Wednesday 25 May 2016

Sistem Pendidikan Pesantren Lebih Siap Hadapi Tantangan MEA

Jumat, 13 Mei 2016 12:00 Wawancara  

Pendidikan karakter dinilai tepat untuk mengembangkan kepribadian siswa. Salah satu pemerhati pendidikan yang juga mengembangkan pendidikan karakter adalah Doni Koesoema A.

Dikaitkan dengan dunia pesantren dalam menghadapi tantangan MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) dan pendidikan karakter, Master Pendidikan lulusan Boston College Lynch School of Education, AS ini memprediksi pola dunia pesantren akan lebih siap. Berikut wawancara Kontributor NU Online Kendi Setiawan dengan Doni. 

Pak Doni, Anda kan dikenal aktif mengembangkan pendidikan karakter. Sebenarnya pendidikan karakter di Indonesia sudah seperti apa? 

Pendidikan karakter itu sebenarnya sudah banyak dipraktikkan di sekolah-sekolah kita. Cuma sering kali apa yang sudah dilaksanakan ini belum disadari sebagai bagian pembentukan nilai. Maka orang selalu bingung, kita ini sudah melaksanakan pendidikan karakter atau belum. 

Nah, dengan menyadari kembali pendidikan karakter, orang harus tahu dasar-dasarnya apa, agar dia bisa memperbaiaki. Selama ini memang sudah ada, namun karena sering kali tidak dievaluasi dan direfleksi, sehingga orang tidak tahu apakah ini sudah benar, apakah program-program yang dilakukan itu sudah benar-benar membentuk karakter atau tidak. Itu yang kurang digali. Itu yang sejauh pengamatan saya. 

Ada bebarapa pertentangan terhadap pendidikan karakter, ada yang tidak setuju. Misalnya saya pernah menjumpai praktisi pendidikan, dia lebih menyukai Matematika atau eksakta saja. Itu bagaimana? 

Jadi mereka itu tidak suka pendidikan karakter karena mereka salah  memahamai konsep pendidikan karakter. Dia pikir untuk belajar Matematika itu nggak ada kaitannya dengan pendidikan karakter. Padahal justru Matematika itu banyak pendidikan karakternya. Di sekolah di luar negeri misalkan Matematika, anak itu kalau mengerjakan harus pakai pulpen.  Kenapa di Indoensia malah pakai pensil misalnya anak-anak SD? Sementara di luar mereka wajib pakai pulpen supaya nggak bisa dihapus dan guru bisa tahu cara berpikirnya. Itu kan membentuk cara berpikir yang lurus dan guru bisa mengevaluasi. Di situ sebenarnya ada pembentukan karakter. Nah berarti ada kekeliruan dalam memahami pendidikan karakter sehingga orang menganggap Matematika, IPA, Sains itu nggak ada kaitannya dengan pendidikan karakter, dan ini salah menurut saya.

Harusnya ada justru misalnya Matematika pendidikan karakter itu ada di sini.  Kalau saya punya pendapat bahwa dua tambah dua empat itu benar, saya harus mempertahankan pendapat saya bahwa itu benar. Tapi kalau saya kemudian tahu bahwa pendapat saya salah, saya harus berani mengubah bahwa pendapat saya salah. Itu pendidikan karakter ada di sana. 

Saya beberapa kali mendengar Anda menyebut pondok pesantren bagus sebagai tempat pendidikan. Itu dari mana asumsinya, padahal Anda bukan warga Muslim? 

Saya tahu itu karena saya pernah banyak juga bekesplorasi di tempat-tempat itu (pondok pesantren). Saya pernah di Tebuireng, kunjungan ke sana lalu melihat pendidikan di pesantren. Lalu ke Samanera yang di Borobudur, bahkan menginap di sana sampai satu minggu, ikut doa-doa mereka. Saya rasa pondok pesantren benar-benar membentuk individu dengan budaya yang kuat.

Kemudian keterikatan dengan lingkungan setempat sebagai proses pembelajaran itu ada. Saya nggak menemukan pondok pesantren ada pagarnya. Di banyak pondok pesantren yang ada itu terintegrasi dengan masyarakat. Beda di seminari misalnya di Martoyudan, itu kan ada pagarnya, tapi di ponpes itu kebanyakan nggak.

