuk mengurusi hal-hal pinggiran yang bukan menjadi tugas utamanya, apalagi malah menjadikan siswa sekedar sebagai objek pelatihan. Gejala ini saya sebut dengan kurikulum lipstik.
Restrukturasi
Gejala inilah yang oleh Fulan (1993) disebut dengan restrukturisasi, yaitu sekedar proses pembaharuan guru di tingkat pinggiran, berupa peningkatan ketrampilan teknis pengajaran, namun tidak disertai perubahan cara pandang. Selain itu, gelojoh mengikuti tren berbagai macam gerakan, dengan berbagai macam label anti (korupsi, kekerasan, narkoba, pornografi, dll) yang dipaksakan di sekolah hanya akan menjadikan siswa korban bagi keinginan politik kelompok tertentu.
Sekolah tentu saja mesti melawan korupsi, menentang kekerasan, menawarkan cara hidup sehat, dan mendidik siswa cara menghormati tubuh sesama sebagai mahluk yang mulia dan berharga karena mereka sama-sama ciptaan Tuhan. Namun, gagal melawan kesabaran disertai dengan nafsu reaktif bisa menjadikan guru para pahlawan kesiangan yang tidak pernah menyadari bahwa menekuni pekerjaan rutin harian di kelas itulah yang mesti menjadi tugas utamanya. Pembentukan karakter itu terjadi melalui dinamika pengajaran di dalam kelas, bukan melalui seminar, sosialisasi, atau pelatihan dadakan.
Diskursus tentang pembentukan karakter yang dipahami secara parsial malah bisa menjadi sarana pelarian (eskapisme) guru dari tanggungjawab mereka untuk meningkatkan prestasi akademis siswa dengan cara memberikan penekanan berlebihan pada unsur-unsur non-akademis. Padahal, keunggulan akademis adalah bagian dari pembentukan karakter itu sendiri. Tugas utama guru adalah mengembangkan ekselensi akademis dalam diri siswa. Mutu pendidikan kita semakin menurun karena visi keunggulan akademis inilah yang diabaikan. Sebagai akibatnya, pembentukan karakter siswa juga terpinggirkan.
Agar pembentukan karakter terjadi secara integral, guru mesti memahami kembali visi pengajarannya dan percaya bahwa mengembangkan keunggulan akademis adalah tugas utama mereka sebagai pendidik. Siswa yang memiliki ekselensi akademis mengandaikan keterbukaan, kemampuan bertanya, berdiskusi, menganalisis persoalan, mampu mendialogkan ilmu pengetahuan itu dengan orang lain. Dialog seperti ini terjadi jika masing-masing memiliki keyakinan nilai tentang kebenaran pengetahuan dan maknanyabagi kemaslahatan hidup bersama. Jika ini terjadi, secara tidak langsung karakter anak didik yang terbuka, kritis, mau berdialog, akan berkembang. Siswa menjadi individu dengan karakter kuat.
Rekulturasi
Di tengah maraknya “kurikulum lipstik” di atas, yang kita butuhkan sesungguhnya adalah rekulturasi, yaitu sebuah proses pengembangan diri guru untuk kembali memahami hakekat kinerjanya sebagai pendidik yang hidup dalam keterbatasan ruang, waktu, dan bekerja melalui struktur sekolah yang seringkali malah membatasi fungsi utama mereka sebagai pendidik. Restrukturasi tidak dengan sendirinya meningkatkan kualtias pengajaran (Elmore, 1992). Seminar-seminar tidak otomatis mengubah paradigma mengajar guru, bahkan malah bisa jadi memperkuat konservatisme (Lortie, 1975).
Pembaharuan dangkal namun hingar-bingar memang lebih seksi dan menarik hati. Namun, pembentukan nilai dan peningkatan kualitas akademis sesungguhnya kinerja bersama yang tidak bisa diatasi sekedar dengan menimba ilmu dari orang-orang luar atau dari pembicara publik yang sama sekali tidak mengerti proses belajar mengajar di kelas. Yang mengenal siswa di kelas adalah guru. Yang paling mengerti apa yang dibutuhkan siswa agar ia maju dalam menimba ilmu adalah guru.
