Wednesday 19 November 2014

Menanam Jiwa Entrepreneur Sejak Dini



Jumat, 14 November 2014, 14:00 WIB
 
Para pelajar umumnya belum memiliki pemikiran untuk bercita-cita menjadi seorang wirausaha. Kebanyakan dari mereka masih memikirkan akan bekerja di mana mereka kelak setelah lulus dari bangku kuliah. Hanya sedikit sekali anak muda yang berpandangan membuka dunia usaha dan bekerja untuk diri mereka sendiri.

Namun, pola pikir seperti itu tampaknya akan mulai terkikis dalam beberapa tahun ke depan. Mereka akan memiliki pandangan lebih luas untuk menentukan karier sebagai pekerja atau pengusaha. Hal ini ditandai dengan masuknya pelajaran kewirausahaan dalam Kurikulum 2013 yang diajarkan pada siswa SMA/SMK-Sederajat.

Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIMPI) Raja Sapta Oktohari menilai, dimasukkannya kewirausahaan dalam Kurikulum 2013 merupakan hal baik. Adanya pendidikan enterpreuner di jenjang SMA, berarti  jiwa-jiwa anak muda di Indonesia telah dijejali untuk mengetahui pentingnya finansial. Raja menjelaskan, budaya Timur masih sering memanjakan anak-anaknya sehingga mereka tidak familier akan pentingnya manajemen keuangan. Alhasil, kemandirian dalam hidup dan menghasilkan uang melalui wirausaha masih minim.

Di negara maju, anak kecil sudah diajarkan pentingnya mencari uang sendiri. Dari uang tersebut, mereka diberi tahu cara menabung dan berbagai macam manajemen finansial hasil kerja keras mereka. "Maka, penting untuk menanamkan mental wirausaha dan cara mengelola keuangan sejak kecil," kata Raja.

Dengan pendidikan kewirausahaan lebih dini, sebuah negara menciptakan banyak enterpreuner berkualitas. Sehingga, mereka menjadi penyokong utama dalam memajukan dan menyejahterakan bangsa untuk bersaing dengan negara lain.

Dalam mengukur apakah sebuah negara berkembang bisa menjadi negara maju, bisa dilihat dari banyaknya wirausahawan di negara tersebut. Banyak pakar menyebutkan, sebuah negara disebut maju jika mereka memiliki dua hingga empat persen entrepreuner dari total jumlah penduduk. Melihat ungkapan ini, wajar saja bila masih banyak penduduk Indonesia yang bergelut dengan perut. Dengan total penduduk lebih dari 230 juta jiwa, enterpreuner di negeri kaya sumber daya alam ini belum menyentuh angka dua persen.

Bonus Demografi yang akan terjadi di Indonesia beberapa tahun ke depan, wajib dipikirkan secara matang. Banyaknya usia produktif yang belum diimbangi dengan bertambahnya lapangan pekerjaan yang sesuai akan membuat lebih banyak pengangguran berkeliaran.  Dengan demikian, membuka lapangan usaha sebenarnya menjadi pilihan paling tepat dalam kondisi tersebut.

Di sisi lain, menanggapi masuknya kurikulum wirausaha di sekolah, Raja berharap, pemerintah tak sekadar memberikan program dalam bentuk pendidikan saja. Pemerintah juga diminta turut aktif membantu mereka menjadi wirausahawan sesungguhnya. "Bantu mereka dengan permodalan, legalitas. Ini semua bisa dilakukan oleh Malaysia, masa kita tidak bisa," kata Raja.

Sosialpreneur
Dalam berwirausaha, keuntungan jelas menjadi hal paling dicari setiap entrepreuner. Namun, di balik itu semua, hakikatnya wirausaha pun bersinggungan dengan bentuk lain, salah satunya sisi sosial. Dari sebuah wirausaha, seseorang bukan hanya bisa menghasilkan pemasukan. Mereka pun mampu membantu merealisasikan tujuan dalam pemecahan masalah sosial dengan membangun bisnis.

