Friday 28 August 2015

Hapus Syarat Kuasai Bahasa Indonesia Presiden Langgar Nawacita


Indowarta - Penghapusan aturan wajibnya penguasaan bahasa indonesia bagi tenaga kerja asing dinilai Doni Koesoema, pengamat pendidikan, sebagai bentuk pelanggaran Presiden Joko Widodo terhadap nawacita yang sudah dicanangkan. 

Doni menilai bahwa penghapusan tersebut melanggar janji Presiden dalam nawacita untuk mengedepankan kepribadian dan kebudayaan bangsa Indonesia.

"Melaksanakan Nawacita berarti menunjukkan bangsa yang berkarakter, tetapi dengan menghapus bahasa Indonesia sama saja dengan menghapus karakter bangsa," kata Doni seperti dikutip Republika pada Kamis (27/08).

Doni menilai bahwa penghapusan kewajiban penguasaan bahasa Indonesia sama saja dengan membiarkan Indonesia menjadi rusak. Doni juga menilai bahwa alasan investasi tidak ada hubungannya dengan kewajiban menguasai bahasa Indonesia bagi pekerja asing.

Doni mengatakan bahwa meningkatnya investasi hubungannya dengan keamanan dan kenyamanan di Indonesia, bukan bisa atau tidaknya dalam bahasa Indonesia. Sehingga menurut Doni alasan tersebut merupakan alasan yang tidak logis.

Sebelumnya, Presiden Jokowi meminta Menteri Tenaga Kerja menghapus syarat bisa berbahasa Indonesia bagi TKA. Pramono Anung, Sekretaris Kabinet, beralasan bahwa hal tersebut dimaksudkan untuk mendorong arus investasi dari luar negeri ke Indonesia. (mks) 

Sumber: Indowarta

Tak Hanya TKA Mahasiswa Asing Juga Berbahasa Indonesia

Kamis, 27 Agustus 2015, 21:00 WIB 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tak hanya Tenaga Kerja Asing (TKA) yang seharusnya bisa berbahasa Indonesia, melainkan mahasiswa asing juga harus diperlakukan sama.

Pengamat Pendidikan Doni Koesoema mengatakan banyak universitas di Indonesia yang menerima mahasiswa asing. "Mahasiswa asing harus memiliki syarat Bahasa Indoensia untuk bisa kuliah di sini, seperti warga kita yang berkuliah di negara lain," ujar dia pada Republika, Kamis (27/8).

Doni juga mendorong agar Kemendikbud segera menyelesaikan program uji kemampuan Bahasa Indonesia untuk diterapkan bagi TKA dan Mahasiswa Asing. Hingga saat ini program tersebut belum diresmikan tetapi justru pemerintah sudah menghapus aturan berbahasa Indonesia bagi TKA.

Sebelumnya Direktur Pengawasan Norma Ketenagakerjaan Kemenaker Bernawan mengatakan pencabutan tersebut adalah kebijakan Menaker Hanif Dhakiri. Menurutnya selama ini pihak berwenang sulit memverifikasi syarat penguasaan bahasa Indonesia para TKA.

Mereka mengaku tak ada ukuran sejauh mana para TKA bisa berbahasa Indonesia. Dia juga berasalan penghapusan tersebut berdasarkan evaluasi menteri tenaga kerja.

Sumber: Republika

Kemdikbud Sudah Miliki Standard Uji Bahasa Indonesia

Kamis, 27 Agustus 2015, 20:38 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementrian Tenaga Kerja beralasan pembatalan syarat Bahasa Indonesia karena tak ada standar yang dapat mengukurnya. Namun alasan tersebut dinilai kurang pas oleh pengamat pendidikan Doni Koesoema A. 

Ia mengatakan aturan penghapusan syarat Bahasa Indonesia bertentangan dengan program yang dibuat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). "Kemdikbud sedang membuat program standar uji kemampuan bahasa Indonesia untuk warga asing," kata dia kepada Republika, Kamis (27/8).

Namun Kemendikbud memang belum mengumumkan secara resmi proyek tersebut. Jika Kemenaker menghapus aturan ini maka program tersebut hanya dapat digunakan ketika TKA bekerja di bidang pendidikan saja.

Selain itu menggunakan bahasa Indonesia bukan masalah praktis saja. Tetapi juga untuk menjaga budaya bangsa sebagai warga Indonesia.

Sebelumnya Presiden Joko Widodo meminta Menteri Tenaga Kerja menghapus syarat bisa berbahasa Indonesia bagi TKA dalam Permenaker Nomor 16 Tahun 2015 Pasal 36. Syarat tersebut telah dihapus sejak Juni lalu.

Sumber: Republika

Alasan Penghapusan TKA Berbahasa Indonesia Tak Logis


Kamis, 27 Agustus 2015, 19:55 WIB 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah tidak memiliki alasan logis untuk menghapus syarat Bahasa Indoensia bagi Tenaga Kerja Asing (TKA). 