Rekulturasi mengandaikan bahwa guru mampu membangun komunitas belajar professional dalam lingkungan sekolah. Penumbuhan komunitas belajar profesional hanya bisa muncul ketika guru bekerja sama, saling berbagi informasi dan mengevaluasi pekerjaan satu sama lain dengan mengambil kasus-kasus nyata dalam kelas. Meningkatkan mutu pembelajaran memang membutuhkan ketekunan, terutama berani menilai diri bagaimana para guru mengajar di kelas. Inilah pekerjaan on the spot yang harus dilakukan guru.
Pekerjaan seperti ini jauh dari hingar bingar publik dan meriahnya seminar di hotel mewah. Juga tidak ada sertifikat atau plakat, sebab guru benar-benar masuk langsung ke jantung pekerjaan utamanya. Kurikulum lipstik akan lewat, namun guru berdedikasi akan berdiri kuat. Matiraga, sembari terus mau mengubah diri, bahkan mau belajar dari rekan guru dan siswa agar siswa menggapai keunggulan akademis inilah yang membuat guru benar-benar menjadi guru.
Doni Koesoema A Penulis adalah mahasiswa pasca sarjana Boston College Lynch School of Education, Boston.
Doni Koesoema A
Pembentukan karakter merupakan bagian vital kinerja sebuah pendidikan. Namun kecenderungan untuk menciptakan praksis on the spot yang dipaksakan hanya akan melahirkan sikap reaktif. Kurikulum lipstik lantas menjadi tren. Siswa menjadi objek bagi ajang pelatihan. Akibatnya, pendidikan terjerembab di kedangkalan.
Sekolah menjadi reaktif ketika terburu-buru ingin menanggapi tantangan jaman, seolah sekolah adalah obat bagi masalah itu. Ketika korupsi merajalela di dalam masyarakat, para pendidik hiruk pikuk mengembangkan pendidikan antikorupsi di sekolah. Ada yang mempromosikan sekolah Anti Korupsi, Program Kantin Kejujuran, dll (Kompas, 5/12). Demikian juga ada yang mengusulkan masuknya mata pelajaran khusus, yaitu, Pendidikan Anti Korupsi untuk menggantikan PPkn dan Agama yang dianggap telah gagal dalam menjalankan misinya.
Selain itu, tuntutan akuntabilitas pendidikan akibat tantangan standardisasi telah banyak membuat para pendidik lari ke sana kemari untuk mengikuti berbagai macam program kilat pengembangan diri, mulai dari seminar cara mengajar efektif dan kreatif, pola pembelajaran PAKEM, diklat positive thinking, mengikuti lokakarya dan berbagai macam pelatihan bertajuk pendidikan. Hal ini semakin menjadi-jadi ketika model portofolio sertifikasi memang mempersyaratkan adanya berbagai macam sertifikat untuk memperoleh poin. Lembaga seminar menjamur, panitia untung, guru untung, tapi murid yang buntung!
Sikap reaktif inilah yang belakangan terjadi dalam dunia pendidikan kita. Sebagaimana lipstik hanya menjadi tampilan luar dan akan hilang dalam sekejap, reformasi pendidikan pun juga tidak akan bertahan lama jika pendidik sibuk mengurusi hal-hal pinggiran yang bukan menjadi tugas utamanya, apalagi malah menjadikan siswa sekedar sebagai objek pelatihan. Gejala ini saya sebut dengan kurikulum lipstik.
Restrukturasi
Gejala inilah yang oleh Fulan (1993) disebut dengan restrukturisasi, yaitu sekedar proses pembaharuan guru di tingkat pinggiran, berupa peningkatan ketrampilan teknis pengajaran, namun tidak disertai perubahan cara pandang. Selain itu, gelojoh mengikuti tren berbagai macam gerakan, dengan berbagai macam label anti (korupsi, kekerasan, narkoba, pornografi, dll) yang dipaksakan di sekolah hanya akan menjadikan siswa korban bagi keinginan politik kelompok tertentu.
Sekolah tentu saja mesti melawan korupsi, menentang kekerasan, menawarkan cara hidup sehat, dan mendidik siswa cara menghormati tubuh sesama sebagai mahluk yang mulia dan berharga karena mereka sama-sama ciptaan Tuhan. Namun, gagal melawan kesabaran disertai dengan nafsu reaktif bisa menjadikan guru para pahlawan kesiangan yang tidak pernah menyadari bahwa menekuni pekerjaan rutin harian di kelas itulah yang mesti menjadi tugas utamanya. Pembentukan karakter itu terjadi melalui dinamika pengajaran di dalam kelas, bukan melalui seminar, sosialisasi, atau pelatihan dadakan.
