Thursday 21 May 2015

Segera Terbit : Strategi Pendidikan Karakter



Gagasan revolusi mental yang dilontarkan oleh Presiden Jokowidodo membangkitkan banyak tanggapan dari kalangan politisi, akademisi, dan pemerhati pendidikan. Dalam konteks pendidikan, pertanyaan utamanya adalah bagaimana lembaga pendidikan mampu melaksanakan revolusi mental sehingga sekolah dapat menjadi tempat pembentukan karakter siswa yang unggul, bertanggungjawab dan cinta pada nusa dan bangsa?

Buku Strategi Pendidikan Karakter – Revolusi Mental dalam Lembaga Pendidikan menawarkan cara-cara strategis dan efektif bagi para pendidik dan pengelola sekolah agar mampu menerjemahkan revolusi mental dalam lembaga pendidikan melalui strategi pendidikan karakter yang efektif.

Penulis buku ini, Doni Koesoema A, sudah malang melintang memberikan pelatihan Pendidikan Karakter bagi para guru dari tingkat dasar, menengah, maupun di pendidikan tinggi (universitas) dalam rangka pengembangan pendidikan karakter. Ia selain dikenal sebagai pemerhati pendidikan, juga dikenal sebagai pengembang pendidikan karakter utuh dan menyeluruh dalam konteks keindonesiaan.

Buku ini menjadi buku keempat, setelah buku Pendidikan Karakter – Strategi Mendidik Anak di Zaman Global (Grasindo, 2007), Pendidik Karakter di Zaman Keblinger – Mengembangkan Visi Guru sebagai Pendidik Karakter dan Pelaku Perubahan (Grasindo, 2009), Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh (Kanisius, 2013), yang memaparkan pemikiran dan gagasan Doni tentang pendidikan karakter utuh dan menyeluruh yang digagasnya sejak 2007.

Banyak orang bertanya, bagaimana mendesain pendidikan karakter yang efektif? Buku Strategi Pendidikan Karakter ini memberikan jawabannya. Penulis memaparkan bagaimana cara-cara efektif lembaga pendidikan dalam mendesain program pendidikan karakter secara utuh dan menyeluruh. Penulis melihat bahwa selain karena pemahaman konseptual yang lemah, pendidikan karakter yang dijalankan bisa gagal karena pengelola lembaga pendidikan, Ketua Yayasan, guru, kepala sekolah belum memiliki strategi yang efektif bagaimana menerapkannya dalam lembaga pendidikan. Di sinilah buku ini memberikan solusi.

Jawaban atas pertanyaan bagaimana lembaga pendidikan mampu mendesain secara efektif program pendidikan karakter sebagai bagian dari revolusi mental dapat Anda temukan dalam buku ini secara mendalam dengan beberapa contoh konkret yang bisa memperkaya praksis pendidikan karakter di lingkungan sekolah kita.

Monday 27 April 2015

Menilai Kejujuran

Doni Koesoema A.



Menumbuhkan nilai-nilai kejujuran dalam pendidikan merupakan tantangan utama pendidikan. Inflasi nilai, contek-mencontek selama Ujian Nasional (UN), bocornya soal plus jawabannya, dan berbagai bentuk kecurangan lain menjadi tanda kegagalan lembaga pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai kejujuran. Indeks Integritas Sekolah bisa menjadi solusi? Jawabannya adalah tidak!

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, memperkenalkan istilah baru kepada publik terkait kebijakan Ujian Nasional, yaitu Indeks Integritas Sekolah (IIS). Indeks integritas ini menjadi petunjuk sejauh mana sebuah sekolah memiliki tingkat kejujuran dalam melaksanakan UN. Indeks integritas ini bisa menjadi pertimbangan bagi Perguruan Tinggi dalam menyeleksi calon mahasiswa baru.

Di Kalangan para ahli psikometrik, konsep Indeks Integritas ini bukanlah hal baru. Kita bisa menyebut berbagai macam teori tentang indeks integritas ini, mulai dari teori klasik yang diawali oleh Bird (1927,1929), Crawford (1930), Dickenson (1945), Anikeef (1954). Teori tentang indeks integritas kemudian dikembangkan oleh banyak ahli psikometrik, Saupe (1960), Dunn, (1961), Angoff (1974), Holland (1996), Wollack (1997,2006) dan Sotaridona dan Meijer (2002,2003).

Teori tentang indeks integritas ini masih diperdebatkan. Masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan tergantung dari cara menghitung indeks dan variabel yang diperbandingkan. Teori awal yang dikembangkan Bird (1930), misalnya, kiranya sudah tidak cocok lagi dipakai karena hanya mendasarkan diri pada perbandingan distribusi jawaban salah antara peserta yang mencontek (copier) dan yang dicontek (source) untuk menentukan indeks integritas.