Salah satu sekolah yang mencoba melakukan pendidikan sosialpreuner adalah SMA 56 dan 79 Jakarta. Kedua sekolah ini diberikan pelatihan dan keterampilan selama satu semester mengenai kewirausahaan sosial dari Bank DBS Indonesia yang bekerja sama dengan Provisi Education.

Mona Monika, head of Group Strategic Marketing and Communication DBS Indonesia, menuturkan, pengembangan socialpreuner dikarenakan para pelajar diharap bukan hanya memikirkan diri mereka sendiri. Namun, juga memperhatikan lingkungan sosial di sekitar mereka. "Kami berharap dari pendidikan ini pemikiran segar anak muda dapat dikembangkan menjadi bisnis riil  dan memberikan solusi permasalahan sosial di Indonesia," ujar Mona.

Pemerhati pendidikan Doni Koesoema A. mengatakan, satu hal yang penting ketika wirausaha masuk dalam Kurikulum 2013 adalah menanamkan semangatnya. Dalam menjalankan wirausaha, seseorang pasti mempunyai semangat, kegigihan untuk pantang menyerah begitu saja. Konsep dan hal ini yang sebaiknya ditanamkan kepada siswa dengan adanya pelajaran kewirausahaan.

Doni  menilai, jika pemerintah bersungguh-sungguh ingin memperbanyak entrepreuner dari kalangan pelajar, seharusnya pendidikan wirausaha diberikan guru-guru yang berpengalaman di bidang tersebut. Namun, pada praktiknya guru-guru di banyak sekolah belum mempunyai keahlian tersebut.

"Bagaimana mau diajarkan kepada murid jika gurunya tidak mengerti, nanti bisa salah kaprah, asal-asalan," kata Doni.

Selain itu, dengan pembimbing yang kurang ahli, para pelajar  akan terlena dengan dunia wirausaha tanpa memikirkan pelajaran lain sebagai penunjang tumbuh kembang mereka. Padahal, sebagai anak muda, selain  menciptakan uang, mereka pun mesti mengerti ilmu-ilmu lain. Karena, bisa jadi dari ilmu tersebut mereka bisa mengembangkan wirausaha baru dari ilmu yang mereka miliki.

Aini, salah seorang pelajar kelas XI SMAN 79 Jakarta bersama sekitar 14 orang temannya membuat kelompok bernama PT Kakiku. Nama PT hanya sebutan, bukan merujuk sebagai perseroan terbatas. Sasaran Kakiku adalah  membantu menyadarkan para bomber, panggilan untuk mereka yang suka mengotori tembok-tembok dinding bangunan di Kota Jakarta. 

Nantinya para bomber ini diajak untuk mengerjakan desain tersebut dan akan diberikan bayaran sesuai perjanjian. Aini berharap bisa menyadarkan tindakan mereka yang kurang baik. Akan lebih bermanfaat jika keahlian mereka disalurkan untuk hal lebih positif.


Sumber: Republika

Saturday 15 November 2014

Wakil Rektor Unhas yang Nyabu Harus Dipecat!




Jumat, 14 November 2014, 19:46 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Pendidikan Doni Koesoema A. mengatakan, Universitas Hasanuddin (Unhas) harus segera memecat Wakil Rektor III Unhas, Prof Muzakkir dari jabatannya. Kampus harus menerapkan zero tolerance terhadap penggunaan narkoba.

"Unhas harus mau bekerja sama dengan kepolisian untuk menyelidiki kasus narkoba di kampusnya. Kalau sampai ada mahasiswa Unhas yang memakai narkoba mereka juga harus dikeluarkan sebab zero tolerance terhadap narkoba harus ditegakkan," kata Doni di Jakarta, Jumat, (14/11).

Zero tolerance, tutur dia, terhadap narkoba harus ditegakkan untuk menghindari universitas atau kampus menjadi sarang narkoba. Kalau kebijakan kampus tidak tegas terhadap narkoba bisa bahaya. Wakil rektor yang menggunakan narkoba merupakan potret Indonesia krisis kepemimpinan.

