Thursday 16 April 2015

Usulan Perbaikan Ujian Nasional


JAKARTA - Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) selalu bermasalah setiap tahun. Berbagai pihak pun mengajukan usulan perbaikan ujian nasional.

Tahun ini, kebocoran soal, aksi saling contek, hingga kecurangan dalam pemindaian kunci jawaban masih mewarnai ujian nasional. Beberapa laporan temuan datang dari berbagai daerah seperti Jakarta, Bandung, Pemalang, Bekasi, Bogor dan Lamongan.

Dewan Pertimbangan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Doni Koesoema, mengusulkan, sebaiknya hasil ujian nasional tidak lagi dijadikan syarat kelulusan maupun syarat-syarat lain. Misalnya, untuk masuk ke jenjang pendidikan selanjutnya.

"Kebijakan ini diharapkan berlaku untuk tingkat SMA, SMP dan SD," kata Doni, belum lama ini.

Pemerintah, imbuhnya, juga harus melakukan penegakan hukum secara tegas terkait kasus kebocoran soal ujian nasional. "FSGI mengimbau ada kerja sama antara pemerintah, kepolisian, dan Kominfo untuk mengusut pihak yang mengunggah soal-soal di internet," tuturnya.

Dari segi pelaksanaan, pemerintah wajib memperhatikan kesalahan-kesalahan teknis, terutama pada pelaksanaan UN Computer Based Test (CBT). Pasalnya, persiapan dinilai mendadak sehingga pemerintah harus memperhatikan kondisi psikologis siswa.

Kemudian, dari sisi penyelenggaraan pendidikan, sebaiknya pemerintah menghilangkan paradigma sekolah-sekolah favorit. Poin ini pun dinilai penting oleh FSGI.

Pasalnya, selama masih ada paradigma tersebut, peserta ujian akan berusaha mendapatkan akses masuk ke sekolah favorit. Hal ini membuat kecurangan ujian nasional akan terus terulang," papar Doni.

Terakhir, FSGI mengusulkan pemerintah mengkaji kembali indeks integritas sekolah. Mereka beralasan, indeks integritas tidak relevan dipakai untuk menilai kejujuran sebuah sekolah. 

(rfa)

Sumber: Okezone

Penerapan Indeks Integritas Sekolah dianggap Mengada-ada

JAKARTA - Penerapan Indeks Integritas Sekolah di seluruh sekolah oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada tahun ini diharapkan mampu membuat sekolah bisa jujur dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Sayangnya, Indeks Integritas Sekolah tersebut tidak ada parameter dalam mengukur nilai-nilai kejujuran sekolah. 

"Sosialisasi juga di penghujung UN. Selain itu, Indeks Integritas Sekolah tidak terlihat memaparkan nilai kejujuran sebuah sekolah," kata Anggota Dewan Pertimbangan Serikat Federasi Guru Indonesia (SFGI), Doni Koesoema dalam jumpa pers kebocoran soal UN 2015, di gedung Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLHK), Jakarta, Rabu (15/4).

Ia mengatakan, sampai saat ini Indeks Integritas Sekolah dalam dunia psikometrik masih diperdebatkan. Sebab, metode, situasi, dan cara-cara siswa mencontek berbeda-beda. Hal ini menimbulkan hasil pada indeks integritasnya berbeda-beda, ketika dilakukan kalkulasi hasil. "Sedangkan yang dijelaskan oleh Kemendikbud itu tidak ada logiknya dan tidak bisa ditarik kesimpulannya," ujarnya.

Secara umum, kata Doni, pengukuran bisa dilakukan dengan menghitung jumlah jawaban yang salah. "Tetapi, bila terdapat 20 soal, tidak bisa," ucapnya. Pasalnya, membutuhkan konsep lain atau strategi pengumpulan data statistik untuk menentukan sejauh mana siswa satu mencontek siswa lainnya.

"Jadi, ide Indeks Integritas Sekolah ini absurd dan membebankan kepada masyarakat dan sistem pelaporan juga tidak transparan," katanya. Selain itu, gabungan dari hasil tes diruang-ruang kelas sekolah, tidak bisa dikonversi dan ditumpuk menjadi kejujuran sebuah sekolah. Apalagi, menjadi kejujuran sebuah daerah atau provinsi.