Teori yang dikembangan Crawford, Dickenson dan Anikeef masih berada di jalur yang sama, yaitu mempergunakan variabel jawaban salah. Teori ini kemudian dikembangkan dengan memasukkan variabel lain seperti distribusi jawaban benar, baik melalui analisis persamaan jawaban benar atau salah secara secara berurutan (string) (Hanson et al. and Angoff, 1974) dan acak (random). 

Berbagai macam teori indeks integritas, terutama yang klasik, tidak dapat diterapkan dalam konteks UN di Indonesia, karena UN di Indonesia bukan hanya ada satu varian soal, melainkan ada 20 varian soal. Teori sumber-pelaku sudah lama ditinggalkan karena tidak memiliki kekuatan memprediksi tingkat kejujuran.

Indeks integritas yang mempergunakan multi-variabel sering diacu untuk mengatasi kelemahan indeks integrasi sebelumnya (Angoff, 1974; Frary & Tideman, 1997). Angoff (1974), misalnya mempergunakan indeks multi variabel untuk menentukan level intergritas. Namun, penggunaan multi variabel ini pun masih banyak diperdebatkan oleh para ahli psikometrik terkait sisi praktikalitas dan efektifitasnya.

Bagi publik, terutama kalangan akademisi, tentu saja dasar pilihan teori yang dipakai Kemdikbud untuk menentukan indeks integritas sekolah perlu dipublikasi, atau paling tidak disosialisasikan, sehingga kalangan akademisi bisa meneliti dan menilai apakah analisis dan alat ukur yang dipakai oleh Kemdikbud dapat dipertanggungjawabkan. 

Integritas Tes 

Indeks Integritas Tes kiranya lebih tepat dipakai sebagai ungkapan ketimbang Indeks Integritas Sekolah, karena seluruh diskursus tentang teori indeks integritas hanya mengukur indeks kejujuran sebuah tes (Ujian Nasional) dan tidak dapat dipakai untuk menyimpulkan perilaku jujur sebuah sekolah secara umum. Fungsi indeks integritas selalu terbatas. Karena itu, adalah keliru menggeneralisir hasil indeks integritas tes untuk menilai kualitas kejujuran sebuah sekolah. 

Rahasia? 

Sistem pelaporan skor IIS dalam UN 2015 pun dipertanyakan. Nilai IIS tidak akan dipublikasi kepada masyarakat, melainkan hanya menjadi informasi yang diberikan pada sekolah dan Perguruan Tinggi. Pembatasan pemberian informasi publik ini membuat kita bertanya, apakah IIS merupakan rahasia negara, seperti soal UN yang bukan konsumsi publik?

Indeks integritas sekolah dipakai untuk memberitahu sekolah tentang skor nilai kejujuran sehingga sekolah dapat mengevaluasi diri dalam menanamkan nilai kejujuran ini. Kiranya informasi yang sama juga dibutuhkan oleh orang tua dan masyarakat di mana mereka menyekolahkan anak-anaknya.

Bila secara teoretis IIS sesungguhnya tidak mengukur kualitas kejujuran sekolah, atau kejujuran seluruh anggota sekolah, melainkan hanya menilai sejauh mana dalam UN siswa satu dan yang lainnya saling mencontek melalui perbandingan data statistik jawaban benar dan salah dengan mempergunakan kerangka teori tertentu, di mana kerangka teori ini pun masih diperdebatkan di kalangan para ahli psikometrik, kiranya terlalu berlebihan menganggap hasil evaluasi IIS sebagai rahasia negara. Publik punya hak memperoleh informasi tentang kerangka teoretis, tujuan dan hasil dari sebuah proses evaluasi pendidikan yang diadakan oleh Negara yang memengaruhi para pemangku kepentingan pendidikan, terutama orang tua.

Menilai kejujuran sekolah tidak dapat dilakukan melalui analisis statistik jawaban benar dan salah dalam sebuah ujian di mana kerangka teori yang menjadi landasannya masih banyak diperdebatkan di kalangan ahli psikometrik sendiri. Kejujuran merupakan sikap hidup yang perlu dilatih dan dibiasakan, didukung dengan lingkungan budaya, struktur dan peraturan yang mendukung bertumbuhnya nilai penghargaan terhadap kebenaran. Sikap ini tidak dapat dinilai melalui indeks integritas sekolah yang sifatnya terbatas.

