Saturday 26 September 2009

Kanon Moral Komensky dan UN

KOMPAS, 26 April 2007
Oleh Doni Koesoema, A

Ujian Nasional senantiasa menyisakan balada keterpurukan bagi dunia pendidikan kita. Ada kepala sekolah yang demi tanggungjawabnya terpaksa mencuri soal UN. Ketatnya penjagaan soal-soal UN pun masih bisa ditelikung oleh panitia ujian tingkat sekolah beberapa menit setelah soal dibagikan.

Di Tangerang, misalnya, panitia sekolah bahkan minta ijin kepada pengawas untuk masuk kelas dan tanpa malu-malu memberikan jawaban ujian kepada siswa! Pasca UN SMA, Ada pejabat yang kebakaran jenggot karena melihat potensi UN yang merugikan reputasi daerahnya segera mengadakan rapat kilat mengundang para kepala sekolah dan mencoba ‘main mata’ dengan Tim Pengawas Independen (TPI) agar hasil UN di daerahnya diatur baik. Dengan uang amplop yang diterima, para pendidik seperti dilecehkan nuraninya. Namun jika tidak ikut setuju, resiko jabatan sudah menghadang di depan mata!

Alih-alih menjadi sarana pengujian kualitas pendidikan, UN malah menjadi pertunjukan kebobrokan moral para penanggungjawab pendidikan, mulai dari guru, masyarakat, sampai birokrat pemerintahan. Perilaku mereka membuat anak didik tidak mengerti lagi apa makna belajar, tanggungjawab, kerja keras. Apa artinya keadilan jika mereka yang belajar dan malas mendapatkan hasil yang kurang lebih sama?

Bom waktu

Kultur pendidikan yang jauh dari norma moral akan secara perlahan membawa bangsa ini memasuki jurang keruntuhan. Pendidikan kita sedang menyimpan bom waktu yang akan menghancurkan sendi-sendi tatanan sosial kapan saja. Ketika anak tidak belajar arti kerja keras dan nilai kejujuran, kita sebenarnya sedang mempersiapkan lahirnya generasi penerabas yang gemar jalan pintas, membentuknya menjadi kerumunan pencuri dan pembunuh hati nurani.

Jika di dalam kelas saja para pendidik tidak malu-malu lagi melacurkan integritas moral mereka sebagai pendidik, bagaimana anak-anak dapat menghargai mereka. Jika mereka yang berjerih payah belajar dan enggan belajar bisa lulus karena mendapatkan jawaban soal dari panitia sekolah, bagaimana mereka belajar tentang keadilan?

Sekolah sebenarnya memiliki potensi yang sangat efektif bagi pembentukan habitus baru dan karakter siswa. Namun jika yang mereka saksikan adalah rusaknya moralitas para pendidik dan guru, gagasan sekolah sebagai pembentuk karakter semakin sirna. Sia-sialah mengharapkam pembaharuan pendidikan dalam lembaga pendidikan. Apapun aturan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk menjaga kualitas pendidikan, aturan itu tetap bisa ditelikung oleh individu melalui perilaku dan tindakannya. Pendidikan karakter akan semakin efektif jika dalam sekolah terdapat figur keteladanan.

Mengembalikan lembaga pendidikan sebagai agen pembentuk karakter yang menghasilkan individu bermoral melalui figur keteladanan merupakan kemendesakan yang jadi tantangan.

Untuk ini, cara pertama paling ampuh adalah bercermin diri. Semestinya, para pendidik menciptakan iklim kejujuran melalui sikap tegas terhadap peserta yang melanggar tata tertib UN. Sistem kongkalikong antar sekolah dan pengawas UN mesti dijauhkan. Integritas moral pendidik akan runtuh jika mereka sendiri tidak mampu menghargai keutuhan mertabat profesi mereka di hadapan siswa.

Kedua, setiap pendidik semestinya percaya bahwa jerih payah dan kerja keras itu tidak akan sia-sia. Siswa semestinya mendapatkan penghargaan sesuai dengan kerja keras dan ketekunan mereka dalam belajar. Inilah makna pendidikan berkeutamaan. Hanya mereka yang belajar bisa menjadi pintar. Yang suka potong kompas semestinya dilibas. Yang suka mencontek semestinya mendapat nilai jelek.

Perilaku adil

Jan Amos Komenský (1592-1670) dalam salah satu kanon pengajaran moralnya di sekolah menekankan pentingnya mengajarkan perilaku adil kepada siswa. Keadilan merupakan kemampuan diri untuk menimbang dan menilai segala sesuatu secara seimbang. Siswa belajar untuk menghargai dan menilai sesuatu secara apa adanya sesuai dengan halnya itu sendiri.

Keadilan bukan terutama terwujud dalam tindakan menghindari yang buruk, atau menerima yang baik, memuji yang luhur atau mencela yang rendahan. Yang perlu dimiliki terutama adalah kemampuan dalam membedakan dan menilai secara adil mana yang baik dan mana yang buruk sesuai dengan kenyataan itu sendiri.

Komenský yakin, bahwa sikap adil hanya dapat tumbuh dan berkembang melalui proses alamiah. Ketika anak didik tidak dibiasakan menilai secara objektif mana yang baik dan mana yang buruk, perilakunya pun akan dipandu sesuai dengan pemahamannya tersebut. Sebab kebiasaan baik maupun buruk itu terjelma bersama-sama dalam hidup manusia secara alamiah.

Jika dalam UN perilaku tidak terpuji, seperti, dengan sengaja memberikan jawaban pada siswa tetap terjadi, anak-anak itu tidak akan belajar apa arti nilai kerja keras. Siswa akan belajar bahwa nilai kerja keras dan kejujuran tidak perlu. Lama-lama anak-anak kita tidak dapat lagi melihat kenyataan secara berimbang dan menilainya secara jujur sesuai dengan kenyataan itu sendiri apa adanya.

Dalam masyarakat yang korup, kejujuran dan integritas akan membuahkan cemooh, bahkan bisa beresiko bagi jabatan mereka jika pejabat di tingkat atasnya ternyata lebih korup. Namun inilah jalan yang harus dilewati oleh para pendidik sejati. Sebab anak hanya akan belajar perilaku adil jika mereka mengalami bahwa kerja keras, baik dari guru dan siswa dihargai sebagaimana adanya. Bukan memaksakan keberhasilan semu dengan menodainya melalui perilaku tercela.

Doni Koesoema, A. Penulis adalah mahasiswa jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma.

Pendidikan Keagamaan