Donie menyarankan kepada Kemendukbud, jika ingin meningkatkan kejujuran di sekolah, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, pemerintah harus mengubah aturan-aturan atau peraturan yang membuat budaya tidak jujur itu muncul, misalnya kebijakan tentang Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), ada mata pelajaran tertentu yang diharuskan mendapatkan 7 di KKM.

Kedua adalah sistem katrol nilai yang banyak terjadi di sekolah-sekolah, dengan memberikan nilai oleh oknum guru kepada siswa. "Hal ini terjadi karena otentisitas pembelajaran tidak dihargai. Meskipun ada sekolah tertentu ketika nilainya rendah dia tegas, bila mendapat nol ya nol dan lima ya lima," tegasnya.

Ia melanjutkan, sebelum adanya Indeks Integritas ini, ada berapa sekolah yang menindak tegas para muridnya yaitu ketika ada yang ketahuan menyontek, akan segera dikeluarkan dari sekolah dan ada pula yang memberi teguran. "Jadi ada banyak kebijakan budaya sekolah yang sudah menerapkan nilai-nilai kejujuran. Saya rasa Indeks Integritas itu terlalu mengada-mengada, sebagai penilai kejujuran," pungkasnya.

Menanggapi itu, Mendikbud Anies Baswedan mengatakan, Indek Integritas Sekolah ini mengukur tingkat kejujuran saat menjalankan ujian di sebuah sekolah. Bila sekolah mendapatkan angka 90, Artinya 90 persen siswanya menjalankan ujian dengan jujur dan ada 10 persen menunjukan pola kerja sama atau kecurangan. "Itu bahasa sederhananya, karenanya nanti indeks rangenya antara 0 - 100. Makin tinggi indeksnya, makin jujur pelaksanaan ujian di sekolah tersebut," kata dia.

Untuk rumusannya, jelas Mantan Rektor Universitas Paramadina Jakarta ini, akan diungkapkan setelah UN 2015 selesai. Sementara, saat ini pihaknya memiliki data sekolah Indeks Integritasnya diatas nilai 90 ada 52 Kabupaten atau 10 persen dari semua daerah Indonesia diantaranya DKI Jakarta dan DI Yogyakarta.

Oleh karena itu, Anies mengimbau kepada masyarakat untuk jujur dalam melihat kecurangan UN. Karena nantinya ada reward dan punisment dari pemerintah. "Bahwa laporan tersebut mengenai jujuran dan bukan semata-mata keberhasilan nilai akademis, tapi nilai kejujuranya," pungkasnya.

Sumber: Radarpena

Indeks Integritas UN Meragukan

JAKARTA -- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tahun ini mulai menerapkan indeks integritas sekolah dalam menjalankan ujian nasional (UN). Namun, hasil yang diperoleh Kemendikbud itu masih diragukan dan bisa tidak akurat.

Pengamat pendidikan, Doni Koesoema Albertus, kepada Republika, Selasa (14/4), mengatakan, hasil yang diperoleh Kemendikbud hanya dari distribusi jawaban siswa dalam ujian. Padahal, jika benar ada kecurangan, maka banyaknya kemungkinan kecurangan yang dilakukan berbeda-beda, baik setiap anak, kelas, apalagi sekolah.

Doni menyebut, ada kemungkinan hasil indeks integritas itu salah. Apalagi, baru saja Kemendikbud menerbitkan 52 daerah yang memiliki indeks integritas yang melebih 90 persen. Menurutnya, bagaimana dan seperti apa prosesnya, Kemendikbud tidak transparan sehingga hasilnya meragukan.

Ia menegaskan, indeks integritas hanya bisa dilakukan untuk ujian di satu kelas pada waktu, bobot, dan satu mata pelajaran yang sama. Jadi, hasilnya pun hanya berlaku untuk satu kelas itu saja. Karena itu, hasil indeks integritas tidak bisa dibandingkan dengan kelas yang berbeda di banyak sekolah apalagi daerah. "Hasil yang dikeluarkan oleh Kemendikbud itu, masih sangat diragukan," katanya.

