Monday 20 April 2015

UN Ulang Di Aceh Belum Diputuskan


Pemindaian hasil UN di daerah ini belum selesai.
20 April 2015 16:00 

JAKARTA – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) belum memutuskan penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) ulang di Aceh. Pasalnya, pemindaian hasil UN di daerah ini belum kelar.

Kepala Pusat Penelitian Pendidikan (Puspendik) Kemendikbud, Prof Dr Nizam, mengatakan hal ini kepada SH, Senin (20/4) pagi, menyusul temuan kebocoran 30 paket soal UN mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Senin (13/4) lalu. “Aceh belum selesai dipindai, jadi belum masuk Puspendik,” kata Nizam.

Ia mengatakan, keputusan UN di Aceh akan diulang atau tidak dapat diambil setelah hasil UN dari daerah tersebut dipindai dan dinilai indeks integritasnya. Rumus untuk mengukur indeks integritas tersebut, menurut Nizam, dikembangkan Puspendik berdasarkan alogaritma yang sudah banyak dipakai secara internasional.

Menurutnya, rumus tersebut telah disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. “Aplikasi tersebut disesuaikan dengan UN dan kondisi di Indonesia,” ujarnya.

Menurut Nizam, Puspendik juga bekerja sama dengan perguruan tinggi negeri (PTN) dalam proses pembuatan rumusan indeks integritas tersebut. Tujuan kerja sama dengan PTN, antara lain adalah guna menguji dan membandingkan aplikasi yang dibuat Puspendik, dengan aplikasi yang dipakai PTN dalam proses Seleksi Bersama Masuk PTN (SBMPTN).

“Kami ingin menguji dan membandingkan apakah aplikasi kita sesuai yang dipakai di SBMPTN,” kata Nizam.  Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Anies Baswedan, Jumat (17/4), telah memberikan pernyataan, hasil analisis sementara Kemendikbud menyimpulkan DIY tidak perlu menyelenggarakan UN ulang.

Menurut Anies, DIY selama ini termasuk daerah dengan indeks integritas tinggi, mencapai 97 persen. Ia mengatakan, analisis sementara menunjukkan, peserta UN DIY “lolos ujian” integritas.

“Dalam artian, mereka tahu ada bocoran kunci jawaban, namun tidak menggunakannya,” ujar Anies kepada para wartawan. 

Tidak Berdasarkan Logika 

Dewan Pertimbangan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Doni Koesoema Albertus mengatakan, telah mempelajari indeks integritas yang dimaksud Kemendikbud. Menurutnya, konsep indeks integritas tersebut absurd karena tidak berdasarkan logika.

Ia menjelaskan, dalam ilmu psikometri, yang dimaksud indeks integritas sebenarnya adalah indeks integritas tes. Oleh karena itu, indeks integritas tersebut menurutnya tidak dapat dipakai untuk menggeneralisasi integritas atau nilai-nilai kejujuran sebuah sekolah. “Apalagi, untuk menilai integritas suatu daerah atau provinsi,” tutur Doni.

Menurutnya, gabungan dari hasil tes di kelas-kelas selama UN tidak dapat dikonversi, ditumpuk, dan dijumlah total, untuk kemudian disimpulkan menjadi nilai kejujuran sebuah sekolah. “Kemendikbud seharusnya tidak dapat menarik kesimpulan dengan cara seperti itu,” ucapnya.

Ia berpendapat, cara menilai indeks integritas tersebut justru akan menjadi beban bagi masyarakat. Apalagi, proses penilaiannya menurutnya tidak transparan. Ia mengingatkan, selama ini yang menerima keterangan tentang indeks integritas sebuah sekolah hanya sekolah tersebut dan PTN. Informasi tersebut tidak dibuka ke publik sehingga berpotensi menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat. 

Sumber : Sinar Harapan

Pengamat Nilai Indeks Integritas Tak Relevan untuk Menilai Kejujuran



Senin, 20 April 2015 16:42 


WARTA KOTA, SENAYAN-Pengamat Pendidikan Doni Koesoema menyebutkan indeks integritas yang diutarakan oleh pemerintah tidak relean digunakan untuk menilai kejujuran di sekolah.

Ia mengatakan, UN adalah segelintir kecil dari proses pembelajaran panjang yang ada di sekolah. Doni mengkritisi, sikap Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) yang bersikeras menyisipkan indeks integritas justru memperlihatkan pemerintah tidak paham pendidikan dasar dan menengah.