Waktu saya di Bima memang ada pagarnya. Tetapi, mereka relatif bergaul dengan masyarakat. Jadi saya rasa ponpes model pembelajaran yang menurut saya bagus, Karena di sana kan kiai-kiai, artinya menginterpretasikan ajaran-ajaran agama itu lebih kontekstual, jadi arahnya tidak ideologis saja. Dan itu yang membuat pesantren maju dan bisa menjadi role model untuk proses pendidikan. 

Kalau dikaitkan dengan tantangan MEA, pendidikan pesantren itu bagaimana? Apa ada perbedaan dengan sistem pendidikan di tempat lain? 

Menurut saya harusnya membedakan, karena di pesantren individu dibekali oleh kekuatan spiritual yang bagus. Lalu kontak budaya dan kontak dengan masyarakat yang kuat, itu sebenarnya bisa menjadi modal.

Di sisi ekonominya di pondok pesantren memang perlu bagaimana memberdayakan ekonomi masyarakat. Dan saya rasa ini akan mengubah bangsa ini akan lebih cepat maju. Saya melihat begini, di masjid-masjid ada banyak, istilahnya, arus uang. Tetapi kalau di masjid ada kas, misalnya di Tangerang (tempat tinggal Doni), dipakai untuk membangun gapura. Padahal di sekitarnya banyak orang miskin.

Nah, saya membayangkan seandainya di setiap masjid, mereka punya perhatian terhadap pemberdayaan ekonomi orang-orang miskin, bangsa ini akan cepat maju, naik kelas. Dan proses pendidikan di pesantren akan membantu karena sejak awal mereka sudah dekat dengan masyarakat, mengenal siapa masyarakat di sekitar, anak-anak di sekitar pesantren tahu siapa yang miskin siapa yang bisa dibantu. 

Kalau sistem pendidikannya sendiri bagaimana di pondok pesantren menghadapi tantangan MEA? 

Kalau saya sistem enggak paham secara khusus. Tapi saya lihat pondok pesantren lebih ke pendidikan yang dinamis. Mereka memang selain kekuatan nilai-ilai tradisional, lalu kitab yang dilatihkan dengan model menghapal, kemudian terbatinkan, diwujudkan melalui praktik. Itu bagi saya bisa menjadi modal yang bisa dipindahkan, misalkan menghadapi tantangan di luar kan kita harus tahu apa yang ada di dalam masyarakat, apa yang dibutuhkan kan akan mencari cara yang lebih baik untuk mengantisipasinya. Dan di era MEA ini, tentu yang dibutuhkan kemampuan bahasa. Di pesantren bahasanya bagus. Itu kan menurut saya luar biasa. 

(Kendi Setiawan)
Sumber: NU Online

Doni Koesoema, Dewan Pertimbangan Federasi Serikat Guru Indonesia: Pemblokiran Gim Daring Saja tak Cukup


Selasa, 26 April 2016, 14:00 WIB


Bagaimana pandangan Anda tentang gim daring? Apakah gim bisa memengaruhi sikap anak?
Gim yang berbau kekerasan memang ada di masyarakat. Gim seperti ini jelas bisa memengaruhi anak untuk bersikap keras terhadap teman sebayanya dan lingkungan sekitarnya. Selain itu, gim ini juga bisa menyebabkan anak ketagihan yang kemudian bertindak asosial.

Mengapa bisa terjadi demikian?
Banyak gim daring yang mengandung kekerasan dan ini berarti tidak semua usia bisa memainkannya. Dalam hal ini, terutama pada anak-anak yang di bawah umur. Anak-anak usia ini tentu tidak mampu menganalisis permainan dengan baik apakah benar atau tidak tindakan yang dilakukan dalam gim yang dimainkannya. Karena itu, besar kemungkinan untuk melakukannya dalam dunia nyata tentu ada.

Saya contohkan pada saat olahraga Smackdown (gulat bebas) yang beberapa tahun lalu sempat booming di Indonesia. Ini kan ada kasus anak-anak yang sampai terluka, bahkan meninggal gara-gara melihat dan menyaksikan program tersebut. Mereka tidak tahu benar atau tidak yang dilakukan para pemain dalam acara tersebut. Oleh sebab itu, hal-hal yang mengandung ini tentu harus dijauhkan dari anak-anak, termasuk gim daring.