Pengamat Pendidikan Doni Koesoema menolak tegas adanya Permenaker Nomor 16 Tahun 2015 Pasal 36 tak lagi mencantumkan Bahasa Indonesia sebagai syarat TKA bekerja di Indonesia. 

"Saya menentang keras aturan ini karena tak ada alasan yang jelas dan justru malah menjatuhkan budaya bangsa," ujar dia kepada Republika, Kamis (27/8).  

Doni mengatakan pemerintah tidak memiliki dasar untuk menghapus bahasa Indonesia. Bahkan aturan ini justru untuk mengembangkan level kompetensi untuk orang asing. 

Seharusnya pemerintah mewajibkan TKA bisa berbahasa Indonesia. Minimal mereka bisa melakukan percakapan bahasa Indonesia.  

Sebelumnya Presiden Joko Widodo meminta Menteri Tenaga Kerja menghapus syarat bisa berbahasa Indonesia bagi TKA. Syarat tersebut telah dihapus sejak Juni lalu.

Sumber: Republika

Monday 24 August 2015

Bocah 14 Tahun Calon Dokter, Ini Dampak Buruknya


Newswire Jum'at, 21/08/2015 09:40 WIB

Kabar24.com, JAKARTA-- Pengamat pendidikan, Doni Koesoema, mengapresiasi ada anak Indonesia yang baru berumur 14 tahun, namun sudah duduk di bangku kuliah.

Walau begitu, dia menyarankan agar anak itu diberi pendampingan kepribadian.
“Karena tingginya ilmu pengetahuan tidak ada korelasi dengan matangnya kepribadian,” kata Doni saat dihubungi Kamis  (20/8/2015).

Aldo Meyolla Geraldino menjadi mahasiswa termuda di Universitas Gadjah Mada (UGM). Pada usianya yang masih 14 tahun, remaja kelahiran 19 Desember 2000 ini mampu menembus jenjang mahasiswa dan masuk di Fakultas Kedokteran UGM.

Doni mengapresiasi kejeniusan Aldo, namun Doni khawatir Aldo tidak bisa bergaul dengan kawan-kawannya di lingkungannya.

“Bisa saja, dia minder karena menjadi paling muda,” kata pendiri Pendidikan Karakter Education Consulting ini
Kemungkinan lain, Aldo kurang nyambung dalam pergaulan di antara lingkungan kawan-kawan mahasiswanya.

“Teman-teman Aldo kan seusia anak lulus SMA, sedangkan Aldo seusia lulus SMP. Bahasan mereka kan berbeda,” kata Doni.

Menurut Doni, pendampingan kepribadian itu sangat penting, karena dengan belajar kepribadian mereka belajar merespons, bersosialisasi, dan berkomunikasi dengan lingkungan sekitar.

Doni mengatakan anak usia belasan tahun dan sudah duduk di bangku kuliah sudah banyak terjadi di negara maju. Namun banyak juga kegagalan yang dialami anak-anak jenius itu.

“Mereka banyak yang gagal dalam kehidupan bahkan ada juga yang tewas bunuh diri karena stres,” kata Doni.

Stres, kata Doni, karena banyak anak jenius gagal dalam pendidikan kepribadiannya. Doni mengakui ada anak jenius yang bisa berkomunikasi dengan baik dengan teman temannya yang berbeda usia.

“Masalahnya, banyak anak jenius yang jadi introvert dan tertutup. Itu yang jadi masalah,” katanya.

Sumber: kabar24

Libatkan TNI, Tujuan Ospek Harus Jelas


Mengajarkan Bela Negara
29 Juli 2015 9:06 WIB Category: Semarang Metro Dikunjungi: kali A+ / A-

SEMARANG, suaramerdeka.com – Pelibatan TNI dalam ospek mahasiswa baru guna mengajarkan bela negara menurut pengamat pendidikan Doni Koesoema, perlu dilihat terlebih dulu tujuan dari ospek tersebut.

“Jika ada pelibatan TNI, perlu diketahui apa tujuannya,” ungkap Doni seperti dilansir dari Radio Idola, Rabu (29/7).

Ia menambahkan, “kalau diberi tugas terkait TNI dan memberikan wawasan kebangsaan itu bagus. Nantinya dalam lima hari ospek, kemudian ada waktu bagi TNI selama tiga jam. Nah, itu porsinya tepat,” imbuhnya.

Yang terpenting, diungkapkan Doni, “perguruan tinggi harus mengetahui ideologi-ideologi yang ada di kampus. Kampus nantinya harus menyeleksi organisasi kampus. Demikian itu yang bisa dijadikan bekal untuk bela negara. Tidak boleh ada satupun organisasi kampus yang akan mengancam NKRI,” tandas Doni.

(Er Maya/CN19/SMNetwork)

Sumber:Suara Merdeka

Wednesday 5 August 2015

Menakar Kejujuran UN 2015



Meski UN tidak lagi penentu kelulusan, masih ada siswa yang khawatir UN memengaruhi nilai ijazah

24 April 2015 15:15 Wheny Hari Muljati Pendidikan 



“Selama UN, di kelas saya banyak peserta ujian yang menyontek”. Ken, seorang siswa kelas XII sebuah sekolah menengah atas (SMA) swasta di kawasan Bekasi, Jawa Barat, mengatakan hal ini kepada SH beberapa hari setelah penyelenggaraan UN untuk tingkat SMA/MA/SMK 2015.