Ia menyebutkan, terdapat 10 kerangka teori dalam menganalisis indeks integritas. Namun, semuanya masih dianggap lemah oleh para ahli. Sedangkan, Kemendikbud hanya menggunakan satu kerangka teori dan hanya menggunakan distribusi pola-pola jawaban siswa dalam ujian.

Doni bahkan menyebut Kemendikbud hanya buang-buang energi mengeluarkan kebijakan indeks integritas. "Daripada sibuk dan buang-buang energi untuk indeks integritas, lebih baik Kemendikbud fokus melakukan perbaikan pada sistem kriteria ketuntasan minimal (KKM). Jika, ingin membangun kejujuran dalam pendidikan," ujarnya.

Jadi, tidak bisa dikatakan bahwa dari hasil UN saja, langsung dapat diketahui tingkat kejujuran sekolah dalam menjalankan UN. Lagi pula, Dodi mengatakan, indeks integritas ini untuk menilai kadar kegiatan sontek-menyotek antarsiswa di dalam kelas dalam ujian.

Kemendikbud merilis ada sebanyak 52 kota/kabupaten di Indonesia yang indeks integritasnya mencapai lebih dari 90 persen pada 2010-2014. Mendikbud Anies Baswedan mengatakan, hasil itu didapatkan melalui data-data yang dimiliki Kemendikbud selama pelaksanaan UN pada 2010-2014. Data-data itu berupa pola-pola jawaban peserta UN.

Ia menyebutkan, Kabupaten Lingga berada di posisi pertama yang mencapai indeks integritas yang tertinggi. Kemudian, disusul seluruh wilayah DKI Jakarta. Namun, pihaknya tidak menyebutkan spesifik berapa indeks yang diperoleh dan sekolah mana saja.

Sedangkan, pada posisi ke 52 ada Kabupaten Puncak, Papua. Ia mengungkapkan, wilayah Indonesia paling timur berhasil memiliki integritas yang tinggi dibandingkan kota-kota besar lainnya.

Sedangkan, hasil indeks integritas pelaksanaan UN tahun ini akan berupa data per sekolah per daerah. Sehingga, gubernur, kepala daerah, dinas, dan kepala sekolah mengetahui indeks integritasnya masing-masing, kemudian dengan segera melakukan pembenahan.

"Kami berencana akan secara terbuka menyebutkan daerah dan sekolah yang memiliki indeks integritas yang tinggi. Tapi, masih berpikir lagi untuk terbuka terkait sekolah dan daerah yang memiliki indeks integritas yang rendah," ujar Anies.

Wednesday 15 April 2015

Indeks Integritas Pendidikan Hanya Buang Energi

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pengamat pendidikan, Doni Koesoema mengatakan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) hanya buang-buang energi, untuk mengeluarkan kebijakan indeks integritas.

"Daripada sibuk dan buang-buang energi untuk indeks integritas, lebih baik Kemendikbud fokus melakukan perbaikan pada sistem Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Jika, ingin membangun kejujuran dalam pendidikan," ujarnya kepada Republika, Selasa (14/4).

Ia menegaskan, indeks integritas tidak akan berpengaruh besar pada tingkat kejujuran pendidikan. Tapi, justru menimbulkan rasa kecurigaan dan keraguan terhaap sekolah  dan pemerintah. Apalagi, orang tua tidak diberitahukan dengan detail bagaimana proses penilaian indeks integritas.

Padahal, orang tua yang lebih merasa khawatir karena anak-anak mereka yang mengenyam pendidikan. Sehingga, sudah sepatutnya orang tua lah yang harus lebih dahulu mengetahuinya.

Menurutnya, pemerintah harus ingat kembali apa tujuan adanya indeks integritas itu. Kejujuran adalah nilai yang sangat penting dalam pendidikan. Oleh karena itu, pemerintah khususnya Kemendikbud harus benar-benar matang menanamkan kejujuran.

"Terpenting, nilai kejujuran jangan hanya dinilai dari jawaban ujian para siswa. Karena, setiap anak memilki kemapuan yang berbeda-beda. Dan, jika digeneralisasikan maka, hanya menimbulkan diskriminasi bagi para siswa."


