Wednesday 5 August 2015

FSGI:MOS Tanggungjawab Sekolah, Bukan OSIS!



KBR, Jakarta- Federasi Serikat Guru Independen (FSGI) menyebut perpeloncoan dalam Masa Orientasi Siswa adalah kesalahan sekolah. Anggota Dewan Pertimbangan FSGI, Doni Koesoema, mengatakan kepala sekolah dan guru harus mengawasi panitia OSIS dalam menyelenggarakan acara perkenalan sekolah tersebut. Sebab acara MOS itu seharusnya  adalah tanggungjawab kepala sekolah dan guru, bukan tugas Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS).
"Seharusnya itu ada di kepala sekolah tanggungjawabnya, dan diserahkan kepada guru. Lalu kemudikan OSIS membantu sekolah. Untuk itu seluruh kegiatan OSIS diawasi, dilihat dan dikontrol guru dan kepala sekolah. Maka kepala sekolah harus memastikan harus tahu detail kegiatan perdetiknya, apa yang dilakukan OSIS," ujarnya melalui program KBR Pagi, Senin (03/08).


"Kalau misalnya memperkenalkan kegiatan ekstra, dia hanya memperkenalkan saja. Bahkan kalau ada bentak-bentak kekerasan itu ngga boleh," tambahnya.
Sebelumnya, pelaksanaan masa orientasi siswa (MOS) di sebuah sekolah di Bekasi Jawa Barat diduga memakan korban jiwa, seorang siswa baru. Evan Christopher Situmorang, diduga meninggal setelah mengikuti kegiatan MOS di sekolahnya.


Menurut keluarganya, Evan mulai sakit-sakitan setelah diminta berjalan sejauh 4 km saat masa pengenalan itu. Orang tua Evan mengatakan, sang anak kerap diminta aneh-aneh selama mengikuti MOS di sekolah barunya, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Flora, Perumahan Pondok Ungu, Kota Bekasi. Misalnya membuat nasi belatung kecap, memberi warna uban, hingga kewajiban menggunakan pakaian yang ditentukan.


Editor: Dimas Rizky
Sumber:

http://portalkbr.com/08-2015/fsgi__mos_tanggungjawab_sekolah__bukan_osis_/74384.html



Tuesday 30 June 2015

Guru Sebaiknya Bisa Menulis Karya Ilmiah


Edukasi
Senin, 29/06/2015 - 04:59:11 WIB


JAKARTA-Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai meneliti itu bukan tugas seorang guru. Menurut Anggota Dewan Pertimbangan FSGI Donie koesoema,  peran guru memang hanya berkenaan dengan kegiatan harian mereka sebagai pengajar dan pendidik di sekolah.

"Meneliti memang bukan tugas guru, namun Penelitian Tindakan Kelas (PTK) itu adalah kegiatan harian mereka," ujar Donie, seperti dilansir republika, Minggu (28/6/2015). Jadi, kata dia, pekerjaan para guru tersebut sudah termasuk ke dalam penelitian mereka.

Seperti diketahui, pemerintah memiliki kebijakan bahwa guru diminta untuk menghasilkan karya ilmiah. Hal ini karena karya ilmiah yang dipublikasikan itu dapat membantu mereka untuk naik pangkat. Pasalnya, tulisan itu mengandung angka kredit yang dapat mempengaruhi penilaian kinerja para guru.

Penulisan karya ilmiah merupakan syarat wajib bagi guru dalam jabatan profesi. Hal ini diatur ke dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan dan RB) Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.

Perwakilan Pusat Pengembangan Program Profesi Pendidik Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Pusbangprodik Ditjen GTK Kemendikbud), Hari Amirullah mengatakan per 1 Januari 2013 sudah diberlakukan Permenpan dan RB Nomor 16 Tahun 2009 tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya.

"Para guru, mulai golongan kepangkatan III/a, untuk naik pangkat, harus melakukan kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB), yang salah satu kegiatannya melakukan PTK," jelasnya pada Lokakarya Kajian dan Penyusunan Laporan Pendidikan Tindakan Kelas, di Jakarta, Kamis (25/6/2015).

Mengenai kebijakan tersebut, Donie berpendapat semua guru seharusnya memang harus bisa menulis karya ilmiah. Hanya saja, kata dia, format dan metode penelitiannya harus bisa disederhanakan.