“Indeks integritas menunjukkan bahwa orang Kemdikbud tidak paham persoalan kejujuran di sekolah. Indeks integritas yang dipahami sekarang secara ilmu psikometrik bahkan masih diperdebatkan,” ungkapnya ketika dihubungi Minggu (19/4/2015) sore.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggunakan indeks integritas untuk melihat tingkat kejujuran siswa dalam menjalankan Ujian Nasional (UN) 2015. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, meyakini indeks integritas bisa dipakai untuk melihat kejujuran para pelajar per daerah yang mengikuti UN. Artinya, jika ada daerah yang diam-diam melakukan kecurangan baik dengan bocoran maupun mencontek, bisa diukur dengan indeks integritas.

Menurut Doni, indeks integritas hanya bisa digunakan untuk menilai integritas per satu kelas. Jika hasilnya dibandingkan antara satu dengan kelas lain hal itu menjadi tidak relevan, apalagi jika diakumulasikan dengan daerah lain, katanya. Ia menegaskan, mengukur kejujuran tidak bisa dilakukan dengan indeks integritas.

Menurut Doni, alangkah baiknya jika pemerintah tidak menjadikan hasil UN sebagai penentu apapun. Baik dalam SNMPTN maupun SBMPTN. Sebab tidak akan adil bagi anak-anak, dengan melihat fakta indeks integritas yang ada.

Doni menambahkan, jika PTN tidak memahami sistem asesmen pendidikan ini akan berdampak panjang pada mutu dan kualitas mahasiswa.

“UN sebaiknya tidak dipakai sebagai syarat melanjutkan ke jenjang berikutnya. Karena ini yang membuat UN tetap bisa dimanipulasi atau berpotensi kecurangan tetap terjadi,” tegasnya.

Ia berharap, pemerintah mengembalikan fungsi UN sebagai pemetaan hasil belajar, bukan digunakan untuk pertimbangan masuk PTN. (Agustin Setyo Wardani)

Sumber: Warta Kota



Thursday 16 April 2015

Usulan Perbaikan Ujian Nasional


JAKARTA - Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) selalu bermasalah setiap tahun. Berbagai pihak pun mengajukan usulan perbaikan ujian nasional.

Tahun ini, kebocoran soal, aksi saling contek, hingga kecurangan dalam pemindaian kunci jawaban masih mewarnai ujian nasional. Beberapa laporan temuan datang dari berbagai daerah seperti Jakarta, Bandung, Pemalang, Bekasi, Bogor dan Lamongan.

Dewan Pertimbangan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Doni Koesoema, mengusulkan, sebaiknya hasil ujian nasional tidak lagi dijadikan syarat kelulusan maupun syarat-syarat lain. Misalnya, untuk masuk ke jenjang pendidikan selanjutnya.

"Kebijakan ini diharapkan berlaku untuk tingkat SMA, SMP dan SD," kata Doni, belum lama ini.

Pemerintah, imbuhnya, juga harus melakukan penegakan hukum secara tegas terkait kasus kebocoran soal ujian nasional. "FSGI mengimbau ada kerja sama antara pemerintah, kepolisian, dan Kominfo untuk mengusut pihak yang mengunggah soal-soal di internet," tuturnya.

Dari segi pelaksanaan, pemerintah wajib memperhatikan kesalahan-kesalahan teknis, terutama pada pelaksanaan UN Computer Based Test (CBT). Pasalnya, persiapan dinilai mendadak sehingga pemerintah harus memperhatikan kondisi psikologis siswa.

Kemudian, dari sisi penyelenggaraan pendidikan, sebaiknya pemerintah menghilangkan paradigma sekolah-sekolah favorit. Poin ini pun dinilai penting oleh FSGI.

Pasalnya, selama masih ada paradigma tersebut, peserta ujian akan berusaha mendapatkan akses masuk ke sekolah favorit. Hal ini membuat kecurangan ujian nasional akan terus terulang," papar Doni.

Terakhir, FSGI mengusulkan pemerintah mengkaji kembali indeks integritas sekolah. Mereka beralasan, indeks integritas tidak relevan dipakai untuk menilai kejujuran sebuah sekolah. 