Diskursus tentang pembentukan karakter yang dipahami secara parsial malah bisa menjadi sarana pelarian (eskapisme) guru dari tanggungjawab mereka untuk meningkatkan prestasi akademis siswa dengan cara memberikan penekanan berlebihan pada unsur-unsur non-akademis. Padahal, keunggulan akademis adalah bagian dari pembentukan karakter itu sendiri. Tugas utama guru adalah mengembangkan ekselensi akademis dalam diri siswa. Mutu pendidikan kita semakin menurun karena visi keunggulan akademis inilah yang diabaikan. Sebagai akibatnya, pembentukan karakter siswa juga terpinggirkan.
Agar pembentukan karakter terjadi secara integral, guru mesti memahami kembali visi pengajarannya dan percaya bahwa mengembangkan keunggulan akademis adalah tugas utama mereka sebagai pendidik. Siswa yang memiliki ekselensi akademis mengandaikan keterbukaan, kemampuan bertanya, berdiskusi, menganalisis persoalan, mampu mendialogkan ilmu pengetahuan itu dengan orang lain. Dialog seperti ini terjadi jika masing-masing memiliki keyakinan nilai tentang kebenaran pengetahuan dan maknanyabagi kemaslahatan hidup bersama. Jika ini terjadi, secara tidak langsung karakter anak didik yang terbuka, kritis, mau berdialog, akan berkembang. Siswa menjadi individu dengan karakter kuat.
Rekulturasi
Di tengah maraknya “kurikulum lipstik” di atas, yang kita butuhkan sesungguhnya adalah rekulturasi, yaitu sebuah proses pengembangan diri guru untuk kembali memahami hakekat kinerjanya sebagai pendidik yang hidup dalam keterbatasan ruang, waktu, dan bekerja melalui struktur sekolah yang seringkali malah membatasi fungsi utama mereka sebagai pendidik. Restrukturasi tidak dengan sendirinya meningkatkan kualtias pengajaran (Elmore, 1992). Seminar-seminar tidak otomatis mengubah paradigma mengajar guru, bahkan malah bisa jadi memperkuat konservatisme (Lortie, 1975).
Pembaharuan dangkal namun hingar-bingar memang lebih seksi dan menarik hati. Namun, pembentukan nilai dan peningkatan kualitas akademis sesungguhnya kinerja bersama yang tidak bisa diatasi sekedar dengan menimba ilmu dari orang-orang luar atau dari pembicara publik yang sama sekali tidak mengerti proses belajar mengajar di kelas. Yang mengenal siswa di kelas adalah guru. Yang paling mengerti apa yang dibutuhkan siswa agar ia maju dalam menimba ilmu adalah guru.
Rekulturasi mengandaikan bahwa guru mampu membangun komunitas belajar professional dalam lingkungan sekolah. Penumbuhan komunitas belajar profesional hanya bisa muncul ketika guru bekerja sama, saling berbagi informasi dan mengevaluasi pekerjaan satu sama lain dengan mengambil kasus-kasus nyata dalam kelas. Meningkatkan mutu pembelajaran memang membutuhkan ketekunan, terutama berani menilai diri bagaimana para guru mengajar di kelas. Inilah pekerjaan on the spot yang harus dilakukan guru.
Pekerjaan seperti ini jauh dari hingar bingar publik dan meriahnya seminar di hotel mewah. Juga tidak ada sertifikat atau plakat, sebab guru benar-benar masuk langsung ke jantung pekerjaan utamanya. Kurikulum lipstik akan lewat, namun guru berdedikasi akan berdiri kuat. Matiraga, sembari terus mau mengubah diri, bahkan mau belajar dari rekan guru dan siswa agar siswa menggapai keunggulan akademis inilah yang membuat guru benar-benar menjadi guru.
Doni Koesoema A Penulis adalah mahasiswa pasca sarjana Boston College Lynch School of Education, Boston.
No comments:
Post a Comment