"Ini sangat mengerikan dan memprihatinkan bagi dunia pendidikan,"katanya.  Kasihan generasi muda harus melihat kenyataan bahwa pemimpin mereka krisis moral dan krisis kepemimpinan.

"Kasus ini harus dituntaskan dengan sungguh-sungguh agar anak-anak kita tidak ikut-ikutan memakai narkoba yang jelas merusak,"ujarnya. Proses hukum dalam kasus yang menimpa rektor ini harus ditegakkan. Diharapkan proses hukum bisa memberikan efek jera dan tidak ditiru oleh pihak lainnya.

Sumber: Republika

Friday 14 November 2014

Menunggu Gebrakan Pendidikan

Doni Koesoema A
Kompas, 13 November 2014



Setelah menunggu lama, publik tetap saja tidak menemukan satu pernyataan yang kuat tentang gebrakan yang akan dilakukan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan untuk mendongkrak kualitas pendidikan. Padahal, gebrakan banyak menteri lain luar biasa.

Revolusi mental yang digagas Presiden Joko Widodo sesungguhnya adalah sebuah gerakan ke dalam, yaitu perbaikan sikap diri sebagai individu, dan perbaikan evaluasi diri sistem yang sudah rusak karena korup, tidak adil, dan malah bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional. Satu-satunya individu yang sekaligus mewakili sistem pendidikan nasional sekarang adalah Anies. Sungguh mengherankan mengapa Anies malah ragu bertindak?

Jika Anies ragu-ragu, arah pendidikan nasional ke depan akan semakin runyam dan tidak jelas. Padahal, posisi Anies sangatlah strategis dalam mengaktualisasikan revolusi mental yang digagas Presiden Jokowi.

Persoalan pendidikan dasar dan menengah di Indonesia, apabila kita petakan, sudah jelas merujuk pada lima pokok persoalan yang sering dikaji para praktisi, akademisi, dan pemerhati pendidikan. Lima tema itu adalah ujian nasional, Kurikulum 2013, lunturnya nilai-nilai keragaman dalam pendidikan, kekerasan dalam pendidikan, dan korupsi pendidikan.

Apabila mau melakukan revolusi mental, sebagai awal, Anies bisa memilih salah satu dari lima prioritas persoalan ini.

Ujian nasional

Ujian nasional (UN) jelas sebuah kebijakan yang akan berat disentuh Anies sebab di sana ada Jusuf Kalla sebagai penggagas UN. Namun, persoalan ini sebenarnya jelas ditilik dari sudut pandang moral. Sebuah kebijakan yang telah terbukti tidak meningkatkan kualitas pendidikan nasional tidak pantas untuk dilanjutkan.

Masalahnya adalah kita sering mencampurkan pilihan politis dengan pilihan moral. Jika Anies memilih pilihan politis, artinya dia akan tunduk kepada Jusuf Kalla sebagai penggagas UN. Ini berarti membiarkan bangsa ini semakin terpuruk kualitas pendidikannya, bahkan di tingkat internasional. Jika berani mengambil pilihan moral, ia akan segera menghentikan ujian nasional sebagai syarat kelulusan, melakukan moratorium UN (bukankah sebelum menjadi menteri, Anies juga menyuarakan moratorium UN?) dan untuk sementara, menyerahkan penilaian kelulusan kepada guru dan sekolah.

Untuk proses seleksi ke perguruan tinggi, Anies perlu kerja sama dengan perguruan tinggi agar dihasilkan sistem seleksi yang sifatnya meritokratis, adil, independen, dan terbuka bagi semua. Sistem seleksi jalur undangan yang sering jadi sumber manipulasi nilai perlu dihentikan, digantikan dengan seleksi jalur mandiri yang sungguh independen dan tidak diskriminatif pada penyandang disabilitas.

Kurikulum 2013

Banyak kajian tentang Kurikulum 2013 menunjukkan bahwa kurikulum ini tidak pantas diteruskan. Bagaimana solusinya? Apakah upaya berbiaya triliunan rupiah tersebut akan dibiarkan sia-sia?