Ia menuturkan, sesaat setelah UN berlangsung, ia merasa heran karena ada beberapa temannya yang mengaku mendapat soal UN. Ada pula yang mengaku telah memiliki kunci jawabannya.

“Ada teman yang bilang sampai pergi ke Bandung untuk mencari kunci jawaban,” tutur Ken.

Ia mengatakan, teman-teman di sekolahnya sebenarnya telah mengetahui bahwa tahun ini UN tidak lagi menentukan kelulusan dari sekolah. Namun, ia menduga sebagian teman-temannya khawatir apabila nilai UN tidak bagus akan memengaruhi nilai ijazah. 

Ken mengungkapkan, seingatnya ada aturan yang menyebutkan bahwa 70 persen nilai sekolah plus 30 persen nilai UN sama dengan nilai kelulusan yang tertera di ijazah. “Jadi, hasil UN memengaruhi nilai ijazah. Kalau nilai UN jelek, nilai ijazah kan jadi jelek juga,” ucap Ken.

Ken berpandangan, lebih baik mempunyai nilai jelek tapi jujur, ketimbang mendapatkan nilai bagus tapi menyontek. Namun, ia menyayangkan pengawas yang bertugas di kelasnya justru membiarkan saat mengetahui ada seorang temannya yang menyontek.

“Sudahlah, Ken, cuma satu nomor saja,” kata Ken mengutip kata-kata pengawas tersebut saat ia menegur temannya agar tidak menyontek.

Ken menyebutkan, ia sedikit terhibur saat mendapatkan informasi bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyatakan mampu menganalisis kejujuran atau integritas hingga ke tingkat individu peserta UN. 

Menurun Signifikan 

Lembaga Ombudsman Republik Indonesia (ORI) masih terus menghimpun laporan dari berbagai daerah terkait pengaduan kecurangan selama penyelenggaraan UN 2015. Anggota Bidang Pengaduan dan Penyelesaian Laporan ORI, Budi Santoso mengatakan, jumlahnya menurun signifikan.

“Saya janji presentasi hasil rekapitulasi 26 April. Namun, saya bisa pastikan tahun ini ada penurunan signifikan. Hanya belum bisa kami simpulkan persentasenya,” tutur Budi.

Sementara itu, Dewan Pertimbangan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Doni Koesoema Albertus mengungkapkan, UN sebaiknya hanya untuk pemetaan. Ia berpendapat, hasil UN yang masih dijadikan syarat masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, berpotensi mendorong timbulnya kebocoran dan kecurangan-kecurangan di kalangan siswa dan sekolah.

Ia mengakui, ketegangan UN tahun ini memang jauh berkurang ketimbang tahun-tahun sebelumnya.

Pertanyakan Indeks Integritas 

Doni berpendapat, konsep indeks integritas yang dikemukakan Kemendikbud terkait UN harus berdasarkan pada teori, metode, dan tujuan yang jelas. Ia mengutarakan, selama ini belum ada satu teori pun yang valid mengukur semua masalah integritas.

Menurutnya, Kemendikbud sebaiknya menjelaskan secara terbuka kerangka teori siapa yang dipakai untuk mengukur indeks integritas individu tersebut. “Metode dan teori harus transparan karena menyangkut kepentingan publik,” ujar Doni.

Menurutnya, transparansi penting karena Kemendikbud menggunakan data UN lima tahun terakhir, yang notabene menggunakan soal hingga 20 varian. Doni berpendapat, apabila mau menanamkan kejujuran, sikap tersebut harus dimulai dari kementerian sendiri.

Ia mengingatkan, Kemendikbud harus jujur dan transparan soal indeks integritas karena indeks tersebut bakal memengaruhi sekolah, siswa, dan orang tua siswa.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Pusat Penelitian Pendidikan (Puspendik), Prof Nizam, menjamin Kemendikbud akan transparan soal indeks integritas. Menurutnya, Puspendik telah menganalisis data UN SMA selama lima tahun terakhir. Namun, Puspendik tidak dapat membagikan data tersebut ke publik karena menyangkut data pribadi sekolah dan siswa.

“Kami tidak bisa membuka ke publik karena data itu dilindungi Undang-Undang Kebebasan Informasi Publik (UU KIP),” ujar Nizam.

Ia membenarkan hasil analisis Puspendik bisa sampai ke tingkat individu setiap siswa. Metode analisis yang digunakan, menurutnya dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Ia berharap hasil analisis tersebut dapat dimanfaatkan perguruan tinggi negeri (PTN). Jadi, PTN dapat memilih siswa yang jujur dan pekerja keras sebagai mahasiswa mereka.

Sumber : Sinar Harapan

Pendidikan Keagamaan