Thursday 3 September 2009

Paus, Lembaga Kepausan dan Dunia

KOMPAS, 05 April 2005
Oleh Doni Koesoema, A

Dunia berduka, dunia merasakan kehilangan sosok besar Carol Wojtyla ketika Pengganti Sekertaris Negara Uskup Agung Leonardo Sandri mengumumkan kematiannya di hadapan ribuan umat yang berjejal di pelataran Basilika Vatikan sejak hari jumat. Harus diakui bahwa fenomena Vatikan terpusat hanya pada satu pribadi, yaitu, Paus Yohanes Paulus II.

Dalam relasinya dengan negara-negara lain, kedudukan Paus bisa dikatakan setaraf dengan Presiden. Namun dalam kedudukannya sebagai pemimpin rohani umat katolik sedunia, kedudukan Paus adalah Uskup Gereja Roma, Kepala Dewan para Uskup, Wakil Kristus dan Gembala Gereja universal di dunia.

Struktur kekuasaan dan kewenangan yang begitu unik dan berpusat pada Paus menciptakan suatu sistem kelembagaan yang istimewa dalam kerangka hubungan antar bangsa, antara Gereja universal dan Gereja lokal, antara sosok pribadi Paus dalam relasi personalnya dengan setiap orang yang dijumpainya.

Karena itu ada tiga hal yang bisa dibedakan, namun tak dapat dipisahkan berkaitan dengan kedudukan istimewa Paus. Pertama, Paus sebagai Uskup Gereja Roma yang mewarisi secara tetap tugas yang secara istimewa diberikan kepada Petrus (Uskup Roma Pertama) memiliki kedudukan dan kewenangan yang tidak berbeda dengan kedudukan seluruh Uskup Gereja Katolik di dunia.

Kedua, sebagai penerus tahta Santo Petrus, Paus merupakan yang pertama di antara para rasul (primi inter pares) dan bertindak sebagai Kepala Dewan para Uskup sedunia. Paus Paulus VI, misalnya, menyebut hubungan istimewa antara antara Uskup Roma dengan para Uskup dengan istilah kesatuan ikatan hirarki (hierarchicae communionis vincula). Kesatuan dengan hirarki inilah yang melahirkan jabatan keuskupan di mana Katedral Santo Petrus merupakan pusat dan prinsip kesatuan iman dalam kesatuannya dengan Gereja untuk mengaktualisasikan dan menunjukkan dimensi universalitas Gereja.

Ketiga, relasi langsung Paus dengan seluruh umat kristiani di dunia, baik yang terstruktur maupun tidak terstruktur. Anggota tarekat hidup bakti yang membaktikan dirinya secara khusus untuk pelayanan terhadap Allah dan seluruh Gereja, misalnya, mereka wajib taat kepada Paus sebagai pemimpin tertinggi mereka.

Seputar suksesi

Kedudukan khas Paus membangkitkan banyak pertanyaan seputar suksesi kepausan. Bagaimana proses pemilihannya? Apakah Paus bisa mengundurkan diri dari jabatannya? Siapa kira-kira kardinal papabilis pasca Yohanes Paulus II? Mungkin tidak ada satu proses suksesi kekuasaan di dunia ini yang diliputi banyak teka-teki selain proses pemilihan seorang Paus.

Kabut misteri yang menyelimuti proses suksesi kepausan mungkin bisa dijelaskan dengan dua alasan. Pertama, jumlah kandidat yang papabilis begitu banyak dan secara tipologis tersebar dari seluruh penjuru dunia. Kedua, struktur hirarkis Gereja Katolik Roma menempatkan Paus sebagai pemimpin tertinggi dengan otonomi struktural dan personal secara penuh.

Dalam dalam Konstitusi Apostolis Universi Apostolis Gregi (22 februari 1996) yang membahas situasi sede vacante dan proses pemilihan Paus, hanya para Kardinal Gereja Romawi Kudus yang memiliki hak penuh untuk memilih. Dari 183 kardinal yang ada, satu masih in pectore(terpilih namun masih dirahasiakan), ada 118 kardinal yang papabilis.

Secara teoritis, Paus terpilih tidak harus selalu berasal dari kalangan Kardinal yang telah menerima tahbisan Uskup. Sejarah Gereja membuktikan bahwa seorang diakon pun dapat dipilih menjadi Paus. Proses pemilihan Paus Gregorius Agung, Gregorius VII, Innosensius III, dll, hanyalah salah satu bukti sejarah di mana tidak perlu seseorang pertama-tama telah menerima tahbisan uskup untuk dapat dipilih menjadi Paus. Karena itu, seorang diakon, imam, Uskup, atau Kardinal memiliki kemungkinan untuk terpilih menjadi Paus. Luasnya rentang kemungkinan inilah yang sering membuat para wartawan keliru dalam menebak hasil konklav.

Hal lain adalah bahwa Uskup Roma tidaklah selalu harus berasal dari keuskupan Roma. Paus Yohanes Paulus II, misalnya, beliau merupakan Paus pertama non-italia yang terpilih semenjak Paus Adrianus VI(1522-1523).