Pilihan politis atas hal ini tidak mudah. Namun, pilihan moral bisa menjadi alternatifnya. Adalah semakin mencederai keadilan dan melanggar prinsip moral apabila kita tahu sebuah program yang jelas-jelas buruk tetap kita biayai dengan biaya negara. Sudah hilang uang banyak, hasil pun tidak ada.

Solusi praktisnya adalah kembali saja dulu ke KTSP 2006, yang sudah ada buku yang tersedia. Untuk itu, Anies hanya perlu membatalkan berbagai macam peraturan yang mengatur Kurikulum 2013 serta mengevaluasinya untuk mencari yang perlu dihilangkan dan yang perlu dilanjutkan. Konsep pedagogis, landasan filosofis, dan sistem penilaian yang tidak relevan bisa dihilangkan, sedangkan kebutuhan pelatihan guru diteruskan.

Lunturnya nilai-nilai keragaman dan kebangsaan semakin nyata kita saksikan bahwa sekolah-sekolah negeri yang mestinya menyemai benih-benih keragaman kini mengutamakan kultur agama mayoritas. Kecenderungan intoleransi antaragama meningkat dan ironisnya ini justru disemai dalam lembaga pendidikan.

Di Jakarta, ada siswa dari kelompok agama tertentu yang tak boleh merayakan hari besar agama di lingkungan sekolah. Yang lebih memprihatinkan adalah mulai masuknya kelompok radikal teroris yang menunggangi paham agama untuk merekrut anak-anak sekolah sebagai pelaku teror, pembuat bom.

Situasi ini semakin menjadi-jadi dengan munculnya politisasi yang menyegregasi beragam kebijakan sekolah. Para guru yang memiliki afiliasi politik tertentu berusaha menanamkan paham-pahamnya dalam praktik pendidikan di sekolah. Jika sekolah sudah disesaki dengan para politisi yang mau menanamkan ideologinya, fungsi pendidikan sebagai proses pembentukan watak hilang karena yang terjadi adalah indoktrinasi dan matinya berpikir kritis.

Matinya kemampuan berpikir kritis akan membuat para siswa mudah dimobilisasi untuk melakukan tindak kekerasan, bahkan atas nama agama.

Lunturnya nilai-nilai keragaman ini hanya bisa dihentikan dengan cara bersinergi antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, dan Kementerian Dalam Negeri. Politisasi pendidikan yang melahirkan kebijakan pendidikan yang diskriminatif terjadi karena otonomi daerah sehingga banyak peraturan daerah pendidikan yang melanggar nilai-nilai Pancasila.

Di antaranya fokus pada pengembangan keagamaan sempit dan mengutamakan ritual dan simbol. Ini yang perlu diselesaikan dengan membangun kerja sama antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama sehingga tidak ada peraturan dari Kementerian Agama yang bertentangan dengan kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, apalagi bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

Lunturnya keragaman ini, apabila tak diselesaikan, akan menjadikan pendidikan sebagai tempat berebut pengaruh dan kuasa dalam memperjuangkan ideologi sektarian politisi dan teroris yang memanfaatkan kelemahan kebijakan pendidikan.

Kekerasan

Kekerasan dalam pendidikan sudah berada pada tingkat darurat. Banyak siswa meninggal karena kegiatan sekolah yang tidak terpantau dengan baik. Perundungan (bullying) dalam lembaga pendidikan dan tawuran pelajar sampai sekarang tidak pernah kita garap serius. Akibatnya, akan selalu muncul korban jiwa sia-sia. Zero tolerance terhadap kekerasan harus menjadi fokus pengembangan kebijakan dalam pendidikan.

Korupsi dalam lembaga pendidikan jelas melukai keadilan publik. Uang anggaran negara yang semestinya dipergunakan sekolah untuk melayani dan menyediakan pendidikan bermutu hilang dicuri para koruptor.

Laporan ICW tentang korupsi pendidikan selama sepuluh tahun, yang jumlah kerugiannya tidak mencapai Rp 1 triliun bukanlah representasi dari gurita korupsi yang menghancurkan pendidikan kita.