Apakah perlu dilakukan pemblokiran agar anak tidak bisa mengakses gim berbau kekerasan ini?
Tidak bisa hanya dengan memblokir. Kita harus kerja samakan antara orangtua dan sekolah dan guru. Kerja sama ini dilakukan demi mencegah anak saat menggunakan media yang tidak tepat bagi anak. Program pendidikan yang positif yang sebenarnya harus ditekankan, seperti belajar membaca, menulis, dan hal-hal yang berhubungan dengan kreativitas anak. Sebenarnya kan banyak gim yang edukasi seperti itu, ini yang perlu didorong dan diketahui.

Lalu, langkah apa yang tepat untuk menangkal gim berbau kekerasan ini?
Teknologi memang tidak bisa dihindari. Kerja sama dengan gamers adalah salah satu upaya yang perlu dilakukan. Para gamers nantinya bisa terlibat untuk membuat gim yang berpendidikan agar diperbanyak jumlahnya.

Selain itu, monitoring orang tua juga perlu diperkuat lagi. Tidak hanya saat main gim di gadget, tapi di warnet juga. Banyak orang tua yang tidak tahu anaknya sedang main di warnet, padahal anak sebenarnya tidak boleh masuk ke warnet. Untuk itu, hal ini tampaknya pemerintah perlu membuat aturan larangan masuk internet bagi anak-anak.

Mengapa aturan itu perlu diterapkan?
Anak-anak itu sebenarnya harus didampingi orang dewasa saat mengakses internet. Memang ada dampak positif dan negatifnya saat mengakses internet di warnet, tapi kalau anak kecil apa yang mereka dapat? Kemungkinan besar, anak main gim di situ.   

Oleh Wida Fizriyani (ed: Fitriyan Zamzami)

Friday 18 March 2016

Dampak Teknologi Informasi terhadap Budaya Baca Tulis Anak



Oleh Drs. Y. Priyono Pasti

BAGAIMANA dampak teknologi informasi terhadap budaya baca tulis anak? Adakah kehadiran teknologi informasi itu menghidupkan budaya baca tulis anak atau sebaliknya secara sistematis dan kultural mematikan budaya baca tulis mereka? Tulisan ini memaparkannya.

INOVASI teknologi informasi berkembang begitu pesat. Kini, era informasi telah merambah segala dimensi kehidupan kita. Laju informasi yang beredar sudah tidak bisa dibendung (dan dikendalikan) baik jumlah maupun jenis dan dampak ikutannya. Melalui media elektronik (televisi, internet dengan segala variannya), anak-anak kita dihantam oleh tsunami informasi yang maha dahsyat.

Di satu sisi, informasi itu bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap anak. Secara positif, ada amat banyak situs yang menawarkan program atau modul pembelajaran yang bisa diakses anak dengan mudah. Ruang belajar anak tidak lagi dibatasi dinding-dinding tembok ruang kelas karena proses pembelajaran di dunia maya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Sejumlah situs menyajikan program amat bermutu bagi pengembangan berbagai kompetensi anak.

Namun di sisi lain, banjir informasi itu bisa merusak anak karena content (isinya) mengandung banyak unsur yang tidak sesuai untuk konsumsi anak. Ketika anak sudah berselancar di dunia maya, mengakses rupa-rupa informasi yang ada di dalamnya, segala informasi yang ada di situ akan bisa diakses anak termasuk situs-situs yang tidak layak/tidak sesuai (kekerasan dan pornografi, misalnya). Situasi ini semakin parah karena tidak banyak guru dan orangtua yang melek teknologi informasi dan punya waktu mendampingi anak dan memberi arahan dalam penjelajahan ke dunia maya. Akibatnya, anak-anak menjadi rentan terhadap berbagai dampak negatif dari penyalahgunaan teknologi informasi (lih. Anita Lie, 2004).

