Oleh Doni Koesoema A.
Naskah
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan begitu
tersiar ke publik langsung menuai pro dan kontra. RUU terkesan dipaksakan. Ada
apa di balik RUU ini?
Urgensi
sebuah UU bisa dilihat dari bagian pertimbangannya. Pertama, RUU ini dibuat
untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia warga Negara melalui
Pendidikan Keagamaan dan penyelenggaraan Pesantren.
Kedua,
RUU ini berasumsi bahwa selama ini masih ada ketimpangan pada aspek pembiayaan,
dukungan sarana dan prasarana, sumber daya manusia bermutu, dan kurangnya
keberpihakan Negara terhadap pesantren dan pendidikan keagamaan.
Ketiga,
pengelolaan pesantren dan pendidikan keagamaan belum mengakomodasi
perkembangan, aspirasi dan kebutuhan masyarakat, serta pengaturan hukumnya
belum komprehensif.
Intervensi Negara
Dari
dasar pertimbangan ini jelas bahwa RUU ini memiliki visi sangat spiritual,
yaitu membentuk keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia. Bahwa Negara mendorong
warga negaranya untuk menjadi warga Negara yang memiliki kerohanian kuat,
beriman, bertakwa dan memiliki akhlak mulia jelas sebuah keharusan. Namun,
ketika Negara mulai mengatur bagaimana cara-cara warga Negara menjadi orang yang
beriman, bertakwa dan berakhlak mulia, menentukan apa yang harus dipelajari
agar individu menjadi pemimpin dan pemuka agama, di sini mulai muncul masalah.
Sejauh mana kewenangan Negara dalam mencampuri urusan individual personal
keimanan dan ketakwaan warga negaranya, dan kewenangan yang menjadi urusan
lembaga agama?
Mengingat
peranan pesantren dan pendidikan keagamaan sangat penting, dan diakui bahwa
dalam sejarah pesantren telah berjasa bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia,
maka pengaturan tentang pesantren sebaiknya mengatur tentang penyelenggaraannya
sebagai organisasi atau lembaga, bukan masuk pada detail tentang berbagai mata
pelajaran yang harus dipelajari para santri. Demikian juga berlaku bagi peserta
didik dalam pendidikan keagamaan yang menjadi kewenangan lembaga agama.
Dalam
konteks keindonesiaan terkini, di mana ancaman radikalisme begitu tinggi, dan dalam
beberapa penelitian ancaman ini masuk melalui pesantren maupun pendidikan
keagamaan, maka sebaiknya RUU ini mengikat para pelaku dan lembaga pendidikan
pada keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mendasarkan diri pada
Pancasila.
Sayangnya,
dalam RUU ini, kata Pancasila hanya disebut sekali. Ini pun hanya terdapat pada
bagian penjelasan, terutama pada penjelasan umum, ketika menjelaskan kewenangan
pemerintah dan pemerintah daerah dalam membina penyelenggaraan pendidikan
keagamaan saja, tidak termasuk Pesantren.
Dalam
asas-asas yang dipakai untuk menyelenggarakan Pesantren dan Pendidikan
Keagamaan, salah satunya disebutkan tentang asas kebangsaan (pasal 2 butir b).
Namun, dalam penjelasan tentang asas kebangsaan ini, tidak dijelaskan secara
eksplisit maksudnya dalam konteks keindonesiaan. Dalam butir penjelasan pada
pasal ini hanya dijelaskan bahwa “penyelenggaraan Pesantren dan Pendidikan
Keagamaan dilaksanakan untuk memupuk jiwa cinta tanah air dan bela Negara”.
Penjelasan pasal ini tidak secara eksplisit menyebutkan cinta tanah Indonesia,
dan bela Negara Indonesia.
Pada
pertimbangan kedua, persoalannya lebih jelas dipahami. Visi RUU ini sangat material,
yaitu akan berakibat bahwa Negara wajib mengeluarkan anggaran untuk
penyelenggaran Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. Keberpihakan Negara terhadap
Pesantren dan Pendidikan Keagamaan dalam pembiayaan dirasakan kurang.
Konsekuensi Anggaran
Pertimbangan
pada butir kedua memiliki konsekuensi anggaran pendidikan yang tidak sedikit. Menurut
RUU ini, Negara wajib mengeluarkan anggaran untuk pembiayaan penyelenggaraan Pesantren
dan Pendidikan Keagamaan. Konsekuensi ini perlu dipertimbangkan secara lebih
serius mengingat anggaran pendidikan kita terbatas. Jika RUU ini lolos, porsi
20 persen anggaran pendidikan dari APBN tetap, namun pos untuk pembagian
anggaran pendidikan menjadi bertambah. Karena itu, pasti akan ada pengurangan
pada postur anggaran pendidikan di tempat lain.
Pengakuan
penyelenggaraan pendidikan pesantren dan pendidikan keagamaan yang sejajar
dengan pendidikan formal lain akan berkonsekuensi bahwa para santri dan peserta
didik pendidikan keagamaan yang ikut dalam pendidikan formal akan memperoleh
Bantuan Operasional Sekolah (BOS), para guru dan tenaga pendidikan di pesantren
bisa memperoleh tunjangan sertifikasi, dan perlunya pengeluaran anggaran
pendidikan untuk tersedianya sarana dan prasarana pendidikan Pesantren dan Pendidikan
Keagamaan.
