Tuesday 26 May 2015

Pengamat : Ijazah Palsu Permintaan Pasar



Sabtu, 23 Mei 2015 | 11:23 
 



[JAKARTA] Pengamat Pendidikan, Darmaningtyas mengatakan, fenomena ijazah palsu muncul karena adanya permintaan dari pasar. Ketika persyaratan pegawai negeri maupun swasta lebih mengandalkan gelar atau ijazah terakhir, sehingga  masyarakat pun akan menyiatinya dengan cerdik.

Menurut Tyas, bagi mereka yang tidak memiliki ijazah Strata satu (S-1)  dan sementara persyaratan dapat diterima kerja itu minimum S1, maka mereka akan mencari ijazah S1 bagaimana pun caranya.

"Pengetahuan yang setimpal dengan gelar S1 dapat mereka usahakan sendiri," kata Tyas kepada Suara Pembaruan, Sabtu, (23/5).

Dia menambahkan, demikian pula dengan ijasah S3 juga akan mereka usahakan dengan cara apa pun, jika persyaratan-persyaratan tertentu mengutamakan yang berpendidikan S3.
Adanya kebutuhan ijazah instan inilah yang dibaca sebagai peluang usaha bagi mereka yang lihai membaca peluang untuk bisnis ijazah palsu.

Namun umumnya ijazah palsu itu diperjual belikan oleh perguruan tinggi yg tidak memiliki kredibilitas, baik PTN maupun PTS. Sedangkan bagi yang memiliki kredibilitas, tidak akan mau memberikan ijazah palsu karena itu sama saja dengan bunuh diri.

Tyas mengatakan, sanksi bagi PT yang mengeluarkan ijazah palsu cukup diumumkan secara terbuka ke media massa, pasti masyarakat akan menghakimi sendiri dangan cara tidak mau masuk ke sana.

"Itu sudah pernah terjadi pada beberapa PTS yang tidak bisa saya sebutkan. Bahkan PTS itu tidak menjual ijazah palsu, tapi hanya obral nilai pada beberapa mahasiswa yang berani membayar besar. Meskipun demikian, dalam tempo sekejap reputasinya hancur. Bila ketahuan menjual ijazah palsu pasti hancur," ujar Tyas.

Dia menekankan, jika sampai ada PT yang menjual ijazah palsu berarti Kopertis dan Dikti juga bertanggung jawab karena itu berarti lemah dalam pengawasan. Jadi kritik tidak hanya tertuju kepada PT yang mengeluarkan ijazah palsu, tetapi juga pada Dikti dan Kopertis yg lemah mengawasi PTN/PTS tersebut.

Sementara,  Pemerhati  pendidikan, Doni Koesoema A, mengatakan, pemalsu ijasah adalah pelaku kriminal, karena  menduduki jabatan dengan tidak adil, dan tidak berhak menduduki jabatan tersebut.

Doni mengatakan, pejabat yang terlibat  harus dituntut secara hukum dan lembaga yang  mengeluarkan  harus diusut dan dikenai sanksi hukum.

" Semua harus diusut dan dihukum ," ujarnya. [Fat/N-6]

Sumber: Investor Indonesia

Memalukan dan Tak Bermoral

Banyak Pejabat Gunakan Ijazah Palsu

Jakarta, HanTer–Dugaan banyaknya pejabat yang menggunakan ijazah asli tapi palsu (aspal) tak hanya menistai  jagat pendidikan Indonesia, juga menodai  tata kelola yang baik. Pasalnya, pejabat tersebut mengelola pemerintahan dan rakyat tanpa disertai dengan bekal keilmuan yang mumpuni lantaran ijazah yang digunakannya diperoleh secara ilegal.

Pemerhati sekaligus praktisi pendidikan, Doni Koesoema mengatakan, banyaknya oknum pejabat yang menggunakan ijazah aspal bahkan palsu harus segera ditindak tegas. Pasalnya, hal tersebut merupakan suatu tindak kriminal yang tidak bisa ditolerir.

"Pejabat tersebut harus diproses secara pidana karena itu tindak kriminal," kata Doni saat dihubungi HarianTerbit, di Jakarta, Senin (25/5/2015).

Pendiri Pendidikan Karakter Education Consulting ini juga menyatakan tidak ada alasan bagi para pejabat untuk memalsukan ijazah dikarenakan menjadi salah satu syarat kenaikan pangkat atau seleksi masuk.

