KOMPAS, Selasa, 29 July 2008
Oleh Doni Koesoema A
Mengusulkan kebijakan pendidikan tanpa mendasarkan diri pada kenyataan di lapangan hanya akan menghasilkan reformasi tambal sulam. Miopi kebijakan pendidikan, itulah virus yang sedang menyerang dunia pendidikan kita.
Miopi kebijakan pendidikan merupakan sebuah keadaan di mana perubahan dalam pendidikan (educational change) dilakukan hanya demi kepentingan sesaat, memenuhi keinginan jangka pendek, mengejar hasil yang langsung dilihat, namun mengorbankan kinerja dunia pendidikan dalam jangka panjang. Kekacauan proses sertifikasi, terkatung-katungnya nasib guru yang lolos portofolio, gelojoh pemerintah membalikkan rasio perbandingan antara SMA dan SMK menjadi 30:70, dan yang terakhir buku elektronik semakin menunjukkan bahwa pembuat kebijakan pendidikan ini benar-benar sudah tidak mampu melihat realitas pendidikan di lapangan.
Tiga miopi
Miopi pertama adalah sertifikasi guru. Tertunda-tundanya pembayaran uang pendapatan guru yang telah lolos sertifikasi menunjukkan mental kebijakan otoritarian dalam meningkatkan kinerja dan martabat guru. Otoritarianisme pendidikan terjadi ketika pemerintah mempersyaratkan kesediaan guru untuk melengkapi sertifikasi secara cepat, sesuai syarat, namun ketika guru menagih hak-hak mereka pemerintah tidak sigap. Sebelum membayar hutangnya kepada guru, pemerintah tidak memiliki klaim telah melaksanakan peningkatan kualitas pendidikan.
Miopi kedua adalah kepentingan sesaat untuk membalik rasio SMA dan SMK. ”Kebijakan pendidikan menengah diarahkan pada meningkatnya proporsi SMK dibandingkan SMA,” kata Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo dalam acara pembukaan Lomba Keterampilan Siswa SMK Tingkat Nasional XVI di Makassar, Selasa (24/6). Miopi kedua ini memiliki empat kesalahan berpikir secara fatal.
Oleh Doni Koesoema A
Mengusulkan kebijakan pendidikan tanpa mendasarkan diri pada kenyataan di lapangan hanya akan menghasilkan reformasi tambal sulam. Miopi kebijakan pendidikan, itulah virus yang sedang menyerang dunia pendidikan kita.
Miopi kebijakan pendidikan merupakan sebuah keadaan di mana perubahan dalam pendidikan (educational change) dilakukan hanya demi kepentingan sesaat, memenuhi keinginan jangka pendek, mengejar hasil yang langsung dilihat, namun mengorbankan kinerja dunia pendidikan dalam jangka panjang. Kekacauan proses sertifikasi, terkatung-katungnya nasib guru yang lolos portofolio, gelojoh pemerintah membalikkan rasio perbandingan antara SMA dan SMK menjadi 30:70, dan yang terakhir buku elektronik semakin menunjukkan bahwa pembuat kebijakan pendidikan ini benar-benar sudah tidak mampu melihat realitas pendidikan di lapangan.
Tiga miopi
Miopi pertama adalah sertifikasi guru. Tertunda-tundanya pembayaran uang pendapatan guru yang telah lolos sertifikasi menunjukkan mental kebijakan otoritarian dalam meningkatkan kinerja dan martabat guru. Otoritarianisme pendidikan terjadi ketika pemerintah mempersyaratkan kesediaan guru untuk melengkapi sertifikasi secara cepat, sesuai syarat, namun ketika guru menagih hak-hak mereka pemerintah tidak sigap. Sebelum membayar hutangnya kepada guru, pemerintah tidak memiliki klaim telah melaksanakan peningkatan kualitas pendidikan.
Miopi kedua adalah kepentingan sesaat untuk membalik rasio SMA dan SMK. ”Kebijakan pendidikan menengah diarahkan pada meningkatnya proporsi SMK dibandingkan SMA,” kata Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo dalam acara pembukaan Lomba Keterampilan Siswa SMK Tingkat Nasional XVI di Makassar, Selasa (24/6). Miopi kedua ini memiliki empat kesalahan berpikir secara fatal.