(rfa)

Sumber: Okezone

Penerapan Indeks Integritas Sekolah dianggap Mengada-ada

JAKARTA - Penerapan Indeks Integritas Sekolah di seluruh sekolah oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada tahun ini diharapkan mampu membuat sekolah bisa jujur dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Sayangnya, Indeks Integritas Sekolah tersebut tidak ada parameter dalam mengukur nilai-nilai kejujuran sekolah. 

"Sosialisasi juga di penghujung UN. Selain itu, Indeks Integritas Sekolah tidak terlihat memaparkan nilai kejujuran sebuah sekolah," kata Anggota Dewan Pertimbangan Serikat Federasi Guru Indonesia (SFGI), Doni Koesoema dalam jumpa pers kebocoran soal UN 2015, di gedung Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLHK), Jakarta, Rabu (15/4).

Ia mengatakan, sampai saat ini Indeks Integritas Sekolah dalam dunia psikometrik masih diperdebatkan. Sebab, metode, situasi, dan cara-cara siswa mencontek berbeda-beda. Hal ini menimbulkan hasil pada indeks integritasnya berbeda-beda, ketika dilakukan kalkulasi hasil. "Sedangkan yang dijelaskan oleh Kemendikbud itu tidak ada logiknya dan tidak bisa ditarik kesimpulannya," ujarnya.

Secara umum, kata Doni, pengukuran bisa dilakukan dengan menghitung jumlah jawaban yang salah. "Tetapi, bila terdapat 20 soal, tidak bisa," ucapnya. Pasalnya, membutuhkan konsep lain atau strategi pengumpulan data statistik untuk menentukan sejauh mana siswa satu mencontek siswa lainnya.

"Jadi, ide Indeks Integritas Sekolah ini absurd dan membebankan kepada masyarakat dan sistem pelaporan juga tidak transparan," katanya. Selain itu, gabungan dari hasil tes diruang-ruang kelas sekolah, tidak bisa dikonversi dan ditumpuk menjadi kejujuran sebuah sekolah. Apalagi, menjadi kejujuran sebuah daerah atau provinsi.

Donie menyarankan kepada Kemendukbud, jika ingin meningkatkan kejujuran di sekolah, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, pemerintah harus mengubah aturan-aturan atau peraturan yang membuat budaya tidak jujur itu muncul, misalnya kebijakan tentang Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), ada mata pelajaran tertentu yang diharuskan mendapatkan 7 di KKM.

Kedua adalah sistem katrol nilai yang banyak terjadi di sekolah-sekolah, dengan memberikan nilai oleh oknum guru kepada siswa. "Hal ini terjadi karena otentisitas pembelajaran tidak dihargai. Meskipun ada sekolah tertentu ketika nilainya rendah dia tegas, bila mendapat nol ya nol dan lima ya lima," tegasnya.

Ia melanjutkan, sebelum adanya Indeks Integritas ini, ada berapa sekolah yang menindak tegas para muridnya yaitu ketika ada yang ketahuan menyontek, akan segera dikeluarkan dari sekolah dan ada pula yang memberi teguran. "Jadi ada banyak kebijakan budaya sekolah yang sudah menerapkan nilai-nilai kejujuran. Saya rasa Indeks Integritas itu terlalu mengada-mengada, sebagai penilai kejujuran," pungkasnya.

Menanggapi itu, Mendikbud Anies Baswedan mengatakan, Indek Integritas Sekolah ini mengukur tingkat kejujuran saat menjalankan ujian di sebuah sekolah. Bila sekolah mendapatkan angka 90, Artinya 90 persen siswanya menjalankan ujian dengan jujur dan ada 10 persen menunjukan pola kerja sama atau kecurangan. "Itu bahasa sederhananya, karenanya nanti indeks rangenya antara 0 - 100. Makin tinggi indeksnya, makin jujur pelaksanaan ujian di sekolah tersebut," kata dia.

Untuk rumusannya, jelas Mantan Rektor Universitas Paramadina Jakarta ini, akan diungkapkan setelah UN 2015 selesai. Sementara, saat ini pihaknya memiliki data sekolah Indeks Integritasnya diatas nilai 90 ada 52 Kabupaten atau 10 persen dari semua daerah Indonesia diantaranya DKI Jakarta dan DI Yogyakarta.