Kejujuran sebuah sekolah hanya bisa dinilai dari sejauh mana anggota-anggota sekolah itu melaksanakan nilai-nilai kejujuran semenjak mereka datang memasuki pintu gerbang sekolah sampai pulang, melalui contoh, teladan, pemberian ruang bagi praksis kejujuran yang didukung oleh aturan-aturan sekolah yang konsisten diterapkan, seperti menghilangkan budaya dan aturan katrol nilai, membuat peraturan dan sanksi tegas tentang perilaku mencontek, menghapuskan peraturan tentang Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang sering menjadi sumber ketidakjujuran guru dalam menilai siswa, dan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan sekolah.

Hal-hal ini kiranya lebih mendesak diperjuangkan dan diterapkan dalam lembaga pendidikan kita ketimbang memperkenalkan istilah baru kerangka teorinya masih diperdebatkan, tujuan, konsep, metodenya dipertanyakan, dan sistem pelaporannya tertutup dan menafikan kontrol publik.

Indeks Integritas Sekolah bukan hal fundamental yang dibutuhkan bangsa ini. 

Doni Koesoema A. Pemerhati Pendidikan. 

Opini dimuat di KOMPAS, 22 April 2015

Sumber:Kompas

Ujian Nasional Tidak Akan Dimoratorium

Meski diwarnai kecurangan dalam penyelenggaraan ujian nasional (UN), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tidak akan melakukan moratorium UN. Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan.

Menurut Anies, persoalan yang ada seperi kecurangan dan kebocoran sudah bisa tertangani oleh kepolisian dan Kemendikbud. Dia menjelaskan, dari kasus yang sudah terjadi sudah ada solusi yang lebih baik ketimbang moratorium yang pasti akan melewati proses panjang.

Anies menjelaskan, jika memang ada kebocoran jangan hanya diperdebatkan saja. Lebih baik dilaporkan agar pelaku dibuat jera dengan dipenjara. Menurut dia, jika didiamkan saja maka kasus yang sama akan terjadi setiap tahunnya dengan modus baru.

Pengamat pendidikan Doni Koesoema A. berpendapat pemerintah harus bersikap tegas atas kasus kecurangan UN. Kasus tersebut selain telah merugikan negara, juga sudah membuat fungsi UN menjadi tidak berfungsi, baik untuk masuk perguruan tinggi negeri (PTN) maupun untuk pemetaan. UN sudah tidak murni lagi.

Donny menambahkan, indeks integritas yang diutarakan oleh pemerintah tidak relevan digunakan untuk menilai kejujuran di sekolah. Pasalnya, UN adalah segelintir kecil dari proses pembelajaran panjang yang ada di sekolah.

Sumber: Koran Sindo

Monday 20 April 2015

UN Ulang Di Aceh Belum Diputuskan


Pemindaian hasil UN di daerah ini belum selesai.
20 April 2015 16:00 

JAKARTA – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) belum memutuskan penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) ulang di Aceh. Pasalnya, pemindaian hasil UN di daerah ini belum kelar.

Kepala Pusat Penelitian Pendidikan (Puspendik) Kemendikbud, Prof Dr Nizam, mengatakan hal ini kepada SH, Senin (20/4) pagi, menyusul temuan kebocoran 30 paket soal UN mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Senin (13/4) lalu. “Aceh belum selesai dipindai, jadi belum masuk Puspendik,” kata Nizam.

Ia mengatakan, keputusan UN di Aceh akan diulang atau tidak dapat diambil setelah hasil UN dari daerah tersebut dipindai dan dinilai indeks integritasnya. Rumus untuk mengukur indeks integritas tersebut, menurut Nizam, dikembangkan Puspendik berdasarkan alogaritma yang sudah banyak dipakai secara internasional.

Menurutnya, rumus tersebut telah disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. “Aplikasi tersebut disesuaikan dengan UN dan kondisi di Indonesia,” ujarnya.

Menurut Nizam, Puspendik juga bekerja sama dengan perguruan tinggi negeri (PTN) dalam proses pembuatan rumusan indeks integritas tersebut. Tujuan kerja sama dengan PTN, antara lain adalah guna menguji dan membandingkan aplikasi yang dibuat Puspendik, dengan aplikasi yang dipakai PTN dalam proses Seleksi Bersama Masuk PTN (SBMPTN).

“Kami ingin menguji dan membandingkan apakah aplikasi kita sesuai yang dipakai di SBMPTN,” kata Nizam.  Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Anies Baswedan, Jumat (17/4), telah memberikan pernyataan, hasil analisis sementara Kemendikbud menyimpulkan DIY tidak perlu menyelenggarakan UN ulang.