Sekadar gambaran, Dinas Pendidikan DKI, setelah dalam delapan bulan mengevaluasi program pendidikan di DKI, akhirnya mengembalikan uang negara Rp 2,4 triliun karena berbagai program pendidikan yang ada dianggap tidak relevan. Bahkan setelah diselidiki, pada beberapa sekolah negeri di Jakarta indikasi korupsi itu sangat jelas terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif. Beberapa sekolah dipaksa mengembalikan uang ke negara yang besarnya ratusan juta sampai miliaran rupiah.

Dana pendidikan memang paling menarik bagi para koruptor untuk mencurinya karena di sana tersedia banyak sekali ruang bebas untuk menjarah anggaran negara. Tentu, hal seperti ini tak dilakukan sendirian, tetapi ada semacam sistem yang terstruktur dan sistematis, mulai dari proses seleksi kepala sekolah, pengawas, dan kepala dinas. Revolusi mental harus menghancurkan sistem pendidikan yang korup seperti ini.

Jelas bahwa tantangan pendidikan tidak mudah. Namun, ini semua tergantung dari Anies dalam menempatkan dirinya sendiri. Apakah ia akan lebih memilih sebagai politisi atau individu yang memiliki pilihan moral sekaligus menjadi representasi kekuatan perubahan dalam pendidikan.

Jika ia lebih memilih dirinya sebagai politisi, gebrakan pendidikan tidak akan terlahir dalam pemerintah Jokowi ini, dan ini berarti Jokowi telah salah memilih Mendikbud.

Namun, apabila pertimbangan Presiden Jokowi memilih Anies adalah karena Anies memiliki kredibilitas moral, dan dengan demikian, pilihan-pilihan morallah yang diharapkan keluar dari sosok Anies sebagai Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar Menengah, mestinya Anies tidak perlu ragu mengambil keputusan dan segera melakukan gebrakan pendidikan.

Doni Koesoema Pemerhati Pendidikan

Thursday 13 November 2014

Ujian Nasional Bisa Dijadikan Alat Pemetaan Sekolah



Ujian Nasional sebaiknya jangan dijadikan standar kelulusan para siswa. Namun UN itu bisa dijadikan sebagai alat pemetaan kualitas sekolah.               

"Kalau dari hasil UN di suatu sekolah ditemukan rendah, maka selanjutnya pemerintah dapat membuat program peningkatan untuk sekolah tersebut," kata pemerhati pendidikan, Doni Koesoema, kepada Geotimes di Jakarta, Rabu (12/11).

Dengan UN sebagai alat pemetaan kualitas maka pemerintah dapat memantau perkembangan kualitas sekolah-sekolah. Jika sebuah sekolah mempunyai UN rendah maka pemerintah harus menyiapkan program peningkatan sekolah tersebut. 

Sementara syarat kelulusan harus ditentukan oleh masing-masing sekolah. Hal tersebut harus mengacu pada laporan hasil belajar yang terdapat pada rapor.

"Untuk SD, SMP, dan SMA kelulusan harus mengacu pada nilai rapor sekolah," katanya. 

Ia menilai UN selama ini selalu dijadikan alat ukur kelulusan. Nilai UN yang menjadi syarat minimal kelulusan, membuat sekolah-sekolah akhirnya memanipulasi nilai tersebut agar siswanya dapat lulus. 

"Anies Baswedan harus berani menyatakan Ujian Nasional sebagai alat pemetaan, bukan sebagai standar kelulusan," katanya.

Bila pemerintah tetap menggunakan UN sebagai standar kelulusan maka tak ada perubahan dalam kebijakan pendidikan nasional.

Diberitakan sebelumnya, pemerintah tetap menggelar UN SMP dan SMA pada 2015 namun dengan kebijakan baru yaitu penilaian seimbang antara nilai sekolah dengan UN, serta UN berbasis komputer.

Sumber: Geotimes.co.id

Pendidikan Keagamaan