Dampak lainnya yang paling dahsyat, kemajuan teknologi informasi itu ternyata secara sistematis dan struktural memperlemah kemampuan-kemampuan dasariah manusia. Sebagaimana yang dikemukakan Doni Koesoema A, dalam tulisannya “Pendidikan Manusia Versus Kebutuhan Pasar, 2004”, kemajuan teknologi informasi di satu sisi memberi manusia informasi alternatif, menawarkan jutaan informasi, namun di lain pihak menghasilkan gejala buta huruf jenis baru, yaitu buta huruf fungsional.

Buta huruf fungsional adalah sebuah keadaan di mana kapasitas dan kemampuan manusia paling mendasar dalam berekspresi dan berpikir menjadi mandeg. Membanjirnya informasi membuat kemampuan membaca, menulis, menghitung, dan mengingat lumpuh. Para pelajar menjadi semakin pasif dan miskin perbendaharaan kata. Melimpahnya data memposisikan manusia sebagai sekadar keranjang sampah informasi semata sehingga kemampuannya untuk mengolah data dan membuat refleksi secara sistematis dan tergarap dengan baik makin menurun.

Sebagai ilustrasi, data yang dikeluarkan National Labour Survey tahun 2000 yang membahas daya jangkau orang Indonesia terhadap media massa, menegaskan betapa penurunan drastis pada minat baca (Koran dan majalah), yaitu dari 23,31% (1993) menjadi 17,47% (2000). Sementara terdapat peningkatan signifikan dalam masyarakat (berusia lebih dari 10 tahun) atas kebiasaan menonton televisi, yaitu dari 64,77% (1993) meningkat menjadi 87,97% (2000) (Doni Koesoema A, 2004). Itu data belasan tahun lalu yang ‘Generasi Gadget’ belum separah sekarang. Bagaimana kondisi budaya baca anak-anak kita saat ini dan tahun-tahun mendatang? Bukankah akan semakin memprihatinkan ketika era internet/gadget semakin merajalela? Menarik untuk diteliti.

Matinya budaya baca dan budaya tulis membuat masyarakat kita terjerumus sekadar menjadi masyarakat penonton yang dijejali berbagai macam data, imajinasi, yang kebenaran dan keakuratannya tak dapat diandalkan. Masyarakat menjadi tak tahu lagi mana yang isu, fitnah, berita sungguhan, kejadian sungguhan atau rekaan, dan sebagainya.

Di satu sisi, akses pada pengetahuan semakin mudah, namun di lain pihak kita juga kesulitan mendefinisikan batas-batas berkaitan dengan penyebaran data itu. Ada semacam anonimitas dalam dunia internet. Dunia maya yang ditawarkan internet bisa membuat orang terkecoh, salah data, dan kemampuannya memandang kenyataan berpotensi terdistorsi (Ibid.)

Di tengah kondisi yang demikian, apa yang mesti dilakukan? Ada beberapa alternatif yang bisa dilakukan, diantaranya, etika media dan penegakan etika serta pemberlakuan UU terkait ICT secara konsisten dan konsekuen mutlak diperlukan agar degradasi kemanusiaan dapat dihindari.

Telaah terhadap situasi pendidikan (apalagi saat ini) harus diletakkan dalam kerangka kehidupan sosial yang lebih luas. Meski pendidikan menempatkan siswa dalam sebuah ruang kelas tertutup, apa yang mereka pelajari menembus batas-batas dinding tembok sekolahnya. Di sini pendampingan dan arahan dari guru dan orangtua menjadi penting.

Pencarian, penyaringan, pemilahan, dan pemanfaatan informasi amat mudah dengan penggunaan teknologi komputer dan internet. Maka dari itu, penguasaan teknologi komputer dan internet menjadi keharusan di kalangan guru dan orangtua. Penguasaan teknologi komputer dan internet ini menjadi mendesak agar guru dan orangtua dapat mendampingi dan memberi arahan dalam penjelajahan ke dunia maya.

Pelbagai kegiatan, lomba-lomba yang mendorong anak didik/siswa untuk meningkatkan kegemaran membacanya secara signifikan mutlak dilakukan. Pendidikan kita mesti menanamkan dan menguatkan nilai-nilai kebangsaan agar siswa kita tidak mudah hanyut dalam arus dunia dan mudah menerima segala pengaruh asing.