Donie juga menyatakan pelatihan guru secara maskimal perlu untuk dilakukan. Hal ini perlu dilakukan, lanjut dia, jika pemerintah memang menginginkan kebijakan itu berjalan lancar. Untuk itu, Doni berharap pemerintah bisa meningkatkan lagi kontribusinya dalam meningkatkan kemampuan menulis para guru. (kt5)

Sumber:Republika

Sistem Belajar SKS di Sekolah Dinilai Kurang Tepat




Senin, 22 Juni 2015, 19:25 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sistem belajar dengan model Satuan Kredit Semester (SKS) dinilai kurang tepat untuk diterapkan di sekolah-sekolah. Dewan Pertimbangan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Doni Koesoema berpendapat, konsep ini kurang bisa membantu menumbuhkembangkan siswa. 

"Siswa terkesan dipaksa untuk matang secara akademik sebelum waktunya," ujar Doni melalui pesan singkat kepada Republika, Senin (22/6).

Selain itu, menurut dia, sistem ini belum bisa diterapkan karena mengingat peserta didik masih perlu belajar disiplin dalam konteks kebersamaan.

Doni juga mengaku masih mempertanyakan program SKS ini. Dia berpendapat, program ini akan mengakibatkan terjadinya pembedaan dan diskriminasi antara siswa regular dan sistem SKS.

Menurut Doni, sebelum ada petunjuk teknis dari pemerintah , keabsahan program ini perlu dipertanyakan lagi. Terutama, dia menambahkan, pada sisi legalitasnya. Dia menilai, sistem belajar demikian  akan membuat siswa bingung pada kegiatan praktiknya. Bahkan, lanjut dia, hal ini berpotensi merugikan peserta didik.

Dari sisi praktis, Doni mengungkapkan, sistem SKS di sekolah ini sangat membutuhkan persiapan khusus yang matang. Misal, kata dia, ruangan, tenaga guru dan kurikulum.

Untuk itu, Doni pun kembali menegaskan ketidaksetujuannya mengenai sistem SKS di sekolah. Menurutnya, sistem ini tidak sesuai jika dilihat dari sisi pembentukan karakter dan psikologis. "Sistem ini kurang membantu proses alamiah dunia pendidikan," tutupnya. 

Sebelumnya, sekolah setingkat SMA dan SMK di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah menyatakan akan menerapkan sistem pembelajarn dengan model SKS. Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) setempat mengungkapkan sistem demikian akan mulai diberlakukan pada tahun ajaran baru 2015/2016. Model ini dilakukan sebagai pengganti program akselerasi yang sebelumnya sudah dihapus oleh pemerintah pusat. 


Sumber: Republika

Sunday 14 June 2015

Evaluasi Uang Kuliah Tunggal Ditargetkan Selesai Juni Ini


Senin, 01 Juni 2015 | 03:25 WIB


TEMPO.CO, Jakarta -Kepala Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Illah Sailah menargetkan pembahasan evaluasi uang kuliah tunggal selesai Juni ini. “Juni akan selesai, karena harus secepatnya. Sebentar lagi tahun ajaran baru,” katanya saat dihubungi Minggu 31 Mei 2015. 

Ia mengatakan evaluasi dilakukan karena ada banyak masukan tentang cara pembayaran uang kuliah. Uang kuliah tunggal adalah sistem pembayaran dimana biaya kuliah mahasiswa perguruan tinggi negeri selama satu masa studi, yaitu delapan semester minimal, dibagi rata per semester.

Jadi tidak ada lagi uang pangkal dalam jumlah besar yang harus dibayarkan pada awal masa belajar lalu per semesternya mahasiswa membayar dalam jumlah kecil. “Ada yang sempat merasa keberatan dengan sistem ini,” katanya.

Illah mengatakan kementerian sedang mengevaluasi apakah sistem pembayaran uang kuliah itu dikembalikan ke sistem yang menggunakan uang pangkal seperti yang sebelumnya. Dengan sistem uang pangkal, maka siswa memang akan membayar uang kuliah persemester dengan jumlah yang lebih kecil, namun saat ada kegiatan seperti praktek laboratorium, siswa akan diminta membayar untuk keperluan itu. “Intinya dua cara itu sama saja jumlahnya,” kata Illah.

Selain mengevaluasi cara pembayaran itu, kementerian pun mengevaluasi jumlah uang kuliah tunggal itu. Apakah akan naik sesuai dengan inflasi, ataukah jumlahnya sama seperti yang sebelumnya. “Prinsipnya, kami akan membandingkan mana konsep yang akan meringankan mahasiswa,” katanya.

Dewan Pertimbangan Federasi Serikat Guru Indonesia Doni Koesoema setuju UKT perlu dievaluasi. Ia menyarankan adanya transparansi komponen uang kuliah tunggal. Menurut dia, banyak perguruan tinggi negeri yang asal memberikan angka tanpa memberikan penjelasan lanjut pembayaran uang itu.

