Wednesday, 30 April 2008

UN Harus Dihentikan

Kompas, Rabu, 30 April 2008
Doni Koesoema A

Tidak pernah dalam sejarah Indonesia modern status guru begitu terpuruk seperti sekarang, menjadi teroris. Pasukan Densus 88 Antiteror adalah satuan elit polisi untuk memburu teroris. Sekarang mereka juga menggerebek dan menangkap guru.

Hal ini patut disayangkan. Namun pokok persoalannya bukan di situ. Sistem Ujian Nasionallah yang telah memberangus otonomi guru. Kebobrokan itu ada dalam sistem, bukan dalam individu guru.

Kebijakan UN telah secara sitematis memaksa guru memikul beban berat di luar tanggungjawabnya berhadapan dengan kepentingan orang tua dan siswa. Kebijakan UN memaksa mereka menjadi pelaku kecurangan dan kriminal, bahkan teroris. Fakta inilah yang ingin ditutup-tutupi dengan mengambinghitamkan para guru yang tertangkap basah. Kebijakan seperti ini jelas tidak pada tempatnya lagi diberlakukan di negeri ini yang sesungguhnya ingin mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan.

Tanggungjawab pemerintah
Pemerintah ingin lari dari tanggungjawab atas ketidakbecusan mereka dalam mengelola pendidikan dengan melokalisir tanggungjawab, yaitu, pada korps guru. Guru merupakan penanggungjawab utama kebobrokan pendidikan kita. Itulah pesan utama penangkapan guru oleh Densus 88 Anti teror.

Kini Indonesia sedang memasuki masa teknokrasi absolut dalam pendidikan di mana proses belajar mengajar hanya dinilai melalui angka-angka hasil ujian yang sama sekali abai terhadap kenyataan, kesulitan, dan kompleksitas persoalan pendidikan di lapangan. Data nilai UN sama sekali tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi di lapangan. Nilai itu tidak berbicara sama sekali tentang bagaimana hancurnya sarana-prasarana pendidikan yang ada. Nilai UN juga tidak berbicara sama sekali tentang kualitas para guru di lapangan.

Melokalisir tanggungjawab dan menilai keberhasilan pendidikan semata-mata melalui angka-angka keberhasilan UN sesungguhnya mengaburkan atau bahkan menutupi ketidakmampuan pemerintah sebagai sebuah lembaga yang paling bertanggungjawab dalam menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai serta bertanggungjawab dalam menyediakan guru-guru berkualitas bagi dunia pendidikan. Inilah yang ingin ditutupi melalui Ujian Nasional. Pemerintah lari dari tanggungjawab sebab mereka tidak mampu melaksanakan semuanya ini.

Lebih dari itu, afirmasi pengadilan tinggi atas kemenangan class action warga negara terhadap kebijakan Ujian Nasional menunjukkan bahwa semenjak reformasi digulirkan sepuluh tahun lalu, pemerintah kita bukannya malah menjadi semakin demokratis, melainkan menjadi semakin otoriter. Ini merupakan sebuah tata cara kehidupan berdemokrasi yang memalukan!

Melakukan kecurangan dalam UN tentu “mencederai kesucian lembar jawaban UN” sebagaimana dikatakan Mendiknas, namun tetap melanggenggkan kebijakan UN seperti sekarang juga mencederai kesucian martabat guru yang jika diteruskan akan berakibat fatal bagi kelangsungan pendidikan di negeri ini dalam jangka panjang. Beberapa guru di Papua mulai memikirkan apakah tidak lebih baik mereka memilih profesi lain selain guru, sebab profesi guru sekarang sudah tidak berharga lagi dibandingkan profesi tukang ojek atau tukang becak. Jika menjadi guru berakhir dalam penjara, para guru akan memilih pekerjaan yang lebih memberikan kedamaian dan kesejahteraan, menjadi tukang ojek, tukang becak atau apa saja asal aman dan halal.

Tidak ada sebuah masyarakat yang kokoh jika mereka meremehkan kehadiran para guru. Negeri kita sudah mengalami defisit guru yang bermutu karena pemerintah telah gagal memberikan kesejahateraan ekonomi terhadap mereka. Sekarang terhadap mereka yang masih bertahan, melalui kebijakan UN pemerintah telah menghancurkan profesi mereka secara sosial dan kultural dengan memosisikannya sebagai teroris dan penjahat.

Hari ini dan di masa depan, kita akan kehilangan orang-orang istimewa yang masih punya hati dan komitmen untuk mendidik anak-anak bangsa. Jika dahulu mereka masih bertahan bahkan dalam kesulitan ekonomi, sekarang ini, goncangan sosial dan kultural atas citra guru sebagai teroris akan membuat mereka yang bertahan menjadi guru segera meninggalkannya. Maka tidak akan banyak generasi muda kita tertarik menjadi guru.