"Pemimpin perlu punya kompetensi dan salah satunya adalah dengan ijazah yang merupakan syarat minimal dan utama adalah legalitas," kata Doni.

Bagi Doni, selain pada kecakapan dalam mengurus rakyat dan negara, pejabat juga harus memiliki integritas yang tinggi. Mereka yang tidak memiliki integritas dan memalsukan ijazah merupakan contoh yang tidak baik bagi masyarakat.

Melihat persoalan ini, Doni berpesan agar pengawasan dalam seleksi pejabat harus diperketat. Jangan sampai pejabat bisa naik tanpa adanya seleksi yang ketat. Adanya ijazah palsu karena lemahnya pengawasan dipintu gerbang seleksi pejabat.

Hal senada juga diungkap anggota Komisi X DPR RI, Dadang Rusdiana, menyayangkan banyaknya praktik pemalsuan ijazah yang dilakukan oleh oknum pejabat. Terlebih praktik melawan hukum tersebut hanya untuk mengejar posisi jabatan strategis tanpa mengindahkan sebuah keilmuan yang harus melalui proses pendidikan. 

"Ya disayangkan kalau pejabat memakai ijazah palsu karena tuntutan formalitas, tuntutan jabatan atau posisi," ujar Dadang dihubungi Harian Terbit di Jakarta, Senin (25/5/2015).

Politikus Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) itu menuding figur-figur pejabat yang menghalalkan segala cara untuk sebuah jabatan, merupakan  sosok seorang yang tidak bertanggungjawab. "Bagaimanapun ini masalah integritas. Mana mungkin ia (pejabat pemalsu ijazah) bisa jujur dalam melayani. Kalau ia bisa berperilaku serba instan begitu," terang Sekretaris Fraksi Partai Hanura di DPR itu.

Terkait sanksi, Dadang berharap Menteri Pendidikan dan menteri terkait bertindak tegas serta serius mengawasi praktik ilegal tersebut. Tak hanya sanksi dalam bentuk administrasi kepegawaian, sanksi juga harus dijatuhkan kepada perguruan tinggi yang mengeluarkan ijazah tersebut.

"Ya menteri harus bertindak tegas kepada perguruan tinggi yang member ijazah palsu tersebut, dan mencabut gelar yang telah telanjur diberikan, serta diberi sanksi kepegawaian," tegasnya.



(Elvi/Angga/Luki)

Sumber: Harian Terbit

Thursday 21 May 2015

Segera Terbit : Strategi Pendidikan Karakter



Gagasan revolusi mental yang dilontarkan oleh Presiden Jokowidodo membangkitkan banyak tanggapan dari kalangan politisi, akademisi, dan pemerhati pendidikan. Dalam konteks pendidikan, pertanyaan utamanya adalah bagaimana lembaga pendidikan mampu melaksanakan revolusi mental sehingga sekolah dapat menjadi tempat pembentukan karakter siswa yang unggul, bertanggungjawab dan cinta pada nusa dan bangsa?

Buku Strategi Pendidikan Karakter – Revolusi Mental dalam Lembaga Pendidikan menawarkan cara-cara strategis dan efektif bagi para pendidik dan pengelola sekolah agar mampu menerjemahkan revolusi mental dalam lembaga pendidikan melalui strategi pendidikan karakter yang efektif.

Penulis buku ini, Doni Koesoema A, sudah malang melintang memberikan pelatihan Pendidikan Karakter bagi para guru dari tingkat dasar, menengah, maupun di pendidikan tinggi (universitas) dalam rangka pengembangan pendidikan karakter. Ia selain dikenal sebagai pemerhati pendidikan, juga dikenal sebagai pengembang pendidikan karakter utuh dan menyeluruh dalam konteks keindonesiaan.

Buku ini menjadi buku keempat, setelah buku Pendidikan Karakter – Strategi Mendidik Anak di Zaman Global (Grasindo, 2007), Pendidik Karakter di Zaman Keblinger – Mengembangkan Visi Guru sebagai Pendidik Karakter dan Pelaku Perubahan (Grasindo, 2009), Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh (Kanisius, 2013), yang memaparkan pemikiran dan gagasan Doni tentang pendidikan karakter utuh dan menyeluruh yang digagasnya sejak 2007.