“Ada mahasiswa yang harus bayar untuk keperluan meja dan kursi juga. Padahal, fasilitas itu harusnya sudah dibayarkan negara kepada universitas,” kata Doni.

Ia pun meminta agar dievaluasi dalam hal pembayaran Ia banyak mendengar keluhan dari orang tua yang merasa keberatan dengan sistem pembayaran uang kuliah tunggal itu.

“Karena uang kuliah itu dipukul rata, maka jumlahnya sangat tinggi,” katanya. 

MITRA TARIGAN 

Sumber: Tempo.co.id

Kemendikbud Diharapkan Transparan Soal Indeks Integritas

Publik berhak tahu metode dan cara menghitung indeks integritas.

12 Juni 2015 13:12 Wheny Hari Muljati Pendidikan dibaca: 68

JAKARTA – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) harus menjelaskan secara transparan kepada masyarakat, metode yang digunakan untuk menghitung Indeks Integritas Ujian Nasional (IIUN). Pasalnya, penghitungan indeks integritas merupakan bagian dari hak informasi publik.

Pengamat pendidikan, Doni Koesoema Albertus, mengatakan hal ini kepada SH, Jumat (12/6). “Teori indeks integritas itu bermacam-macam. Masing-masing metode hanya cocok digunakan untuk menilai cara-cara mencontek tertentu,” kata Doni mengomentari pengumuman IIUN sekolah menengah pertama (SMP) oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan di SMPN 1 Magelang, Jawa Tengah, Kamis (11/6). 

Ia berpendapat, cara penghitungan indeks IIUN perlu diketahui publik karena ini bagian dari hak informasi publik. Melalui keterbukaan, publik akan memahami metode yang digunakan Kemendikbud, apakah sudah dapat menghitung indeks integritas secara tepat atau belum.

“Informasi mengenai metode dan cara menghitung indeks integritas yang digunakan Kemendikbud seharusnya diketahui publik,” ujar Doni.

Mendikbud mengumumkan IIUN SMP di SMP Negeri 1 Kota Magelang meraih IIUN SMP tertinggi di tingkat nasional, dengan nilai 97,12. Menurut Anies, IIUN mencerminkan tingkat kejujuran peserta dalam mengerjakan soal UN. “Republik ini butuh anak berintegritas tinggi dan berkarakter kuat,” katanya dalam rilis. 

Secara umum, sekolah yang meraih IIUN tertinggi ternyata juga meraih rerata nilai UN di atas 90. Menurut Anies, prestasi peserta didik dipengaruhi ekosistem pendidikan yang baik. Peserta didik perlu dibina dan sekolah perlu diberi kesempatan berkembang. Selain itu, perlu ada komitmen dari pemimpin daerah (pemda). 

“Saya mendengar cerita, Wali Kota Magelang sering keliling ke sekolah. Tidak aneh kalau ekosistem pendidikannya baik,” ucap Anies. 

Doni berpendapat upaya meningkatkan kejujuran tidak cukup dengan menilai indeks integritas kejujuran saat tes saja, tapi dilakukan pula dalam kegiatan harian. Kemendikbud seharusnya juga berupaya mendorong agar atmosfer kejujuran terbangun di sekolah. 

Secara Daring

Kepala Pusat Penelitian Pendidikan (Puspendik) Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Nizam mengatakan, setiap sekolah akan mendapatkan kata sandi untuk dapat mengakses “rapor” masing-masing. Rapor terkait indeks integritas tersebut akan dapat diakses tiap sekolah secara online atau dalam jaringan (daring). 

Menurut Nizam, saat ini data indeks integritas baru berada di dinas pendidikan kabupaten atau kota. Sekolah baru akan dapat mengakses data tersebut setelah mendapatkan kata sandi masing-masing. “Ada sekitar 50.000 sekolah. Jadi, menggunakan password,” ujar Nizam. 

Kemendikbud merilis daftar 70 sekolah yang meraih IIUN SMP di atas 95. Peringkat 10 besar berturut-turut adalah SMPN 1 Kota Magelang Jawa Tengah (97,12), SMPN 4 Pakem Sleman DIY (96,78); SMPN 1 Godean Sleman DIY (96,72), SMPN 115 Jakarta (96,69), dan SMP Labschool Kebayoran Jakarta (96,69). Peringkat selanjutnya diraih SMPN 5 DIY (96,55), SMPN 2 Bantul DIY (96,55), SMP Labschool Jakarta (96,52), SMPN 2 Purworejo Jawa Tengah (96,49), dan SMP Kanisius Jakarta (96,46).

Sumber : Sinar Harapan

Pendidikan Keagamaan