Sumber: Republika Online

Minim Juknis dan Fasilitas, Pelaksanaan UN Online Diragukan

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pelaksanaan Ujian Nasional Computer Based Test (CBT) segera dilaksanakan dalam waktu beberapa pekan lagi sebelum UN reguler. Namun, persiapannya masih dianggap kurang.

"Apakah Kemendikbud telah mempersiapkan hal itu dengan matang," ujar pengamat pendidikan Doni Koesoema Albertus, Rabu (11/3).   

Meski dilihat dari pelaksanaannya UN CBT membuat anggaran lebih hemat karena tidak perlu lagi mengeluarkan anggaran untuk percetakan soal-soal UN, tapi urgensi ketersediaan fasilitas yang dipertanyakan. Berikut minimnya petunjuk teknis pelaksaan serta pelatihan dari Kemendikbud. 

Mengingat, lanjut ia, banyak sekolah yang masih ragu dan siswa pun khawatir dengan pelaksanaan UN CBT ini. Khususnya, jika terjadi kesalahan teknis saat pelaksanaan UN CBT. 

"Tentunya, hal itu akan sangat berdampak pada psikologis siswa, yang cemas jika terjadi kesalahan teknis pada saat UN CBT. Selain itu, masih banyak sekolah yang mengakui, belum paham secara mendalam terkait teknis UN CBT ini," katanya. 

Menurutnya, pelaksanaan UN CBT sebaiknya dilaksanakan pada tahun depan. Melihat dari kesiapan sekolah-sekolah yang akan lebih siap dan mumpuni pada tahun depan. Waktu persiapan UN CBT yang dilaksanakan tahun ini sangat pendek, sehingga rentan terjadi masalah. 

Jangan sampai, kata ia, pelaksanaan UN CBT berakhir seperti pelaksanaan Kurikulum 2013 yang dipaksakan dan berakhir pada permasalahan yang kini terjadi.

"Maka dari itu, pemerintah harus berhati-hati dalam bertindak, upayakan kesalahan jangan terjadi untuk kedua kalinya," ulasnya.

Meskipun begitu, apabila pelaksanaan UN CBT berhasil dan berdampak baik. Maka, itu adalah perubahan yang baik dan dari sisi anggaran pun akan lebih rendah. Lagi pula, kata ia, sudah seharusnya Indonesia berubah dan jangan menggunakan kertas yang hanya akan berakhir pada pemborosan. 

"Untuk mencapai hal itulah, PR pemerintah sangat banyak. Dari fasilitas, perawatan, kestabilan, dan keamanan UN CBT. Jangan sampai, fasilitas ditinggalkan begitu saja ketika UN usai dilaksanakan tanpa perawatan dan akan kembali repot ketika pelaksanan UN CBT berikutnya," paparnya.

Thursday 9 April 2015

Melindungi Profesi Guru



Oleh Doni Koesoema A.

Persoalan kekerasan dalam pendidikan sekarang ini sudah memasuki tahapan baru yang sangat krusial, yaitu pemidaan pendidik yang menegakkan aturan sekolah. Kasus pemolisian kepala sekolah SMAN 3 Jakarta oleh orang tua siswa pelaku penganiayaan pelajar mesti dibaca sebagai tanda bahaya bagi perlindungan profesi guru dan keberlanjutan pendidikan yang ramah anak di masa depan!

Kriminalisasi pendidik tidak pernah boleh terjadi di negeri yang sangat serius mau mencerdaskan anak-anak bangsa. Guru sebagai pendidik anak-anak bangsa mesti dilindungi profesinya dan didukung agar dapat menciptakan sekolah yang ramah anak dan anti-kekerasan. Dari kasus SMAN 3 kita bisa merefleksikan tiga hal penting agar kejadian serupa tidak terjadi lagi di masa depan.

Tiga Refleksi

Pertama, perlunya komunikasi yang baik antara lembaga pendidikan dan orang tua. Pemidaan seorang kepala sekolah yang telah melakukan proses gelar perkara bersama dewan guru dan pengawas sekolah menunjukkan adanya ketidakpahaman publik, terutama orang tua siswa, terkait dengan tugas dan profesi seorang pendidik. Lembaga pendidikan kita mengalami kegagalan komunikasi antara orang tua dengan pihak sekolah dalam rangka pendidikan anak-anak yang dipercayakan kepada lembaga pendidikan.