Kata-kata bijak Mahatma Gandhi (seperti dikutip dalam Kachru, 1983, Anita Lie, 2004), kiranya dapat menjadi filter dan inspirasi agar kita tidak mudah terbawa arus dan terhempaskan oleh gelombang tsunami informasi. “Saya tidak ingin rumah saya ditemboki pada semua bagian dan jendela saya ditutup. Saya ingin budaya-budaya dari semua tempat berembus di seputar rumah saya sebebas mungkin. Tetapi saya menolak untuk terbawa dan terhempaskan”.

* Penulis Seorang Pendidik, Alumnus USD Yogyakarta, Humas SMP Santo F Asisi, Tinggal di Kota Pontianak


Friday 27 November 2015

Catatan FSGI Setahun Pemerintahan Jokowi Bidang Pendidikan


detikNews - Jakarta, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengapresiasi sejumlah kerja pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla di bidang pendidikan. Tak hanya mengapresiasi, FSGI juga memberikan beberapa kritik untuk perbaikan.

Doni Koesoema A, dari Dewan Pertimbangan FSGI menyebut di bawah Jokowi-JK telah ada beberapa perbaikan kebijakan pendidikan. Misalnya ujian nasional (UN) tidak lagi digunakan sebagai syarat kelulusan dan soal penilaian dikembalikan kepada guru dan sekolah.

Keluarnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang penumbuhan budi pekerti juga mendapatkan apresiasi karena akan menumbuhkan semangat cinta bangsa.

Namun Doni juga memberikan kritik atas kinerja pemerintahan dalam membenahi pendidikan. "Sayangnya masih ada praktik-praktik pendidikan yang kurang pas karena kebijakan pendidikan ini belum terkoneksi satu sama lain," kata Doni melalui keterangan tertulisnya, Minggu (25/10/2015).

Anggota Dewan Pertimbangan FSGI lainnya, Itje Chodidjah juga memberikan beberapa kritik atas kinerja pemerintahan Jokowi di bidang pendidikan. Dia menyoroti soal proses revisi kebijakan kurikulum 2013 yang tidak berjalan dengan lancar.

"Meskipun sudah melibatkan publik, revisi kurikulum 2013 belum ada kemajuan yang berarti, " kata Itje Chodidjah.

Sekretaris Jenderal FSPI Retno Listyarti juga memuji dihapuskannya UN sebagai syarat kelulusan. "Namun, harus tetap dikritisi karena tetap dijadikan penentu masuk ke jenjang yang lebih tinggi," kata Retno.

Menurut Retno, kebijakan penumbuhan budi pekerti yang seharusnya memperkuat nilai-ilai kebangsaan sebagaimana pesan nawa cita ke-9 menjadi bersifat seremoni dan ritual, karena kurang adanya sosialisasi dan panduan yang jelas. Akibatnya sehingga sekolah banyak memiliki penafsiran berbeda satu sama lain.

FSGI juga menyoroti Uji Kompetensi Guru (UKG) yang diselenggarakan sejak 2012 tidak pernah digunakan sebagai dasar dalam program upaya peningkatan kualitas guru melalui berbagai pelatihan. Guru hanya diuji tetapi tidak pernah ada tindakan mengatasi kondisi guru dari hasil UKG.

"Guru perlu memperoleh pengembangan profesional melalui pelatihan maupun pengayaan. Namun, pemerintah tetap harus memperhatikan bagaimana memberikan kesejahteraan para guru. Jangan sampai UKG justru malah merugikan guru," ujar Slamet Maryanto, Sekretaris Umum  Serikat Guru Indonesia (SEGI) Jakarta.

Kebijakan pendidikan di tingkat lokal, terutama di DKI juga banyak masalah. "Mulai dari kebijakan rotasi dan mutasi guru yang tidak tepat sasaran, peraturan seragam yang bersifat mainstreaming agama mayoritas, serta tata cara menyelesaikan sengketa bila ada konflik antara pendidik dengan atasannya," sambung Slamet. (erd)

2,5 Juta Guru Layak Diuji



Untuk memetakan kompetensi guru, pemerintah hendak menyelenggarakan uji kompetensi guru (UKG) kembali pada 9-27 November mendatang. Sekitar 2,5 juta guru telah diverifikasi kelayakannya untuk mengikuti ujian itu. Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Sumarna Surapranata mengatakan, jumlah guru yang sudah diverifikasi untuk divalidasi oleh daerah untuk mengikuti UKG mencapai 2.581.907 guru. Pemerintah masih mempersiapkan UKG tersebut.

