Friday, 24 October 2014

Mendesain Karir Guru


Oleh Doni Koesoema A. 

Indonesia belum memiliki kebijakan yang strategis tentang desain jalur karir guru. Bila didesain dengan baik, kesejahteraan dan kempetensi guru akan semakin meningkat. Salah satu tantangan besar pemerintahan baru adalah bagaimana mempertahankan dan menarik warga negara terbaik untuk memasuki profesi guru melalui desain jalur karir yang menarik.

Dibandingkan dengan profesi lain, profesi guru tidak menawarkan banyak mobilitas horisontal dan vertikal. Guru akan selamanya menjadi guru sampai pensiun. Secara horisontal, jarang sekali guru mengalami alih profesi kecuali dalam keadaan terpaksa. Guru tidak bisa memilih jalur karir lain karena latar belakang ilmu dan keterampilannya sangat khas. Apalagi bila disertai dengan niat dan panggilan untuk pengabdian. Kalau guru tidak tahan menjadi guru di sebuah unit pendidikan, paling jauh yang bisa dilakukan adalah pindah sekolah lain, namun tetap saja ia menjadi guru. Umumnya, betapapun sulit kehidupan sebagai guru, ia akan tetap bertahan dalam profesinya. 

Mobilitas Vertikal 

Secara vertikal, pengembangan jalur karir guru pun sangat terbatas. Dari guru novis, jalur yang terbuka baginya adalah jabatan struktural di unit sekolah, mulai dari pendamping OSIS, menjadi wakil kepala sekolah, sampai menduduki posisi kepemimpinan sekolah. Umumnya, mobilitas vertikal karir guru adalah pada fungsi kepemimpinan. Di luar itu tidak ada alternatif. Kalau guru masih mau mengembangkan karir, misalnya setelah menduduki jabatan Kepala Sekolah, karir yang terbuka baginya adalah sebagai pengawas.

Prospek karir seperti ini sangat membatasi berbagai macam kemungkinan pengembangan kompetensi profesional guru, baik sebagai guru pengampu mata pelajaran, maupun guru dengan spesialisasi khusus, seperti ahli literasi, kurikulum, pedagogi, penilaian dan penelitian.

Selain tidak adanya diversifikasi horizontal pengembangan karir guru, proses pematangan diri guru untuk masuk ke posisi kepemimpinan umumnya belangsung linear, mengikuti proses perjalanan waktu. Artinya, proses kenaikan tingkat yang terjadi seringkali dikaitkan terutama dengan kesenioritasan yang ditentukan dari kriteria lamanya mengajar. Akibat dari sistem ini adalah hilangnya dimensi meritokratis yang semestinya dapat menjaga kualitas layanan pendidikan.

Sistem meritokratis mempersyaratkan bahwa individu yang menduduki jabatan karir memiliki pengetahuan, keterampilan dan kompetensi. Sebaliknya, sistem pengembangan karir guru yang berdasarkan senioritas lebih mengutamakan banyaknya pengalaman. Padahal, banyaknya pengalaman bukanlah jaminan bagi akuisisi pengetahuan dan keterampilan sebagai manager dan pemimpin. Pemimpin sekolah memerlukan pengetahuan managerial dan kepemimpinan yang tidak diperoleh melalui pengandaian senioritas. Sebab, kesenioritasan tidaklah terkait dengan kapasitas dan kompetensi individu. Inkompetensi kepala sekolah semakin membuat sekolah membuat perubahan yang berarti.

Sistem senioritas, atau promosi “urut kacang“ ini justru akan mengganggu jalannya laju perubahan sebuah unit pendidikan. Sebab, semakin senior, umumnya semakin pro status quo dan anti perubahan. Pengalaman yang panjang bukanlah jaminan. Sebab, kompetensi profesional sebagai pemimpin itu membutuhkan pengetahuan dan keterampilan khusus. Tidak mengherankan banyak yang protes saat pemerintah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta melelang jabatan kepala sekolah.

Selama ini, jabatan kepala sekolah merupakan sebuah proses yang ditentukan melalui kesenioritasan, bukan karena kompetensi atau keterampilan. Lebih lagi, formasi jabatan kepala sekolah sangat terbatas, sedangkan mereka yang memasuki alur menuju jabatan kepala sekolah semakin hari semakin banyak mengingat untuk menjadi kandidat kepala sekolah yang dibutuhkan hanyalah kesenioritasan. Akhirnya, jabatan yang langka ini diperebutkan melalui cara-cara yang tidak halal dengan cara menyogok dan kolusi dengan pejabat yang berwewenang.

Di sekolah swasta, yang dikelola oleh Yayasan, kriteria penentuan pemilihan kepala sekolah pun masih berorientasi pada senioritas ketimbang profesionalitas. Bila Yayasan memiliki defisit dalam visi pendidikan, jabatan kepala sekolah pun diberikan pada individu yang dianggap dekat dengan Yayasan yang gampang diatur dan dikendalikan. Akibatnya, banyak kepala sekolah di sekolah swasta tidak memiliki otonomi dan kemandirian dalam mengambil kebijakan di unit pendidikan karena mereka hanya menjadi pelaksana tugas Yayasan. 