Sebagai
simulasi, bila untuk para santri saja kita asumsikan jumlahnya sekitar 4 juta,
dan mereka mendapatkan dana BOS sebesar 1 Juta rupiah per tahun, maka harga RUU
ini 4 Triliun rupiah untuk penyelenggaraan pesantren dan pendidikan keagamaan.
Ini belum termasuk pembiayaan lain. Konseksuensi dari RUU ini dari sisi
anggaran berat. Karena akan memengaruhi peningkatan kualitas pendidikan secara
umum.
Tentu
kita senang bahwa para santri secara khusus memperoleh dukungan pembiayaan dari
Negara agar dapat berkembang. Demikian juga para santri, guru agama, katekis,
yang selama ini hanya memperoleh honor dari lembaga keagamaan, yang seringkali
ala kadarnya saja, sekarang bisa memiliki potensi memperoleh honor dan tunjangan
sertifikasi dari Negara. Namun, konsekuensi dari sisi pengeluaran anggaran
pendidikan perlu dipertimbangkan secara serius.
Dengan
RUU ini, Negara mengeluarkan anggaran besar untuk mengelola Penyelenggaraan
Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. Namun, pasal-pasal yang memberikan
kewenangan pada Negara untuk membina dan mengembangkan Pesantren dan Pendidikan
Keagamaan sangat kecil, bahkan tidak dibahas secara rinci.
Negara
memiliki kepentingan bahwa penyelenggaraan Pesantren memiliki visi rahmatan lil
alamin, dididik oleh para kiai dan guru agama yang kuat semangat nasionalisme,
dan Pendidikan Keagamaan yang dikelola melahirkan peserta didik yang cinta
Indonesia. Sayangnya, berbagai kewenangan untuk pembinaan Pesantren dan Pendidikan
Keagaamaan ini tidak secara jelas dijabarkan dalam pasal-pasal RUU. Jadi, biaya
besar tidak disertai kewenangan efektif Negara dalam memastikan penyelenggaraan
Pesantren dan Pendidikan Keagamaan tidak bertentangan dengan ideologi bangsa.
Tidak Sinkron
Pada
butir pertimbangan ketiga, terkait dengan sinkronisasi hukum yang mengatur
penyelenggaraan Pesantren dan Pendidikan Keagamaan, terdapat potensi tumpang
tindih dan tidak sinkron terkait konsep Pendidikan Keagamaan.
Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah secara khusus
mengatur tentang Pendidikan Keagamaan. Dalam UU ini disebutkan bahwa Pesantren
termasuk di dalam kelompok Pendidikan Keagamaan. Pada pasal 30 ayat 4
dinyatakan bahwa “pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren,
pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.” Lebih lanjut,
tentang pendidikan keagamaan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah. Tidak ada
amanat membuat Undang-Undang terkait Pesantren.
Namun,
dalam RUU ini, Pesantren dianggap bukan sebagai bentuk Pendidikan Keagamaan.
Padahal, dari definisi yang diberikan tentang Pendidikan Keagamaan, Pesantren
seharusnya masuk dalam definisi Pendidikan Keagamaan. Jika per definisi
sebenarnya Pesantren adalah salah satu bentuk Pendidikan Keagamaan, mengapa
nama RUU ini adalah tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan, bukankah akan
lebih baik disebut RUU Pendidikan Keagamaan di mana tentang Pesantren juga
diatur di dalamnya?
UU
Sisdiknas mengamanatkan bahwa Pendidikan Keagamaan, termasuk di dalamnya
Pesantren, diatur dalam Peraturan Pemerintah, bukan diatur dalam Undang-Undang.
Karena itu, RUU ini menjadi tumpang tindih dengan konsep Pendidikan Keagamaan
sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas.
Konsep
Pendidikan Keagamaan yang diacu pada RUU ini juga memiliki perbedaan dengan
konsep Pendidikan Keagamaan dalam UU Sisdiknas. Bila dalam UU Sisdiknas, konsep
Pendidikan Keagamaan adalah pendidikan umum plus berciri keagamaan, seperti
Madrasah, dan sekolah lain sejenis, dalam RUU ini Pendidikan Keagamaan dipahami
sebagai pendidikan keagamaan plus beberapa mata pelajaran nasional (kurikulum
nasional sekedar sebagai tambahan saja). Namun, secara legal, ijasah yang
diperoleh peserta didik dalam lembaga pendidikan yang dikelola Pesantren dan
Pendidikan Keagamaan dianggap setara dengan pendidikan umum, meskipun isi kurikulumnya
sangat berbeda. Dua konsep ini sangat berbeda, kualifikasi dan kompetensinya
pun sangat berbeda sehingga tidak bisa disamakan.
Persoalan
tentang keterkaitan RUU ini dengan Pancasila, konsekuensi anggaran, intervensi
Negara pada urusan lembaga pendidikan, dan rancunya konsep Pendidikan Keagamaan
dalam konstelasi Undang-Undang yang sudah ada, kiranya perlu mendapatkan
perhatian serius dari anggota dewan dan masyarakat Indonesia.
Membentuk
karakter warga Negara yang beriman, bertakwa, bermoral, memang penting. Namun
Negara perlu memahami keterbatasannya saat mengurusi hak-hak individu warga
Negara dalam mengembangkan iman dan ketakwaannya, dan terutama Negara perlu
menghargai peranan lembaga keagaamaan yang memiliki kewenangan mengelola Pendidikan
Keagamaan.
Doni Koesoema A. Pemerhati Pendidikan dan Pengajar di
Universitas Multimedia Nusantara, Serpong.
Opini dimuat di KOMPAS, 15 November 2018