Oleh karena itu, Anies mengimbau kepada masyarakat untuk jujur dalam melihat kecurangan UN. Karena nantinya ada reward dan punisment dari pemerintah. "Bahwa laporan tersebut mengenai jujuran dan bukan semata-mata keberhasilan nilai akademis, tapi nilai kejujuranya," pungkasnya.

Sumber: Radarpena

Indeks Integritas UN Meragukan

JAKARTA -- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tahun ini mulai menerapkan indeks integritas sekolah dalam menjalankan ujian nasional (UN). Namun, hasil yang diperoleh Kemendikbud itu masih diragukan dan bisa tidak akurat.

Pengamat pendidikan, Doni Koesoema Albertus, kepada Republika, Selasa (14/4), mengatakan, hasil yang diperoleh Kemendikbud hanya dari distribusi jawaban siswa dalam ujian. Padahal, jika benar ada kecurangan, maka banyaknya kemungkinan kecurangan yang dilakukan berbeda-beda, baik setiap anak, kelas, apalagi sekolah.

Doni menyebut, ada kemungkinan hasil indeks integritas itu salah. Apalagi, baru saja Kemendikbud menerbitkan 52 daerah yang memiliki indeks integritas yang melebih 90 persen. Menurutnya, bagaimana dan seperti apa prosesnya, Kemendikbud tidak transparan sehingga hasilnya meragukan.

Ia menegaskan, indeks integritas hanya bisa dilakukan untuk ujian di satu kelas pada waktu, bobot, dan satu mata pelajaran yang sama. Jadi, hasilnya pun hanya berlaku untuk satu kelas itu saja. Karena itu, hasil indeks integritas tidak bisa dibandingkan dengan kelas yang berbeda di banyak sekolah apalagi daerah. "Hasil yang dikeluarkan oleh Kemendikbud itu, masih sangat diragukan," katanya.

Ia menyebutkan, terdapat 10 kerangka teori dalam menganalisis indeks integritas. Namun, semuanya masih dianggap lemah oleh para ahli. Sedangkan, Kemendikbud hanya menggunakan satu kerangka teori dan hanya menggunakan distribusi pola-pola jawaban siswa dalam ujian.

Doni bahkan menyebut Kemendikbud hanya buang-buang energi mengeluarkan kebijakan indeks integritas. "Daripada sibuk dan buang-buang energi untuk indeks integritas, lebih baik Kemendikbud fokus melakukan perbaikan pada sistem kriteria ketuntasan minimal (KKM). Jika, ingin membangun kejujuran dalam pendidikan," ujarnya.

Jadi, tidak bisa dikatakan bahwa dari hasil UN saja, langsung dapat diketahui tingkat kejujuran sekolah dalam menjalankan UN. Lagi pula, Dodi mengatakan, indeks integritas ini untuk menilai kadar kegiatan sontek-menyotek antarsiswa di dalam kelas dalam ujian.

Kemendikbud merilis ada sebanyak 52 kota/kabupaten di Indonesia yang indeks integritasnya mencapai lebih dari 90 persen pada 2010-2014. Mendikbud Anies Baswedan mengatakan, hasil itu didapatkan melalui data-data yang dimiliki Kemendikbud selama pelaksanaan UN pada 2010-2014. Data-data itu berupa pola-pola jawaban peserta UN.

Ia menyebutkan, Kabupaten Lingga berada di posisi pertama yang mencapai indeks integritas yang tertinggi. Kemudian, disusul seluruh wilayah DKI Jakarta. Namun, pihaknya tidak menyebutkan spesifik berapa indeks yang diperoleh dan sekolah mana saja.

Sedangkan, pada posisi ke 52 ada Kabupaten Puncak, Papua. Ia mengungkapkan, wilayah Indonesia paling timur berhasil memiliki integritas yang tinggi dibandingkan kota-kota besar lainnya.

Sedangkan, hasil indeks integritas pelaksanaan UN tahun ini akan berupa data per sekolah per daerah. Sehingga, gubernur, kepala daerah, dinas, dan kepala sekolah mengetahui indeks integritasnya masing-masing, kemudian dengan segera melakukan pembenahan.

"Kami berencana akan secara terbuka menyebutkan daerah dan sekolah yang memiliki indeks integritas yang tinggi. Tapi, masih berpikir lagi untuk terbuka terkait sekolah dan daerah yang memiliki indeks integritas yang rendah," ujar Anies.

Pendidikan Keagamaan