Banyak orang bertanya, bagaimana mendesain pendidikan karakter yang efektif? Buku Strategi Pendidikan Karakter ini memberikan jawabannya. Penulis memaparkan bagaimana cara-cara efektif lembaga pendidikan dalam mendesain program pendidikan karakter secara utuh dan menyeluruh. Penulis melihat bahwa selain karena pemahaman konseptual yang lemah, pendidikan karakter yang dijalankan bisa gagal karena pengelola lembaga pendidikan, Ketua Yayasan, guru, kepala sekolah belum memiliki strategi yang efektif bagaimana menerapkannya dalam lembaga pendidikan. Di sinilah buku ini memberikan solusi.

Jawaban atas pertanyaan bagaimana lembaga pendidikan mampu mendesain secara efektif program pendidikan karakter sebagai bagian dari revolusi mental dapat Anda temukan dalam buku ini secara mendalam dengan beberapa contoh konkret yang bisa memperkaya praksis pendidikan karakter di lingkungan sekolah kita.

Monday 27 April 2015

Menilai Kejujuran

Doni Koesoema A.



Menumbuhkan nilai-nilai kejujuran dalam pendidikan merupakan tantangan utama pendidikan. Inflasi nilai, contek-mencontek selama Ujian Nasional (UN), bocornya soal plus jawabannya, dan berbagai bentuk kecurangan lain menjadi tanda kegagalan lembaga pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai kejujuran. Indeks Integritas Sekolah bisa menjadi solusi? Jawabannya adalah tidak!

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, memperkenalkan istilah baru kepada publik terkait kebijakan Ujian Nasional, yaitu Indeks Integritas Sekolah (IIS). Indeks integritas ini menjadi petunjuk sejauh mana sebuah sekolah memiliki tingkat kejujuran dalam melaksanakan UN. Indeks integritas ini bisa menjadi pertimbangan bagi Perguruan Tinggi dalam menyeleksi calon mahasiswa baru.

Di Kalangan para ahli psikometrik, konsep Indeks Integritas ini bukanlah hal baru. Kita bisa menyebut berbagai macam teori tentang indeks integritas ini, mulai dari teori klasik yang diawali oleh Bird (1927,1929), Crawford (1930), Dickenson (1945), Anikeef (1954). Teori tentang indeks integritas kemudian dikembangkan oleh banyak ahli psikometrik, Saupe (1960), Dunn, (1961), Angoff (1974), Holland (1996), Wollack (1997,2006) dan Sotaridona dan Meijer (2002,2003).

Teori tentang indeks integritas ini masih diperdebatkan. Masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan tergantung dari cara menghitung indeks dan variabel yang diperbandingkan. Teori awal yang dikembangkan Bird (1930), misalnya, kiranya sudah tidak cocok lagi dipakai karena hanya mendasarkan diri pada perbandingan distribusi jawaban salah antara peserta yang mencontek (copier) dan yang dicontek (source) untuk menentukan indeks integritas.

Teori yang dikembangan Crawford, Dickenson dan Anikeef masih berada di jalur yang sama, yaitu mempergunakan variabel jawaban salah. Teori ini kemudian dikembangkan dengan memasukkan variabel lain seperti distribusi jawaban benar, baik melalui analisis persamaan jawaban benar atau salah secara secara berurutan (string) (Hanson et al. and Angoff, 1974) dan acak (random). 

Berbagai macam teori indeks integritas, terutama yang klasik, tidak dapat diterapkan dalam konteks UN di Indonesia, karena UN di Indonesia bukan hanya ada satu varian soal, melainkan ada 20 varian soal. Teori sumber-pelaku sudah lama ditinggalkan karena tidak memiliki kekuatan memprediksi tingkat kejujuran.

Indeks integritas yang mempergunakan multi-variabel sering diacu untuk mengatasi kelemahan indeks integrasi sebelumnya (Angoff, 1974; Frary & Tideman, 1997). Angoff (1974), misalnya mempergunakan indeks multi variabel untuk menentukan level intergritas. Namun, penggunaan multi variabel ini pun masih banyak diperdebatkan oleh para ahli psikometrik terkait sisi praktikalitas dan efektifitasnya.