Pertama, sebuah keyakinan keliru bahwa Indonesia akan dapat bersaing di dunia global jika dapat mengubah SMA menjadi SMK. Mengubah proporsi sekolah menengah menjadi sekolah kejuruan hanya akan memosisikan daya-daya manusiawi (human resources) Indonesia pada hirarki paling bawah dalam dunia industri global. Padahal, agar dapat bersaing, yang dibutuhkan adalah akses setiap siswa pada pendidikan tinggi dan akademi teknik/politeknik yang murah dan terjangkau.
Kedua, mengubah rasio SMK menjadi lebih besar dibandingkan SMA semakin menegaskan self-fulfilling prophecy bagi anak-anak orang miskin bahwa mobilitas sosial itu tidak akan dapat mereka miliki. Kebijakan ini hanya akan menunjukkan bahwa anak-anak orang miskin dilarang mengenyam pendidikan lebih tinggi, cukup sekolah saja sampai SMK, setelah itu bekerja. Pendekatan seperti ini melanggar keadilan sosial sebab membiarkan orang miskin agar tetap miskin dan tidak pernah dapat mengubah nasib mereka.
Ketiga, hubungan antara ketrampilan yang diperoleh melalui sekolah kejuruan dan terpenuhinya kebutuhan kerja yang diandaikan begitu saja merupakan sebuah pandangan naif yang tidak mendasarkan diri pada realitas di lapangan. Terserapnya tenaga kerja itu tergantung dari ketersediaan kesempatan kerja. Yang dibutuhkan pemerintah adalah menciptakan lapangan kerja, bukan mengubah SMA menjadi SMK.
Keempat, UN SMK yang sebagian besar disamakan dengan SMA menunjukkan bahwa pengambil kebijakan pendidikan ini tidak bisa membedakan lagi mana SMA dan SMK dan apa yang menjadi kekhususan di antara keduanya.
Miopi ketiga adalah buku elektronik. Buku elektronik itu ada di internet ketika pembuat kebijakan itu memasangnya di sana. Tentu, fakta ini benar. Namun miopi terjadi ketika mereka berpikir bahwa apa yang mereka lihat itu juga dilihat oleh para guru, siswa, dan orang tua. Ide bahwa buku elektronik dengan mudah diunduh pun juga perlu dipertanyakan. Apalagi argumentasi bahwa harga buku menjadi lebih murah jika pemerintah membeli hak cipta dan menentukan harga eceran tertinggi. Semua itu retorika kosong yang tidak ada faktanya di lapangan. Buku tetap akan mahal, hanya sekolah bermutu dengan fasilitas lengkap dapat mengakses buku elektronik. Ironisnya, sekolah yang bisa mengakses buku elektronik justru mereka tidak memakai buku itu sebagai buku teks. Semakin lengkaplah absurditas kebijakan buku elektronik ini.
Membuka mata dan hati
Yang dibutuhkan pendidikan kita bukanlah program pendidikan bombastis yang menawarkan harapan semu seperti, sertifikasi, peningkatan rasio SMK-SMA, atau buku elektronik. Pemerintah perlu membuka mata atas realitas sekolah-sekolah di lapangan di mana siswa dan orang tua seringkali masih menjadi langganan pemerasan pihak-pihak sekolah dengan dalih yang macam-macam.
Pemerintah semestinya melindung dan membantu orang-orang miskin yang anak-anaknya kesulitan sekolah agar tidak semakin hari terpinggirkan dari pendidikan karena biaya pendidikan yang tak terjangkau oleh pendapatan mereka yang pas-pasan. Menyediakan buku pelajaran gratis bagi sekolah yang membutuhkan lebih akan efektif dibandingkan dengan pemborosan uang negara dengan membeli hak cipta yang malahan tidak berguna.
Lebih dari itu, pemerintah perlu membuka hati yang bervisikan keadilan sosial, di mana kebijakan pendidikan itu semestinya melindungi hak-hak mereka yang kurang beruntung di dalam masyarakat, bukannya membuat kebijakan yang menguntungkan kelompok mapan, yang justru tidak mempergunakan layanan pendidikan. Membuat kebijakan pendidikan yang bervisikan keadilan sosial merupakan salah satu cara untuk menyembuhkan miopi yang menjangkiti pendidikan nasional kita.
Doni Koesoema A, Penulis adalah mahasiswa pasca sarjana Boston College Lynch School of Education, Boston.