Menurut Anies, DIY selama ini termasuk daerah dengan indeks integritas tinggi, mencapai 97 persen. Ia mengatakan, analisis sementara menunjukkan, peserta UN DIY “lolos ujian” integritas.

“Dalam artian, mereka tahu ada bocoran kunci jawaban, namun tidak menggunakannya,” ujar Anies kepada para wartawan. 

Tidak Berdasarkan Logika 

Dewan Pertimbangan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Doni Koesoema Albertus mengatakan, telah mempelajari indeks integritas yang dimaksud Kemendikbud. Menurutnya, konsep indeks integritas tersebut absurd karena tidak berdasarkan logika.

Ia menjelaskan, dalam ilmu psikometri, yang dimaksud indeks integritas sebenarnya adalah indeks integritas tes. Oleh karena itu, indeks integritas tersebut menurutnya tidak dapat dipakai untuk menggeneralisasi integritas atau nilai-nilai kejujuran sebuah sekolah. “Apalagi, untuk menilai integritas suatu daerah atau provinsi,” tutur Doni.

Menurutnya, gabungan dari hasil tes di kelas-kelas selama UN tidak dapat dikonversi, ditumpuk, dan dijumlah total, untuk kemudian disimpulkan menjadi nilai kejujuran sebuah sekolah. “Kemendikbud seharusnya tidak dapat menarik kesimpulan dengan cara seperti itu,” ucapnya.

Ia berpendapat, cara menilai indeks integritas tersebut justru akan menjadi beban bagi masyarakat. Apalagi, proses penilaiannya menurutnya tidak transparan. Ia mengingatkan, selama ini yang menerima keterangan tentang indeks integritas sebuah sekolah hanya sekolah tersebut dan PTN. Informasi tersebut tidak dibuka ke publik sehingga berpotensi menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat. 

Sumber : Sinar Harapan

Pengamat Nilai Indeks Integritas Tak Relevan untuk Menilai Kejujuran



Senin, 20 April 2015 16:42 


WARTA KOTA, SENAYAN-Pengamat Pendidikan Doni Koesoema menyebutkan indeks integritas yang diutarakan oleh pemerintah tidak relean digunakan untuk menilai kejujuran di sekolah.

Ia mengatakan, UN adalah segelintir kecil dari proses pembelajaran panjang yang ada di sekolah. Doni mengkritisi, sikap Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) yang bersikeras menyisipkan indeks integritas justru memperlihatkan pemerintah tidak paham pendidikan dasar dan menengah.

“Indeks integritas menunjukkan bahwa orang Kemdikbud tidak paham persoalan kejujuran di sekolah. Indeks integritas yang dipahami sekarang secara ilmu psikometrik bahkan masih diperdebatkan,” ungkapnya ketika dihubungi Minggu (19/4/2015) sore.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggunakan indeks integritas untuk melihat tingkat kejujuran siswa dalam menjalankan Ujian Nasional (UN) 2015. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, meyakini indeks integritas bisa dipakai untuk melihat kejujuran para pelajar per daerah yang mengikuti UN. Artinya, jika ada daerah yang diam-diam melakukan kecurangan baik dengan bocoran maupun mencontek, bisa diukur dengan indeks integritas.

Menurut Doni, indeks integritas hanya bisa digunakan untuk menilai integritas per satu kelas. Jika hasilnya dibandingkan antara satu dengan kelas lain hal itu menjadi tidak relevan, apalagi jika diakumulasikan dengan daerah lain, katanya. Ia menegaskan, mengukur kejujuran tidak bisa dilakukan dengan indeks integritas.

Menurut Doni, alangkah baiknya jika pemerintah tidak menjadikan hasil UN sebagai penentu apapun. Baik dalam SNMPTN maupun SBMPTN. Sebab tidak akan adil bagi anak-anak, dengan melihat fakta indeks integritas yang ada.

Doni menambahkan, jika PTN tidak memahami sistem asesmen pendidikan ini akan berdampak panjang pada mutu dan kualitas mahasiswa.

“UN sebaiknya tidak dipakai sebagai syarat melanjutkan ke jenjang berikutnya. Karena ini yang membuat UN tetap bisa dimanipulasi atau berpotensi kecurangan tetap terjadi,” tegasnya.

Ia berharap, pemerintah mengembalikan fungsi UN sebagai pemetaan hasil belajar, bukan digunakan untuk pertimbangan masuk PTN. (Agustin Setyo Wardani)

Sumber: Warta Kota



Pendidikan Keagamaan