Friday, 12 September 2008

Guru Swasta Guru Tiri

Kompas, 11 September 2008
Doni Koesoema A

Tahun 2008 merupakan generasi kedua sertifikasi guru. Namun seperti tahun sebelumnya, guru swasta tetap diperlakukan seperti anak tiri. Pedoman penetapan peserta sertifikasi 2008 telah melanggengkan praksis kebijakan pendidikan yang tidak adil secara sistematis. Di mata pemerintah, guru swasta itu guru tiri! Kebijakan seperti ini harus dikoreksi dan tidak boleh terjadi lagi.

Pemerintah memang berhak menentukan jumlah peserta dan membagi kuota peserta sertifikasi secara adil berdasarkan rasio guru di tingkat provinsi. Dalam hal ini, tata cara penghitungan jumlah kuota untuk tiap daerah bisa diterima dan tealh berlaku, adil sebab dihitung berdasarkan data objektif jumlah guru di tiap daerah. Kita mengandaikan data-data itu benar dan tidak dimanipulasi. Penghitungan kuota guru ini juga selaras dengan prinsip yang dipakai dalam pelaksanaan sertifikasi yaitu “dilaksanakan secara objektif”.

Namun ketika pemerintah mulai membagi jatah kuota antara guru negeri dan swasta, di sinilah ketidakadilan itu terjadi. Dalam pedoman penentuan peserta sertifikasi terdapat ketentuan yang mengatakan “kuota guru yang berstatus PNS minimal 75% dan maksimal 85%, kuota bukan PNS minimal 15% dan maksimal 25%, disesuaikan dengan proporsi jumlah guru pada masing-masing daerah. Apabila kuota guru bukan PNS tidak terpenuhi, maka dinas pendidikan kabupaten/kota mengusulkan pemindahan kuota bukan PNS ke kuota PNS ke Ditjen PMPTK cq. Direktorat Profesi Pendidik melalui dinas pendidikan provinsi disertai kelengkapan data pendukung”.

Apakah kriteria yang dipakai untuk menentukan bahwa pegawai negeri berhak memperoleh minimal 75% dan maksimal 85%? Demikian juga mengapa guru swasta hanya berhak mendapatkan jatah minimal 15% dan maksimal 25%? Tidak ada alasan fundamental objektif yang bisa dipakai pemerintah untuk menjelaskan mengapa pegawai negeri berhak mengisi minimal 75% kuota peserta sertifikasi sedangkan guru swasta hanya berhak memperoleh maksimal 25%. Dalam keseluruhan buku pedoman sertifikasi 2008 tidak saya temukan alasan utama mengapa para guru swasta hanya berhak menerima minimal 15% dan maksimal 25%.

Ada apa?
Adanya perilaku sewenang-wenang yang melanggar keadilan guru swasta ini bisa dianalisis melalui beberapa sisi. Pertama, ketidakadilan dalam pelaksanaan sertifikasi ini sesungguhnya berakar dari mentalitas sektarian para pejabat pendidikan yang mementingkan kelompok sempitnya sendiri, yaitu, para pegawai negeri. Mereka memiliki cara berpikir sempit bahwa seolah-oleh pemilik negeri ini adalah kalangan mereka, sehingga peranan guru swasta masih dipandang sebelah mata. Karena itu, mereka memberikan kuota lebih besar kepada para pegawai negeri daripada guru-guru swasta. Padahal, justru sebagai pegawai negeri, mereka semestinya melayani kepentingan rakyat secara adil, yaitu, melayani kepentingan guru-guru swasta yang juga turut berjasa mencerdaskan bangsa.

Kedua, penentuan kebijakan pendidikan nasional secara sewenang-wenang ini juga menjadi indikasi bahwa pejabat pemerintah masih lebih suka mengedepankan kekuasaan daripada visi negarawan yang menghayati jabatan yang dipercayakan kepadanya demi melayani seluruh rakyat dan demi kesejahteraan rakyat. Bukankah salah satu prinsip sertifikasi yang telah ditetapkan pemerintah adalah “berujung pada peningkatan mutu pendidikan nasional melalui peningkatan kompetensi dan kesejahteraan guru? (penekanan oleh penulis).” Apakah guru yang dimaksud di sini hanya guru negeri? Praksis ketidakadilan terhadap guru swasta menunjukkan bahwa pemerintah telah melanggar prinsip sertifikasi yang telah dibuatnya sendiri!

Ketiga, para pejabat pendidikan tidak mengenali siapa wajah-wajah para guru yang selama ini telah berjuang keras bahu membahu dalam membantu meningkatkan dunia pendidikan. Jika dilihat bagaimana animo para guru honorer yang antri agar untuk mendapatkan status sebagai pegawai negeri, kita tahu bahwa menjadi pegawai negeri adalah sebuah keistimewaan, sebab diandaikan bahwa mereka lebih memiliki jaminan kesejahteraan sosial dibandingkan dengan guru-guru swasta. Persis di sinilah masalahnya, memberikan kuota lebih besar pada guru negeri menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki keberpihakan terhadap warga negara yang lebih membutuhkan kesejahteraaan. Ini adalah masalah prioritas dan kepekaan sosial dalam mengenali siapa wajah rakyat yang terutama mesti dilayani.

Guru-guru swasta tentu tidak menuntut bahwa mereka diistimewakan. Cukuplah bagi mereka kalau pemerintah bersikap adil dan mampu benar-benar menghayati kekuasaan yang dimilikinya itu demi kepentingan rakyat, bukan demi kepentingan kelompok kecilnya. Kekuasaan yang mereka miliki itu dari rakyat dan mesti dipergunakan sebesar-besarnya demi kemaslahatan seluruh rakyat. Untuk itu, dalam setiap masyarakat yang demokratis, keadilan sosial mesti menjadi jiwa bagi setiap kebijakan pemerintah.

Harus dikoreksi
Kebijakan pendidikan yang sektarian dan tidak adil ini harus dikoreksi. Lebih lagi, kita tahu bahwa anggaran pendidikan yang dipakai untuk mengingkatkan mutu pendidikan itu berasal dari sumbangan seluruh rakyat melalui pajak, termasuk di dalamnya sumbangan guru negeri dan swasta. Karena itu, perlakuan sewenang-wenang dalam pembuatan kebijakan pendidikan seperti ini tidak boleh terjadi lagi. Melanggengkan kebijakan pendidikan yang tidak adil dan melestarikannya secara sistematis melalui peraturan perundang-undangan jelas merupakan tindakan inkonstitusional dan melanggar prinsip ke lima Pancasila, yaitu, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sudah saatnya para pejabat pemerintahan membuka wawasan dan memahami makna jabatan yang diembannya sebagai mandat dari rakyat demi kepentingan rakyat, bukan sebuah kekuasaan untuk memperkaya diri atau menguntungkan kelompok sendiri. Guru swasta tidak boleh lagi menjadi anak tiri di negeri sendiri.

Doni Koesoema A. Penulis adalah mahasiswa pasca sarjana Boston College Lynch School of Education, Boston.

Pendidikan Keagamaan