Bagi publik, terutama kalangan akademisi, tentu saja dasar pilihan teori yang dipakai Kemdikbud untuk menentukan indeks integritas sekolah perlu dipublikasi, atau paling tidak disosialisasikan, sehingga kalangan akademisi bisa meneliti dan menilai apakah analisis dan alat ukur yang dipakai oleh Kemdikbud dapat dipertanggungjawabkan. 

Integritas Tes 

Indeks Integritas Tes kiranya lebih tepat dipakai sebagai ungkapan ketimbang Indeks Integritas Sekolah, karena seluruh diskursus tentang teori indeks integritas hanya mengukur indeks kejujuran sebuah tes (Ujian Nasional) dan tidak dapat dipakai untuk menyimpulkan perilaku jujur sebuah sekolah secara umum. Fungsi indeks integritas selalu terbatas. Karena itu, adalah keliru menggeneralisir hasil indeks integritas tes untuk menilai kualitas kejujuran sebuah sekolah. 

Rahasia? 

Sistem pelaporan skor IIS dalam UN 2015 pun dipertanyakan. Nilai IIS tidak akan dipublikasi kepada masyarakat, melainkan hanya menjadi informasi yang diberikan pada sekolah dan Perguruan Tinggi. Pembatasan pemberian informasi publik ini membuat kita bertanya, apakah IIS merupakan rahasia negara, seperti soal UN yang bukan konsumsi publik?

Indeks integritas sekolah dipakai untuk memberitahu sekolah tentang skor nilai kejujuran sehingga sekolah dapat mengevaluasi diri dalam menanamkan nilai kejujuran ini. Kiranya informasi yang sama juga dibutuhkan oleh orang tua dan masyarakat di mana mereka menyekolahkan anak-anaknya.

Bila secara teoretis IIS sesungguhnya tidak mengukur kualitas kejujuran sekolah, atau kejujuran seluruh anggota sekolah, melainkan hanya menilai sejauh mana dalam UN siswa satu dan yang lainnya saling mencontek melalui perbandingan data statistik jawaban benar dan salah dengan mempergunakan kerangka teori tertentu, di mana kerangka teori ini pun masih diperdebatkan di kalangan para ahli psikometrik, kiranya terlalu berlebihan menganggap hasil evaluasi IIS sebagai rahasia negara. Publik punya hak memperoleh informasi tentang kerangka teoretis, tujuan dan hasil dari sebuah proses evaluasi pendidikan yang diadakan oleh Negara yang memengaruhi para pemangku kepentingan pendidikan, terutama orang tua.

Menilai kejujuran sekolah tidak dapat dilakukan melalui analisis statistik jawaban benar dan salah dalam sebuah ujian di mana kerangka teori yang menjadi landasannya masih banyak diperdebatkan di kalangan ahli psikometrik sendiri. Kejujuran merupakan sikap hidup yang perlu dilatih dan dibiasakan, didukung dengan lingkungan budaya, struktur dan peraturan yang mendukung bertumbuhnya nilai penghargaan terhadap kebenaran. Sikap ini tidak dapat dinilai melalui indeks integritas sekolah yang sifatnya terbatas.

Kejujuran sebuah sekolah hanya bisa dinilai dari sejauh mana anggota-anggota sekolah itu melaksanakan nilai-nilai kejujuran semenjak mereka datang memasuki pintu gerbang sekolah sampai pulang, melalui contoh, teladan, pemberian ruang bagi praksis kejujuran yang didukung oleh aturan-aturan sekolah yang konsisten diterapkan, seperti menghilangkan budaya dan aturan katrol nilai, membuat peraturan dan sanksi tegas tentang perilaku mencontek, menghapuskan peraturan tentang Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang sering menjadi sumber ketidakjujuran guru dalam menilai siswa, dan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan sekolah.

Hal-hal ini kiranya lebih mendesak diperjuangkan dan diterapkan dalam lembaga pendidikan kita ketimbang memperkenalkan istilah baru kerangka teorinya masih diperdebatkan, tujuan, konsep, metodenya dipertanyakan, dan sistem pelaporannya tertutup dan menafikan kontrol publik.

Indeks Integritas Sekolah bukan hal fundamental yang dibutuhkan bangsa ini. 

Doni Koesoema A. Pemerhati Pendidikan. 

Opini dimuat di KOMPAS, 22 April 2015

Sumber:Kompas

Pendidikan Keagamaan