Pelatih guru nasional Itje Chodijah menilai, upaya pemerintah menangani guru, sejauh ini, masih sebatas pada tata kelola atau administrasi. Padahal, yang terpenting justru pemetaan guru sesuai kompetensinya sebagai guru. UKG yang dilakukan pemerintah hanya menguji sisi pengetahuan guru, bukan pada kompetensi utuhnya.

Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI Retno Listyarti berpendapat, hasil UKG yang diselenggarakan sejak 2012 tidak pernah digunakan sebagai dasar dalam program peningkatan kualitas guru melalui pelatihan. Guru hanya diuji, tidak pernah ada tindakan mengatasi kondisi guru dari hasil UKG. Setelah pemetaan melalui UKG, mesti ada pemetaan khusus tentang minat dan kebutuhan guru.

Sementara itu, Dewan Pertimbangan FSGI Doni Koesoema A. menambahkan, guru selalu menjadi obyek latihan pemberlakukan kebijakan pemerintah. Jika pemerintah serius meningkatkan kualitas guru, UKG tidak bisa hanya dengan ujian tertulis, baik secara daring maupun dengan kertas. Hal terpenting justru penilaian kinerja guru dengan melihat cara guru mengajar sehari-hari di kelas. Semestinya kepala sekolah melakukan supervisi, tetapi tidak pernah terjadi. Doni menambahkan, mungkin perlu ada penjelasan standar kompetensi guru itu seperti apa.

Sumber: Kompas

Friday 6 November 2015

Lelet, Mendikbud Copot Kapuskurbuk

JAKARTA – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan menilai perbaikan atau revisi Kurikulum 2013 (K-13) berjalan lambat. Akhirnya Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Kapuskurbuk) Kemendikbud Ramon Mohandas dicopot. Ia diganti Tjipto Sumadi, mantan Kepala Unit Implementasi Kurikulum (UIK).

Pelantikan Tjipto sebagai Kapuskurbuk bersama dengan 18 pejabat eselon II lainnya dan dua orang pejabat eselon I. Pelantikan tampak beda karena digelar di aula terbuka. Medikbud dan peserta pelantikan mengenakan seragam batik biru Kopri. Sedangkan pejabat yang dilantik mengenakan setelah baju putih dan celana hitam.

Usai pelantikan Anies mengakui bahwa perbaikan atau revisi K-13 selama ini berjalan lambat.
“Karena orangnya enggan berubah,”kata dia.

Menurut Anies, lambatnya revisi K-13 dipicu juga karena rasa memiliki kurikulum anyar itu yang kuat sekali. Padahal kurikulum itu milik masyarakat, bukan milik pribadi atau perorangan.

Di antara indikator keterlambatan perbaikan K-13 yang paling kentara menurut Anies adalah di desain dan dokumen. Untuk urusan desain, Anies menyebutkan saat ini tidak ada kecocokan antara materi kurikulum dengan evaluasi atau penilaian. Sehingga di level sekolah, impelementasi K-13 banyak dikeluhkan.

Ketidakcocokan antara keduanya menurut Anies terjadi karena urusan materi kurikulum dengan penilaian digarap semuanya oleh Puskurbuk.

Padahal kita punya ahli penilaian di Puspendik (Pusat Penilaian Pendidikan, red). Tetapi Puspendik tidak dilibatkan,” katanya.

Untuk itu Anies lantas memisahkan urusan materi kurikulum di Puskurbuk dan komponen penilaian di Puspendik. Namun keduanya harus tetap saling berkoordinasi. Dengan cara ini Anies berharap evaluasi perbaikan K-13 bisa cepat selesai.

Sementara itu Tjipto belum bisa berkomentar banyak terkait posisi barunya itu. Namun dia mengatakan urusan K-13 dia sudah mengenal mendalam karena menjadi kepala UIK di era Mendikbud Mohammad Nuh dulu.

“Sejak awal urusan kurikulum ini membutuhkan tenaga ekstra. Saya mohon dukungan dari kawan-kawan,” katanya.