Tidak otomatis

Nama Paus yang terpilih dalam sebuah konklav tidak otomatis menjadi Paus jika Paus terpilih menolaknya. Syarat sahnya jabatan seorang Paus adalah pemilihan sah dan penerimaan jabatan dari pihak yang terpilih. Begitu terpilih dan menyatakan diri menerima pilihan itu, saat itu jugalah berfungsi secara efektif kewenangan yurudis yang dimilikinya. Karena itu, meskipun Paus terpilih belum memiliki meterai tahbisan Uskup, seandainya proses pemilihan itu dilakukan secara sah dan ia menerimanya, pada saat itu juga setiap pernyataannya berkaitan dengan tata aturan hukum yang diproklamasikannya berlaku secara efektif. Kewenangan yurudis berfungsi secara otomatis begitu Paus terpilih menyatakan menerima proses pemilihannya.

Saat ini Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1983 mempersyaratkan bahwa jika Paus terpilih belum menerima meterai tahbisan Uskup hendaknya ia segera ditahbiskan menjadi Uskup (KHK 332, §1).

Paus memiliki kuasa jabatan tertinggi, penuh, langsung dan universal dalam reksa penggembalaannya pada Gereja Universal. Kekuasaannya tidak ada di bawah subordinasi Kolegio para Kardinal. Namun dalam menjalankan tugas penggembalaannya ia selalu terikat dalam persekutuan dengan para Uskup lain, bahkan dengan seluruh Gereja: tetapi ia mempunyai hak untuk menentukan cara, baik personal maupun kolegial, pelaksanaan jabatan itu, sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan Gereja (KHK 333 §2).

Karena itu, apabila Paus mengundurkan diri dari jabatannya, untuk sahnya hanya dituntut agar pengunduran diri itu terjadi dengan bebas dan dinyatakan semestinya, tetapi tidak dituntut bahwa harus diterima oleh siapapun.

Paus Global

Kedudukan Paus yang sangat istimewa sesungguhnya mencerminkan struktur hirarki Gereja dan corak pelayanan asali yang telah mereka terima sejak pendiriannya. Kolegialitas antar Uskup Roma denga para Uskup sedunia, kesatuan dengan para imam, bahkan dengan umat Allah secara pribadi, kehadiran diplomat kepausan yang ada di hampir setiap negara, luasnya jalur-jalur diplomatik di tingkat internasional, merupakan tanda kehidupan Gereja untuk berdialog dengan dunia. Dalam hal ini Yohanes Paulus II bukanlah sekedar pemimpin rohani yang karismatis, tapi juga seorang pribadi yang merengkuh semua, tua, muda, besar, kecil.

Dalam perjalan sejarah Gereja kita banyak menemukan Paus yang begitu termasyur dan terkenal, namun Yohanes Paulus II adalah satu-satunya Paus Global yang kehadirannya dan pesannya menjangkau telinga, mata dan hati seluruh dunia. Kehadiran dan setiap kegiatannya menjangkau batas-batas yang tak pernah dimiliki oleh para Paus sebelumnya.

Dia adalah seorang pastor Universal yang ajaran-ajarannya bisa disimpulkan dengan satu kata, penghargaan terhadap nilai hidup manusia beserta seluruh dimensinya yang terentang sejak masih dalam kandungan hingga sampai akhir hidup.

Keberadaan dirinya sebagai aktor sejarah, dan pesan-pesan Injili yang disampaikannya selama 26 tahun masa pemerintahan kepausannya telah mewarnai lembaran sejarah dunia abad millennium ini.

Terlepas dari kebesarannya, Carol Wojtyla adalah juga sosok manusia biasa yang rapuh, lemah, fana, sakit, seperti kita semua. Dengan kelemahan dan ketidakberdayaan yang dialaminya Carol Wojtyla membuktikan keliru anggapan banyak orang tentang ketidakmampuannya dalam memerintah dan menggembalakan Gereja. Bergulat dengan kerapuhan dan sakitnya ia tidak kehilangan kemampuan untuk menjalankan tugas kegembalaannya bagi perawatan jiwa-jiwa umat yang dipercayakan kepadanya.

“Bahkan Yesus pun tidak turun diri dari salib!” Begitulah Yohanes Paulus II selalu menjawab pertanyaan wartawan tentang kemungkinan pengunduran dirinya pada saat kondisi kesehatannya mulai menurun.

Paus Yohanes Paulus II tetaplah gembala umat hingga akhir hayatnya. Pergulatannya dengan maut dan penderitaan meruakan saat-saat terakhir di mana Paus sebagai gembala jiwa seluruh umat menunjukkan dirinya sebagai guru iman dan guru kemanusiaan. Kini ia menyampaikan ajarannya bukan lagi dengan surat-surat gembala apostolik, bukan melalui proklamasi ensiklik, melainkan melalui ketabahan dan kesediaannya mengalami derita dari kamar pribadinya yang pengaruhnya bisa dirasakan dan disaksikan oleh milyaran orang seluruh dunia.

Penderitaannya mewartakan satu pesan kemanusiaan : hidup manusia berharga apapun keadaannya. Dan ia telah menunjukkan pada dunia lewat teladan hidupnya.

Selamat Jalan Carol Wojtyla.

Doni Koesoema, A penulis adalah mahasiswa Universitas Gregoriana Roma

Pendidikan Keagamaan