Mutatis mutandis dengan jalur karir guru. Mobilitas vertikal guru seringkali tidak ditentukan melalui kriteria objektif terkait pengetahuan, keterampilan dan kompetensi, melainkan karena senioritas meskipun tanpa dibarengi kualitas yang pantas. Tak mengherankan, suksesi kepemimpinan di sekolah tidak selalu dibarengi peningkatan layanan. Pergantian pimpinan tidak membawa perubahan. Bahkan sebaliknya, menambah banyak masalah.

Miskinnya alternatif mobilitas profesi guru membuat panggilan mulia ini tak banyak dilirik. Dengan sistem remunerasi yang rendah dan jalur karir terbatas, profesi guru akan semakin tidak menarik minat generasi muda.

Bila guru adalah kunci peningkatan kualitas pendidikan sebuah bangsa, mendesain jalur karir yang memungkinkan mereka memperoleh insentif remunerasi secara meritokratis adalah sebuah strategi yang baik. 

Jalur Karir 

Adanya standar gaji guru yang tinggi tentu saja dapat meningkatkan martabat profesi guru. Namun, bila sistem remunerasi ini tidak didesain dengan baik, negara tidak akan mendapat banyak manfaat dari meningkatnya kesejahteraan guru. Kebijakan sertifikasi guru yang lebih bersifat formal-terbatas daripada substansial berkelanjutan dalam menagih kompetensi profesional guru adalah salah satu contoh minimnya manfaat dari kebijakan ini.

Kualitas guru bukan hanya dapat ditingkatkan melalui sistem remunerasi yang baik, melainkan juga melalui kebijakan desain pengembangan karir yang menarik. Desain jalur perkembangan karir bisa menjadi sarana untuk mendesain kembali sistem remunerasi pendidik berbasis meritokrasi.

William A. Firestone (1994) melihat bahwa alternatif restrukturisasi gaji guru melalui sistem yang meritokratis bisa membantu pengembangan kinerja guru. Guru diapresiasi berdasarkan keterampilan dan pengetahuan khusus (knowledge and skilled-based pay), seperti keahlian di bidang pengajaran, penilaian dan evaluasi, kurikulum, dan perluasan jenis pekerjaan (job enlargement), seperti jam tambahan untuk mengurusi berbagai kegiatan pendidikan, seperti jam perwalian, kegiatan khusus untuk mengorganisir pertemuan orang  tua dengan pihak sekolah, dll, serta insentif kolektif.

Sistem remunerasi yang meritokratis dapat membedakan guru yang malas dengan yang rajin, yang asal mengajar dengan yang penuh komitmen. Remunerasi yang meritokratis bisa menjadi suber penguatan fundamen pendidikan nasional dalam rangka penyiapan tenaga pendidik yang berkualitas.

Penyiapan tenaga pendidik yang berkualitas di tingkat unit sekolah sampai di tingkat kepemimpinan manajerial organisasi bukan hanya akan memiliki sumbangan positif bagi kemajuan pendidikan nasional, melainkan juga akan berdampak besar pada percepatan transformasi pendidikan nasional dalam menanggapi tantangan zaman. 

Tiga Solusi 

Pemerintah bisa mendesain tiga jalur karir strategis bagi pengembangan guru. Jalur pertama adalah jalur kepemimpinan (leadership track). Para guru diarahkan dan dievaluasi berdasarkan jalur karir yang akan mereka tempuh untuk menduduki posisi kepemimpinan, baik itu sebagai kepala sekolah, pengawas atau kepala departemen pendidikan.

Jalur kedua adalah jalur pengajaran (teaching track). Ini berarti jalur karir yang berfokus pada keunggulan dalam pengajaran di kelas, di mana para guru dapat naik jenjang menjadi guru ahli (master teacher) sampai kepala guru ahli (principal master teacher). Pada posisi ini, guru sudah mampu menjadi rekan pembelajar bagi guru yang lain. Guru ahli ini juga bisa membantu berbagai pelatihan pengembangan di lingkungan pendidikan di tingkat kabupaten atau provinsi.

Jalur ketiga adalah jalur spesialis (specialist track). Jalur ini tersedia bagi mereka yang ingin mendalami hal-hal khusus dalam dunia pendidikan, seperti ahli dalam desain kurikulum dan pengajaran, ahli untuk anak-anak berkebutuhan khusus, peneliti dan konseling.

Ketiga desain jalur profesi guru ini mengandaikan bahwa pemerintah juga merestrukturasi sistem pendidikan dalam Lembaga Penyiapan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan proses rekrutmen pendidik dalam unit sekolah.

Mereka yang telah mencapai jalur karir tertentu harus mendapat apresiasi berupa remunerasi yang baik, sehingga jalur karir ini sungguh-sungguh mampu menjaga kreativitas dan komitmen para pendidik.

Pengembangan profesional guru yang berkelanjutan dengan sistem remunerasi yang jelas melalui prospek pengembangan karir yang baik akan menarik minat generasi muda untuk memeluk profesi sebagai guru. Untuk itu, pemerintahan baru perlu mendesain kembali jalur perjalanan karir guru secara sistematis agar profesi mulia ini semakin menjadi daya tarik generasi muda. 

Doni Koesoema A. Pemerhati Pendidikan 

Artikel dimuat di Media Indonesia, 8 September 2014

Pendidikan Keagamaan