Pengamat pendidikan Doni Koesoema mengakui bahwa perbaikan atau revisi K-13 di masa Mendikbud Anies Baswedan belum menunjukkan kemajuan.

“Hal-hal fundamental yang harus dibenahi belum terjadi. Puskurbuk selama ini memang lambat,” katanya.

Penulis buku Strategi Pendidikan Karakter itu menjelaskan, hal fundamental di K-13 yang belum terlihat pembenahannya seperti konsep tentang kompetensi inti (KI) dan kompetensi dasar (KD). Selain itu pembuatan buku untuk jenjang SD juga lambat.

Doni juga mengatakan pembuatan kerangka dasar K-13 sebagai acuan menyusun silabus juga lambat. Sehingga di lapangan para guru yang menerapkan K-13 mencari-cari sendiri konsep baru untuk dituangkan dalam silabus mereka. Dengan perombakan kepala Puskurbuk ini, Doni berharap revisi K-13 bisa berlari kencang sehingga siap diterapkan lebih luas lagi di tahun pelajaran 2016-2017 nanti. (sumber: Lombok Post)

Apa Kata Orang dari Dunia Pendidikan Soal Satu Tahun Jokowi-JK?

Federasi Serikat Guru Indonesia FSGI) dan Serikat Guru Jakarta (SEGI Jakarta) menilai ada beberapa perbaikan dalam kebijakan pendidikan, selama satu tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK).

Menurut FSGI, itu bisa dilihat dari UN yang tidak lagi dipakai sebagai syarat kelulusan, dan mengembalikan penilaian kelulusan pada guru dan sekolah. Mendikbud Anies Baswedan juga telah mengeluarkan Permendikbud 23/2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti yang mengarahkan siswa pada semangat cinta bangsa.

“Memang sudah ada perubahan, sayangnya masih ada praksis-praksis pendidikan yang kurang pas karena kebijakan pendidikan ini belum terkoneksi satu sama lain,” kata Doni Koesoema A, dari Dewan Pertimbangan FSGI dalam siaran persnya, Senin (26/10). 

Sementara praktisi dan konsultan pendidikan, Itje Chodidjah menilai proses revisi kebijakan Kurikulum 2013 tidak berjalan dengan lancar. Meskipun sudah melibatkan publik, revisi kurikulum 2013 belum ada kemajuan yang berarti.Bila hal-hal fundamental, seperti Konsep KI dan KD tidak direvisi, persoalan Kurikulum 2013 akan terjadi berlarut-larut. Ini semua akan membingungkan guru. Secara teknis, mereka yang masih melaksanakan Kurikulum 2006 kesulitan menemukan buku-buku pelajaran di lapangan” sambung Itje. 

Sekjen FSGI, Retno Listyarti juga memberikan penilaian. Menurutnya kebijakan terkait dihapusnya UN sebagai penentu kelulusan harus diapresiasi sebagai bentuk perwujudan janji Jokowi ketika kampanye.

“Namun, harus tetap dikritisi karena tetap dijadikan penentu masuk ke jenjang yang lebih tinggi. Kebocoran UN SMA 2015 digoogle drive tidak jelas penyelesaiannya dan tidak memberi efek jera pada pembocor, dan belum ada pengusutan secara tuntas,“ kata Retno.

Kebijakan penumbuhan budi pekerti yang seharusnya memperkuat nilai-nilai kebangsaan sebagaimana pesan nawacita ke-9 menjadi bersifat seremoni dan ritual, karena kurang adanya sosialisasi dan panduan yang jelas, sehingga sekolah banyak memiliki penafsiran berbeda satu sama lain.

“Kegiatan membaca buku 15 menit untuk memperkaya wawasan malah banyak dipraktekan dengan membaca al quran sebelum pembelajaran dimulai. Prinsipnya baca atau iqro. Sedangkan menyanyikan lagu wajib nasional atau lagu daerah setiap hari sebelum dan sesudah pembelajaran berakhir juga pada praktiknya sulit dilaksanakan. Hasil evaluasi siswa menyatakan bahwa mereka malah menjadi jenuh. Perlu ada kebijakan lebih lanjut agar penumbuhan budi pekerti efektif,” sambung Retno.‎ 

Sumber: JPPN


Pendidikan Keagamaan