Arogansi kekuasaan
Ujian Nasional adalah cela dan noda nasional. Ia menjadi saksi ketidakseriusan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam mengelola dunia pendidikan. Mengorbankan guru dan siswa atas nama kebijakan politik pendidikan jangka pendek merupakan sebuah arogansi kekuasan yang sama sekali tidak memerhatikan keberlangsungan dunia pendidikan dalam jangka panjang. Dalam kenyataan kebijakan UN secara sistematis telah menghancurkan dunia pendidikan pada tingkat sekolah dan menimbulkan konflik antar-guru-siswa-orangtua-masyarakat.

Sesungguhnya bukan hanya biaya sosial politik dan ekonomi yang kita hambur-hamburkan demi menjalankan kebijakan pendidikan yang salah sasaran seperti UN, melainkan lebih dari itu, biaya kultural dan psikologis yang dipikul baik terhadap guru maupun siswa merupakan ongkos yang tidak dapat dinilai dengan uang. Jika kita ingin membaharui dan mereformasi dunia pendidikan secara berkesinambungan (sustainable) dan tepat sasaran, kebijakan UN harus segera dihentikan!

Pemerintah mesti mencari cara-cara alternatif dengan mengembalikan kembali otonomi guru, memulihkan citra dan wibawa mereka sebagai pendidik, dan membantu dengan serius meningkatkan profesionalisme mereka. Ujian Nasional merupakan sebuah kebijakan politik pendidikan yang dalam jangka panjang akan semakin menjerumuskan dunia pendidikan kita pada kehancuran.

Arogansi kekuasaan dalam UN akan membuat bangsa ini kehilangan orang-orang berintegritas dan terdidik yang masih memiliki hati terhadap dunia pendidikan. Hanya melalui kehadiran orang-orang berintegritas seperti ini dunia pendidikan kita mampu bangkit berdiri. Sayangnya, orang-orang seperti ini semakin tersingkir karena kebijakan UN. Kebijakan Ujian Nasional benar-benar harus segera dihentikan!

Doni Koesoema A. Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Boston College Lynch School of Education, Boston.

Foto:diambil dari KOMPAS

Cited:

1. Ujian Rasional (Mukhtaruddin Yakub)

2 comments:

Anonymous said...

setuju karena pemerintah tdk bijaksana dlm menjalankan ujian nasional dan ini juga menghambat kemajuan generasi bangsa kita.

Anonymous said...

Saya setuju bahwa UN harusnya tidak dijadikan patokan keberhasilan pendidikan. Namun sampai saat ini, saya masih belum bisa menemukan metode penilaian apalagi yg bisa dipakai untuk mengganti UN.

Saya yakin kita semua setuju bahwa sistem pendidikan memerlukan akuntabilitas. Pemerintah, guru, murid, kepala sekolah, dan orang tua haruslah jelas tanggung jawabnya, dan juga jelas akuntabilitasnya. Akuntabilitas itu haruslah bisa terukur, mempunyai target yg jelas, dan diukur secara berkesinambungan. Di samping itu, juga harus jelas mekanisme pemantauan akuntabilitas ini, dan yg penting konsekuensi dari akuntabilitas itu.

Mungkin UN yg ada saat ini bukanlah refleksi yg jelas dari tingkat keberhasilan pendidikan. Namun, yg saya justru ingin soroti adalah lemahnya pengelolaan akuntabilitas itu. Sistem yg ada saat ini akan menyalahkan sang murid jika nilai UN-nya kurang baik. Padahal, harusnya seluruh pihak yg terkait dalam pendidikan bertanggung jawab. Guru2 juga harus sadar bahwa mereka punya andil dalam membentuk watak murid dan jg tingkat keberhasilan si murid dalam UN. Kepala sekolah jg harus sadar bahwa mereka berperan dalam pembentukan kultur dan metode pembelajaran yg pas di sekolah yg mereka kelola. Orang tua pun jg harus bertanggung jawab karena bagaimanapun pendidikan lebih banyak terjadi di dalam keluarga dibanding di dalam sekolah. Pemerintah jg harus bertanggung jawab, karena bagaimanapun sistem pendidikan di Indonesia masih dipegang pemerintah.

Apakah pemerintah, guru2, kepala sekolah, orang tua berani mengambil tanggung jawab lebih? Saya rasa tidak. masih ada persoalan kesadaran ("awareness"), insentif, pelatihan, dan berbagai persoalan lain.

Mungkin betul, Indonesia kekurangan guru. Namun juga tidak bisa dipungkiri bahwa memecat guru (terutama di sekolah negeri) tidaklah mudah, terutama dengan adanya PGRI (teacher union). Dan dengan besarnya PGRI, Pemerintah (terutama partai politik) jg sulit utk mengambil tindakan. Selain itu dengan tidak adanya akuntabilitas, bukan tidak mungkin orang2 yg tertarik menjadi guru "terpaksa" harus minggir karena pekerjaan guru tidaklah menarik, terlalu administratif, tanpa ada kejelasan karir, insentif, dan performansi.

Pendidikan Keagamaan