Kedua, ketidaksiapan birokrasi dan instansi lebih tinggi dalam mendukung dan membela kemartabatan profesi guru. intervensi birokrasi, dalam hal ini kepala dinas, yang ikut campur urusan skorsing yang menjadi kewenangan unit sekolah, bahkan cenderung mempersalahkan Kepala Sekolah dan menafikan keputusan dewan guru yang memberi skorsing, jelas merupakan sebuah intervensi yang lebih mengutamakan kekuasaan ketimbang menjaga prinsip-prinsip moral pendidikan yang harusnya ditegakkan. Kepala Dinas mestinya mendukung sekolah yang ingin menciptakan sekolah ramah anak dan anti-kekerasan, terlebih menghadapi kasus kekerasan di SMAN 3 yang sudah membudaya.

Ketiga, pembelajaran publik tentang hukum yang melindungi profesi guru. Proses hukum yang sudah berjalan, harus diteruskan, karena setiap warga negara memiliki persamaan hak di depan hukum. Hukumlah yang menjamin keadilan dan kebenaran sebuah perkara meskipun ini akan membawa situasi pendidikan kita pada sebuah dilema. Di satu sisi, ketika pihak yang berwewenang tetap memproses persoalan ini sebagai delik hukum pidana, proses hukum ini akan menjadi intimidasi bagi para pendidik berintegritas untuk menegakkan aturan sekolah untuk memutus rantai kekerasan dalam pendidikan. Di lain pihak, proses ini harus tetap diteruskan agar publik belajar tentang bagaimana mereka dapat menghargai dan melindungi profesi guru yang memiliki aturan hukum yang melindungi martabat profesinya.

Perlindungan profesi

Penegak hukum dituntut untuk mampu mempergunakan pasal-pasal yang mengatur dan melindungi profesi guru, seperti UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, terutama pasal 14, yang menyatakan bahwa, dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual; dan memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.

Kasus pengaduan orang tua siswa kepada Kepala Sekolah yang bersama Dewan Guru ingin menegakkan peraturan sekolah bisa menjadi momentum edukatif, baik bagi penegak hukum maupun orang tua, maupun birokrasi dalam meretas kekerasan dalam dunia pendidikan.

Kekerasan dalam dunia pendidikan tidak akan berhenti bila para pelaku kekerasan dibiarkan berkeliaran di lingkungan sekolah tanpa pernah memperoleh sanksi. Sekolah dalam artian tertentu adalah sebuah negara kecil, di mana hukum dan peraturan mesti ditegakkan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak orang lain. Ironisnya, para pendidik seringkali belum memahami, bahwa impunitas dalam dunia pendidikan justru akan membuat situasi kekerasan dalam pendidikan tidak tersentuh. Membiarkan pelaku kriminal, seperti penganiayaan, mengangkangi aturan sekolah jelas bukan sebuah proses pendidikan yang baik.

Komunikasi intensif

Profesi guru akan menjadi semakin bermartabat bila publik, terutama orang tua, menghargai jerih payah lembaga pendidikan yang ingin memutus rantai kekerasan di dalam dunia pendidikan. Orang tua dan sekolah mestinya lebih intensif membangun komunikasi satu sama lain sehingga salah pengertian tentang proses pendidikan tidak terjadi lagi.

Kekerasan dalam dunia pendidikan tidak akan berhenti bila tidak ada dukungan dari pimpinan. Ini berarti, pejabat di lingkungan pendidikan, seperti pengawas, kepala dinas, sampai menteri, harus memiliki suara yang sama dan konsisten dalam menegakkan peraturan. Bila seorang kepala sekolah yang menegakkan aturan untuk memutus rantai kekerasan dalam dunia pendidikan justru diancam dicopot dari jabatannya oleh Kepala Dinas, kiranya ini menjadi lonceng kematian bagi terciptanya lingkungan sekolah yang ramah anak.

Kita tidak boleh menganggap bahwa kasus SMAN 3 Jakarta hanyalah kasus kecil yang perlu diselesaikan di tingkat sekolah. Apalagi menanggap ini sebagai urusan pribadi individu yang terlibat. Urusan kekerasan yang sudah membudaya seperti di SMAN 3 hanya bisa diselesaikan bila ada kerjasama yang intensif antara orang tua, aparat penegak hukum, dan pemimpin sekolah.

Kita membutuhkan orang tua, polisi, dan kepala sekolah, birokrat yang memiliki integritas moral. Tanpa integritas moral, mustahil kekerasan dalam pendidikan akan terselesaikan. Lebih lagi, bila para guru pun bisa dengan mudah dipidanakan justru ketika harus menegakkan dan melaksanakan tugasnya, tentulah ini akan menjadi lonceng kematian bagi setiap usaha memutus rantai kekerasan di dalam lingkungan pendidikan.

Doni Koesoema A. Pemerhati Pendidikan.

Sumber: KOMPAS, 26 Maret 2015

Friday 28 November 2014

Revolusi Mental Dimulai dari Guru


27 November 2014 14:41 Wheny Hari Muljati Pendidikan 



JAKARTA – Jalan utama mewujudkan revolusi mental bangsa, salah satunya adalah melalui pendidikan. Guru merupkan salah satu unsur penting pendidikan, sehingga revolusi mental harus didahului perubahan mental para guru.

Pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina, Mohammad Abduhzen, mengatakan hal ini kepada SH, Rabu (26/11). “Para guru harus mengubah pola pikir terhadap profesinya, terhadap muridnya, dan terhadap pembelajaran yang diampunya,” ujar Abduhzen terkait revolusi mental guru dalam memperingati Hari Guru Nasional setiap 25 November.

Revolusi mental berarti guru mampu mengubah pola pikir, mampu menyadari bahwa profesinya merupakan jalan hidup, bentuk pengabdian kepada Tuhan melalui pengabdian kepada manusia. “Jadi, guru harus memiliki landasan spiritual terkait profesinya,” ucap Abduhzen.

Guru perlu memahami bahwa siswa sebagai manusia yang menyimpan berbagai potensi (homo potens). Dengan begitu, guru harus mampu memfasilitasi para siswa agar dapat mengalami proses tumbuh kembang menurut kodrat mereka. Juga, bahwa proses pembelajaran harus menjadi proses yang menyenangkan.

“Dalam pembelajaran, guru dan murid harus senang. Pelatihan penting untuk mendorong perubahan pola pikir guru terkait profesinya, muridnya, dan pembelajarannya,” tutur Abduhzen.

Visi Moral
 
Pengamat pendidikan, Doni Koesoema Albertus mengatakan, revolusi mental guru terutama terkait visi-misi dirinya sebagai individu pendidik. Motivasi individu yang kuat dan kokoh akan membuat guru tetap berkomitmen mengajar dan mendidik siswa, meskipun sistem, struktur, dan kebijakan belum berpihak padanya.

“Revolusi mental guru harus mengarah kepada pembentukan jati diri guru sebagai sosok teladan moral,” kata Doni.

Revolusi mental harus dimulai dari individu guru, apa pun tingkatan unit mengajarnya, mulai dari tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga tingkat dasar dan menengah. “Harus simultan dan serentak,” ucap Doni.

Ia mengatakan, revolusi mental individu guru juga perlu dilakukan serentak, dengan perubahan struktural berupa reformasi kebijakan. Reformasi kebijakan harus dimulai dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Ini agar Kemendikbud lebih terbuka, komunikatif, dan dialogis.
 
“Mereka harus mau mendengarkan para pemangku kepentingan agar kebijakan pendidikan berjalan baik,” ujar Doni.

Dewan Pertimbangan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Henny Supolo mengatakan, ada beberapa hal yang perlu dimiliki guru. Guru harus memiliki kesenangan belajar dari berbagai sumber, mempunyai wawasan keragaman, mengutamakan kepentingan siswa, mengakomodasi keunikan siswa, tidak menoleransi kekerasan, menolak menjadi bagian korupsi di dunia pendidikan, serta mampu memberdayakan dirinya sendiri.

Dalam seminar penguatan organisasi, para guru memperlihatkan terbatasnya pemahaman mengenai hak mereka dalam berorganisasi. “Padahal, melalui organisasi langkah guru justru bisa lebih efektif,” kata Henny.

Sumber : Sinar Harapan

Pendidikan Keagamaan